Desclaimer : you-know-who
Pairing : stiil NearxL, NearxMatt and become NearxLight
Warning : OOC 100%
Rate : T
"Veţi pierde vechi de un an (kau akan kehilangan satu tahun umurmu)" Sang iblis berbisik. Pemuda yang diajak berbicara itu sesaat diam. Dia sudah memikirkan ini sejak pertama kali melakukan perjanjian dengan Iblis ini. Resikonya lumayan besar : mempercepat kematian sendiri.
"Da, stiu (ya, aku tahu)" Si pemuda menjawab. Terdengar sangat mantap.
"Dar esti condamnat de scurtă durată (tapi kau sudah ditakdirkan berusia pendek)"
"Nuoproblemăpentrumine. Cuaceastă viaţăscurtă, vreau săfacmai multpentrualte persoane(bukan masalah bagiku. Dengan umur yang pendek ini, aku ingin berbuat banyak untuk orang lain)"
"Nuvreaudoarvarstata, darar trebui săştiu că existăalte recompense (aku tidak hanya ingin umurmu, tapi kau harus tahu ada imbalan yang lain)"
"Voidaunan derestulvieţiimele, şisângelemeu. Dar te rog, porniţi-ldin noupeel (aku akan memberikan satu tahun sisa umurku, dan darahku. Tapi kumohon, hidupkan kembali dia)"
"Dareleste duşmanultău (tapi dia musuhmu)"
"L-amvăzut, existăcevabunînviitorulsău (aku sudah melihatnya, ada sesuatu yang baik di masa depannya)"
"Ei bine, dacădoresc acest lucru.Vom începeritualul (baiklah, kalau itu maumu. Kita mulai ritualnya)"
"Bine, eusuntgata (baik, aku siap)"
Malam kelam, langit yang begitu gelap. Eh? Tak ada bintangkah hari ini. Kosong. Langit benar – benar kosong. Apakah mendung? Ah, tidak juga. Hari ini cuaca cerah. Tapi kenapa tak ada satu pun bintang malam ini. Tak ada satu pun kerlap – kerlip cahaya indah itu. Sepi dan suram. Pemuda itu mendongakkan kepalanya. Ia memandang langit. Gelap, begitu yang ada dipikirannya. Sedetik kemudian angin lembut berhembus. Rambutnya yang berwarna putih – ya putih tapi itu bukan uban, hanya warnanya memang putih– melambai pelan. Poninya tak kalah ikut 'menari' pelan. Dipejamkannya kedua matanya. Menikmati hembusan angin dan samar – samar aroma mawar di taman yang ia singgahi ini. Dingin, padahal ia sudah mengenakan piyama putih kesayangannya. Ia membuka matanya. Bola mata yang berwarna hitam itu menerawang jauh ke langit. Gelap sekali, yah sesuai dengan perasaannya malam ini. Suram, hampa dan kelam.
KREEK
Terdengar suara ranting yang patah. Atau lebih tepatnya suara ranting patah yang terinjak oleh kaki seseorang.
Pemuda berambut putih itu menoleh ke belakang, ingin tahu siapa yang mengikutinya keluar selarut ini.
" Near, kau belum tidur rupanya." Kata suara bariton di belakang pemuda berambut putih itu. Near hanya diam, ia memperhatikan sosok yang berdiri tepat dibelakangnya itu. Seorang pemuda, badannya tinggi, rambutnya berwarna hitam kelam –sekelam langit hari ini–, mengenakan piyama berwarna putih bersih. Pemuda berambut hitam itu tersenyum pada sosok dihadapannya itu. " Apa yang kau mau L?" Kata Near dingin dan kemudian segera menatap langit kembali. L sedikit terkejut dengan nada adiknya barusan, tapi sedetik kemudian dia tersenyum lagi. " Apakah seorang kakak tidak boleh mengkhawatirkan adiknya yang tiba – tiba kabur dari kamar dan tahu – tahu sudah merenung di taman sendiriam?" L mengatakannya dengan nada tegas. Near masih diam dan terus memandang langit. Tampaknya dia tidak mendengarkan omongan kakak semata wayangnya barusan. L menghela napas pelan. Ia tidak habis pikir adik kesayangannya ini akan berubah menjadi makhluk perenung semacam ini. Yah, berubah. Sejak kematian ibu mereka akibat kanker darah –leukemia– Near bisa dibilang berubah menjadi manusia antisosial. Dia yang biasanya senang keluar rumah, tertawa, bercanda, dan berteriak kini sudah hilang sama sekali. Ibu mereka memang sosok yang sangat vital bagi kehidupan remaja yang satu ini. Ibu yang begitu mengayomi, melindungi, dan mengasihi itu kini telah pergi. Hari – hari yang semula begitu indah bersama keluarga yang utuh kini telah runtuh. Salah satu anggota telah pergi, dan ia tidak akan pernah kembali.
" Aku rindu ibu..," lirih Near. Mata abu – abu yang masih menatap langit itu perlahan – lahan basah. Bahunya bergetar pelan. L memandang adiknya dengan tatapan iba. Disentuhnya pundak Near. " Aku juga Near. Siapa yang tidak rindu pada orang tua yang telah pergi? " Kata L lembut. Ia mengusap pelan lengan adiknya.
TIK
Setitik airmata jatuh dari bola matanya. Dan kemudian diikuti oleh kawan – kawannya. Near menangis. Yah, seorang Nate River menangis. Sungguh pemandangan yang langka. Sosok yang semula selalu kuat, tegar, ceria itu kini menangis dalam dekapan sang kakak. Hatinya benar – benar sakit, hancur, perih. Napasnya sesak. " Tapi apakah dengan menangis ibu akan kembali?" L bergumam pelan ke telinga adiknya.
"Tidak.." sahut Near pelan. Kepalanya masih tertunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Tampaknya ia berusaha keras membendung tumpahan air matanya. L tersenyum. " Lalu untuk apa kau menangis? Berhentilah dan jadilah pribadi yang tegar. Tidak kah kau pernah berpikir bahwa ibu akan sedih jika beliau melihat sosokmu yang begitu rapuh ini. Apa kau ingin ibu kecewa padamu? Tegarlah Near! Jangan bodoh, kau itu laki – laki kan?" L mencerca adiknya itu dengan sederet kata – kata. Sepertinya memang terdengar memarahi namun terselip suatu kelembutan disitu.
Near mendongakkan kepalanya. Ia kemudian menatap kakaknya. Hitam bertemu hitam. L tersenyum lembut. Ditatapnya adik semata wayangnya itu. Ia tahu adiknya sedang hancur, ia tahu Near sedang depresi, dan tidak seharusnya ia memarahinya. Tapi itu harus, ia tidak ingin kehilangan adiknya yang super ceria itu. Ia tidak mau kehilangan gelak tawa, canda, teriakan dan senyum manis dari Near. Tidak. Ia tidak mau. " L..," gumam Near pelan. Suaranya bergetar. " Aku ingin tidur." Dan kemudian Near berjalan pelan ke rumah dan meninggalkan L sendirian di taman itu.
L P.O.V
Aku melihatnya berjalan pelan meninggalkan taman ini, langkah kakinya sedikit gontai. Mungkin dia lelah. Lelah dengan semua yang dialaminya. Lelah dengan sakit hati yang telah ia terima seminggu lalu. Ibu pergi seminggu lalu. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi. Toh, ini sudah takdir dari Tuhan. Menangisi kepergian beliau pun akan percuma. Ibu tidak akan pernah kembali. Kualihkan pandanganku ke langit. Gelap sekali. Kenapa tidak ada bintang malam ini? Suram sekali. Kuhela napasku untuk kesekian kalinya. Ibu. Kenapa kau pergi? Aku dan Near membutuhkanmu. Apa ibu tidak sedih melihat Near depresi seperti itu? Tuhan, kenapa kau tega pada kami? Apa dosa kami ya Tuhan hingga Engkau memberikan cobaan seberat ini pada kami? Semua pertanyaan itu mengiang – ngiang di kepalaku. Pusing sekali. Sepertinya aku akan butuh obat sakit kepala.
Tuhan akan memberikan cobaan kepada umatnya.
Begitulah selalu pesan ibu pada aku dan Near. Beliau selalu mewanti – wanti kami untuk mempercayai Tuhan. Mempercayai semua kekuatan, ciptaan dan kehendak-Nya. "Jika Tuhan memberikan suatu cobaan berat padamu, anggaplah itu sebuah ujian. Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melampaui batas kemampuan hamba-Nya. Dan jika Ia memberikan cobaan padamu, seberat apapun itu. Percayalah, kau bisa melaluinya. Tuhan memberikan cobaan itu karena Ia tahu, engkau mampu melewatinya." Itulah pesan ibu pada kami dan beliau selalu mengatakannya berulang – ulang. Seakan – akan dia meminta kami untuk terus mengingat kalimat itu.
Oke! Jadi ini ujian. Baiklah kalau begitu. Akan kubuktikan bahwa aku dan Near bisa melaluinya. Ibu, akan kutunjukan padamu Bu. Bahwa kedua putramu ini akan mampu melalui semua ujian yang akan Tuhan berikan pada kami.
Kudongakkan kepalaku. Kupejamkan mata. Angin berhembus pelan. Sejuk sekali. Aneh, padahal tadi dingin. Kubuka lagi kedua mataku. Aku tersenyum, entah mengapa tiba – tiba bibir ini ingin sekali tersenyum. Ibu, apa kau melihatku sekarang?
" Selamat malam ibu.." gumamku lirih.
End L P.O.V
Pagi hari yang cerah di kediaman keluarga L di Winchester, Inggris. Rumah keluarga L adalah rumah bergaya Eropa yang sangat indah. Rumah ini berada di peternakan Summer Springs yang terdiri dari sekitar 1.100 hektar dan terletak di lembah murni yang berbatasan pada tiga sisinya oleh tanah-tanah liar, namun hanya 10 menit berkendara ke pusat kotaWinchester. Peternakan ini merupakan harta pribadi terbesar milik keluarga L. Kediaman utama menerapkan gaya Eropa dengan perapian batu ganda, penggunaan kayu yang direklamasi, ekspansif dan teras luar yang sempurna untuk menghibur di tempat terbuka ini. Rumah berorientasi untuk menangkap pandangan matahari terbenam yang tak tertandingi. Ruang tamu yang terpisah dapat diakses melalui rumah utama atau melalui pintu masuk pribadi. Rumah ini juga memiliki dua kolam, halaman rumput terawat, dan lansekap dengan pemandangan terbaik di lembah sebagai latar belakang, tak lupa kebun bunga mawar yang terhampar menawan. Sungguh rumah yang sangat indah bukan.
Keluarga L merupakan salah satu keluarga yang dihormati di Winchester. Ayah L dan Near, Roger adalah seorang kepala polisi di kantor polisi utama di Winchester. Roger adalah sosok ayah yang tegas, keras, cerdas dan bertanggung jawab. Ia sebisa mungkin mengajarkan putra – putranya untuk menjadi pribadi yang disiplin dan kuat. Ia tidak suka orang yang lembek. Maka dari itu Roger mendidik putra – putranya dengan disiplin tinggi dan aturan kehidupan yang jika ditulis mungkin akan sama tebalnya dengan sebuah novel. Dan bagi siapapun yang melanggar, maka bersiaplah akan mendapat cercaan, dampratan, dan khotbah selama berhari – hari. Terkesan ayah yang mengerikan bukan. Tapi walaupun begitu dia adalah sosok ayah yang sangat penyayang. Dan ia akan lakukan apa saja untuk membuat keluarganya bahagia.
Near membuka matanya. Ia memandang sekelilingnya. Oh, rupanya ia berada di ruang tamu sekarang. Dia tertidur di ruang tamu semalam, entah mungkin pusing atau apa dia malas pergi ke kamar dan memilih tidur di ruang tamu yang lebih dekat. Near memandang keluar jendela raksasa dibelakangnya. Sudah pagi rupanya. Cuacanya cerah, sinar mentari terang sekali pagi ini. Diliriknya perapian, apinya sudah mati. Perlahan dia bangkit dari sofa, diregangkannya sejenak tubuhnya. Pegal. Itu yang dia rasakan. "Jangan tidur di sofa Near. Kau nanti sakit." Begitu dulu kata ibunya saat mendapati dirinya tengah tertidur di sofa ruang tamu.
Near merasakan napasnya kembali sesak. Ugh, perih sekali pikirnya. Setiap kali teringat ibunya, jantung seperti tertusuk duri. Pedih, sakit dan perih. "Near, kau tidak sekolah hari ini?" Tanya L yang tiba – tiba sudah didepannya. Near menoleh ke arah kakaknya. Onyx bertemu onyx. L memandangi bola mata onix itu. Dingin dan kaku adalah kesan utama dari bola mata sewarna malam itu. "Aku akan mengikuti upacara kelulusan besok. Haruskah aku berangkat hari ini." Kata Near seraya berdiri dihadapan L. Near memandangi perapian yang telah lama mati itu. Hening. Tidak ada yang berbicara.
"Terserah kau saja. Tapi ada baiknya kita sarapan. Aku dan ayah akan datang besok ke Arnold untuk melihat kelulusanmu." L kemudian berjalan ke arah pintu pribadi dan kemudian menghilang dibaliknya. Near menghela napas panjang. Ia tahu ia kurang bersikap baik pada kakaknya akhir – akhir ini. Tapi mau bagaimana, perasaannya sedang porak poranda sekarang. Ia benar – benar kacau. Entah apa yang akan ia perbuat selanjutnya.
Besok Near akan lulus dari Wammy's House. Sekolah itu berada di Arnold, sekitar dua ratus enam belas kilometer dari Katedral Winchester. Jauh memang, tapi bagaimana lagi, demi menggapai cita – citanya sebagai detektif, ia akan melakukan apa saja demi mewujudkan impian itu. Bahkan bila ia harus menempuh jarak ratusan kilopun, ia rela.
Okay, sedikit flashback tentang sosok L dan Near. Dimulai dari si sulung. L atau yang terlahir dengan nama L Lawliet. Seorang remaja berusia sembilan belas tahun. Tubuhnya tinggi, berkulit putih, bermata onix, selalu berpenampilan sembarangan di mana pun dia berada, berambut hitam jabrik dan berponi. L termasuk pemuda yang berwajah manis, sangat imut malah. Matanya indah,bulat dan besar, walau ada kantung mata dibawahnya, bulu matanya lentik, hidung mancung, dan bibir tipis berwarna merah muda, dan bila dipakai tersenyum, akan membius setiap perempuan yang melihatnya. L merupakan seorang kakak yang sangat perhatian, penuh kasih dan bertanggung jawab. Ia selalu mengutaman kepentingan Near. Apapun akan dia lakukan demi Near. Karena ibunya telah berpesan padanya untuk menjaga Near. Ia juga sangat cerdas, IQ berjumlah 200, lulusan terbaik Wammy's House. Dan setelah lulus ia bekerja sebagai detektif muda. Cukup banyak kasus yang menghampirinya. Dan semua bisa ia selesaikan. Serta bayaran tinggi dari pemerintahan yang cukup menjanjikan. Minimal enam ribu Pounsterling per kasus. Itu pun untuk kelas kasus mudah. Jika kasus yang diberikan semakin sulit, bayaran akan meningkat tajam. Markas yang dia pakai tak lain adalah rumahnya sendiri. Ada ruang khusus yang dipakai sebagai markas. Ruangan yang paling besar dan luas dibelakang rumah.
L tidak bekerja sendirian. Dia bekerja sama dengan kantor kepolisian ayahnya. Ada sekitar enam staf terbaik yang dipilih Roger untuk mendampingi putranya. Dan tak lupa segala macam peralatan yang mendukung penyelidikan. Mulai dari monitor raksasa, laptop, radio komunikasi, radar, antena parabola, bahkan senjata api berbagai jenis siap terhampar. Itu semua untuk menunjang karier L.
Lalu selanjutnya Near atau lebih tepatnya Nate River. Seorang remaja berusia enam belas tahun yang jenius. Kenapa bisa dikatakan jenius? Karena IQ anak itu adalah 200! Luar biasa? Memang! Terkejut? Wajar! Tapi apa mau dikata, itu adalah kenyataannya. Secara fisik, Near memiliki tubuh yang agak pendek, kulitnya sangat pucat, rambutnya berwarna putih dan berponi, matanya berwarna onix, hidung mancung, wajah tanpa cacat, bibir ranum, dan yah bisa dibilang makhluk yang tampan. Sama seperti sang kakak, Near juga bersekolah di Wammy's, sekolah khusus bagi calon detektif dan polisi. Selalu menjadi yang terbaik adalah kebiasaannya. Baik dalam pelajaran, kerja lapangan maupun olahraga sekalipun. Sifatnya hangat, ceria, tegar dan selalu berpikir positif. Tapi itu dulu, sebelum sang ibu meninggalkannya. Ia kini tak lebih dari seorang makhluk anti sosial. Perenung, pendiam dan sensitif. Itu adalah sederet kata yang cukup tepat untuk menggambarkan keadaan Near saat ini. Dan besok Near akan lulus. Itu artinya dia akan menyandang gelar sebagai detektif muda. Dan kemungkinan akan bekerja bersama L di markas besar mereka.
Near P.O.V
Aku berjalan menuju pintu pribadi yang dimana pintu itu akan menghubungkanku ke sebuah koridor yang akan membawaku ke ruangan – ruangan yang lain. Koridor ini bercabang menjadi dua bagian. Kiri dan kanan. Aku berbelok ke kiri, arah menuju kamarku. Kubuka pintu kamarku. Gelap sekali. Yah, aku memang mematikan lampu dan menutup jendelanya, sehingga kamar ini berkesan suram. Kuhela napas perlahan. Aku benar – banar tidak tahu harus berbuat apa. Pikiranku kacau total. Aku benar – benar tak sanggup berpikir.
BRUK
Kujatuhkan tubuhku ke tempat tidur bersprei putih ini, sprei yang seputih rambutku. Kulirik meja kecil disamping kanan tempat tidurku, ada dua buah foto disana. Masing – masing berbingkai kayu merah. Kupandangi foto pertama. Disitu tergambar seorang bocah berambut putih yang sedang digendong oleh bocah berambut hitam. Keduanya tampak bahagia. Si bocah berambut putih mengenakan piyama putih, dan bocah berambut hitam mengenakan piyama putih. Pecinta warna putih. Dibelakang mereka terdapat hamparan mawar merah yang sangat indah. Cuaca tampak cerah disitu. Kuulurkan tanganku meraih bingakai foto itu. Kubalik dan ada tulisan disitu : L and Near, 2002.
Aku tersenyum tipis memandangi foto kenangan manis itu. Saat bahagia yang menyenangkan. Kuletakkan foto itu kembali dan mengambil bingkai yang kedua. Tampak sepasang suami istri yang sangat bahagia. Si wanita mengenakan gaun berwarna merah, rambutnya panjang sebahu dan berwarna putih, walaupun samar tapi dapat terlihat bahwa matanya berwarna onix. Wanita itu tengah duduk di sofa bersama seorang pria yang mengenakan tuxedo, pria itu berambut hitam dan bermata onix. Keduanya tengah tersenyum dan tampak jelas raut bahagia disitu. Kubalik foto itu : 2003.Tidak ada nama, hanya tahun saja.
Bibirku menyunggingkan senyum pahit. Bagaimana tidak pahit? Hatiku sakit sekali. Rasanya baru kemarin foto ini diambil. Dan sekarang salah satu sosok difoto itu telah tiada. Ibu, bolehkah aku menyusulmu? Rasanya sepi tanpa dirimu. Pikiran itu datang lagi. Pikiran untuk mengakhiri hidupku sendiri. Konyol. Kukembalikan foto itu ke tempatnya semula.
Hmmm..., kepalaku berdenyut merdu. Pusing sekali. Dengan rasa malas kugerakkan kakiku menuju kamar mandi. Aku perlu mendinginkan kepalaku.
End Near P.O.V
L tengah mengaduk kopinya saat kemudian ia melihat adik semata wayangnya itu melangkah mendekatinya. Keduanya saling menatap. Onix vs onix. Near menarik kursi tepat didepan L. Diraihnya segelas susu dan langsung diteguknya hingga habis. L memandanginya heran. "Eh? Itu tadi belum diberi madu." Kata Charles seraya meminum kopinya. "Oh," sungguh respon yang sangat standar. Pikirannya sedang kacau, otaknya macet, panca indranya serasa mati. Ia bahkan tidak merasakan rasa susu tadi.
"Kau bilang tidak ingin masuk. Kenapa rapi sekali?" L heran dengan adiknya yang tiba – tiba muncul dengan seragam sekolahnya –setelan jas hitam dan dasi merah–.
"Aku bosan dirumah." Diliriknya kakaknya itu : sangat rapi, yah jika dibandingkan hari biasa dia bisa dibilang rapi. Kaus putih, celana jins hitam. Tak lupa sepatu kets putih –kali ini talinya diikat.
"Mau kuantar sampai Katedral? Hari ini aku harus menemui seseorang di Katedral Winchester. Kalau kau mau ikut, aku akan mengantarmu sampai Katedral dan menjemputmu nanti." L menawarkan. Near menghela napas, diraihnya sepotong roti bakar dan memakannya bulat – bulat. "Kau mau apa disana?" Terselip nada heran disitu, bagaimana tidak? Near tentu saja heran dengan kakaknya yang tiba – tiba mau pergi ke Katedral, seingatnya L bukanlah orang yang terlalu religius.
L mengunyah sepotong coklat. "Seperti biasa, investigasi." Katanya di sela – sela kunyahan. Near melirik kakaknya. "Kau seperti Mello.." katanya dengan nada sedikit jijik. L tertawa renyah. "Oh, Near my younger brother. Don't you remember? I'm a sugar addict."
Near menghela napas untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa kali ia melakukannya. L memang seorang pecandu gula. Dia menjadi pecandu sejak entah kapan, dia juga tidak ingat. Dan sejak itu dia hanya makan makanan manis. Dan tidak pernah lagi menyentuh yang namanya daging, telur, maupun ikan, sayur, buah maupun makanan normal lainnya. Atau bahkan apapun yang berbau tidak manis. Bahkan dia punya lemari es sendiri di kamar yang berisi makanan pemancing diabetes. Dan jika kau mengintip kamarnya, kau akan menemui segala hal bernuansa coklat –dia semakin mirip Mello. Benar – benar akan mengingatkanmu pada cake. Dari mulai dinding, korden, bingkai foto, kursi, handhone, laptop, botol parfum, handuk, ipod, tempat tidur dan karpet. Bahkan ia punya lampu LED yang mengeluarkan sinar coklat! Oh, sungguh sugar freak!
