Title: 紫苑

Pairings: Dohko/Shion

Rating: T

Genre: Romance

Summary: "Apa kau akan bersikap sama seperti arti bunga itu? Maksudku..." Magentanya bisa melihat jelas sedikit rona kemerahan di pipi pemilik tato harimau itu. "... apa kau akan selalu mengingatku?" | Happy birthday, Infantrum!

Disclaimer: Masami Kurumada owns Saint Seiya series

Warnings: OOC, lebay, alur lompat-lompat, mungkin typo di sana-sini.

Author's Notes: Seharusnya fanfic ini untuk merayakan Fujoshi Independence Day yang jatuh pada tanggal 6 September lalu, tapi, yah... sudahlah. Anggap saja fic ini dibuat untuk meramaikan hari ulang tahun Infantrum a.k.a. Indonesian Fanfiction Author Forum yang jatuh pada hari ini, 7 September. Selamat ulang tahun yang keempat, Infantrum! Semoga sukses melaksanakan IFA 2011, ya!

.

.

.

紫苑

Shion

.

.

.

"Kau tahu, Shion? Ada bunga yang namanya sama denganmu di Jepang."

"Oh, ya?"

"Yep. Dan jika diartikan dalam bahasa bunga, artinya cukup indah."

"Apa artinya?"

Pemuda dengan surai kecokelatan itu menjawab dengan senyuman cerah.

"Artinya…"

.

.

.

Kelopak matanya spontan tersingkap membuka, menampakkan iris magenta yang memancarkan sedikit rasa kaget, dalam artian positif. Tulang rusuknya bergerak naik turun sementara ia tetap berada di posisi berbaring, telentang menghadap ke atas, ke langit-langit kamarnya di Papacy. Napasnya sedikit menderu, masih kaget dengan apa yang barusan ia impikan.

Bangkit ke posisi duduk, sang Kyouko memegangi pelipisnya sambil menundukkan kepala, menatap pangkuannya yang tertutup selimut.

Ia masih tak habis berpikir kenapa bisa-bisanya ia memimpikan tentang peristiwa masa lalu begitu.

Tentang pembicaraannya dengan Dohko, yang berakhir pada janji di antara mereka berdua.

Janji yang membuat pipi Shion merona merah tiap kali mengingatnya.

Kenapa baru teringat sekarang…?

Suara ketukan pada pintu kamarnya membuatnya berhenti melamunkan masa lalu.

"Pope Shion, sudah pagi. Waktunya bangun dan bersiap-siap ke Jepang."

.

.

.

"Roushi enak sekali, jalan paling depan dan tidak membawa apa-apa."

Dohko, yang mendengar protes kecil dari Aiolia yang berada di belakangnya, hanya tertawa pelan. Apalagi setelah Aiolos menghardik ucapan adiknya itu. "Sudahlah, Aiolia. Yang lebih muda sudah sepantasnya membantu yang lebih tua, 'kan?"

Singa muda itu tak banyak bicara lagi setelahnya. Hanya mengatupkan bibir dan sedikit menggembungkan pipi. Seperti anak kecil.

Tiga orang itu saat ini tengah berada di daerah pertokoan Tokyo dan dalam perjalanan kembali ke kediaman Kido setelah berbelanja. Rencananya hari ini Shion akan tiba di Jepang dan tinggal di sana selama beberapa hari, cuti dari tugas sebagai Pope. Para Gold Saint, yang semenjak berakhirnya perang melawan Hades tinggal di kediaman Kido bersama para Bronze Saint, hendak membuat pesta penyambutan dan ketiga orang inilah yang mendapatkan tugas untuk membeli bahan-bahan makanan.

Mereka baru saja akan berbelok di suatu pertigaan ketika mata Dohko tak sengaja menangkap sebuah obyek yang menarik perhatiannya di pajang di sebuah etalase toko, membuatnya spontan menghentikan langkahnya dan mengagetkan dua 'cucu'nya..

"Roushi? Ada apa?" Aiolos menaikkan sebelah alisnya.

Diam selama beberapa saat, Dohko tampak tertegun sambil terus memandangi etalase toko tersebut, hingga pada akhirnya ia tersenyum lebar dan menoleh ke arah Saint Sagittarius yang menanyainya tadi. "Kalian kembali saja duluan. Aku mau membeli sesuatu dulu."

Aiolos masih tampak bingung, tapi Aiolia yang lebih peka daripada kakaknya langsung mengerti apa maksud Dohko. Menyikut sang kakak pelan, ia berkata, "Ya sudahlah, Kak. Ayo kita pulang duluan. Jangan kelamaan, ya, Roushi."

Dohko mengangguk. Ia melihat dua bersaudara itu melangkah pergi meninggalkannya, dan ketika sosoknya menghilang di balik kerumunan lalu lalang orang-orang yang juga menggunakan jalan tersebut, sang Libra menghela napas panjang, baru memasuki toko di belakangnya.

"Selamat datang di Yamanaka's Florist. Ada yang bisa kami bantu?"

.

.

.

Kini telah menanggalkan jubah kebesarannya sebagai Kyouko yang agung dan terhormat dan ganti mengenakan pakaian kasual ala orang-orang Jamir, Shion mendudukan dirinya di dalam pesawat yang akan membawanya lepas landas dari Yunani menuju Jepang.

Beberapa jam lagi ia akan tiba di kediaman Kido. Rasanya tak sabar melihat 'cucu-cucu'nya di sana. Mungkin mereka akan rusuh seperti biasa, tapi ia tidak akan langsung menghardik mereka untuk bersikap sesuai umur mereka. Pengecualian satu hari, karena ia yakin ia akan merasa lelah karena perjalanan panjang dari Yunani ke Jepang.

Ia juga tak sabar ingin bertemu Dohko. Ingin berbagi cerita tentang bermacam-macam hal... juga tentang mimpinya semalam.

Pipinya kembali merona merah saat mengingat-ngingat mimpi tersebut. Meski mimpi itu hanya setengah dari peristiwa sesungguhnya, tapi sudah cukup membuat Shion merasa malu dan rindu bukan kepalang.

Pesawat mulai bergerak meninggalkan lapangan terbang, dan goyangan pelannya membawa mantan Saint tersebut kembali ke alam Oneiroi.

.

.

.

"'Aku akan selalu mengingatmu'."

Pemilik iris berwarna magenta itu mengerjap beberapa kali, lalu menelengkan kepalanya. "Apa?"

"Arti bunga itu," Dohko masih mempertahankan senyumnya. "Arti bunga Shion adalah 'aku akan selalu mengingatmu'."

"Jadi... itu bunga forget-me-not?"

"Bukan, itu bunga yang berbeda. Kalau kita punya kesempatan untuk pergi ke Jepang atau ke kampung halamanku di China, akan kutunjukan padamu."

"Hm…"

.

.

.

"Terima kasih banyak!"

"Sama-sama," Dohko menyahut ucapan pelayan toko bunga tersebut dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dalam dekapannya ada sebuah buket bunga berwarna ungu.

Bunga yang sangat ingin ia tunjukkan pada Shion, tapi sampai sekarang belum juga kesampaian.

"Biasanya dia datang kalau bunga ini tidak berbunga, sih," gumam sang Libra sambil tersenyum senang, terus melangkahkan kakinya meskipun matanya tertuju pada rimbunnya bunga-bunga yang telah ditata dan diikat dengan rapi tersebut.

Namun ia lalai. Saking terpakunya ia pada keindahan bunga itu dan karena kepalanya dipenuhi dengan kenangan tentang janjinya kepada sang domba, nalar dan firasatnya terhambat hingga ia tak bisa merasakan kemunculan seorang pengendara motor liar yang memacu kendaraannya dengan sangat cepat, yang membelok dengan cepat pada tikungan di mana Dohko akan menyeberang.

Tabrakan itu tak terelakkan.

Teriakan orang-orang yang menyaksikan kejadian itu spontan mengisi area pertokoan.

"Ada yang ditabrak di tikungan itu!"

"Pengendara motornya kabur!"

"Cepat panggil ambulans! Dan juga polisi!"

Bunga berwarna lembayung dalam dekapannya terkotori oleh warna merah.

Merah likuid yang mengalir dari kepalanya…

.

.

.

Aiolos mendongak menatap jam dinding di ruang tamu kediaman Kido yang tengah ditempati olehnya dan beberapa kawannya sesama Gold Saint, lalu membuat komentar, "Roushi lama juga, ya."

"Mungkin masih bingung memilih bunga untuk menyambut Shion," Aiolia nyengir.

"Dia, 'kan, beda denganmu, Lia," Aphrodite yang duduk di sofa di seberang sang singa membalas. "Roushi itu bukan pria yang sedang jatuh cinta dan kebingungan memilih benda yang pas diberikan untuk kekasihnya."

"Meskipun hubungan mereka beneran mirip sepasang kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh, 'sih," Deathmask berkelakar, dan disambut jitakan pelan dari sahabatnya, sang Pisces, yang berada di sebelahnya.

"Hush!"

"Tapi benar, 'sih, ini sudah terlalu lama..." Saga ikut melihat jam. "Ada apa, ya?"

Selagi semua yang ada di ruang tamu termenung, menduga-duga apa yang sedang dilakukan Dohko sekarang sehingga belum sampai di kediaman Kido, telepon yang ada di luar ruangan itu bordering. Aiolos, yang paling dekat dengan jalan keluar, bergegas meraih ganggang telepon dan menempelkannya di telinga, siap mendengarkan siapapun yang menelpon mereka.

"Halo, kediaman Kido di sini."

Hening.

Wajah sang pemanah memucat.

"Ap—tunggu, pasti ada kesalahan." Ia diam, mendengarkan lagi. "Tapi... baiklah, saya mengerti. Kami segera ke sana sekarang."

Ganggang telepon di tutup. Aiolos menggigit bibir bawahnya, wajahnya menyiratkan rasa panik yang melanda dirinya.

"Aiolos? Siapa yang menelpon?"

Pertanyaan dari Saga, yang rupanya sudah berada di sisinya, membuyarkan lamunannya dan membuatnya sedikit berjengit kaget. Iris biru cerahnya menatap balik hijau Saga, dan ia berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum mulai menjelaskan kepada sahabatnya itu.

"Roushi baru saja mengalami kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit."

.

.

.

Mantan Saint Aries itu menghela napas lega begitu ia berada di luar bandara. Akhirnya ia tiba di Jepang. Ia segera memesan taksi, meminta sang supir untuk mengantarkannya ke sebuah alamat yang sudah pasti: kediaman Kido.

Menyandarkan punggungnya pada jok belakang taksi yang nyaman, ia mencoba untuk rileks, tapi tak bisa.

Entah kenapa... ada yang terasa mengganjal.

Akhirnya perjalanan dari bandara ke rumah besar itu berakhir. Shion baru akan membayar biaya taksi ketika menyadari ada empat mobil taksi yang meninggalkan pekarangan rumah tersebut. Mengernyit heran, dirinya bertanya-tanya siapa orang-orang yang menaiki taksi-taksi tersebut, namun…

"Guru!"

Menoleh, dan ia bisa melihat Mu dan Shaka berlari ke arahnya. Ekspresi wajah mereka campuran antara panik dan lega, dan Shion langsung mengerti bahwa sesuatu yang gawat telah terjadi.

"Apa yang terjadi? Apa ada kaitannya dengan taksi-taksi yang kulihat baru keluar dari pekarangan?"

Shaka menarik napas panjang, dan menghembuskannya keluar secara perlahan untuk menenangkan diri, sebelum menjawab dengan anggukan. "Benar. Saga dan yang lainnya sudah pergi duluan ke rumah sakit. Kami berdua tinggal karena diminta menunggu hinga Anda tiba. Anda sampai di sini pada saat yang tepat."

"Itu tidak menjawab semua pertanyaanku, Shaka. Apa yang terjadi?" Shion mengulang, kali ini memberi penekanan pada pertanyaannya di kalimat terakhir.

"Sebaiknya kita langsung mengikuti mereka ke rumah sakit saja, guru," tukas Mu, sedikit mendorong gurunya agar kembali memasuki taksi. "Akan kami jelaskan di perjalanan."

.

.

.

"Hei, Shion."

"Apa, Dohko?"

"Soal bunga itu... aku jadi berpikir."

Shion memandang sahabatnya itu dan mengangkat sebelah alisnya, menunggu sang Libra melanjutkan perkataannya.

"Apa kau akan bersikap sama seperti arti bunga itu? Maksudku..."

Magentanya bisa melihat jelas sedikit rona kemerahan di pipi pemilik tato harimau itu.

"... apa kau akan selalu mengingatku?"

.

.

.

Mereka tahu bahwa mereka tidak boleh berlari di koridor rumah sakit, tapi untuk kali ini saja, mereka melanggar aturan itu dan terus melaju, mengabaikan tatapan tidak senang para suster dan dokter yang mereka lalui. Kamar nomer 210 di bagian barat rumah sakit, kata suster yang ada di meja informasi. Benar saja, tiga orang Saint Athena tersebut bisa melihat rekan-rekan mereka berdiri di depan kamar yang dimaksud.

"Kalian semua, bagaimana kondisi Dohko?" tanya Shion langsung ke inti permasalahan setelah ia berhenti di dekat kumpulan tersebut.

"Ah, Pope. Anda cepat sekali tiba di sini," Saga tersenyum gugup, seperti ingin mengalihkan pembicaraan.

"Ya, saya tiba di kediaman Kido tepat setelah kalian naik taksi untuk pergi ke rumah sakit. Sekarang jawab pertanyaan saya."

Mereka semua yang ada di sana terdiam. Ada yang menunduk, ada yang mengalihkan perhatian, ada yang menatap Shion tapi tampaknya tidak tahu harus menjawab bagaimana. Tingkah mereka itu membuat Shion, Mu, dan Shaka semakin khawatir. Pada akhirnya, Shiryu yang memberanikan diri untuk maju menghadap sang Pope.

Hening lama, sementara mantan Saint Aries itu balas menatap sang Saint perunggu, menunggu penjelasan.

"Shion-sama, beliau mengalami amnesia karena benturan di kepalanya, namun yang ia lupakan hanya tentang Anda seorang."

.

.

.

Dohko hanya sendirian di dalam ruangan itu, duduk di atas ranjang, menatap pemandangan di luar lewat jendela rumah sakit. Kepalanya di perban, dan beberapa bagian tubuhnya dihiasi luka memar. Ia menoleh ketika mendengar suara pintu kamarnya dibuka.

Shion masuk ke dalam ruangan.

Sang Grand Pope menatap pria berdarah Asia itu sejenak, seperti meneliti sesuatu.

Apa benar Dohko sudah melupakannya?

Pertanyaan itu segera terjawab ketika Dohko membuka mulutnya untuk bertanya:

"Anda siapa?"

Hening.

Sesaat mata Shion membelalak kaget. Tak percaya bahwa kalimat itu baru saja meluncur keluar dari mulut Dohko. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk belaka, tapi tak bisa. Ini realita.

Dohko melupakannya.

Sang pasien, yang masih berada di posisinya, di atas ranjang, menelengkan kepalanya sedikit.

"Anda siapa?" Ia kembali mengulangi pertanyaan itu.

Tidak ada jawaban selama beberapa saat, hingga pria dengan surai hijau keemasan itu menyunggingkan senyum.

"Bukan siapa-siapa bagimu, kurasa."

.

.

.

Beberapa menit berselang setelah pertanyaan itu diucapkan. Dohko masih menatap Shion dengan pipi sedikit kemerahan karena menahan rasa malu, menunggu jawaban sang pandai besi.

"Hm… boleh saja."

Menahan tawa yang mengancam untuk menyelip keluar saat melihat binar bahagia di mata sang Libra, ia melanjutkan, "Asal kau janji untuk melakukan hal yang sama—akan selalu mengingatku."

Dohko mengerjap, dan sejurus kemudian tersenyum lebar sembari mengangguk.

"Tentu, aku tidak akan melupakanmu, Shion!"

.

.

.

"Pembohong."

Bulir-bulir air mata turun, membasahi pipinya, melewati dagunya. Ada yang terus turun ke leher dan membasahi pakaiannya, ada pula yang terjun bebas ke lantai yang di pijaknya.

Usai meyakinkan Dohko bahwa ia bukan siapa-siapa (setidaknya, bukan orang yang sangat penting bagi sang mantan penjaga kuil timbangan keseimbangan), Shion keluar dari kamar rawat dan melihat bahwa para Saint yang menunggu di luar ruangan menatapnya cemas. Ia tersenyum kepada mereka dan mengatakan bahwa mereka boleh masuk untuk berbicara dengan Dohko kalau mereka mau, sementara ia akan pergi ke meja administrasi untuk mengurus masalah biaya perawatan.

Hanya alasan, tapi setidaknya sebagian besar mereka punya tenggang rasa yang cukup besar untuk mengerti keadaannya saat ini dan tidak memprotes apa-apa.

Maka di sinilah dia, alih-alih mendatangi tempat administrasi, ia membelokkan jalurnya dan pergi ke atap rumah sakit, yang ia yakini tidak ditempati oleh siapapun saat itu, untuk menangis.

Dadanya sakit, terasa sesak karena masih tidak percaya Dohko melupakannya.

"Pembohong." Satu kata itu saja yang ia ucapkan berulang-ulang, seolah kata tersebut adalah mantra untuk mengurangi rasa sakit, namun tak manjur.

Memegangi pagar bersekat yang menghalangi siapapun untuk terjun bebas dari atap rumah sakit, air matanya masih belum berhenti. Dan mungkin ia memang tidak ingin untuk berhenti menangis. Ia ingin terus menangis sampai air matanya kering, agar ia bisa menghadapi Dohko dan juga yang lainnya dengan sosoknya yang tegar sebagai seorang Kyouko.

Isak tangisnya tidak kunjung reda sementara memori tentang janji mereka berdua terus terulang di kepalanya seperti kaset rusak, membuatnya kembali melantunkan "pembohong" dengan suara pelan membenci.

Begitu kalutnya ia sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa pintu menuju atap terbuka perlahan, dan seseorang menyelinap ke belakangnya untuk memeluknya.

Harum bunga aster mencapai saraf penciumannya. Dilihatnya bahwa salah satu tangan yang memeluknya ternyata menggenggam sebuah buket bunga. Shion tidak perlu berpikir jauh mengenai siapa yang memeluknya, karena ia hapal dengan sentuhan itu.

"Doh—?"

"Maafkan aku."

Mengerjap sekali, tercenung sesaat, lalu bertanya: "Sudah kukatakan aku bukan siapa-sia—"

"Aku ingat kau, Shion. Maaf karena kelewatan mengisengimu."

.

.

.

Dohko langsung melepaskan pelukannya dan melompat mundur, menghindari pukulan jab dari domba manis yang tangisnya akhirnya berhenti.

Ya, Shion sudah berhenti menangis, tapi kali ini ia malah mengamuk.

Siapa yang tidak akan mengamuk setelah mengetahui bahwa ia baru kena tipu oleh seseorang yang sangat dikasihi, apalagi menggunakan alasan 'amnesia' segala?

"Uwaah! Shion, sudah, dong! Nanti aku hilang ingatan beneran kalau kamu memukulku!" seru Dohko, kelabakan dalam usahanya untuk kabur dari terjangan hantaman sang mantan Saint Aries dan mengayun-ayunkan buket bunga yang ia pegang, seolah benda itu bisa membuat Shion berhenti.

Meskipun memang bisa, 'sih.

Pria dengan surai hijau keemasan itu berhenti melayangkan pukulan demi pukulan ke arah Dohko. Fokusnya teralihkan pada buket bunga aster yang diayunkan di hadapannya. Entah kenapa… wanginya membuatnya bernostalgia.

Sang Libra yang sadar bahwa ia tak lagi diserang kini memberanikan diri untuk mendekati Shion. Ia berdeham sekali, lalu menyodorkan buket tersebut kepada sang Grand Pope.

"Untukmu. Sesuai janjiku."

"Janji?" Shion menaikkan sebelah alisnya seraya menerima buket bunga tersebut. "Janji—jangan bilang kalau ini…?"

Dohko mengangguk dan tersenyum lebar. "Ini bunga yang ku maksud. Shion, atau nama ilmiahnya Aster tataricus, meski kami bangsa China lebih sering menyebutnya zǐwǎn. Akhirnya bisa kutunjukkan padamu, eh?"

Domba dewasa itu masih diam, memandangi kelopak-kelopak ungu bunga yang katanya memiliki nama yang sama dengannya. Ia menyadari bahwa beberapa dari mereka ternoda oleh darah. Shion mendongak untuk bertanya alasan keberadaan noda itu, tapi Dohko mendahuluinya, seperti sudah tahu apa yang akan diutarakan oleh Shion.

"Aku membelinya di toko bunga sebelum kecelakaan. Kelihatannya waktu pingsan karena syok ditabrak, aku memeluknya terus-terusan, jadi darahnya kena beberapa kelopak bunga."

"Hm..." Shion mengangguk mengerti, lalu ganti menatap tajam Dohko kembali. "Lalu? Kenapa kau memutuskan untuk berpura-pura amnesia sampai-sampai kau bersekongkol dengan anak-anak juga, hah?"

"Itu... yah, kau tahu," Dohko menggaruk belakang lehernya, memasang cengiran tidak bersalah. "Kejutan untukmu. Kupikir kau akan langsung tahu kalau aku berbohong, tapi ternyata kau percaya saja, bahkan sampai menangis seperti tadi. Makanya aku minta maaf..."

Menghela napas, perlahan-lahan rasa jengkelnya kepada pria dengan surai kecokelatan itu menghilang. Dohko tidak sepenuhnya salah. Ia hanya ingin bercanda, dan dirinya saja yang bodoh karena semudah itu percaya bahwa Dohko, yang telah berjuang bersamanya sebagai sesama Saint Athena, bisa kena amnesia yang menyebabkannya melupakan sang domba.

"Terima kasih."

Sang Libra menelengkan kepalanya sedikit. "Berterima kasih untuk...?"

"Semuanya," Shion menyahut, memeluk buket bunga aster itu lebih erat lagi sementara ia menundukkan kepalanya, membiarkan poninya yang lebat menutupi wajahnya. "Bunga ini, pertolongan-pertolonganmu... juga untuk terus mengingatku sampai saat ini. Terima kasih banyak."

Dohko tercenung, lalu kembali menyunggingkan senyum hangat.

"Tidak masalah."

Mantan penjaga kuil biri-biri di hadapannya ikut tersenyum. "Ah, sebaiknya kau kembali ke kamarmu untuk istirahat."

"Oh, ya..." Dohko baru ingat kalau kepalanya terluka.

Tapi karena diingatkan begitu, ia jadi mendapat sebuah ide lain.

"Shion, bisa menunduk sedikit?"

"Eh? Bisa..." Meskipun permintaan itu aneh, tapi Shion tetap melakukannya. Ia menundukkan kepalanya sedikit, hingga tinggi wajahnya setara dengan Dohko, sambil bertanya-tanya apa yang dilakukan pemilik tato harimau itu.

Apa yang terjadi berikutnya membuat sang Kyouko membeku (secara konotasi, karena Camus tidak ada di sana).

Dohko merangkul leher Shion, mempersempit jarak di antara mereka, dan mengecup bibir sang Aries selama beberapa detik, sebelum melepaskannya.

Butuh waktu kira-kira 2 menit hingga Shion sadar bahwa apa yang terjadi barusan benar-benar nyata. Wajahnya spontan memerah, dan ia menutupi bibirnya yang baru saja merasakan lembutnya bibir Dohko dengan satu tangan. Pelakunya sendiri hanya memberikan sebuah cengiran, puas karena berhasil mengisengi partnernya itu.

Mereka berdua tersentak kaget ketika mendengar bunyi beberapa benda besar dan keras jatuh.

Menoleh ke asal suara, dua Saint sepuh itu membelalakan mata mereka, kaget karena ternyata benda besar tersebut adalah para Gold Saint dan Bronze Saint yang mengintip dari balik pintu menuju atap. Entah sejak kapan mereka berada di sana, tapi yang pasti mereka telah melihat jelas saat Dohko mencium Shion tadi.

"Ehm..." Aiolos, yang paling pertama sadar bahwa dua senior mereka itu sudah menangkap basah kelakukan mereka, tersenyum gugup. "Halo, Roushi. Syukurlah kalian sudah berbaikan."

Dohko syok. "Kalian mengikutiku sejak aku keluar dari kamar rawat?"

"Begitulah. Kami lihat, lho, waktu Roushi meluk Shi—oomf!" kalimat Milo terputus saat Camus menyikut rusuknya.

"Ternyata dugaanku benar, mereka itu sepasang kekasih yang melakukan hubungan jarak jauh!" Deathmask ikut menimpali, hanya untuk dijitak oleh Aphrodite setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Eh... mungkin kita seharusnya nggak mengganggu, ya?" Hyoga tersenyum tipis.

"Ya sudah, sebaiknya kita tinggalkan mereka berdua. Yuk!" Seiya segera bangkit dari posisi jatuhnya tadi, menggandeng Shiryu yang membatu dan masih tidak percaya bahwa gurunya baru saja mencium sang Grand Pope.

Shion spontan kelabakan. "Ini bukan seperti yang kalian pikirkan!"

"Sudahlah, guru. Tidak usah malu mengakuinya," Mu ikut berbalik, mengikuti teman-temannya yang satu persatu mulai meninggalkan area tersebut.

"Jangan lupa kembali ke kamar rawat untuk beristirahat, ya, Roushi," Saga berpesan, lalu pergi bersama yang lainnya.

Kembali hening sementara Dohko dan Shion masih terdiam di atap rumah sakit. Keduanya sama-sama salah tingkah, masih tidak menyangka perbuatan mereka ketahuan oleh 'cucu-cucu' mereka sendiri, apalagi mereka bersikap suportif seperti tadi. Rasanya cukup memalukan saja. Kalau ada lubang, mungkin mereka akan bersembunyi di sana untuk selamanya.

"Jadi ketahuan, ya, hubungan kita," Dohko nyengir, pasrah.

Shion mengerling ke arah pria berambut cokelat di sebelahnya itu. Masih ada sisa-sisa semburat kemerahan di pipinya. "Kau santai sekali."

"Ya... mau diapakan lagi? Yang sudah terjadi, biar saja terjadi."

Mantan pandai besi Sanctuary itu memutar bola matanya secara imajinatif. "Sudahlah. Sebaiknya kita ke kamar rawatmu sekarang. Kau benar-benar harus istirahat," tukasnya pelan, melangkah ke arah pintu.

"Mmhm. Kau benar. Oh, ya, Shion?"

"Ya?"

Pemilik rasi domba itu merasakan salah satu pipinya dikecup. Wajahnya kembali menghangat karenanya.

Dohko tertawa melihat reaksi tersebut, tapi tawa itu segera terhenti, digantikan dengan senyum lebar seraya ia mengucapkan. "Terima kasih sudah mengingatku sampai saat ini."

Shion mengerjap. Tapi toh ia mengangguk dan membalas senyuman itu.

"Sama-sama."

.

.

.

END