"Gyaaa…" teriak Sakura histeris kemudian terbangun dari tidurnya. Keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya memburu, detak jantungnya pun berpacu dengan sangat cepat. Sekilas, ia menatap lemas jam yang tertempel di dinding kamarnya.

'Hah, ternyata sudah pagi,' gumamnya lalu berdiri dan segera membereskan tempat tidurnya—dan bersiap-siap untuk segera berangkat sekolah.

'Mimpi yang aneh.'

.

.

.

Death Day

Naruto © Masashi Kishimoto

.

Warning :

AU, OOC, Typo, M for Bloody, Ugly Language, etc.

Don't like? Don't read and don't FLAME

Keterangan :

Italic = flashback, kata-kata asing, dan kata-kata yang bermakna tertentu

.

.

.

© Ai Kireina Maharanii

.

.

.

Horror x Mystery x Crime x Any More

.

For FFC

.

.

Chapter 1 : Beetwen Us

.

.

Twoshot

.

.

Morning, at 05.30 a.m. Sakura's home.

Setelah melakukan semua aktifitas paginya seperti biasa, Sakura segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.

"Aku berangkat!" pamit Sakura pada ibunya yang tengah membereskan meja makan.

"Ya," respon ibunya singkat.

Sakura pergi ke sekolah seperti biasa—berjalan kaki—karena jarak sekolahnya tidak terlalu jauh. Ia berjalan menelusuri jalanan kota Tokyo yang masih sepi. Pantas, karena fajar pun belum nampak. Sedangkan Sakura—ia harus menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Pagi ini pun, ia harus pergi sendirian, karena biasanya ia selalu berangkat sekolah bersama Ino dan Ten-Ten—kedua teman akrabnya.

Dalam perjalanannya ke sekolah, Sakura terus merasa gelisah. Entah apa yang terjadi pada dirinya, karena ini sangat berbeda sekali dengan Sakura yang biasanya. Ia terus teringat akan mimpinya semalam.

Kresek

Sontak, Sakura segera menoleh ke belakang, "cuman kucing ternyata." Sakura pun menarik napas lega. 'Kenapa perasaanku tidak enak? Rasanya, ada yang terus mengikutiku sejak aku berangkat dari rumah,' batinnya kebingungan.

Sakura pun kembali meneruskan langkahnya yang sempat terhenti. Ia terus berjalan dalam diam. Tak terasa, ia pun sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia menatap lekat-lekat sekolahnya sebelum masuk.

Sepi. Itulah pemandangan yang pertama kali Sakura lihat. Tidak banyak siswa yang datang sepagi ini—kecuali siswa yang akan mengerjakan tugas sepertinya.

Dengan langkah kaki yang sedikit berat, Sakura pun memasuki sekolahnya. Ia terus berjalan memasuki gedung sekolah, kemudian menaiki tangga untuk menuju ke lantai dua—dari tiga lantai yang tersedia. Ya, tentu. Karena Sakura adalah siswi kelas 2, tepatnya 2IPA 1.

Hening terus menyelimuti perjalanannya. Hanya suara hentakan sepatu kats hitamnya saja dan sedikit gemelisik angin yang menemaninya. Sesekali, ia menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk mencari kehangatan. 'Siswa kelas dua belum ada yang datang ternyata,' gumamnya dalam hati.

Praangg

Sakura tersentak kaget. Hampir saja ia terjatuh dari tangga yang dinaikinya untuk menuju lantai dua. Ia pun kemudian menoleh ragu-ragu.

"Hah."

Ternyata hanya suara seekor kucing yang menjatuhkan kaleng di pojok ruangan. Untunglah, kali ini Sakura bisa kembali bernapas lega—karena hampir saja ia menjerit ketakutan. 'Siapa sih yang nyimpen kaleng di sana? Gak ada kerjaan banget!' rutuknya dalam hati.

Sakura kembali melanjutkan perjalanannya. Hawa dingin kembali menusuk ke dalam setiap susunan urat sarafnya. Terkadang, ia menggigil kedinginan. Dan suasana yang sedikit gelap ini memperlambat langkah kakinya.

Tap

Hentakan terakhir sepatu Sakura yang telah sampai di koridor lantai dua—beberapa meter dari kelasnya. Sakura melihat ke kanan dan kirinya untuk memastikan bahwa dia di sini sendirian atau tidak.

Baru saja berjalan beberapa langkah, Sakura kembali menghentikan langkah kakinya tepat di depan kelas 2IPA 3. Ia melihat sesuatu yang sangat asing baginya. Sesosok gadis berambut kuning pirang yang dikuncir empat tengah duduk dengan kepala ditenggelamkan di kedua tangannya.

Tanpa diperintahkan, gadis itu pun mendongakkan kepalanya. Ia tersenyum getir pada Sakura. Terlihat, wajah putih pucatnya yang sangat ayu, namun penuh luka sayatan. Beberapa diantaranya mengeluarkan likuid merah kental. Rambutnya yang dikuncir itu, nampak berantakan. Bajunya terlihat begitu usang dengan sobekan di sana-sini terutama di bagian dadanya yang sedikit terbuka, memperlihatkan asal likuid kental yang merembes di bajunya. Tepat. Di belahan dadanya itulah asal likuid merah kental anyir itu mengalir dengan derasnya. Tak luput dari itu semua, tubuhnya pun sama halnya—penuh dengan luka sayatan dan berlumuran likuid yang sama.

Glek

Sakura menelan ludah tak percaya. Ia kembali teringat gosip usang tentang kakak kelasnya yang meninggal di kelas tersebut—tiga tahun silam. Kini, perasaan hatinya tak menentu. Meskipun sedikit gelap, tapi Sakura bisa melihat dengan jelas sosok gadis itu. Ditambah lagi dengan hawa dingin yang terus menusuk urat sarafnya, dan juga suara gemelisik angin yang terus membisikkan kalimat demi kalimat yang tidak jelas.

Sakura berusaha mengacuhkannya. Ia memalingkan wajahnya lurus ke depan untuk meneruskan langkah kakinya. Sedetik itu juga, ia melihat seseorang berada di hadapannya dan sedang melihat tajam kearahnya.

"Kyaaa…" Sakura jatuh terduduk dengan keringat mengucur deras seperti baru saja berolahraga. Nafasnya memburu menahan rasa takut. Suaranya menggema di seluruh penjuru koridor sekolah. Tubuhnya bergetar hebat saat ia mengetahui bahwa ada yang mendekatinya. Ia hampir saja menangis, saat tangan seseorang yang sangat dingin menyentuh pipinya.

"Sakura," ucapnya, "bukalah matamu."

Sakura yang masih diselimuti rasa takut mencoba membuka matanya. Seketika itu pula, ia berblushing ria. Seakan rasa takutnya menghilang begitu saja. "Se-Senpai?"

"Hn, kenapa?"

"Eh, ti-tidak. Aku hanya takut saja," jawab Sakura dengan suara yang sangat gemetar. "Sasuke-senpai sedang apa ada disini?"

Ternyata, orang yang mendekatinya adalah Sasuke—senpainya sendiri.

"Hn, tidak apa-apa," jawab Sasuke kemudian berdiri dan meninggalkan Sakura yang masih ketakutan.

Baru saja Sakura menghela napas lega, Sasuke langsung terhenti dari jalannya dan kembali menatap Sakura tajam. "Berhati-hatilah," pesan Sasuke kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya dan menghilang di ujung koridor. Sebuah senyuman tipis menghiasi wajah stoic-nya.

Sakura pun segera berdiri dengan tubuh yang masih gemetar dan rasa takut yang semakin menjadi. Apalagi setelah mendengar ucapan Sasuke tadi. Kembali, ia melihat ke dalam kelas tadi—mencari sesosok makhluk misterius yang tadi di lihatnya—namun, hasilnya nihil. Disana kosong. Tidak ada orang lain lagi selain dirinya yang berada di luar kelas.

Gemelisik angin terus menyapu tengkuk Sakura yang sebenarnya sudah sangat dingin. Cepat-cepat ia berlari memasuki kelas, dan segera mengerjakan tugasnya—karena hari sudah mulai siang.

"Bagus," gumam seseorang di balik pintu—setelah Sakura memasuki kelasnya—

.

.

.

"Sakura," sapa Ino ramah seperti biasanya kemudian duduk di bangku sebelah Sakura. "Kamu kenapa, Ra?"

Sakura menjawabnya dengan senyuman miris. "Tidak. Aku baik-baik saja," dustanya.

"Bagaimana tugasmu? Sukses kan?"

"Begitulah," jawab Sakura malas. Sebenarnya, ia tak mau lagi mengulas kejadian tadi pagi.

"Hai!" sapa Ten-Ten yang baru saja memasuki kelas.

"Ten-Ten, tumben datangnya siang?" celetuk Ino.

Ten-Ten tertawa garing, "hehehe… begitulah. Semalaman aku tidak bisa tidur."

"Aku tahu, pasti kamu habis jalan sama Neji-senpai kan?" ledek Ino.

Wajah Ten-Ten pun memerah seketika. "Ti-tidak. Neji-senpai sedang sibuk dengan urusannya di klub judo," elaknya.

"Hahaha, ya sudahlah. Ra, kamu kenapa sih? Jawab dong! Daritadi aku lihat kok diam terus?" kata Ino lagi dengan cemas. Bagaimana tidak, Sakura yang biasanya amat sangat cerewet, kini menjadi diam seribu kata.

"Tidak. Aku hanya sedang berpikir saja." Sakura berusaha tersenyum semanis mungkin. "Rasanya… ada yang aneh."

"Aneh?" jawab Ino dan Ten-Ten kompakan.

"Ya. Entah kenapa, sejak semalam aku terus berpikiran seperti itu. Bahkan, aku pun tidak bisa tidur semalam," kata Sakura sambil menatap lekat-lekat kedua wajah sahabatnya.

"Tuh kan…," sambung Ten-Ten.

"Udahlah Ra, jangan dipikirin. Aku juga sama kok. Dari kemarin perasaanku gak enak terus," ujar Ino menenangkan kedua sahabatnya.

Deg

Tiba-tiba saja Ino merasakan sesuatu yang tak enak. "Kemarin kan…," Ino menggantungkan kalimatnya.

"Kenapa?" tanya Sakura penasaran.

Ino menatap sayu kearah Sakura dan Ten-Ten. Ia baru saja teringat akan hal ini. 'Bodoh, kenapa aku baru sadar?' pikirnya.

"Ino?" Ten-Ten berhasil membuyarkan lamunan Ino.

"Kemarin…," kata Ino. Suaranya mulai sedikit bergetar. Wajahnya pun mulai terasa panas.

"Kemarin itu hari minggu Ino…," kata Sakura yang merasa bosan.

"Bukan itu Ra. Kemarin kan, hari di mana Dei-nii pergi…," ucap Ino. Kali ini, ia tak bisa berbohong untuk tidak menangis. Karena airmatanya sudah mengalir membasahi pipinya.

"Deidara-nii ya. Itu berarti…," Sakura ikut menundukkan kepalanya.

"Tiga tahun sudah gosip itu menyebar di sekolah ini," tambah Ten-Ten.

"Benar," kata Ino kemudian mengusap air matanya. "Dan tiga tahun pula kepergian Tema-senpai yang kematiannya pun sangat misterius. Bahkan, sampai sekarang pun jasadnya tidak di temukan."

"Aku ingat," Ten-Ten kemudian duduk di bangkunya yang berada tepat di depan Sakura dan Ino. "Kata orang, sebelum dendamnya terbalaskan, dia akan terus menerror sekolah ini setiap tahunnya di hari yang sama."

"Dendam, terror. Maksud kalian?" kata Sakura keheranan. Sungguh, menjadi murid baru di sekolah ini awal semester lalu, membuatnya tidak begitu terlalu mengenal sekolah ini. 'Apa kejadian tadi pagi ada hubungannya yah?' batin Sakura bingung.

"Jadi, Temari-senpai akan terus menghantui sekolah ini sampai dia membalaskan dendamnya pada orang itu. Dan satu-satunya yang mengetahui sejarah ini hanyalah Naruto-nii yang pada saat itu ada di lokasi. Atau mungkin—" Ino menggantungkan kalimatnya. "—Gaara-senpai dan Sasori-senpai yang notabene-nya adalah saudara dekat Temari-senpai."

"Setahuku, Gaara-senpai adalah adiknya. Dan Sasori-senpai adalah saudara mereka. Dan mereka semua pun, sama-sama berasal dari kota Shibuya. Bukan berasal dari Tokyo. Temari-senpai pindah kesini saat ia kelas tiga SMA. Sedangkan Gaara-senpai dan Sasori-senpai masih kelas tiga SMP. Sedangkan Naruto-nii, dia dulu adalah anak kelas satu yang kebetulan ada di sekolah dan belum pulang. Dan setahuku lagi, dia sekarang berkuliah di Paris." Ten-Ten menambahkan.

"Lalu, apa hubungannya dengan Deidara-nii? Bukankah… dia Anikimu Ino?" Sakura semakin bingung, walaupun ia sudah mengetahui gosip ini. Tapi, itu hanya sedikit saja. Sangat sedikit.

"Benar. Dei-nii adalah Anikiku. Dia meninggal tepat pada saat Temari-senpai meninggal juga. Dan Dei-nii pun meninggal di sekolah ini bersama kedua temannya. Yakni, Itachi-nii—aniki Sasuke dan Hidan-nii teman sekelas mereka. Saat itu, Nii-san bilang padaku kalau dia akan pulang malam karena ada pelajaran tambahan," ucap Ino pelan.

"Kaa-sanmu, tidak tahu pada saat itu?" Sakura semakin tertarik untuk memecahkan masalah ini.

"Tidak. Kaa-san dan Tou-san sedang berada di London karena ada urusan bisnis, pada saat itu. Mereka tahunya setelah Dei-nii meninggal." Ino merasakan pipinya basah kembali.

"Lalu?"

Ten-Ten menepuk pelan pundak Sakura. "Tidak ada yang mengetahuinya lagi. Tidak ada yang tahu sebab dan bagaimana kejadian ini bisa terjadi. Kecuali… mungkin kita harus menanyakannya pada senpai-senpai kita."

"Hah? Apa kau gila Ten-Ten? Mereka bertiga kan murid yang sangat populer di sekolah ini. Mereka pun di kenal sebagai siswa yang cukup pendiam dan misterius bukan?" Sakura menaikkan sebelah alisnya.

Dengan cepat, Ten-Ten mentup kedua telinganya yang terasa akan pecah mendengar teriakan Sakura yang tanpa aba-aba tadi. "Benar. Dan untungnya, semua murid yang ada di sekolah ini belum ada yang tahu bahwa Ino adalah adiknya Dei-nii kecuali kita dan semua guru." Intensitas nada suara Ten-Ten mengecil seketika.

"Tapi kenapa?"

"Karena aku adalah incarannya. Maka dari itu, sejak aku masuk sekolah ini, identitasku selalu di rahasikan." Ino menghela napas panjang. "Mungkin sekarang, identitasku tak akan rahasia lagi."

"Tapi kenapa harus kamu, Ino?" ujar Sakura sedikit emosi.

"Aku juga tidak tahu." Ino menjawab lemas. "Ra, Ten, Kakashi-sensei sudah datang. Nanti kita lanjutkan lagi."

"Eh," Sakura dan Ten-Ten berseru bersama-sama kemudian duduk dengan sikap sopan dan siap untuk menerima pelajaran.

"Hmmm, informasi yang menarik. Dan akhirnya…" gumam seseorang yang sedari tadi memperhatikan Ino—sebelum Kakashi datang.

.

.

.

Teng … teng …

Jam belajar pun berakhir tepat pada pukul tiga siang. Semua siswa segera bersiap-siap untuk pulang. Suasana kelas menjadi sangat riuh. Namun, sebelum semua murid di kelas Sakura keluar, ada dua orang murid laki-laki memasuki kelas Sakura—setelah meminta ijin pada guru yang pada saat itu sudah selesai mengajar.

"Selamat siang semuanya," sapa seorang laki-laki yang diketahui sebagai seorang ketua OSIS itu membuka pembicaraan. Dan suasana kelas pun langsung berubah menjadi hening.

"Sakura, emang hari ini ada jadwal sumbangan yah?" bisik Ino tepat di telinga Sakura.

"Nggak ada deh perasaan," jawab Sakura sedikit bingung. 'Ada apa ya?'

"Kami hanya ingin menyampaikan pada kalian, bahwa besok adalah saatnya pemilihan Ketua OSIS yang baru. Diharapkan, semua murid datang pada pukul delapan pagi," kata Sasori—sang ketua OSIS yang sebentar lagi akan turun jabatannya.

"Dan bagi anggota OSIS, terutama para kandidat Ketua OSIS selanjutnya, harap berkumpul di ruang OSIS sekarang," kata Sasuke—sang wakil ketua OSIS menambahkan.

"Dan sekarang, inilah profil lengkap para kandidat ketua OSIS selanjutnya," ujar Sasori lalu membagikan lembaran kertas itu pada semua murid dan diikuti Sasuke.

Tepat pada saat Sasori berpapasan di bangku Sakura, ia berkata, "Selamat ya Sakura kamu terpilih."

"Tapi ini kan masih calon Senpai…," jawab Sakura sambil sedikit tersenyum malu. 'Aku sampai lupa kalau besok adalah pemilihan Ketua OSIS,' batin Sakura tersenyum malu.

"Semoga sukses!"

"Arigatou Senpai…"

Sasori pun segera menyelesaikan tugasnya membagikan kertas tersebut, lalu kembali ke depan.

"Terima kasih semuanya," ucap Sasori ramah kemudian pergi meninggalkan kelas Sakura.

"Ra, kayaknya Sasori-senpai suka ke kamu tuh," ledek Ino saat akan keluar dari kelas.

"Mana mungkin. Dia emang dasarnya udah baik kok," elak Sakura yang sebenarnya pernah menyimpan sedikit perasaan pada Sasori. Pernah, eh?

"Ya udah Ra, aku pulang duluan yah! Jaa—" pamit Ino kemudian pergi meninggalakan Sakura dan Ten-Ten—yang juga anggota OSIS di dalam kelas.

"Ayo Ra!" ajak Ten-Ten lalu pergi bersama-sama menuju ruang OSIS.

.

.

.

"Terima kasih sudah mau datang semuanya," kata Sasori dengan senyuman khasnya.

"Ya," jawab semuanya serempak.

Rapat pun berjalan dengan santai dan berlangsung cepat karena rapat kali ini hanya membahas mengenai acara besok saja.

"Jadi, besok kalian semua berpakaian seperti biasa, yakni berseragam putih hitam. Dan bagi para kandidat, tolong persiapkan semuanya dengan baik yah. Mulai dari kesehatan jasmani dan rohani. Semoga sukses semuanya!" ujar Sasori menarik kesimpulan sekaligus menutup rapat kali ini.

"Ya." Semua yang berada di sana pun segera meninggalkan ruang OSIS—begitu juga Sakura dan Ten-Ten yang biasa pulang bersama-sama.

"Sakura, semoga sukses yah!" ucap Hinata—kakak kelas mereka berdua—saat akan mengunci pintu ruang OSIS.

"Arigatou Senpai," kata Sakura sambil tersenyum sangat manis.

"Pulanglah cepat, karena hari sudah mulai malam," kata Sasuke yang keluar paling akhir dari dalam ruang OSIS.

"I-iya Senpai," kata Sakura sedikit tergagap.

"Hn," respon Sasuke singkat kemudian pergi meninggalakn mereka semua.

"Hinata-senpai, kami pulang duluan ya," pamit Ten-Ten kemudian pergi bersama Sakura keluar dari gerbang sekolah, dan meninggalkan Hinata sendiri di dalam sekolah yang sudah sepi.

"Cih." Terdengar suara seseorang yang mendecih ketika semuanya sudah bubar—termasuk Hinata—

.

.

.

"Ten, kamu nginep aja ya di rumah aku?" pinta Sakura ketika mereka akan berpisah di pertigaan jalan.

"Emang kenapa Ra?" tanya Ten-Ten bingung. "Emang Kaa-san sama Tou-sanmu berantem lagi?"

"Bukan gitu. Ada yang mau aku bicarain, Ten. Penting!" tegas Sakura.

"Bukan aku gak mau Ra. Tapi gimana kalo Kaa-san nyariin aku?"

Sakura memutarkan kedua emerald-nya bosan. "Ya tinggal ditelpon aja. Bilang kalo kamu nginep di rumah aku."

"Hah, iya deh." Ten-Ten menghela napas pasrah.

"Sekarang, ayo pulang."

.

.

.

Night, in Sakura's home.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarain Ra?" tanya Ten-Ten setelah mandinya selesai dan sudah memakai baju.

"Ten, kamu ngerasa ada yang aneh nggak, sama Ino—sejak kita ngomongin masalah Temari-senpai itu?" Sakura mulai membuka pembicaraan.

"Hmmm…" Ten-Ten terlihat berpikir. "Sepertinya iya. Kayak ada… yang disembunyiin Ino dari kita, Ra."

"Apa ya?"

"Menurutku sih, soal kematian Dei-nii, ya nggak? Soalnya kematiannya begitu misterius," kata Ten-Ten dengan sedikit gerakan tangannya yang memutar—seperti sedang menunjukan sesuatu. "Dan soal… dia yang jadi inceran si pembunuh itu."

"Iya."

Crack, slash.

"Kyaaa…" jerit Sakura dan Ten-Ten histeris.

"Ra, kok mati lampu?" Ten-Ten berusaha mencari ponselnya untuk memberikan sedikit penerangan.

"Nggak tau. Haduh, mana Kaa-san sama Tou-san pergi lagi," kata Sakura cemas.

Ctarrr…..

Suara petir tiba-tiba saja menggelegar dengan kerasnya. Membuat Sakura dan Ten-Ten saling berpelukan satu sama lain. Kilat pun dengan setia menemani mereka.

"Ten, kenapa kamu meluk aku?"

"Gomen-gomen… habis, aku takut sih. Di rumah aku kan nggak pernah mati lampu," tutur Ten-Ten sambil melepaskan pelukannya.

"Masa'sih Ten?" kata Sakura tak percaya.

"Aku kan pake generator," jawab Ten-Ten sambil sedikit tertawa.

"Yah, kalo itu sih, aku juga punya Ten."

"Ya udah, hidupin dong!"

"Hmmm… aku nggak tahu di mana tempatnya. Kalau mau, ayo antar aku," tawar Sakura yang langsung disetujui Ten-Ten.

Namun, baru saja Sakura dan Ten-Ten berdiri, tiba-tiba suara petir tadi kembali menggelegar. Tapi kini disertai gemuruh angin yang kencang dan hujan yang turun dengan deras. Sontak, kedua gadis itu pun segera jatuh kembali ke atas kasur.

"Ten, perasaan ramalan cuaca hari ini bakalan cerah deh?" kata Sakura dengan suara yang cukup bergetar.

"I-iya," Ten-Ten yang sudah sangat takut pun tak dapat berkomentar apapun selain diam.

"Ayo kita cari lagi," ajak Sakura kemudian berdiri bersama Ten-Ten, dengan hanya mengandalkan penerangan seadanya dari ponsel milik Ten-Ten, karena ponsel miliknya sedang dalam keadaan lowbat.

"Ra, kita mau kemana?" kata Ten-Ten yang berada di belakang Sakura dengan keadaan tubuh bergetar hebat.

"Dapur."

Ten-Ten melihat sekelilingnya yang gelap lalu menangkap bayangan manusia tengah berdiri tepat di depan jendela dapur. "Ra, kita di sini cuman berdua kan?"

"Iya, emang ada apa sih?" Sakura segera membalikkan badannya menghadap Ten-Ten.

"I-itu…," kata Ten-Ten sambil menunjuk ke arah bayangan tadi.

Ctaaarrrr…

Diselingi suara petir tadi, bayangan itu terlihat mulai mendekat. Dalam penerangan yang seadanya ini, membuat mereka berdua terlihat bingung dan semakin takut.

Ctaaarrr…

Suara petir berikutnya, dan bayangan itu pun semakin terlihat mendekat ke arah kedua gadis ini.

"Ra, lari…," perintah Ten-Ten kemudian berlari mencari jalan keluar dengan tangan masih menggandeng Sakura.

"Ten, mau kemana? Ini tempat masak. Nggak ada jalan lagi," bentak Sakura yang sama-sama takutnya. Sementara bayangan tadi terus mengikuti mereka.

"Apa?" Ten-Ten menghentikan langkahnya.

"Iya. Gimana nih?"

"Cari pisau atau apalah cepet."

"Buat apa ?" kata Sakura yang heran melihat Ten-Ten yang sibuk mencari-cari pisau.

Ctaaarrr…

Petir berikutnya menampakkan bayangan tadi yang terlihat semakin mendekat. Dan suara gemuruh hujan serta angin yang kencang membuat ruangan ini serasa kedap suara untuk berteriak.

"Cepet…," kata Ten-Ten lagi.

"Eh, iya…" sekarang, Sakura pun sama sibuknya dengan Ten-Ten mencari pisau.

"Dapat," kata Ten-Ten kemudian membalikkan badannya. "Shit!" umpat Ten-Ten.

Ternyata, bayangan itu sudah berada di depan mereka—hanya berjarak sekitar dua meter saja. Matanya berkilat tajam penuh amarah. Dan seringai tipis terlihat samar di wajahnya.

"Mau apa kau?" kata Sakura geram sambil mengacungkan pisau yang telah berhasil didapatkannya.

Tak ada jawaban dari bayangan tersebut, hanya tindakannya saja yang terus mendekati kedua gadis ini.

"Mati kau…," ujar Ten-Ten sambil melemparkan pisaunya.

Tapi sayang sekali, pisau itu tidak mengenai kulitnya sedikitpun.

"Cih, apa maumu?" bentak Sakura semakin kencang seiring dengan suara petir dan angin yang terus bergemuruh.

Ctaaarrr…

Bayangan itu tetap saja tidak merespon. Ia tetap berjalan pelan mendekati Sakura yang satu langkah lebih depan dibandingkan Ten-Ten. Terlihat samar, ia mengacungkan sebuah katana yang mengkilap di tengah cahaya petir yang menggelegar.

"Ra…," Ten-Ten menelan ludah tak percaya. "Di-dia bawa katana, Ra."

"Hah, apa? Bagaimana ini?"

"Kaa-sanmu, kapan pulang?" ucap Ten-Ten tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.

"Nggak tahu."

Bayangan itu pun semakin dekat dan dekat, dan…

Ctaaarrr…

"Kyaaa…"

.

.

.

"Belum tidur Ra ?" kata Ten-Ten yang sedang memandangi hujan yang begitu deras mengguyur kota Tokyo malam ini di balik jendela.

"Belum."

"Kenapa? Masih kepikiran yang tadi yah?"

"Iya." Sakura kemudian bangun dan duduk di pinggir Ten-Ten. "Lagian, aneh juga. Kok di musim semi gini ada hujan yang sederas ini sih?"

Ten-Ten mengangkat bahunya tidak tahu. "Aku juga aneh."

"Menurutmu…," kata Sakura sambil meminum segelas coklat hangat yang tadi dibuatnya sebelum tidur. "… apa ini gara-gara tadi kita membicarakan soal Dei-nii dan Temari-senpai ?"

"Mungkin saja."

Sakura menghela napas panjang. "Untung saja kita selamat."

"Iya."

.

.

.

Brakk

Cklek

Traaang

"Hahh… hahh…," deru napas Sakura dan Ten-Ten yang terengah-engah.

Ctaaarrr…

Slash

Seketika itu juga, lampu kembali menyala.

"Kaa-san…," teriak Sakura kemudian berlari menghampiri Tsunade yang baru saja masuk dari pintu belakang.

"Ada apa ini Sakura? Kenapa berantakan?" kata Tsunade sambil mengelus-ngelus punggung Sakura.

"Ada pembunuh…," kata Sakura gemetar.

"Pembunuh?" Shizune yang datang bersama Tsunade pun berkomentar lalu mendekati Ten-Ten yang duduk dengan wajah amat pucat. "Kamu baik-baik saja?"

"I-iya…," jawab Ten-Ten yang masih tetap bergeming di tempatnya.

"Sekarang cepatlah tidur. Hari sudah mulai malam. Urusan dapur, biar Kaa-san yang bereskan," kata Tsunade lembut lalu pergi menuju meja makan.

"Baik Kaa-san…," jawab Sakura pelan. "Oh ya, Tou-san mana?"

"Tou-sanmu tidak pulang malam ini. Dia masih ada pekerjaan di kantornya."

"Hmmm."

"Sakura, apa kamu sudah makan?" ujar Tsunade sebelum Sakura pergi.

"Sudah. Ayo Ten…," ajak Sakura pada Ten-Ten yang masih terduduk dengan lemas.

"A-ayo…"

.

.

.

"Sekarang ayo cepat tidur, Ra. Besok kan kamu harus siap-siap untuk pemilihan ketua OSIS yang baru," kata Ten-Ten kemudian membaringkan tubuhnya ke atas kasur, lalu segera mengatupkan kedua kelopak matanya untuk terlelap.

"Iya."

.

.

-Death Day-

.

.

Morning, at 08.00 a.m, SMAN 1 Tokyo

"Ohayou Sakura!" sapa Sasori ramah pada Sakura yang tengah duduk di kursi yang telah disediakan panitia—untuk para calon ketua OSIS berikutnya—

"Ohayou!" sapa Sakura ramah seperti biasanya dan tak lupa sebuah senyuman kecil ia lontarkan.

"Hn, mana para kandidat lainnya?" ucap Sasuke yang tadi datang bersama Sasori.

"Tidak tahu. Kalau Shino, tadi kulihat dia sedang berjalan bersama Sai," jawab Sakura sedikit pelan, karena jika ia melihat Sasuke, maka ia pun akan langsung mengingat kejadian tempo hari.

"Oh! Baiklah, aku permisi dulu. Sebentar lagi acara akan dimulai. Dan kau Sasuke, tolong umumkan pada semua kandidat agar segera berkumpul," kata Sasori lalu pergi meninggalkan Sasuke dan Sakura berdua.

"Hn." Sasuke pun segera pergi menuju ruang guru untuk mengumumkan.

'Syukurlah,' batin Sakura lega.

Acara pun dimulai dengan pidato dari masing-masing kandidat, kemudian dilanjutkan dengan pemilihan ketua OSIS dengan cara pemungutan suara layaknya pemilu. Acara hari ini, berlangsung dengan meriah.

Seiring dengan berjalannya pemilihan, waktu pun terus berlalu dengan cepat. Tak terasa, sang penghitung waktu sudah menunjukkan pukul satu siang.

"Sudah saatnya," gumam seseorang di balik tirai yang menutupi sebagian kelas yang dipakai untuk pemungutan suara.

~~ To Be Continued ~~

Author's Note :

Kyyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…*plakk

Aadduuuhhhh…*megang jidat

Kepala Ai pusing banget nih…*Derita Lo* kok bisa yah, Ai bikin cerita yang superrrrrrrr ancur. Plot-nya acak-acakan, ending-nya ngegantung gila-gilaan… (?) ceritanya aneh pula. Terus, deskripsi abal….. ditambah EyD yang nggak bener dikitpun… T_T –pundung-

Oke minna, bagaimana fic Ai kali ini? Akh, iya. Sekedar ngasih tau, kalo ini tuh fic ratem pertama Ai. Bloody pertama juga. Jadi, mohon maaf ya kalo ceritanya aneh sangat….-gak penting-

Oh ya, horror-nya gimana? Sebelumnya, Ai juga mau nanya, ini fic pantes ke ratem nggak sih? Pantes di horror nggak? Lagean, kayaknya disini tuh belum muncul ya horror-nya…? Haihhh….. -_-

Ckckckck, maaf minna kalau mengecewakan sangat. Boleh minta concrit EyD, de el el nggak? Solanya Ai paling nggak mudeng soal EyD… meskipun udah berapa kali baca buku panduan sama belajar dari sana-sini juga, tapi tetep aja….-lo emang lemot-

Ini fic Ai persembahkan untuk FFC. Dan mohon maaf lagi ya yang sebesar-besarnya kalau ini aneh. Lagian ini fic twoshot kok- soalnya kalau dibikin oneshot kepanjangan…..

Hiks, akhir kata, Ai minta RnR + CnC yang seikhlasnya ya dari reader… apapun itu akan Ai terima dengan lapang dada. Tapi dengan syarat itu bukan flame yah?

Karena, dengan reader mem-flame Ai, berarti reader itu nggak mau ada kemajuan dari Ai. Yah, Ai pikir sih ya, daripada nge-flame yang gak jelas, mendingan juga ngasih kritik atau sarannya. =w=

Baiklah minna, akhir kata jangan lupa tinggalkan jejak bahwa anda telah membaca fic abal nan aneh ini…..

Arigatou,

Sincerely,

Ai Kireina Maharanii

See you next chappie…^^