"Pilih, menikah denganku atau kau ku perkosa dan menikah denganku."

Gadis bermata amnesty itu hanya bisa mengerjab bingung, kala pria berambut pirang jabrik di hadapannya berkata seperti itu dengan wajah tersenyum. Lebih parahnya lagi, ia tidak mengenalnya. Selain, sebagai pria yang numpang, sekali lagi dicatat numpang duduk di hadapannya. Membuatnya mesti memutar otaknya, kembali mengingat secara runtun kejadian yang ia alami hari ini. Hingga harus mengalami hal aneh seperti ini.

Seingatnya tadi pagi, masih sama seperti hari sebelum-sebelumnya. Melakukan aktivitas seperti biasa, bersantai, melakukan kontak dengan sahabatnya, mengingatkan tentang hari pertemuan mereka yang mestinya, saat ini sahabatnya itu sudah duduk di hadapannya. Menggantikan orang aneh yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan aneh.

Ukh, apa ini resiko ia datang lebih awal. Mengingat, biasanya yang di buat menunggu adalah sahabatnya itu. Dan ia akan memberikan ekspresi wajah tidak bersalah. Apa ini karma? Tapi kan ia tidak pernah membuat sahabatnya menunggu berpuluh-puluh menit. Hmm, lalu di mana letak kesalahannya.

Wajah gadis itu tampak berpikir keras, tidak menyadari pria di hadapannya kini tersenyum kecil melihat tingkahnya.

"Hinata?" Seruan penuh tanya terdengar tidak jauh dari keduanya, membuat kedua manusia berbeda gender itu saling berpandangan.

Menatap pada seorang gadis beriris sapphire di samping mereka. Berdiri heran, dengan iris miliknya bergantian memandang antara wanita dan pria di depannya.

"Ck, pengganggu datang." Gumaman itu pelan, namun terdengar cukup jelas di telinga Hinata. "Baiklah, kau boleh berpikir dulu. Ku tunggu jawabanmu seminggu lagi." Senyumnya, perlahan berdiri meninggalkan gadis bermata amnesty itu yang masih mengerjap tidak percaya.

"Eh, kukira itu pacarmu?" Ucapan itu keluar bersamaan dengan iris milik Hinata yang mengikuti gerakan pria itu, merinding sesaat melihat seulas senyum milik pria yang tidak ia ketahui namanya, muncul tiba-tiba.

Menghela napas sesaat, menatap pada gadis di hadapannya. "Yang benar saja, apa kau lihat kami tampak serasi, Shion?" Ketusnya sinis menyeruput minuman yang sempat ia anggurkan saat mendengar pertanyaan gila itu keluar.

"Iya," tanpa berpikir sahabatnya itu mengangguk menyetujui, sementara tangannya terlihat melambai memanggil waiters.

"Kau gila." Ucapnya cemberut, tidak peduli pada sahabatnya yang mengerjap heran akan tingkahnya.


Disclaimer- Naruto Masashi Kishimoto

Genre-Romance.

Rating- T

Warning: AU, OOC, Typo(s), dan segala bentuk ke absurdan lainnya.

Don't Like, Don't read

Jika tidak berkenan, silahkan pencet tombol kembali.

Berhubung fict saya emang rada aneh semua, pastinya itu murni pemikiran saya. Jadi kalau ada kesamaan ide, pastinya tidak di sengaja :D

Crazy Choice


Bagi Hinata, dua hari yang lalu hanya sebuah mimpi. Ulah iseng seseorang yang tidak ia kenal, dan berniat mengerjai saat melihatnya duduk sendirian di cafe itu. Jadi jangan salahkan dirinya, yang tidak menganggap apa pun yang dikatakan pria itu sebagai sebuah kebenaran. Selain karena ia tidak mengenalnya, ia pun pikir pasti pria itu tidak tahu tentang dirinya. Membuat dirinya tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, menganggap itu sebuah angin lalu.

"Jadi, kau melupakan pertanyaanku?" pertanyaan itu terdengar dengan intonasi yang rendah, berbeda dengan matanya yang menatap tajam pada gadis di depannya. "Baiklah tidak apa, masih ada beberapa hari lagi." Helaan napas panjang keluar dari bibirnya.

Hinata sendiri, hanya bisa mengerjab bingung untuk kedua kalinya. Tidak berpikir ia akan berada dalam situasi yang sama seperti kemarin. Seharusnya tadi, ia ikuti saja nalurinya yang menyuruhnya untuk tidak mengikuti pria ini. Tapi melihat bagaimana pria ini tiba-tiba muncul di tempat kerjanya, memberikan wajah ceria seakan sudah tahu bahwa dirinya berada di sana. Membuatnya mesti berpikir ulang. Mengiyakan perkataan pria itu yang menyuruhnya untuk mengikuti. Sepertinya besok akan menjadi sebuah gosip, mengingat bagaimana tadi rekan sekerjanya melirik padanya dengan wajah menyeringai, seakan menggoda atas kedatangan pria ini.

"Hey, kau mendengarku, Hinata?" pertanyaan itu keluar bersamaan dengan tangan yang teracung di hadapannya, menyadarkan dari lamunan sesaat.

"Ah, ya," angguknya pelan mengiyakan.

"Jadi apa jawabanmu." Tanya pria itu menuntut.

Menghela nafas pelan dilakukan Hinata, menatap pria di hadapannya dengan ragu. "Maaf, tapi aku tidak mengenalmu. Jadi kurasa.."

"Naruto." Ucap pria itu memotong ucapan Hinata, sorot matanya terlihat tidak terbaca.

"Eh, apa?"

"Naruto, itu namaku." Ucapnya memperkenalkan diri.

"Ah, Naruto." Ulang Hinata mengulang nama pria itu, memasukannya dalam ingatan. Walau berharap tidak akan pernah bertemu dengan pria ini lagi. "Jadi seperti yang aku bilang.."

"Bukankah sekarang kau sudah mengenalku, jadi kau tidak ada alasan lagi bukan." Senyum itu masih sama, menatap Hinata yang mengerjap bingung. "Kau tidak bisa menolakku dengan alasan kau tidak mengenalku, Hinata." Ucapnya manis.

Tidak peduli pada Hinata yang hanya bisa menatap tidak percaya pria di hadapannya.


CRAZY


Perlahan Hinata merebahkan diri di kasurnya yang empuk, menatap datar pada langit-langit kamar. Hari ini benar-benar melelahkannya, jiwa, raganya dibuat tidak tenang oleh pria yang bernama Naruto itu.

"Naruto." Gumamnya pelan mengingat pria yang jadi obyek kekesalannya saat ini.

Ia, benar-benar tidak mengerti. Kenapa pria itu benar-benar kekeh ingin menikah dengannya. Kenal saja baru tadi, itu pun dengan cara yang aneh. Dekat saja terpaksa, itupun penuh dengan sejuta ancaman yang membuatnya merinding disko. Perlahan ia terduduk dari tidurnya, menatap pada handphone miliknya.

"Naruto Uzumaki, kelahiran jepang-inggris. Sementara memilih untuk tinggal di kota ini. Makanan yang disukai ramen, hal yang disukai banyak. Yang dibenci juga banyak. Saat ini yang paling diinginkan menikah dengan gadis di hadapanku." Ucapan itu keluar dari bibir Naruto saat, Hinata menolaknya dengan alasan yang sama untuk kedua kalinya.

Kembali dirinya teringat akan kejadian beberapa jam yang lalu, tidak percaya dengan kata-kata yang meluncur mulus dari bibir pria itu. Tidak tahukah ia, Hinata sampai memerah mendengar perkataannya. Belum lagi ditambah suara yang dikeluarkan pria itu lumayan keras, membuat beberapa pengunjung yang duduk di dekat mereka menoleh dan tersenyum kecil. Membuatnya benar-benar malu.

"B-bukankah menikah itu harus ada cinta." Alasan berikut yang keluar dari bibir mungil Hinata. Menatap Naruto yang balik menatapnya.

"Aku mencintaimu." Sahutnya santai, menyeruput jus orange miliknya.

'Tapi aku gak,' batin Hinata menjerit. "Tapi kita baru bertemu, bagaimana kau bisa mencintaiku."

Bahkan Hinata sampai sekarang tidak tahu jawabannya, selain seulas senyum manis yang terpasang di wajah pria itu yang menatapnya lembut.

"Akh! Ini gila!" sungut Hinata menggenggam handphone miliknya erat-erat. "Apa yang harus aku lakukan?" keluhnya merutuki diri yang entah mengapa tidak bisa berpikir jernih sekarang.

Suara alunan lagu kesukaannya terdengar perlahan, membuatnya tercekat. Menatap handphone ditangannya yang menyala, menampilkan nomor yang tidak dikenal. Membiarkan jauh lebih baik rasanya, dari pada mengangkat. Moodnya saat ini benar-benar buruk. Memilih mengabaikan dan berjalan keluar kamar.


CHOICE


Hinata, benar-benar tidak percaya dengan penelpon yang senantiasa menelponnya. Sepertinya orang itu cukup gigih, padahal ini sudah dering yang kesepuluh kalinya. Dan nomor yang sama masih mengalun setia memperdengarkan lagu kesukaannya yang ia pilih sebagai nada dering. Menghela napas lelah, sepertinya ini benar-benar penting. Hingga si penelpone setia dengan kegiatannya.

Mengangkatnya perlahan, menggeser warna hijau, dan meletakannya di telinga. "Moshi-moshi,"

"Kau baik-baik saja?" pertanyaan itu keluar dari sebrang telpon, membuat gadis itu tercekat.

Hinata memang ceroboh, itu pasti. Terkadang melakukan kesalahan, jelas. Tapi sumpah, demi dewanya Hidan-senpai sekalipun, ia merasa tidak pernah memberikan nomor telponnya pada orang di sebrang telpone.

"N-Naruto," ucapnya memastikan bahwa pendengarannya tidak bermasalah.

"Ya, ada apa Hinata?"

Pertanyaan dari sebrang sana, tidak pernah bisa ia jawab. Suaranya, seakan tercekat di tenggorokan. Sedikit usaha baginya untuk bisa menelan saliva, perasaannya benar-benar takut sekarang.

"Aku tahu semuanya tentangmu Hinata." Perkataan itu kembali terngiang di otaknya. "Pilihanmu hanya ada dua. Keputusanmu menentukan sikapku."

Sungguh ia tidak pernah menyangka akan mengalami kejadian seperti ini dalam hidupnya. Apa benar hanya itu pilihan yang tersedia untuknya, apa ia benar-benar harus memilih. Tidak adakah jalan keluar lain baginya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa ia harus mengiyakan, tapi ia kan tidak mengenal pria itu. Menolakpun rasanya tidak mungkin, mengingat apa yang dikatakannya. Semuanya menuju pada hal yang sama, Naruto benar-benar gila.

"Yah, aku memang gila dan kaulah penyebabnya."

Harus ia akui satu hal, pria itu apa yang dikatakannya saat itu benar. Ia memang sudah gila.

.

.

.

.

TBC