Yang Terindah dan Terakhir
.
.
Ch 1 : Detik-Detik Terakhir
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
.
.
Warning :
AU, OOC, Abal, Typo's, Ugly diction, etc.
Don't like? Don't read and don't flame.
.
.
.
.
.
.
.
Italic = flashback, kata-kata asing, dan beberapa kata yang bermakna tertentu.
.
.
.
.
Italic + bold = penggalan puisi
.
.
.
.
Bold = penggalan puisi dan kata-kata yang bermakna tertentu.
.
.
.
Twoshot
.
.
.
Terinspirasi dari lagunya Lyla, yang Detik Terakhir, sama ada sedikit lyric Wind dari Akeboshi.
.
.
.
.
.
Sasuke x Sakura always
.
.
.
© Ai Kireina Maharanii
.
.
.
.
.
Aku berharap…
Setiap waktu yang kita jalani bersama,
Kan menjadikan sebuah 'kenangan terindah' dalam hatiku…
Selamanya, cinta ini hanya untukmu…
Hanya…
Untukmu…
.
.
.
Paris, 27th March at 04.45 a.m.
Satu bait puisi itu kembali tertuangkan pada sebuah tulisan di dalam layar laptop, sang pemiliknya. Ia menatap sebentar, bait demi bait puisi yang pernah diciptakannya. Tersirat, rasa perih yang mendalam di hatinya.
"Hn."
Ia bergumam pelan. Kembali ia, berkutat dengan layar laptponya untuk menciptakan beberapa bait puisi lagi. Memang benar, ia bukanlah seorang yang puitis. Namun, ia berusaha menjadi seorang yang puitis. Ini semua, ia lakukan demi seseorang yang special di hatinya. Dan puisi ini, adalah sebuah hadiah terindah di hari ulang tahun sang gadis, dan juga sebagai kenangan terakhirnya.
Tap… tap…
Terdengar derap langkah seseorang yang masuk ke dalam kamar pemuda beriris onyx ini.
"Sasuke," ucapnya pelan.
"Hn."
"Hari sudah mulai pagi. Apa kau belum tidur?" ucapnya lagi kemudian duduk di kursi sebelah pemuda tadi—Sasuke.
"Hn."
Sasuke kembali berkutat dengan laptop hitam kesayangannya. Iris onyx-nya pun terlihat sangat serius. Kembali ia, menciptakan bait-bait puisi terakhirnya.
Aku tak ingin kau bersedih…
Kenanglah aku, dalam sebait puisi ini…
Karena aku selalu untukmu…
Selamanya…,
Untukmu…
"Sasuke, itu adalah puisi yang indah. Kau pasti menulis puisi ini untuk Sakura kan?" pria tadi kembali bertanya.
"Hn." Sasuke kembali menatap bait-bait puisinya. "Itachi…"
"Ya?" jawabnya—Itachi Uchiha, satu-satunya keluarga Sasuke yang masih ada.
"A-apakah hari i-ini aku terapi la-lagi?" tanya Sasuke lirih.
"Tentu." Itachi menjawab ringan sambil tersenyum miris.
.
.
.
Setiap ribuan detik yang telah kita lalui…
Menempatkanmu, sebagai sesuatu yang begitu indah,
Dalam hatiku…
.
.
.
"Sakura?"
"Ya?" Sakura—kekasih Sasuke—menoleh pelan menghadapnya—Sasuke yang berada di sampingnya. Kini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Bagaimana kuliahmu?" kata Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar laptop hitamnya.
Sakura tersenyum miris, "menyenangkan. Hanya tinggal menunggu kelulusan saja."
"Hn."
Hening.
Suasana kembali hening. Tak ada satu pun di antara mereka yang membuka pmbicaraan—hingga mereka tiba di rumah sakit.
"Sakura."
"Ya?"
"Apa kau masih mencintaiku?"
"Tentu Sasuke. Selamanya, aku akan selalu mencintaimu," jawab Sakura dengan mata yang mulai berkaca-kaca. 'Aku tidak boleh menangis.'
Mereka berdua pun berjalan menuju ruang terapi. Hening. Selalu hening—setidaknya setelah Sasuke sakit—. Tak ada yang bersua sedikitpun. Yang terdengar hanyalah suara para pasien lainnya, dan hentakan kaki Sakura yang mendorong kursi roda Sasuke. Kursi roda, eh? Tentu. Sasuke lumpuh. Ia lumpuh pada saat ia mulai terkena penyakit mematikan ini. Sekarang, sudah sampai batas tubuhnya menahan rasa sakit ini. Sasuke tahu. Terapi ini hanya menghabiskan uang dan membuang-buang waktunya saja. Ia tahu, waktunya sudah tidak lama lagi. Tidak lama…
.
.
.
Tahukah engkau?
Masa lalu itu, begitu berharga bagiku…
Masa kini, begitu menyakitkan untuk aku ungkapkan…
Dan, masa depan…
Adalah secarik harapan yang kudambakan…
Meskipun,
Itu mustahil aku dapatkan…
Mustahil…
.
.
.
BRUUKK
"Sasuke, apa kau baik-baik saja?" kata Sakura cemas.
"Hn." Sasuke mencoba kembali berdiri lagi. Meskipun rasa sakit terus menyerang neuron motorik-nya.
"Ayo Sasuke, kamu pasti bisa!"
Tepat. Saat ini Sasuke sedang belajar berjalan. Belajar, eh? Benar, benar sekali. Belajar berjalan kembali. Sudah terlalu lama Sasuke lumpuh, begitu pula terapi ini. Sudah terlalu lama Saskue menjalankan terapi. Tapi hingga kini, tak ada satu pun tanda-tanda bahwa ia akan sembuh dari penyakit ini. Tidak ada…
Kau mencoba membuatku tertawa…
Membuatku kembali bangkit…
Saat yang sangat tepat…
Saat di mana, aku benar-benar jatuh…
"Sudahlah. Pe-percuma sa-saja…" bantah Sasuke dengan napas yang terengah-engah. "Aku a-akan ma-mati sebentar la-lagi…"
"Tidak, Sas." Sakura kembali membantu Sasuke bangun dengan tangisan yang teredam. "Yakinlah. Kau pasti bisa."
"…"
Sakura berpikir sejenak, "Sas, sepertinya terapi hari ini cukup sampai di sini saja. Aku… ingin mengajakmu ke suatu tempat. Kau mau kan?"
"Hn."
Sakura pun membantu Sasuke kembali duduk di atas kursi rodanya. "Ayo," ucapnya riang—mungkin—
Sakura membawa Sasuke keluar dari rumah sakit. Mereka berjalan menelusuri jalanan kota Paris yang begitu indah di sore hari. Di mana sang surya akan mulai terlelap di peraduannya
Sakura terus membawa Sasuke berjalan. Karena tadi, dia sudah menyuruh supir untuk membawa mobilnya pulang. Lantas, bagaiamana mereka pulang nanti? Ya, dengan berjalan.
.
.
.
Senja…
'Kenangan terindah'-ku bersamamu…
Senja…
Mempertemukan kita berdua…
Senja…
Membuat kita saling mengenal satu sama lain…
Dan senja pun…
Akan memisahkan kita nantinya…
Entah esok atau kapan…
Entah…
Detik ini…
.
.
.
"Sakura…" Sasuke tersenyum tipis. Tempat ini…
"Indah bukan?"
"Hn."
Sakura duduk di kursi taman—sebelah kursi roda Sasuke—sambil menatap sayu danau di hadapannya. "Sasuke. Apa kau masih mengingatnya? Lima tahun yang lalu—pertama kali aku mengenalmu. Saat itu, aku sedang duduk di kursi ini. Sambil… menangis," kata Sakura sambil sedikit tertawa geli.
"Hn."
Sakura memejamkan matanya sebentar, "aku rindu suasana dulu." Ia kemudian memalingkan wajahnya menatap Sasuke. Terlihat dengan jelas, wajah Sasuke yang murung. "Awalnya—kupikir kau adalah orang yang membosankan, jutek bahkan menyebalkan. Tapi… ternyata kau itu adalah pria terbaik yang pernah kukenal selama ini."
"Benarkah?" masih dengan ekspresi yang sama, nada yang sama, dan semuanya sama—Sasuke melihat senja di hadapannya.
Kehidupan ini begitu indah,
Saat kita jalani bersama…
Saat suka dan duka…
Bersamamu, membuatku merasa nyaman,
Sangat…
'Tes'
Setetes likuid bening mengalir dengan lembut di pipi Sakura. Tak disangaka, mengingat masa lalunya dengan Sasuke, membuat ia harus kembali menangis. Meskipun sudah ia tahan mati-matian untuk tidak menangis.
"Kenapa menangis?"
'Kenapa selalu luka yang aku terima?' batin Sakura lirih.
"Ti-tidak," elak Sakura. "Aku hanya bahagia. Sangat… bahagia."
"Eh," refleks Sakura saat tangan Sasuke dengan lembut menyentuh pipinya—mengelap airmatanya—
Waktu berlalu dengan cepat…
Kau mampu membuatku tertawa saat duka…
Dan menangis saat suka…
"Thanks…" Sasuke tersenyum getir.
"Always for you," Sakura membalas senyuman Sasuke. Mata mereka masih terus bertautan. Onyx dan emerald. Perlahan, Sasuke memegang erat telapak tangan Sakura.
"You always in my heart, Cherry…" Sasuke menaruh telapak tangan Sakura di depan dada bidangnya.
Terdengar samar oleh Sakura, detak jantung Sasuke yang begitu halus dan teratur. Seakan, ia sedang dalam keadaan sehat.
Likuid bening itu, kembali menetes dari pelupuk emerald Sakura yang redup. Jika ia dapat menolak takdir, maka ia kan menolak ini semua. Ia akan menolak Sasuke sakit.
"Don't try to live so wise… don't cry cause you're so right… don't dry with fakes or fears…" Sasuke melantunkan nada demi nada dari lagu kesayangannya. Meskipun dengan suara yang pelan, dan nampak dipaksakan. "Cause you will hate you're self in the end…"
Lirih.
Sasuke dan Sakura merasakan hal yang sama—lirih. Lagu ini, adalah kenangan terindah mereka berdua.
"Sasuke…" ucap Sakura parau menahan tangis.
Hidup, tak selamanya indah. Menerima kenyataan memanglah sulit. Tapi jika tak mau hidup dalam kenyataan ini, maka itu akan lebih sulit lagi. Lebih…
Telah engkau torehkan luka di hatiku…
Menanamkan segenap rasa yang selalu aku simpan…
Selamanya…
Seumur hidupku…
Sakit.
Satu kata itu saja sudah cukup untuk mendefinisikan kehidupan Sakura saat ini.
"Hiks," isak Sakura. Cepat-cepat, ia segera mengelap airmatanya. "Ayo pulang. Hari mulai malam."
Tiba-tiba, Sasuke mencoba berdiri.
Plukk
Ia memeluk erat-erat tubuh Sakura. Sudah lama. Ya, lama. Lama sekali mereka tidak berpelukan sehangat ini—setidaknya semenjak Sasuke sakit.
"A-aku tak ingin ke-kehilanganmu…" Sasuke berucap parau.
"Sas-Sasuke…" tak dapat dihindari lagi. Air matanya kembali mengalir. Mengalir dengan sangat deras.
"Hn."
Brukk
"SASUKE…" jerit Sakura saat Sasuke tiba-iba saja ambruk menimpanya.
.
.
.
Aku lemah, sangat…
Aku lemah saat melihatmu menangis…
Detik ini…
Mulailah berhitung…
Menghitung detik demi detik kepergianku…
Pergi untuk selamanya,
Dari dunia yang fana ini…
.
.
.
Paris Medical Center, at 22.35 p.m.
"Sakura…" Sasuke membuka pelan kelopak matanya. Memperlihatkan iris onyx-nya yang selalu memikat siapapun.
"Sasuke…" Sakura segera berlari menuju ranjang Sasuke dengan air mata yang berderai.
"A-aku di mana?"
"Di Rumah Sakit Sasu…" kata Sakura lirih.
"Rumah sakit?"
Sakura mengangguk lemah, "tadi kau pingsan saat di taman," tuturnya.
"Lalu, k-kau ti-tidak pulang? I-ini su-sudah malam Saku…" kata Sasuke pelan—namun, ada rasa kekhawatiran tersirat dalam kalimatnya.
Sakura mengeleng cepat, "tidak Sasuke. Aku akan tetap di sini menemanimu."
Perlahan, jemari halus Sasuke mengusap lembut pipi Sakura, "Ayahmu pasti khawatir, Saku."
"Tapi…"
"Permisi…" seorang laki-laki—yang diketahui kakaknya Sasuke itu—memasuki ruang ruang inapnya—Sasuke.
"Itachi…" Sasuke kembali menatap Sakura, "pulanglah. A-ada Itachi yang me-menjagaku."
Sakura menghela napas perih, "baiklah. Hati-hati ya Sasuke. Besok pagi, aku akan kesini lagi." Dengan langkah yang berat, Sakura meninggalkan kamar Sasuke.
"Hati-hati Saku," kata Itachi sambil mengantarkan Sakura ke depan pintu kamar.
Malam ini…
Aku akan berdoa.
Berdoa agar esok aku bisa bertemu denganmu lagi…
Satu kali lagi saja…
Dan untuk, yang terakhir kalinya…
Terakhir…
Untuk mengatakan sebuah kata perpisahan…
"Itachi?"
"Ya, Sasuke?"
"Bi-bisakah kau salin pu-puisi ini?" kata Sasuke sambil menyerahkan laptop hitamnya pada Itachi.
"Tentu." Itachi kemudian mengambil laptop itu dari pangkuan Sasuke. "Ada lagi?"
Sasuke menghela napas panjang, "tolong hias puisi itu ke-kemudian masukan ke da-dalam sebuah amplop."
"Hmmm."
"Lalu, kau tahu kan danau itu?"
Itachi mengangguk pelan tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun dari layar laptop milik Sasuke.
"Tolong hias sebagus mungkin. Be-besok aku ingin kesana. A-aku ingin me-memberikan sesuatu pada Sakura."
"Yeah, tak masalah," kata Itachi sambil tersenyum miris ke arah Sasuke. "Sudah?"
"Hn. Thanks…"
"Ya. Sekarang tidurlah. Have a nice dream," ujar Itachi sambil menutupi tubuh Sasuke dengan selimut. "Tak usah dipikirkan. Lihat saja besok. Semuanya pasti bagus. Eh, tapi jam berapa kau kan kesana?"
"Hn, senja." Sasuke kemudian segera mengatupkan kedua kelopak matanya lagi. Ia akan tertidur untuk yang terakhir kalinya.
'Sasuke…' batin Itachi lirih. 'Oh ya, bagaimana kalau aku tambahkan bunga mawar saja?' batinnya lagi bersemangat.
Ia—Itachi kemudian pergi mengambil secarik kertas yang nampaknya sudah disiapkan oleh Sasuke terlebih dahulu—lalu segera menuliskan puisi tersebut. Tak berapa lama, akhirnya puisi itu pun selesai. Dan setelah menimang-nimang cukup lama, akhirnya ia pun memutuskan akan menghias seperti apa nantinya danau itu.
Srekk
Setelah pekerjaannya selesai, Itachi pun segera berdiri kemudian pergi menuju sofa di sudut ruangan.
Ia tertidur.
Tidur untuk segera menemui hari esok yang menyakitkan.
.
.
.
Aku tak akan terlelap sekarang…
Karena aku, ingin menyampaikan sesuatu padamu…
Dan akan kusampaikan esok hari…
Dan pada saat itu,
Aku kan benar-benar terlelap…
Menutup mata untuk selamanya…
Selama-lamanya…
.
.
.
Paris, 28th March, at 07.35 a.m.
"Good morning!" sapa Sakura ramah saat memasuki kamar inap Sasuke.
"Good morning!" sapa kedua Uchiha ini bersamaan.
Sakura segera melangkahkan kaki jenjangnya menuju ranjang Sasuke. "Kau sudah baikan, Sasuke?"
"Hn," respon Sasuke seperti biasanya.
"Baiklah Sasuke, aku akan pergi dulu ya," kata Itachi kemudian mengambil sebuah laptop dan tas di samping Sasuke. "Ingat! Jam lima sore," bisik Itachi di dekat telinga Sasuke. "Daah…"
Sakura hanya tersenyum manis saat melihat Itachi pergi. "Kau sudah makan belum, Sasuke?"
"Belum."
Sakura kemudian menyimpan tas pinky-nya di meja sebelah ranjang Sasuke. "Kalau begitu, aku ambilkan dulu ya." Sakura pun segera pergi keluar dari kamar Sasuke.
Sebuah senyuman tipis menghiasi wajah stoic-nya.
Kali ini saja,
Aku mohon…
Untuk yang terakhir kalinya, aku ingin membahagiakan dia…
Karena tak mungkin, aku tepati janjiku.
Kali ini saja…
Detik-detik terakhir ini…
Bersamanya,
Hanya bersamanya…
Bersama mengulang cerita indah di masa lalu…
"Saatnya makan…" Sakura kembali masuk ke dalam kamar Sasuke dengan nampan yang berisi makanan.
"Sakura…" ucap Sasuke parau dengan mata terfokus pada pemadangan di luar kamar.
"Ya?" jawab Sakura kemudian berjalan mendekati Sasuke.
"Setelah ini—" Sasuke menutup matanya sebentar, "—aku ingin berjalan-jalan di se-sekitar taman."
Sakura tersenyum tipis, "tentu. Sekarang, makanlah dulu."
"Hn." Sasuke pun memakan satu suapan yang diberikan Sakura padanya.
"Bagaimana, enak?"
"Hn."
Mereka berdua pun larut dalam keheningan. Tak ada yang berbicara. Yang terdengar, hanyalah suara dentingan alat makan.
Sampai kapankah aku akan terus berharap?
Berharap agar semua memori indah itu terekam kembali…
Saat-saat indahku bersamamu…
Berdua, bersamamu…
"Baiklah," ucap Sakura saat makanan Sasuke sudah habis. "Bersiap-siaplah, Sasu. Kita akan ke taman sebentar lagi."
"Hn."
Dengan gerakan yang cukup cepat, Sakura segera membereskan semuanya sampai bersih. Sementara itu, entah apa yang dipikirkan Uchiha kecil ini. Karena sedari tadi, dia hanya duduk terdiam sambil melihat Sakura bekerja.
"Selesai," ucap Sakura puas, "ayo!"
"Hn."
Sakura segera membantu Sasuke untuk duduk di atas kursi rodanya—kemudian mendorongnya keluar dari kamar dan menuju taman.
.
.
.
Entah apa yang ada dalam hatiku saat ini…
Aku tak tahu…
Pikiranku pun kalut…
Kalut karena terus memikirkan ini…
Aku…
Tak ingin menyakitimu, kasih…
.
.
.
Semilir angin membelai lembut kedua insan yang sedang duduk di kursi taman ini. Suasana pagi hari ini tak begitu panas—meskipun sudah hampir tengah hari—tetapi tetap sejuk. Semuanya terasa begitu cepat. Sudah sejak sejam yang lalu mereka hanya duduk terdiam saja. Terdiam menikmati hembusan demi hembusan angin yang melewati taman rumah sakit ini.
"Sasuke?" ucap Sakura memecah keheningan di antara mereka berdua.
"Hn."
Sakura membalikkan badannya menghadap Sasuke yang berada di pinggirnya. "Sudah hampir jam dua belas siang. Harusnya kau beristirahat."
'Aku tak ingin jauh darimu, Sakura,' batin Sasuke lirih. Ia—Sasuke memjamkan sebentar kedua kelopak matanya. "Aku ma-masih i-ingin di sini."
Sakura menghela napas pelan, "Tapi… oh, aku lupa. Kau tidak terapi, Sasu?"
"Malas."
"Kenapa?" Sakura memalingkan kembali pandangannya lurus-lurus ke depan. 'Jangan jawab itu lagi,' batin Sakura.
"Aku ini a-akan segera mati."
Sakura kembali memejamkan matanya. 'Kenapa selalu kata itu?'
Hening.
Selalu hening. Kedaaan saat ini behitu berbeda dengan keadaan yang dulu—sebelum Sasuke sakit.
"Ayo kuantar." Sakura bangkit dari duduknya.
"Kemana?"
"Ruang terapi."
"Aku tak ingin," bantah Sasuke. Tapi Sakura tetap membawa kursi roda Sasuke menuju ruang terapi.
"Kau harus terapi, Sasu."
"Hhhh."
.
.
.
Walau berjuta usaha telah engkau berikan…
Tapi dayaku sudah tak bisa…
Tenagaku tak cukup…
Energiku sudah terkuras habis…
Jadi kasih…
Biarkan saja aku menjadi serpihan debu,
Yang terbawa angin…
Dan menghilang,
Ditelan hujan…
.
.
.
"Arrrggghh…" erang Sasuke kesekian kalinya setelah mengalami jatuh dalam kurun waktu lebih dari dua jam ini. 'Kakiku!'
Bruukkk
"Akh!"
"Sasuke…!" Sakura segera berlari menghampiri Sasuke yang jatuh tersungkur. "Kau baik-baik saja?" tanya Sakura cemas dengan air mata yang sedikit demi sedikit mulai menetes.
"Sa…"
"Sasuke…" jerit Sakura lagi. Ia tak kuasa menahan tangis ketika melihat sang kasih jatuh pingsan.
"Sakura…" seorang gadis berambut pirang menghampiri Sakura yang sedang terisak.
"Ino… sedang apa kau di sini?" Sakura menjawab pelan pada gadis tadi—Ino—sahabatnya sewaktu kecil hingga sekarang.
"Ra… Sasuke kenapa?" Ino malah balik bertanya.
"Pingsan."
Ino tersentak kaget. Pingsan, eh?
"Kenapa diam saja?" ucap Ino. "Ayo bawa dia. Shika, bantu aku!"
"Ya."
Sakura dan Ino serta Shikamaru—tunangan Ino—segera membawa Sasuke pergi menuju kamarnya.
.
.
.
Aku telah berdosa padamu, kasih…
Aku tak bisa menepati janjiku…
Kasih…
Maafkanlah aku.
Aku,
Memang hanyalah seorang lelaki yang lemah.
Lemah…
.
.
.
"Hn." Sasuke tersadar dari pingsannya. Tapi dia belum sempat membuka kedua kelopak matanya. Ia mendengar suara Sakura yang sedang mengobrol—entah dengan siapa.
"Jadi?" ucap Sakura parau dengan air mata yang berderai.
Seseorang di hadapannya—yang diketahui dokter itu—menghela napas berat, "kakinya harus segera diamputasi."
Terdengar dengan jelas oleh Sasuke, suara Sakura yang menangis. 'Maafkan aku, Saku. Aku hanya merepotkanmu saja.' pikir Sasuke lirih.
"Sudahlah, Sakura…" suara ini, Sasuke begitu mengenalnya. 'Ino? Sejak kapan dia ada di sini?'
"Ino…" suara Sakura terdengar begitu serak dan… rapuh.
"Apa tidak ada cara lain lagi, Dok?" ujar Ino prihatin.
Dokter tersebut menggeleng lemah, "tidak ada. Penyakit Tuan Uchiha sudah sampai stadium akhir."
"Sakura…" tangis Sakura semakin kencang. "Dok, apa dengan ini di-dia bisa sembuh…?"
Dokter tadi kembali menggeleng, "hanya keajaiban. Tapi, itu pun mustahil. Sampai saat ini, belum ada yang yang selamat dari penyakit ini."
"Sasuke…" suara Sakura lemah, kemudian…
"Sakura…"
Ia—Sakura—pingsan dalam dekapan sahabatnya—Ino.
Kasih…
Maafkan aku.
Aku hanya bisa membuatmu susah…
Aku…
Memang sangat tak berguna…
Mendengar lengkingan suara Ino, Sasuke pun segera membuka kelopak matanya. Alangkah kagetnya dia, melihat sang kasih jatuh pingsan.
"Sakura…" ucap Sasuke parau. Namun terlambat. Sakura sudah terlebih dahulu dibawa Ino menuju sofa.
"Sasuke," ucap Shikamaru mendekati Sasuke yang saat ini sedang rapuh—apalagi saat melihat Sakura jatuh.
"Hn." Sasuke memalingkan wajahnya menghadap Shikamaru.
"Kau sudah sadar rupanya."
"Hn." Sasuke tetap memfokuskan matanya melihat Sakura yang tertidur di atas sofa—dengan Ino yang sedang berusaha membangunkannya. "Jam berapa?"
"Jam empat. Kenapa?"
"Tidak." Sasuke memejamkan matanya sebentar. "Sakura… maafkan aku," gumamnya.
Shikamaru menepuk pelan pundak Sasuke, "sudahlah. Kau pasti baik-baik saja."
"Aku akan ma-mati," kata Sasuke putus asa. "Tolong ja-jaga di-dia baik-baik."
Sebuah senggolan tipis, Shikamaru layangkan pada tangan kanan Sasuke. "Kau ini bicara apa. Jangan memikirkan hal yang seperti itu. Merepotkan!"
Sasuke tersenyum tipis, "kau ini."
"Menurut Dokter tadi, aku…" Sasuke terdiam sebentar, "—kakiku harus diamputasi'kan?"
Shikamaru tersenyum getir, "kau akan baik-baik saja."
"Ja-jangan berbohong."
"Jangan kecewakan Sakura," Shikamaru memalingkan wajahnya menatap Sakura yang sudah mulai sadar.
"Aku ti-tidak bisa be-bertunangan de-dengannya. Aku…"
"Hentikan, Sasuke," potong Shikamaru cepat. "—kau pasti selamat. Jangan bodoh!"
Sasuke tertawa getir, "tidak mungkin."
"Sasuke…" Sakura yang baru saja terbangun, langsung berlari menghampiri Sasuke—dan memeluknya. "Aku khawatir. Maafkan aku. Karena aku, kau… jadi begini."
Sasuke mengusap pelan rambut bubble gum Sakura dengan sisa-sisa tenaganya. "Aku ingin menunjukan sesuatu pa-padamu. So-sore nanti, Cherry."
Sebuah senyuman tipis menghiasi wajah Sakura. "Tapi, kau masih belum pulih, Sasu."
"Tak apa."
-skipped time-
Sejam kemudian.
"Saku…"
"Ya?"
"Sudah siap?"
"Ya."
"Ayo."
.
.
.
Akan kuucapkan…
Akan kuutarakan…
Isi hatiku saat ini…
.
.
Kasih…
Don't cry…
I always in your heart…
.
.
Forever…
.
.
.
"Ra, tutup matamu," perintah Sasuke sebelum mereka sampai di tempat tujuan.
"Hm?" Sakura menatap heran Sasuke. "Baiklah, tunggu sebentar," ucapnya kemudian. "Eh, tapi… bagaimana denganmu? Aku kan harus mendorongmu?"
"Tak apa."
"Ya."
Tutuplah matamu, kasih…
Dan pada saat kau membukanya,
Maka…
Kau akan melihatku untuk yang,
Terakhir kalinya.
Terakhir…
Tap.
Derap langkah mereka yang sudah sampai di tempat tujuan.
Sasuke kemudian menghela napas sejenak, "bukalah."
Sakura menurut. Ia pun segera membuka ikatan kain yang membalut kepalanya—menutupi kedua emerald-nya.
Blush
Sakura terpana melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Sebuah danau jernih yang memantulkan sinar matahari senja yang begitu indah. Di samping ia berdiri, terdapat sebuah bangku dan meja yang penuh dengan pernak-pernik yang berkilau. Diatasnya, terdapat sebuah cake sederhana namun amat indah. Dan terakhir, di sebelah cake tersebut, terdapat sebuket bunga mawar dan putih yang ditata sedemikian rupa—tak lupa sebuah surat mungil berwarna pink cerah, dan sedikit warna ungu menghiasi amplopnya—diselipkan di sebuket bunga itu.
Tes
Sakura…
Menangis!
Tetes demi tetes bulir-bulir bening air mata mengalir menuruni pipi putihnya. Emerald-nya nampak berkilau diterpa sinar matahari. Dia… begitu bahagia!
"Kau suka?" ucap Sasuke membuyarkan keterpanaan Sakura. Meskipun sederhana, tapi ini begitu sangat indah dan mewah di mata Sakura.
"Thanks, Sasuke…" ucap Sakura kemudian memeluk Sasuke erat-erat.
"Ayo duduk."
Sakura membantu Sasuke duduk di atas bangku tersebut. Dengan bebagai perasaan yang saat ini begitu meluap-luap di hatinya.
"Happy Birthday, Cherry," kata Sasuke pelan. 'Oh, shit!'
"Sasuke. Kau… memang orang terbaik yang pernah aku kenal."
"Sakura…" Sasuke mengambil sebuket mawar itu. "Maafkan aku. A-aku… tidak bisa me-melindungimu."
"Sasuke, kau sudah melindungi lebih dari segalanya."
"Aku tak bi-bisa melindungimu, lagi." Sasuke kemudian menyerahkan sebuket bunga mawar itu. "Ini, untukmu."
"Mawar?"
"I love you."
Sakura mengulum senyum yang sangat tulus, "I love you, too. Dan kau, selalu melindungiku sampai kapanpun."
Sasuke tersenyum getir, "—tidak selamanya."
"Maksudmu?"
Sasuke berdiri dari duduknya dengan sekuat tenaga. Sakura yang melihatnya, sontak langsung menghampiri Sasuke.
"Sas…"
"A-antar a-aku kesana," kata Sasuke sambil menunjuk ke arah bangku taman yang dekat sekali dengan danau.
"Pakai kursi roda yah?"
"Tidak. A-aku ingin berjalan."
"Baiklah."
Biarkan aku melakukan apapun yang aku inginkan…
"Sasuke. Lima tahun yang lalu, di tempat ini…"
Awal dan akhirku ada di sini. Bersamamu…
"Hn."
.
.
.
"Hiks… hiks…" suara tangisan seorang gadis yang sedang duduk di bangku taman. Ia termenung. Dan jika dilihat dari fisiknya, sepertinya gadis ini bukanlah anak kecil lagi. Diperkirakan, ia adalah siswi SMA.
Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda—yang umurnya tak jauh beda—sedang berjalan santai di sepanjang tepi danau. Tanpa sadar, ia—pemuda tadi—terus memperhatikan sang gadis. Karena aneh, mungkin?
Ia pun berjalan mendekati gadis berambut soft pink ini—kemudian duduk di sampingnya.
"Eh," sang gadis menatap heran pemuda tadi.
Blush
Semburat merah tipis menghiasi pipinya. Ia terkesima, melihat seorang pemuda tampan di hadapannya. Wajahnya yang cool, rambut hitamnya yang luwes tapi nampak melawan gaya gravitasi—serta mata hitamnya yang sejuk.
"Hn." Tatapan sang pemuda tertuju pada mata emerald sang gadis yang sembab itu. "Kenapa menangis?"
"Tidak." Sang gadis dengan cepat mengusap air matanya yang sudah bagaikan air bah itu. "Kau…"
Sang pemuda memalingkan wajahnya menatap danau yang begitu berkilau diterpa sinar matahari. "Tadi kulihat kau menangis. Jadi kuputuskan untuk menemuimu."
"Oh." Sang gadis hanya ber'oh ria saja. Ia kemudian mengikuti sang pemuda memandang senja. "Aku suka senja. Di tempat inilah, semua rasa sedihku bisa hilang."
"Sedih?" kedua alis sang pemuda saling bertautan.
"Eh,"sang gadis kaget. Dia lupa untuk memperkenalkan dirinya. "Kenalkan. A-aku, Haruno Sakura."
"Hn. Aku Uchiha Sasuke," kata sang pemuda—Uchiha Sasuke—tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. "Kenapa menangis?"
"Aku…" Sakura berucap ragu-ragu.
"Hn?"
"Akh, sudahlah. Lupakan!"
"Katakan saja."
Entah apa yang dirasakan Sakura saat ini. Tapi, sepertinya… dia merasa nyaman sekali berada di samping pemuda Uchiha ini. "Aku sedih. Aku… Ibuku meninggal kemarin sore."
"Hn."
Hening.
Tak ada yang berbicara. Mereka berdua terdiam dengan pikirannya masing-masing saat senja sudah hampir habis ditelan bumi.
"Sasuke, aku pulang duluan yah," pamit Sakura sopan.
"Hn."
Sakura pun meninggalkan Sasuke sendirian di bangku taman.
Itu adalah pertemuan mereka yang pertama kali. Sejak saat itu, mereka tak pernah bertemu lagi—sampai mereka lulus SMA—
Tapi takdir tidak berkata demikian. Saat mereka akan masuk ke universitas—setelah lulus—mereka bertemu lagi. Mereka berdua masuk universitas serta jurusan yang sama. Sungguh—ini adalah kejadian yang tidak diduga-duga oleh Sasuke dan Sakura.
Dan mulai saat itulah, mereka mulai dekat, sampai akhirnya menjadi sepasang kekasih—hingga saat ini—
.
.
.
Takdir mempermainkan cinta suci mereka…
"Aku, rindu…" Sakura kemudian membantu Sasuke duduk di kursi taman—begitu juga dirinya.
"Hn." Sasuke kemudian memutuskan untuk membaringkan tubuhnya di atas pangkuan Sakura. "Me, too."
"Bulan depan kita akan bertunangan kan, Sasuke?"
Sasuke memejamkan matanya perih, "itu ti-tidak mungkin te-terjadi."
"Kenapa?"
Sebentar lagi senja akan lenyap…
"Aku mencintaimu, sa-sampai ka-kapanpun," kata Sasuke dengan napas yang tersenggal-senggal. "Sakura…"
Sakura menatap lurus senja di depannya. "Ya?"
"A-aku ingin kau tahu," ucap Sasuke lirih, "kau ha-harus tetap hi-hidup tanpaku." Sasuke mulai merasakan detak jantungnya mulai melemah.
"Sasuke…" ucap Sakura lirih. Air matanya semakin deras mengalir.
"A-akhirnya rasa ini…"
"Kenapa?"
Sasuke merasakan napasnya makin tersenggal-senggal. Tubuhnya semakin rapuh dan lemah. Sebentar lagi, angin akan menyapu debunya. Perlahan, jemari tangannya menggenggam lengan Sakura.
Sakura terhenyak, "tanganmu, dingin…"
Sasuke tersenyum tipis, "Hn." Ia merasakan waktunya sudah habis. "Sa-sampai di sini pe-perjalananku…"
Dengan cepat Sakura memeluk Sasuke, "aku di sini, Sasuke. Bersamamu. Kau… tidak sendirian." Sakura semakin mengeratkan pelukannya.
Sakura mengelus punggung Sakura yang bergetar hebat, "désolé (maaf), Cherry…"
"Sasuke…"
Cintaku akan selalu bersamamu…
Menyertaimu, di mana pun kau berada…
Sasuke memejamkan kedua kelopak matanya, "au revoir (sampai jumpa), Cherry…"
"Sas…"
"Goodbye… you always in my heart."
"SASUKE…!"
Sampai di sini perjalananku,
Aku akan terlelap untuk selamanya…
Au revoir, Cherry…
~tbc~
Author's Note :
Astaghfirullah…#plakk
Aaaa… ahhh…-nepuk jidat-
Gimana reader?
OOC banget yah, Saskey-nya? Terus, Saku-nya juga melankonis banget deh?
Maaf maaf… —peyuk-peyuk reader—/ditimpuk sapu
Ai nggak maksud nge-bash kok! Sumpah… (-_-)v
ini juga kan twoshot minna…
jadi, maafkan jika Ai banyak salah. Terus, Feel-nya juga perasaan nggak dapet deh, ya? Nggak sedih-sedih amat. Yah—gagal deh Ai… =w= #pundung
dan, Ai pengen banget deh belajar pake diksi yang bagus. Soalnya, kenapa gitu, Ai teh suka banget maen diksi—walaupun nggak bisa-bisa amat…XP/gubrag
soal apa penyakit yang diderita Saskey, itu ntar di chappie 2 baru dikasih taunya. Hehehe…*plakk
terus, di chappie depan tuh, cuman ngebahas kenangan mereka aja. Bahasa simpelnya mah (?) In Memorian…
sebenarnya sih, Ai nggak cuman terinspirasi dari dua lagu itu aja. Ada banyak, di antaranya, yang Kehadiranmu-Samsons, Akhir Rasa ini-punya Samsons juga, Betapa Aku Mencintaimu, Kuatkan Aku, sama Saat Kau Pergi-punyanya Vagetoz, terus de el el deh. Banyak!
Oke, oke. Ai jadi kebanyakan curcol nieh minna….
Yasudah, RnR or CnC yah? Ai terima dengan ikhlas deh ya? Asal jangan flame aja. Soalnya, kalo ada yang mau nge-flame Ai, berarti reader itu punya banyak waktu banget deh buat nge-flame fic Ai! Soalnya, nggak bakal Ai gubris tuh yang nge-flame. Lagian, yang nge-flame Ai udah so pasti nggak baca atau mungkin nggak bisa baca Warning! Huh…
Ya udah deh.
Akhir kata, maaf kalau ada yang tersinggung. Dan maaf kalau ini cerita gaje, pasaran, aneh, de el el lah. Maaf –again- kalo kepanjangan atau mungkin kependekan.
Arigatou,
Sincerely,
Ai Kireina Maharanii
See you next chappie..
Tinggalkan jejak? :P
