Manusia hanya melihat sesuatu dari satu sudut pandang. Melihat dirimu dari seberapa besar kau dapat diperdaya. Jika kau bisa dimanfaatkan maka mereka akan bersikap baik, menjadikamu teman yang dapat mereka gunakan sesuka hati seperti boneka. Namun, jika kau sudah tidak berguna kau akan dijadikan bola yang diumpankan untuk ditendang. Manusia selalu memakainya, topeng palsu dengan senyum lebar. Aku tidak peduli, semua sama saja. Bagiku orang yang dapat kupercaya hanya diriku sendiri, dan aku tidak membutuhkan sampah seperti mereka.
'Ssstt, jadi dia yang menjadi orang ketiga, merusak hubungan orang lain.'
'Dia tidak cantik sama sekali, hanya tubuhnya saja sexy – errr. . . maksudku sedikit berlekuk.'
'Ya, Hinata Hyuuga memang gadis populer karena tubuhnya saja, hahaha.'
'Otaknya tak sebesar dadanya.'
'Pasti sudah banyak yang menjadi patner tidurnya. Gadis berwajah malaikat berkelakuan bar-bar.'
Aku bahkan sudah mendengar hal yang lebih kejam dibandingan perkataan seperti itu sejak lama. Perempuan seperti mereka membenciku, mengatakan bahwa pacar mereka putus karena diriku. Konyol, bahkan gelar wanita binal-penggoda sudah mereka sematkan padaku di awal masuk sekolah. Dasar payah, jika putus dengan kekasih malah mencari kambing hitam.
Aku tidak mengerling nakal pada setiap lelaki yang melirik, mereka sendiri yang datang padaku. Kebanyakan lelaki mengatakan bahwa mereka rela putus dari kekasih mereka demi untuk bisa bersamaku. Dasar lelaki bodoh, mana mungkin aku akan percaya. Heck, semua orang sama saja. Hanya mencari kesenangan semata, hidup dianggap mengairahkan ketika ada tantangan, bahkan berlomba-lomba untuk mengencaniku. Tapi, entah sejak kapan aku mulai menikmati peran menjadi orang yang merusak hubungan orang lain. Cinta? Heol!Aku lebih suka menyebutnya sebagai permainan.
Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah merasa puas, digoda sedikit sudah mabuk kepayang. Ya, penggoda adalah sebutanku.
.
.
Naruto © Masashi Kisimoto
Pairing : Naruto-Hinata
Warning : typo(s), AU, School life, OOC parah,
Rated : T+ semi M
Hot!Hinata Cold!Naruto
Cover © Atharu
"Karangan fiktif. Tidak ada unsur menistakan chara mana pun. Hanya untuk hiburan semata tanpa mengambil keuntungan material dalam bentuk apapun."
No copas no flame!
SEDUCE by Atharu
.
.
Seragam dengan dua kancing terbuka mengundang banyak mata jelalatan untuk memvisualisasi, rok mini berkibar di tengah guguran bunga sakura mengundang siulan genit, tubuh proporsional melenggok anggun dengan dagu terangkat menandakan kepercayaan diri. Ditambah rambut biru gelap lurus tergerai sepunggung menguarkan aroma cologne menthol mint menyengat, serta wajah cantik terpoles sempurna dengan make up minimalis mendongkrak seluruh penampilannya.
Hinata Hyuuga memang selalu bisa membuat para lelaki berdecak kagum sampai meneguk ludah menahan gairah, tak jarang sampai ada yang mengucurkan darah mimisan hingga harus dibawa ke UKS.
Dengan bentuk tubuh sempurna dan wajah cantik impian setiap wanita, Hinata mampu mendapatkan semua lelaki di sekolah ini, bahkan sempat ada gosip bahwa Hinata affair dengan seorang guru magang yang mengajar. Memangnya siapa lelaki yang mampu menolak setiap pesona dari si gadis jelita yang menawan? Jika ditanya siapa gadis paling sexy, paling hot, paling bahenol, dan banyak digandrungi di Konoha High School ini maka, semua kaum berjakun akan menjawab dengan lantang bahwa Hinata adalah wanita yang selalu menjadi objek berfantasi liar mereka.
Fans-fans illegal atau komunitas 'Hinata Aku Padamu' mulai bermunculan baik secara underground maupun terang-terangan. Hampir semua anggotanya para lelaki meski ada juga beberapa perempuan yang mengikuti style Hinata. Tidak heran jika di satu sisi Hinata sangat dibenci oleh perempuan-perempuan di sekolah. Bagi mereka, Hinata adalah parasite yang sialnya punya segala kesempurnaan untuk seorang wanita.
Pohon sakura berjejer di jalan setapak menuju gedung utama Konoha High School. Sekolah dengan akreditasi A itu mempunyai gedung besar dengan halaman seluas dua lapangan sepak bola. Sekolah elite memang dibuat semegah mungkin.
Seseorang dengan pakaian formal gakuren berdiri tegap seperti petugas keamanan. "Ho, seperti biasa, kedatanganmu menjadi yang paling ditunggu." Kaca mata berframe tebal dinaikkan bertengger di hidung mancung, mata biru tajamnya tersembunyi di balik lensa kaca. Penggaris ditenteng pada sebelah tangan yang bersendekap layaknya guru killer pengawas ujian.
Di pintu gerbang utama selalu ada Komite kedisiplinan –OSIS yang bertugas mengecek kedisiplinan dan ketertiban. Meski kau anak seorang perdana menteri, tapi jangan dikira bisa berlaku seenaknya di sini. Mau siswa jalur biasa, beasiswa atau khusus, jika kedapatan melanggar aturan pihak sekolah tidak akan segan-segan untuk mendepak keluar.
Kaki jenjang Hinata melangkah tanpa rasa takut, aura bintang sengaja ditebar. Jarang sekali ada yang bisa lolos dari jerat maut feromonnya.
"Berhenti Hinata Hyuuga." Suara bass bernada rendah, volume menekan di setiap kata. Siswi dengan penampilan melebihi umur itupun berhenti melangkah, rambutnya bergerak ketika angin menerpa. Sudah menjadi tugas bagi Komite kedisiplinan untuk memberhentikan siswa-siswi yang dianggap melanggar aturan. Orang-orang menjadi penonton ketika gadis paling dipuji para lelaki berhadapan dengan pemuda dingin yang mempunyai authoritas untuk berkuasa.
Hinata melirik sekilas, sudah bosan dengan tata tertib yang membuat buku laporannya penuh angka minus dan stempel merah. Pintu gerbang memang tempat bagi Komite kedisiplinan untuk memalak orang lewat, setidaknya itu anggapan Hinata ketika setiap harinya ia harus dihadang tidak boleh masuk. "Aku tidak memakai aksesoris berlebihan lagi, jadi kenapa aku masih ditahan?" Kerah Seragam di buka lebar, area bagian dada sengaja dieskpos, semua lelaki yang melihat saling menahan napas.
Sialan, beruntung sekali si ketua OSIS yang bisa dengan jelas melihat belahan asset berharga milik Hinata. Tapi Hinata tak ambil pusing dengan hal itu, ia hanya ingin memperlihatkan bahwa ia tidak memakai kalung berbandul tengkorak lago atau aksesoris sejenisnya.
"Rok 17 senti di bawah lutut adalah larangan. Kancing seragam harus terkancing sampai atas, jangan lupa dengan dasinya. Baju seragam tidak boleh terlalu ketat, bisa-bisa kau tak bisa bernapas." Investigasi macam interogasi, tidak ada yang berani melawan sang kaichou, Uzumaki Naruto dalam menjalan tugas. Hinata mendecih, sayang sekali pemuda berkaca mata ini tidak mudah tergoda. Rumor Naruto yang tidak tertarik dengan wanita berbodi montok mungkin bisa dibenarkan.
"Poin minus untuk hari ini 30 poin, kumpulkan lagi 20 poin maka kau sukses menjadi kandidat pembersih toilet selanjutnya. Atau –" Sorot mata biru memandang penuh remeh "Bisa-bisa pantatmu ditendang keluar sekolah."
Tangan Hinata terkepal, "Hey! Jaga mulutmu tuan Naruto." Desisannya seperti ular derik di tengah padang pasir. Tidak adil! Ini namanya deskriminasi. Hinata tidak bodoh, poin minus melanggar aturan berseragam itu hanya 10 poin, itu sudah termasuk blazer, kemeja, dan rok.
Brengsek, korupsi ternyata tidak hanya terbatas pada uang. "Kau menggunakan kekuasaanmu untuk berlaku tidak adil." Jari tengah teracung ke depan, jangan dikira ia adalah kucing rumahan yang anteng. Hinata bisa menggigit. Arggkk.
Naruto menghelah napas panjang. "Peraturan baru, kuharap kau mau membaca buku pedoman sekolah, bukan hanya sibuk mewarnai kuku dengan kutek merkuri." Sebuah buku tebal dilempar mengenai mahkota biru gelap. "Baca baik-baik poinnya, Hinata-san. Kalau perlu kau boleh meminjam kaca mataku." Rupa dengan garis wajah tegas mendekat, iris shapire di balik lensa bening menyorot tajam. Hinata merasa bahwa ia sedang diancam secara kasat mata.
Semua yang melihat hanya terkikik terutawa para perempuan, senang sekali bisa melihat si gadis penggoda dipermalukan. Kalau perlu lebih baik Hinata Hyuuga secara suka rela keluar dari sekolah ini. "Dasar memalukan, ia hanya mengandalkan tubuhnya saja agar populer."
"Murahan."
Tangan saling mengepal keras, mulut yang selalu mengejeknya tidak pernah berubah. Udara dipasok ke paru-pau secara berkala, marah hanya akan memangkas usia dan membuat kulit mengkisut. Hinata sadar bahwa ia tidak perlu mengeluarkan urat, dadanya naik turun mengatur emosi. Meski banyak yang memandang rendah tapi ia tetap tidak boleh kalah.
Anjing menggonggong, kafilah berlalu
Dunia memang terkadang kejam, namun itu bukan alasan untuk jatuh terinjak. "Aku mengerti." Hinata membungkuk hormat, bersikap elegan bak putri raja harus di manapun dan kapanpun.
"Hm."
.
.
Waktu istirahat adalah hal yang sangat dinantikan. Kantin akan penuh sesak dengan antrian panjang seperti ular, belum lagi jika ada diskon untuk beberapa jenis produk unggulan. Sudah pasti akan tejadi aksi dorong atau sikut. Tapi, ada juga yang membawa bekal rumah ke sekolah. Mereka kerap berkelompok, membentuk meja yang melingkar untuk makan bersama. Bentuk bekal imut atau lucu, semua yang berada di dalam lingkaran itu terlihat senang sekali. Saling berbagi lauk atau nasi sudah menjadi kebiasaan untuk mengakrabkan diri. Cerita lucu akan menjadi selingan dalam makan siang bersama. Inilah yang disebut punya teman.
Meja tempat Hinata duduk tidak kalah ramai. Berbondong-bondong lelaki sekelas atau luar kelas akan menghampiri sang dewi Venus. Mereka sering membelikannya makanan, ada pula yang sampai memesan ke restoran bintang lima untuk bisa duduk lebih dekat dengan si gadis bermata putih bulat.
Senyum menawan selalu dipertahankan oleh Hinata. Banyak lelaki yang memujinya sebegitu tinggi. Hinata tak merasa malu atau risih, karena ia memang sudah belajar keras untuk menjadi percaya diri dengan penampilannya. Awal dari kecantikan adalah percaya diri. Kini ia adalah sang bunga yang direbutkan oleh banyak kumbang jantan.
"Hinata-chan makanlah ini.Caviar atau Truffle selai madu ini khusus-ku beli untukmu."
"Terima kasih Kiba-kun."
"Ah, ini juga Hinata-chan. Salad buah-sayur organik dengan mayones susu keju ini akan semakin membuat kulitmu bersinar indah."
"Arigato Lee-san." Mata amesthy nya berpendar senang. Hinata memang mengucapkan rasa terima kasih dengan tulus. Meski ia masih merasa belum lapar, namun ia akan tetap menghargai pemberian orang lain.
"Hyaaa, Hinata-chan memang yang terbaikkk." Semua lelaki berteriak dengan gerakan banzai atau ber-high five. Fans-club Hinata akan melakukan apapun untuk bisa dekat dengan si pujaan meskipun hal itu akan dipandang jijik oleh para teman perempuan lainnya.
Hinata hanya terkikik, ia tidak menyangkah bahwa dirinya bisa menjadi primadona seperti ini. Bersinar terang layaknya bulan di gelapnya malam, tidak lagi menjadi si cupu yang sering dipecundangi.
Selamat tinggal masa lalu.
Dulu ketika SMP ia tidak mempunyai satu orang pun yang menjadi temannya. Jangankan teman, ia bahkan tidak dianggap ada oleh sekelilingnya. Baik lelaki atau perempuan itu sama saja. Hanya memandang remeh padanya, tubuh dengan lekuk wanita dewasa dan dada membusung menantang sering dijadikan bahan ejekan. Loker penuh sampah atau sepatu yang terdapat paku sudah sering Hinata dapatkan. Coretan bangku atau bangkai tikus di atas meja membuat Hinata ketakutan, apalagi teror berupa remasan atau cubitan di beberapa bagianprivat tubuhnya oleh para siswa lelaki bejat membuatnya semakin merasa takut dan putus asa.
Dirinya sangat lemah waktu itu, hanya membungkam mulut ketika guru bertanya mengapa mejanya selalu rusak. Ia terlalu takut untuk mengadu mengatakan bahwa baju olahraganya sudah terkoyak digunting, pipinya sering ditampar karena dituduh menggoda pacar orang lain atau dirinya yang sering dikunci ke dalam toilet dengan banyak serangga.
Hinata yang dulu adalah gadis penakut. Lebih memilih berdiam diri tanpa mau menarik perhatian. Tapi berlahan ia sadar bahwa roda kehidupannya harus ia gerakan sendiri. Ia tidak ingin membuat kakaknya yang merupakan satu-satunya keluarganya khawatir melihat keadaannya sepulang sekolah. Ia ingin berubah, setidaknya ia ingin sekali bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri.
Hinata meneguhkan tekad, berjanji bahwa dengan tubuh seperti ini ia bisa menjadi gadis populer. Membuat semua lelaki terperdaya, membuat mereka bertekuk lutut di depannya. Ia ingin membuat semua gadis yang dulu memandang rendah padanya tidak berkutik, dan Hinata bisa melakukan itu semua. Kini ia berada di puncak tangga, dieluh-eluhkan sebagai gadis paling ingin dikencani. Terkadang ia merasa sedikit licik dengan menggunakan kecantikannya untuk hal seperti ini. Tapi, ia sudah tidak peduli lagi, karena ia pun juga sudah memiliki topeng untuk bersandiwara.
Hinata menoleh memandang ke luar lewat jendela di samping tempat duduknya. Seseorang dengan surai kuning mencuat terlihat familar di kedua bola matanya. Gadis dengan kulit seputih susu itu sangat hafal siapa gerangan lelaki dengan surai nyentrik itu. Siapalagi kalau bukan sang ketua komite kedisiplinan, Uzumaki Naruto. Behhh, menyebut namanya saja sudah membuat lidah Hinata kebas.
"Ho." Kedua alis Hinata terangkat naik. Tepat di taman belakang sekolah ia melihat Naruto dengan seorang gadis manis berambut hitam dikuncir tinggi dengan mata hijau bening – Shizuka namanya kalau tidak salah ingat. Salah satu siswi cantik di kelas sebelah. Meski sekilas, namun Hinata sudah tahu apa yang sedang mereka lakukan. Apalagi dengan sosok Shizuka yang tersenyum malu-malu dengan memegang tangan Naruto.
Tentu saja gadis itu tengah mengutarakan perasaannya dan yeah, Naruto menerimanya.
"Ck, ternyata kau normal juga." Seringai Hinata mengembang. Target baru telah terkunci. Saatnya melakukan balas dendam. "Aku akan merusak hubunganmu, Naruto-san." Hinata sangat tertarik untuk merusak suatu hubungan. Baginya hubungan antar sepasang kekasih itu sangat renggang, tidak ada yang benar-benar serius berkomitmen. Habis manis sepah dibuang, jika ada yang lebih menggoda maka akan dikejar. Sebagai dewi penggoda maka Hinata sudah tertantang untuk membuat hubungan asmara Naruto sang ketua OSIS tidak ada bedanya dengan para lelaki buaya darat yang sudah sering ia jerat dan pikat.
Dan tanpa Hinata sadari, sedari tadi sepasang iris sebiru samudera menatap balik ke arahnya.
.
.
Rumor tentang Naruto yang berpacaran menyebar bak roket antariksa, gaungnya terdengar hingga ke seluruh penjuru sekolah. Pribadinya yang dikenal tegas dengan status ketua OSIS lengkap dengan wajah eksotis membuatnya banyak digilai banyak wanita. Belum lagi latar belakang keluarganya yang sudah umum malang-melintang di televisi, baik sebagai pebisnis, artis, pemerintah, dan sebagai donator pendidikan terbesar di Jepang.
Namun, Naruto selalu diam, enggan menanggapi berjubelnya para perempuan yang diam-diam menggilainya. Lebih tertarik menelisik dokumen-dokumen kegiatan sekolah daripada harus mengobservasi wajah-wajah cantik untuk dikencani. Jadi ketika ia sudah berpacaran dengan gadis cantik bernama Shizuka tentu menjadi hal menarik untuk sekadar diperbincangkan.
"Naruto-san." Suara halus dengan lantunan merdu menyebut nama si pemuda kuning yang berdiri tegak dengan mata melotot pada setiap atribut kelengkapan para siswa yang lewat. "Lihat, penampilanku sudah tidak melanggar peraturan kan?" Tubuh sintal dibuat memutar untuk memperlihatkan cara berpakaiannya. Hinata datang dengan pakaian normal ala gadis sekolahan. Rok mininya sudah menjadi selutut, polesan make up dengan eyeliner runcing sudah tidak ada. Wajah Hinata terlihat polos dan lembut dengan bulu mata lentik asli.
Naruto bergeming sesaat, mengamati dari atas ke bawah perubahan drastis dari sang primadona. Ia menaikan kaca mata, Hinata tersenyum misterius. "Hmm, tapi kupikir pakaianmu masih terlalu ketat Hyuuga-san." Sebuah penggaris mengarah pada seragam bagian dada yang kancingnya seolah tidak kuat menampung dua asset beharga. "Katakan, kau ingin ke sekolah apa ke klub malam."
"Ini tidak ketat, ini namanya pas body." Tangan Hinata secara cepat mengarahkan tangan Naruto langsung ke dadanya, "Lihat, aku masih bisa bernapas." Semua orang yang melihat hal itu melongo, mau bagaimanapun posisi Naruto seolah menggambarkan ia sedang memegang buah dada kenyal milik Hinata.
Murid lelaki berteriak tidak terima melihat bagaimana sang ketua kedisiplinan berlaku tidak senonoh, sedangkan para perempuan melempar tatapan membunuh pada Hinata. Dan tepat pada saat itu pula gadis yang sedang menjadi pembicaraan hangat akibat hubungannya dengan Naruto muncul. Shizuka terperanga, matanya memanas marah. Hey siapa yang tidak marah jika di pagi hari sudah disuguhi pemandangan merusak mata. Kakinya berjalan cepat menghampiri Naruto dan Hinata. Telapak tangannya terangkat tinggi ke udara dan–
PLAAAKK
Bunyi tamparan itu begitu keras.
"Dasar jalang sialan! Kenapa kau menggoda kekasih orang hah? Ternyata kau benar-benar seorang jalang yang rendahan."
Ini diluar rencana Hinata, ia pikir bahwa nanti Shizuka akan menangis dan mengatai Naruto lelaki brengsek, lalu kemudian mereka bertengkar dan voilaa, mereka putus di tengah banyak pasang mata. Lontaran ejekan itu kembali terdengar menyoraki betapa terlihat menyedihkannya ia di depan seluruh siswa saat ini. Pipi panasnya ia pegang, terasa perih dan Hinata yakin pasti akan bengkak.
"Shizuka, jangan hiraukan dia. Lebih baik kau ke kelas karena sudah waktunya masuk." Perkataan Naruto mendapat respon tatapan mendelik dari Hinata. Kenapa lelaki itu malah lebih perhatian pada si perempuan ringan tangan itu dibanding dirinya. Mau dilihat darimana pun dirinya adalah korban, catat dan garis bawahi– Korban.
"Ya kau benar. Kau juga harus segera masuk, biarkan si jalang ini di sini. Kalau perlu sampai mati." Desisnya dengan mata menusuk melihat Hinata.
Hinata mendengus, kegagalan sakali bukan perkara. Justru di situlah letak tantangannya. Ia berjalan melewati Naruto dan Shizuka, sengaja menyenggol kasar pundak Naruto ketika melewatinya.
Para penggemar Hinata langsung mengampiri si gadis pujaan, menawarkan berbagai bantuan untuk mengobati memar di pipi yang hanya dibalas senyuman halus menolak oleh Hinata.
"Astaga, kenapa si mata putih itu sama sekali tidak merasa malu."
"Kupikir ia memang sudah tak tahu malu."
Sepanjang lorong yang dilewati Hinata, ucapan seperti itu mengiringi setiap langkahnya. Ia tentu kesal, tapi ia tidak akan menyerah. Batu loncatan terbesar untuk membuatnya berdiri di tempat paling tinggi adalah dengan menaklukan si ketua yang sok jual mahal.
"Ouchh," Hinata meringis perih ketika menyentuh pipinya yang mulai tercetak ruam keunguan. Tidak mau membuang waktu Hinata bergegas ke UKS dan melewatkan jam pelajaran pertama.
Sesampainya di sana Hinata tidak melihat penjaga UKS. Sesaat ia ingat bahwa ini hari sabtu, akhir pekan bagi petugas kesehatan yang artinya sedang libur. Ia langsung meletakan tasnya ke salah satu ranjang dan bergegas mengecek kotak obat berharap ada obat pereda memar atau setidaknya ada pengompres yang dapat digunakan. Menghelah napas panjang, Hinata hanya mampu menemukan obat merah dan sejumput kain kasa.
Oh ayolah, apa dana di sekolah ini tersedot ke kantong para petinggi sampai-sampai tidak bisa membeli perlengkapan obat-obatan yang lengkap.
Tak berapa lama terdengar pintu UKS yang dibuka dari luar. Hinata pikir itu murid yang juga sakit namun yang terlihat di kornea matanya malah pemuda yang tadi pagi mempermalukannya. Berdiri angkuh dengan sepasang mata biru yang tersembunyi dibalik lensa tebal. Freak! Umpat Hinata dalam hati.
"Kupikir siapa ternyata si ketua yang terhormat. Ingin memberiku hukuman tambahan?"
"Hari sabtu petugas UKS tidak akan datang dan sekarang giliranku untuk berjaga di sini sampai waktu istirahat nanti."
"Berarti kau membolos pelajaran?" Hinata tidak menyangkah bahwa sosok yang dieluhkan para guru sebagai siswa terpintar malah membolos pelajaran.
"Tidak masalah karena otakku lebih encer darimu–" Sebelum Hinata kembali berteriak padanya, Naruto menyodorkan sebuah obat. "Obat antiseptik dan pereda memar memang sudah habis. Ini pakailah, aku baru membelinya." Di tangan Naruto terlihat membawa kantong plastik bening berisi obat-obatan. "Kau butuh obat yang mana? Kebetulan aku– "
"Berisik! Aku tidak butuh obatmu dan lebih baik kau pergi saja." Potong Hinata sarkastis. Ayolah, moodnya masih buruk untuk diajak berdamai. Ia dengan kasar mengembalikan apa yang Naruto berikan. "Aku bisa urus diriku sendiri." Pipinya mengembung kesal, bibirnya mengerucut menggumamkan sumpah serapah, bola matanya dibuat melotot dengan alis menukik tajam. Meski jika dilihat dari sisi manapun seorang Hyuuga Hinata yang sedang kesal nyatanya mempunyai wajah enak dipandang.
"Hmm jika memar di pipimu tidak segera diobati kecantikanmu nanti berkurang, dan kau tidak akan dipuji lagi." Langkah kaki Naruto bergerak maju mengikis jarak di antara mereka. "Lihat, bahkan sampai ungu begini." Tangannya terulur menyentuh ruam kebiruan di pipi gadis bersurai dark blue hingga membuat gadis bertubuh sintal itu bergerak untuk menampik lengan Naruto.
Mata putih yang berbentuk bulat besar itu menatap nyalang pada sang pemuda. "Ck, apa sekarang Uzumaki Naruto tengah menggodaku." Hinata tertawa mengejek. Ia sudah sering melihat bagaimana tingkah lelaki jika sedang beraksi-menggoda. "Pura-pura tidak peduli tapi diam-diam memperhatikan, benar bukan Naruto-kun?" Hinata merasa di atas angin. Sudah pasti Naruto berlahan-lahan tertarik padanya, ya semua lelaki itu sama saja.
"Putuskan wanita yang bernama Shizuka itu, lalu aku akan menjadi kekasihmu." Kerlingan mata nakal sengaja diperlihatkan. Feromonnya menyebar kuat.
"Seorang Hinata Hyuuga yang diidamkan oleh seluruh lelaki di sekolah ini mau menjadi pacarmu, bukankah itu menarik." Sambung Hinata dengan wajah pongahnya. Jari jemari lentiknya membentuk pola melingkar di kancing dan dasi Naruto.
'BRUG'
Hinata mendorong Naruto ke ranjang di belakang mereka, menumpuhkan tubuhnya di atas dada bidang Naruto. "Akuilah jika kau menyukaiku." Bisik Hinata lembut dengan tiupan mesra di telinga si pemuda berambut kuning. Wajah keduanya sangat dekat sampai helah napas pun bisa keduanya rasakan.
Dari jarak sedekat ini Hinata bisa melihat dengan jelas rupa sosok ketu OSIS yang sering mengobral poin merah. Kontur rahang tegas dengan dagu lancip seperti wajah model papan atas, warna kulit yang sedikit lebih gelap– tan, hidung mancung dengan bibir penuh, dan yang paling membuat Hinata termangu adalah dua iris biru yang memancarkan warna biru yang tak pernah Hinata lihat sebelumnya. Apakah itu biru gelap? Azzure? Atau shapire?
Hinata semakin mendekat tertarik. Ingin melepas frame kaca mata tebal untuk melihat warna dua bola mata Naruto secara lebih jelas.
Tinggal sedikit lagi sampai kaca mata itu ia singkirkan sebelum. . .
"Apakah hanya ini yang bisa dilakukan sang dewi penggoda, hm?" Kedua tangan Hinata dicengkram erat oleh Naruto. "Kau yang hendak menggodaku, atau kau malah yang tergoda oleh ku?"
Hinata berani bersumpah jika sekilas ia melihat seringai aneh di bibir Naruto. "Yak, apa yang kau lakukan?" Hinata berteriak panik. Tubuhnya yang semula dominan di atas kini harus bermanuver di bawah kungkungan tubuh lebih besar ketika Naruto dengan telak menjungkir balik keadaan mereka.
"Brengsek, lepaskan bodoh!" Kedua tangannya yang masih dicengkram tidak bisa berbuat banyak untuk melepaskan diri. "Jangan macam-macam padaku atau– "
"Atau apa? Kau kira aku sama dengan lelaki di luar sana yang hanya tertarik denganmu karena dadamu lebih berisi atau wajah cantikmu, begitu."
"Kau salah besar jika menyamakan aku dengan mereka." Suara Naruto berubah lebih rendah hingga membuat Hinata meremang. "Uzumaki Naruto tidak akan jatuh begitu saja pada pesona pura-puramu Hinata." Mata biru menatap dalam pada dua iris permata si gadis yang melebar.
"Jika hanya begini saja kau ingin membuatku menggilaimu maka lakukan hal terbaik yang bisa kau lakukan. Kau bahkan tidak masuk pada daftar orang yang menarik bagiku." Kata-kata tajam Naruto membuat telinga Hinata memanas. "Jangan lagi gunakan tubuhmu ini untuk kau jadikan umpan karena itu menjijikan." Entah kenapa ada bagian dari dalam tubuh Hinata yang seolah tercubit sakit mendengarnya.
"Dan. . . aku setuju jika ukuran dadamu memang cukup besar." Dua gundukan kenyal dengan sengaja dielus pelan dari luar garmen. Dalam hati, Hinata menjerit memaki bahwa Naruto adalah musuh terberat sepanjang hidupnya.
Wajah putih Hinata sontak memerah. "Cabul, dasar otak ero! Lepaskan aku." Naruto dengan santai melepas kukungannya. Membiarkan perempuan yang memang cantik itu mengambil langkah menjauh dari dirinya. Napasnya tersengal-sengal mengumpulkan pasokan oksigen.
Jari telunjuk Hinata teracung ke wajah Naruto. "Dengarkan aku baik-baik –"
Dua iris putihnya berkilat penuh kepercayaan. "Aku, Hyuuga Hinata berjanji akan membuatmu bertekuk lutut padaku Naruto. Camkan itu!" Setelah mengatakan hal itu Hinata langsung melenggang pergi dengan langkah kaki menghentak lantai keras.
"Hinata-san kau melupakan obatmu." Tapi yang dipanggil sama sekali tak mengubrisnya.
Naruto berdiri menyandar pada pintu, masih melihat punggung Hinata yang semakin menjauh. "Ya, buat aku jatuh cinta padamu–
"Lagi."
.
Ancaman Hinata tidak main-main. Sepulang sekolah itu tidak lagi menghabiskan waktu untuk mengelilingi toko kosmetik atau sekadar ke karaokean. Rencana sudah tersusun rapi di otaknya untuk menjatuhkan Naruto. Hasil riset kilat yang Hinata lakukan untuk mengetahui seperti apa tipe wanita kreteria Naruto, menunjukan bahwa wanita manis dengan otak encer adalah kesukaan pemuda berambut blonde itu.
Tak ingin membuang waktu Hinata lantas melesat ke toko buku untuk membeli beberapa buku yang ia butuhkan.
"Tidak hanya cantik, tapi aku pun bisa menjadi pintar, elegan, berkelas." Tangan terkepal erat. Hinata telah siap melangkah ke medan pertempuran.
Sampai di rumah ia juga langsung ke kamar untuk berganti pakaian. Hanya ke dapur sebentar guna membuat beberapa cemilan dan membawanya lagi ke kamar. Neji, sang kakak yang sedang libur akhir pekan dibuat heran oleh kelakuan adik semata wayangnya.
"Kau tak mau menonton acara 'Home Beauty? Acaranya baru dimulai."
"Tidak niisan. Aku harus belajar dulu." Timpal Hinata dari dalam kamar. Neji semakin terpekur. Apa benar yang barusan itu adiknya? Sejak kapan acara tv yang sangat digemari Hinata– sampai pernah hampir memotong rambut Neji hanya karena mengubah channel kini malah lebih memilih belajar?
Hinata sedang tidak demam kan?
Bukannya Neji tidak senang kalau adiknya yang menggemari tutorial make up sampai hafal komposisi penyusun kosmetik itu mulai melakukan hal baik seperti belajar sehabis sekolah. Tapi, demi apapun sebagai seorang kakak yang posesif –over protectif Neji berhak tahu apa yang terjadi pada adik kecil yang manisnya melebihi kadar gula itu.
"Hey, kau ada ujian di sekolah? Kena remidi? Atau diancam buat mengerjakan tugas orang lain?! Tumben belajar." Dengan seenaknya Neji masuk ke kamar Hinata yang berada di lantai dua. Melihat bagaimana sebuah ikat kepala bertulis 'Bertekuk lututlah padaku' terikat rapi menghiasi surai Hinata. Motivasi yang kelewat 'normal'.
Bibir Hinata mencebik kesal. Memangnya aneh apa kalau ia belajar. "Nope! Aku ingin lebih pintar niisan." Jawab Hinata sambil melanjutkan membaca buku berhalaman tebal.
Neji hanya menggaruk kepalanya. "Nilaimu tidak terlalu buruk semester kemarin kan. Jangan memaksakan diri Hinata." Ucapnya mengelus surai indigo adik kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa. "Lakukan yang menurutmu terbaik tapi jangan pernah merahasiakan sesuatu pada niisan, mengerti." Nasehat seperti ini sering Neji berikan mengingat Hinata adalah orang yang pemalu dan tertutup. Namun, entah kenapa sejak masuk SMA adiknya berubah menjadi sosok yang lebih ekspresif. Berani untuk tampil percaya diri dan menjadi gadis yang luar biasa. Neji bangga akan hal itu tapi diselingi rasa khawatir sang adik ditaksir jubelan lelaki meski itu sudah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Neji bangga, tapi sesekali ia ingin agar bisa menjalani peran sebagai kakak yang dijadikan tempat bersandar oleh adiknya, Hinata.
Kepala Hinata mengangguk pelan. "Wakatta." Dulu ia memang menyembunyikan serapat mungkin hal buruk yang terjadi padanya, kenangan buruk masa lalu itu ia simpan rapat enggan untuk dibagi. Terlalu suram.
Hinata masih mengingat jelas siapa dirinya di masa lalu. Gadis lugu yang sering ditindas dan dipermainkan. Tak berani buka suara kepada kakaknya karena tak mau sampai merepotkan kakaknya yang sudah harus bekerja keras untuk kehidupan mereka. Oleh karena itu Hinata bekerja keras juga untuk jadi seperti ini.
"Aku akan menjadi orang kuat, cantik, elegan, berkelas, dan pintar niisan. Lalu akan menikah dengan lelaki yang bisa diandalkan." Ia mengacungkan jempolnya ke udara.
"Astaga, kau bahkan belum lulus dan sudah memikirkan menikah." Neji menjewer telinga Hinata, pura-pura kesal dengan tingkah lucu si adik. "Dan sebelum kau menikah, bawa dulu lelaki itu. Niisan harus menilai dulu calon suamimu seperti apa."
Mereka berdua lantas tertawa bersama. Kehidupan sulit ditinggal kedua orang tua di usia belia sudah pernah mereka jalani. Kini di saat semuanya berjalan membaik, kakak beradik itu akan berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankannya.
.
Pemandangan Hinata yang berjalan dengan lipgloss kinclong memoles bibir kenyalnya itu sudah biasa, namun Hinata yang berjalan dengan menenteng buku dan sesekali menulis sesuatu di sana itu baru pemandangan luar biasa.
"Hinata-chan apa kau ada kuis?" Seorang lelaki berambut coklat jabrik bertanya pada sosok yang baru masuk gedung sekolah. Di belakangnya ada Shino, lelaki yang dari awal sampai sekarang selalu memakai kaca mata hitam ikut mendekat.
"Tidak Kiba-kun. Aku hanya sedang ingin membaca– Apa terlihat aneh?" Dua mata bulat memandang polos pada sosok lelaki yang cukup dekat dengannya. Kiba tersentak, merasakan panah cupid mengenai jantungnya. Oh mungkin ia harus sering ke kuil untuk berdoa agar setiap harinya bisa melihat tatapan polos malaikat Hinata.
"Kau sungguh umm, gorgous Hinata-chan." Kiba berujar dengan semangat. "Jika kau butuh apa-apa kau bisa menghubungiku Hinata-chan."
"Kami nanti akan mengunjungi kelasmu." Ucap Shino.
"Arigato Kiba-kun, Shino-kun." Kedua lelaki itu memang sudah dekat dengan Hinata pada awal penerimaan siswa baru, sudah pernah satu kelas selama dua tahun, dan hanya pada tahun ke tiga ini saja mereka beda kelas. Daripada seorang penggemar, Hinata lebih memandang mereka sebagai seorang kawan. Teman pertama yang ia miliki tanpa pura-pura.
Hinata membuka lokernya. Memasukan krim UV, foundation, mascara, eyeshadow, blush on, dan tak ketinggalan cat kuku karena ada peraturan yang tidak memperbolehkan membawa kosmetik berlebihan di lingkungan sekolah, keculai lipstick dan bedak karena hampir semua perempuan menggunakannya.
Sepatu pantofle sudah diganti uwabaki. Baru saja mengunci lokernya dan akan masuk ke kelas ia melihat dua sosok sedang saling berbicara akrab di sampingnya. Shizuka dan Naruto semakin lama semakin lengket. Hubungan keduanya digadang-gadang akan awet sampai tujuh turunan –sehidup semati. Naruto yang bersifat dewasa dan mengayomi serta Shizuka yang manis berbakat sebagai istri idaman. Pasangan bak lukisan, dan Hinata semakin muak saja melihatnya.
Kedua mata Hinata masih awas mengamati interaksi keduanya sambil mencuri dengar.
"Naruto-kun, nanti ayo makan siang bersama." Bento ukuran jumbo diperlihatkan oleh Shizuka. "Aku sudah menyiapkan makanan spesial untukmu." Senyum manis mengembang di bibir pink gadis berambut hitam itu. Hinata mendecih, tak mau mengakui bahwa wanita itu punya pancaran pesona yang natural.
"Err, kurasa kita harus bergegas ke kelas. Di sini ada sosok hantu pengganggu." Secara jelas Shizuka menyindir keberadaan sosok Hinata. "Oh ya kau belum memberiku ciuman pagi ini sayang." Shizuka ingin memperlihatkan kepada orang yang dijuluki dewi venus bahwa hubungannya dengan Naruto tidak akan bisa digoyahkan. Ia ingin membalas Hinata. Menyiratkan bahwa usaha Hinata untuk mendapatkan Naruto itu hanya bualan omong kosong semata.
Sang pemuda hanya diam lalu melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Shizuka. Merapatkan tubuh mereka sebelum menyatukan bibirnya dengan sang kekasih.
Sepasang kekasih yang berciuman di pintu loker itu sudah bisa, apalagi jika itu Naruto-Shizuka, sepasang kekasih yang didukung oleh hampir seluruh sekolah.
"Oh, skinship pagi yang lumayan– " Hinata bukan tipe orang yang akan diam jika ditantang. "Ciuman gaya amatir, kucing juga bisa begitu." Pintu loker berdebam ditutup keras, Hinata memotong jarak antara dua kekasih itu dan berdiri di tengahnya.
"Ap– "
Mungkin bukan hanya Shizuka yang terkejut, bukan juga para siswa laki-laki ataupun perempuan yang kebetulan baru mau masuk kelas. Faktanya Naruto pun juga sampai membulatkan mata ketika tengkuk kepalanya ditarik halus oleh sebuah tangan. Kedua lengan kekarnya dipaksa melingkar pada pinggang sempit sampai hidungnya mencium aroma lavender berbaur dengan wangi kayu cendana. Bauh tubuh yang menenangkan –juga menggairahkan.
Mata biru bersiborok dengan kilau mata putih jernih. Si pemuda berambut blonde diam di tempat. Bibirnya merasakan sentuhan yang aneh. Sebuah kecupan basah, hampir menyerupai lumatan dirasakan pada dua belah bibirnya. Naruto tak menyangkah bahwa,
Hinata menciumnya di depan kekasih, dan di depan umum.
Rasa ciuman itu berbeda. Seolah ada gelenjar aneh yang menggerayangi perut Naruto. Sedikit perih ketika bibir Hinata terlalu kuat menabrakan diri, tapi memabukan. Dilihatnya Hinata memejamkan mata, menikmati cumbuan sepihak yang dilakukan padanya. Sampai Naruto melihat bagaimana kelopak mata dengan hiasan bulu mata lentik itu membuka diiringin senyuman miring yang mirip dengan seringaian yang mengarah pada Shizuka dan kepadanya.
Hinata tidak sungguhan menciumnya.
Bagi Hinata, ia tak lebih dari sebuah piala bergilir yang harus ditaklukan.
Damn it! Entah kenapa perut Naruto terasa mual, sangat menjijikan melihat wanita di depannya ini menjadikannya objek pembalasan. Sangat keterlaluan!
"Ciumanku sangat nikmat bukan."
'BRAKKK'
" –Ittai." Hinata meringis. Punggungnya menabrak rak loker dengan keras. Hinata hendak mengumpat namun urung ketika melihat kilatan amarah di kedua frame tebal Naruto. Kata-katanya menggantung di tenggorokan, apalagi ketika rambutnya ditarik paksa ke atas sampai ia harus mendongak.
"Kau– " Suara Naruto bergeming di kepala Hinata. Sorot tajam penuh kemarahan itu menyurutkan si gadis yang kini hanya bisa memandang tanpa bisa melakukan apapun. Lembaran Yen dilembar Naruto pada wajah Hinata. "Sekalian saja kau lacurkan dirimu, brengsek!" Teriakan Naruto sudah cukup memberitahu bahwa ia tidak segan-segan bertindak kasar. Ia melepaskan cengkramannya dan mendorong Hinata jatuh ke lantai.
Tubuh Hinata membeku di tempat. Sesuatu dari perkataan Naruto membuat bagian dari memori tergelapnya muncul ke permukaan. Hal seperti itu pernah dilontarkan teman-temannya sewaktu ia dikerjai. Hatinya meringis, sejauh apapun perubahannya nyatanya masa lalu itu selalu menyertainya.
Naruto meninggalkan Hinata yang sudah seperti pecundang untuk mengejar Shizuka yang berlari dengan derai air mata. Sudah pasti kejadian hari ini dimana Hinata dilempar uang akan menjadi bahan bagi para pembencinya untuk menjatuhkannya. Kejatuhan sang primadona, judul yang sudah akan menjadi buah bibir di seluruh penjuru sekolah.
Dengan berlahan Hinata bangkit, mengibas roknya yang kusut dan merapikan rambutnya. Uang yang terongok di bawah ia pandangi sebentar. Ada rasa aneh yang menghimpit kerja paru-parunya, tapi Hinata menggeleng keras. Bukankah seharusnya ia yang marah. Ia tidak pernah sampai bertindak sejauh ini untuk mendapatkan atensi dari mangsanya, dan Naruto sukses membuat celah retakan pada kesempurnaan hidupnya.
'Apa barusan aku telah diperlakukan seperti sampah'
'Dasar bodoh. Seharusnya aku yang marah.'
'Kau membuatku tak punya piliha lain, meskipun– '
'Itu adalah ciuman pertamaku sialan.'
.
"Hei mata buta, apa kau sebegitu murahannya sampai berani mencium ketua Naruto di depan umum?"
Belum juga Hinata menempatkan pantatnya pada tempat duduk, sudah ada kumpulan perempuan yang menghampirinya dengan tatapan benci.
"Lihat mataku jalang!" Hinata mendesis ketika wajahnya dipaksa mendongak menatap wajah congak mereka.
"Kami semua sudah muak melihat tingkah binalmu. Kenapa tidak keluar saja daripada berlaku seperti Enjo kosai."
"Apa tubuh kotormu itu kau jajakan ke semua pria di sekolah ini untuk membuatmu berlaku seolah-olah menjadi nomer satu."
"Atau jangan-jangan sudah banyak lelaki yang kau tiduri hanya demi kepuasan. Oh fuck! Kau bahkan lebih rendah dari wanita di gang sepi sana."
Tangan yang memegang dagunya ditepis kasar oleh Hinata. Ia beranjak bangun dan menggebrak mejanya. Cukup sudah ia bersabar. "Cih, katakana saja kalian iri melihatku. Sudah jelek, dada sedatar triplek, masih saja mulut kalian– Ouch." Hinata memekik ketika rambutnya ditarik ke belakang. Matanya melihat Shizuka tengah menatapnya penuh marah.
"Mati saja benalu." Umpat Shizuka yang menarik Hinata ke depan kelas. Ia memukul pelipis Hinata. "Perusak hubungan orang! Keberadaanmu adalah kesialan untuk orang-orang."
"Ayo kita beri pelajaran pada wanita sialan ini. Kalau perlu rusak wajah menjijikkannya." Suruh Shizuka pada kawan-kawannya yang disambut pekikan senang oleh komplotannya.
Sedangkan murid lainnya yang menonton tak tahu harus berbuat apa. Masuk ke lingkaran pertengkaran untuk meleraikan dirasa percuma, malah bisa-bisa menjadi korban salah sasaran. Selain itu duel perempuan antara Hinata dan Shizuka menjadi tontonan menarik yang tidak akan dijumpai selain di sini.
"Oh, lihat mata putih menyeramkan itu, nona katarak sok jadi tuan putri." Salah satu dari mereka menyiram saus tomat ke baju Hinata.
"Rendahkan pandanganmu ketika melihatku bodoh!" Shizuka melayangkan sebuah tamparan yang membuat kepala Hinata pening.
"Wanita jelek, kau yang harusnya sadar posisi." Balas Hinata geram. Hinata sebisa mungkin hanya menangkis tanpa balas memukul mereka. Diejek lemah pun Hinata tak benar-benar membalas perlakuan kasar mereka.
Kontan saja adegan perkelahian diantara para perempuan itu membuat kelas mereka kedatangan komite kedisiplinan. Naruto datang dengan beberapa anggota yang lain, berusaha melerai adu jambak, tampar dan cakar yang menyeramkan.
"Shikamaru, Sai evakuasi tempat ini."
Dua anak buah yang disebutkan namanya bertindak cepat. Memblokade dan menyuruh semua siswa untuk keluar.
"Kalian hentikan!"
Teriakan Naruto menggema. Membuat tubuh mereka menegang karena secara tidak langsung berhadapan dengan sang ketua komite kedisiplinan yang terkenal ketegasannya. Sejenak Naruto melihat keadaan Hinata yang mengusap kasar sudut bibirnya yang lecet. Ia menghelah napas panjang, kali ini sang primadona menyebalkan tengah dihadapkan dengan puncak ketidaksukaan para pembencinya. Kudeta tengah berlangsung rupanya.
"Kalian semua ke ruanganku. Sekarang!"
.
"50 poin minus, berkelakuan kurang ajar, punya banyak musuh, dan –" Naruto melempar buku kesiswaan yang sudah penuh dengan coretan merah. "Mau sampai kapan kau berkelakuan seperti ini, Hyuuga Hinata!" Kepalanya terasa pening berhadapan dengan Hinata. Yang ditanya pun hanya diam enggan mendengar atau menjawab. Hanya meringis karena merasa sakit pada beberapa bagian di wajah.
Pemuda blonde itu seolah sudah habis kesabarannya untuk menghadapi tipe keras kepala macam Hinata. "Kau punya mulut kan? Apa mulutmu itu hanya bisa berciuman saja, hah."
"Mulutku masih sakit, jangan berteriak padaku– Aduhhh." Hinata menahan denyutan perih di bibirnya sekadar untuk mengucapkan kalimat tersebut. "Aku tidak mencari gara-gara. Mereka yang lebih dulu menyerangku." Matanya berkaca-kaca, wajah memelas kasihan seperti anak anjing yang terbuang.
"Hentikan tatapan bodoh itu, aku tidak akan terpengaruh." Hinata kembali cemberut. Usahanya gagal menarik empati pemuda di depannya ini.
Naruto menyilangkan tangan dengan pandangan marah. "Jangan alasan, kau sendiri bertingkah keterlaluan. Kupikir telingamu masih berlubang untuk mendengar kabar kau suka merusak hubungan orang lain."
"Jangan menumpuk musuh." Sambung Naruto.
Hinata mengacak rambutnya gusar. "Ralat, aku tidak mengganggu mereka ketua yang terhormat. Mereka putus bukan karena aku, bahkan aku masih single." Jelas Hinata frustasi. Selalu dijadikan kambing hitam atas perbuatan yang tidak ia perbuat melukai harga dirinya.
"Satu lagi, aku tidak punya musuh. Mereka yang seenak jidatnya memusuhiku."
"Oh ya, bisa kau pertanggung jawabkan ucapanmu barusan? Jika tidak mengganggu, kenapa kau menggodaku." Kaca mata yang selama ini bertengger manis membingkai iris shapire dilepas. "Katakan, kenapa kau melakukannya." Pertanyaan itu menuntut untuk dijawab.
Secara sadar Hinata meneguk ludahnya kasar. Mata biru itu terlalu menyorot memindai seperti sinar laser. "I-itu." Nyaris saja Hinata terpesona pada pemuda tampan di depannya andai saja ia tidak ingat bahwa Naruto adalah musuh sekaligus targetnya. "Karena kau sama sekali acuh padaku. Aku adalah Queen di sini, dan kau seharusnya ikut seperti mereka yang mengagumiku." Binar mata putih membulat lebar menampilkan wajah garang namun malah terlihat seperti gadis patah hati.
"Khheekkeke." Naruto menahan kekehanya. Alasan macam apa itu. "Jadi aku harus bertingkah seperti lelaki buaya darat begitu? Hanya menginginkan mencicipi tubuhmu?"
"Aku memang sexy, tapi aku bukan rendahan yang mau menyerahkan keperawananku pada para lelaki sialan."
Naruto bersiul meremehkan. "Oh, jadi kau masih perawan. Yakin bukan tambal-sulam hymen?" Hinata mendelik ingin menampar mulut kurang ajar sang ketua. Wajah boleh super tampan tapi mulut keterlaluan brengseknya.
Naruto baru sadar. Entah kenapa ia yang biasanya tenang dan selalu berpikiran dingin menjadi banyak bicara jika menyangkut wanita di depannya ini. Ia menikmati setiap ekspresi yang ditunjukan Hinata, mengamati gadis itu berbicara hal-hal tak masuk akal, atau sedikit dongkol ketika Hinata berprilaku sangat egois dan arogan.
"Jadi, aku akan memanggil wali muridmu untuk ke sini."
"APA?!" Sontak tubuh Hinata berdiri kaku. Hukuman terburuk, Hinata tidak mungkin membiarkan kakaknya dipanggil gara-gara tingkahnya. "Hello! Kau bukan guru, hanya ketua OSIS dan kenapa hanya aku yang dipanggil wali muridnya."
"Apa karena si gadis kuno-Shizuka itu pacarmu jadi kau membelanya?!" Wajahnya memanas murka. Kakinya sudah mengetuk lantai dengan hentakan kasar.
"Poinmu yang paling parah jika kau mau tahu." Acuh Naruto mengoreksi perkataan Hinata. "Dan masalah authoritas, kupikir kau sudah tahu bahwa aku memang punya kuasa untuk melakukannya." Tentu saja Naruto bisa melakukannya. Ia merupakan anak komisaris serta pendiri sekolah elite ini.
Oh lihat seringai macam rubah memuakan pemuda blonde ini. Apakah ini sifat asli si ketua OSIS. Menyebalkan. Kenapa sampai ada manusia seperti Uzumaki Naruto di dunia ini?!
Sadar keadaan tidak mendukung, Hinata mengambil rencana B– jangan melawan, bersikap seperti anak kuning rumahan. "Umm, ayolah tuan Uzumaki yang terhormat. Pasti ada hukuman lain daripada memanggil wali muridkan." Senyum itu sedikit berkedut. Sumpah, Hinata tidak ikhlas melakukannya.
"Rayuanmu terlalu klise."
Sabar Hinata.
"Membersihkan kelas selama seminggu?" Tawar Hinata. "Tidak menarik." Timpal Naruto.
Tangan terkepal erat ingin mencekik pemuda ini. "Kutambah dengan membersihkan to-toilet euuhh." Membayangkan harus mencium bau tak sedap dan terkena cipratan air bekas buangan urine atau parahnya sisa feses membuat hinata bergidik ngeri.
"Kau pasti tahu bahwa itu tawaran yang tidak berharga." Kilah pemuda bermarga Uzumaki. Mata biru mengamati raut pias gadis bermata lavender itu, entah ketakutan atau kesedihan. Hinata terlihat kebingungan. Tapi, Naruto bisa melihat bahwa Hinata sedang tidak pura-pura. Tipikal anak baik rumahan yang good attitude hanya di rumah, pikir Naruto.
"Baiklah kau mendapatkannya. Hukumanmu kuganti, temani aku menjaga perpus sampai selesai."
"Eh?"
'
.
Wanita jalang yang ditolak, tidak tahu malu, murahan yang menyedihkan dan banyak lagi kalimat sejenis yang sudah mengudara. Padahal baru tiga jam yang kejadian itu berlalu, tapi kini Hinata sudah harus menebalkan telinganya dengan lontaran umpatan atau cemohan. Mulut ember butuh dijahit, batinnya.
Sekarang ia tengah menjalani hukumannya berada di dalam perpustakaan tak tahu harus melakukan apa. Bertanya pada petugas jaga perpus juga malah diabaikan dengan tatapan sinis seolah ia adalah bibit penular penyakit, heol! Belum lagi ia masih menangkap para penggosip tengah berbisik-bisik mencelah mengenai dirinya.
Lupakan tentang serangga berisik itu, Hinata sama sekali tak peduli.
Iris pearl itu memutar bola mata ke seluruh penjuru, tangannya bersendekap dengan bibir menggerutu suatu hal. "Jadi, aku harus menunggu Uzumaki Naruto di sini seperti orang dungu? Great." Sosok Naruto memang tak kelihatan batang hidungnya, jadi daripada menganggur tak melakukan apapun, ia lebih memilih bergelung dengan setumpuk buku yang berhasil menarik minatnya. Tidak ada salahnya kan sedikit merecall pelajaran selama di sekolah –yang selama ini hanya giat belajar untuk menuntaskan ambisi 'pintar demi menaklukan Naruto'
Beberapa lama membaca, Hinata sampai tertidur kelelahan. Ia tidak menyadari bahwa sekolah sudah berakhir sejak pukul empat sore tadi. Tahu-tahu ia telah melihat senja di ufuk barat lewat jendela. "Astaga aku ketiduran." Matanya masih berat, ia meraba sakunya dan berdecak kesal ketika tidak membawa ponsel. Sudah pasti Neji menghubunginya karena belum pulang. Hinata berniat kembali ke kelas sebelum ada suara yang menahannya.
"Hey cantik, sendirian?" Segerombol lelaki duduk di mengelilingi Hinata. Membuat gadis cantik itu berkerut curiga.
Siapa mereka?
Ia tidak mengenal siapa orang-orang ini, tapi itu tidak penting karena yang menjadi pertanyaan Hinata adalah apa tujuan mereka di sini menemuinya?
"Dilihat dari dekat kau memang cantik ya."
"Kabarnya kau cukup genit menggoda para lelaki, sampai mencium si ketua komite ya, tapi sayang ditolak." Kekehan rendah itu membuat Hinata menatap tajam namun tetap mencoba mengabaikan ocehan mereka.
"Kalau begitu– bolehkan kami sedikit bermain denganmu, nona~"
Perasaan Hinata tidak enak. Tiga lelaki yang mengelilinginya dengan kurang ajar memepet tubuhnya. Apalagi posisi tempat meja Hinata berada di sudut pojok, terhalang oleh rak-rak tinggi dan tembok beton. Tidak terlihat ada orang lain yang ke sini, adapun itu mungkin dua jam yang lalu dan kini hanya tinggal ia sendiri. Situasi dan waktu yang tidak tepat sama sekali.
"Kalian bukan siswa sini, penyusup." Hinata mengambil langkah antisipasi, menampis dan menampik lengan jahil yang semakin kurang ajar. Hinata hampir mengenal semua siswa laki-laki di satu sekolah, tapi sama sekali tidak pernah melihat wajah asing para pria di depannya ini. Mereka jelas orang bayaran, seseorang punya dendam padanya sampai menyuruh orang lain mencelakainya. "Cih, kalian dibayar berapa? Dasar manusia kotor."
"Shit, mulutnya tak semanis tubuhnya." Lelaki yang bertubuh gempal nampak marah oleh perkataan Hinata. "Cepat beri pelajaran padanya. Permalukan ia sampai menyesal terlahir di dunia." Perintahnya pada kedua temannya.
Tiga lelaki itu mengeluarkan peralatan menyeramkan seperti tali, tongkat bisbol dan cutter. Senyum di atas angin melebar, mengeroyok seorang gadis manis itu sebenarnya tidak keren sama sekali, namun mereka tidak peduli.
Mereka tertawa lebar melihat mangsa kelinci yang terpojok.
Tak sabar untuk segera bersenang-senang dengan target terlampau cantik kali ini.
Ketiga-tiganya menyerang secara bersamaan, ada yang menyerang dari belakang, depan dan samping. Kekuatan lelaki berbeda dengan tenaga perempuan. Itu lah yang terkadang membuat lelaki besar kepala, namun kadang itu juga yang bisa menjadi bumerang.
"Rasakan wanita murahan!"
'DUAK'
'BRAK'
'BRUG'
'KLEK'
Terakhir terdengar suara mirip kayu patah.
Hanya sekejab, dalam hitungan singkat, dua lelaki yang tadi menyerang Hinata kini terlempar menabrak rak-rak buku dengan air liur yang keluar –teler, dan salah satu dari mereka harus merasakan sol sepatu yang menekan kepalanya keras. Hinata mungkin seorang gadis yang sering dipandang hanya bisa bersolek, tidak punya bakat apapun selain memoles wajah dan pintar menggoda lawan jenis. Namun, jangan menilai buku dari kovernya. Hyuuga Hinata adalah seorang yang mempunyai keahlian bela diri sampai menyabet sabuk hitam yang disimpan di dalam almarinya. Keluarganya secara turun temurun memang mewajibkan anggota keluarga untuk menguasai Juudo sebagai keahlian khas beladiri.
"Dari dulu aku selalu menahan diri agar tidak sampai menggunakannya." Sol keras itu semakin menekan kepala di bawahnya. "Karena saat itu pola pikirku begitu polos. Berpikir bahwa dengan menjadi orang baik akan mempunyai teman banyak –seperti yang dikatakan okaasan."
"Tapi maaf tidak untuk kali ini. Meskipun aku tak mau terlihat seperti monster, ya walaupun monster cantik haha. Tidak anggun sama sekali jika gadis cantik sepertiku terlibat perkelahian yang sialnya aku memenangkannya asal kalian tahu." Dibalik sikap manis yang selalu ia tunjukan ke hadapan publik, Hinata mempunyai sisi lain yang ia asah sebaik mungkin. Manusia harus menyembunyikan senjata ke dua kan. Mengasah sampai tajam dan digunakan hanya jika perlu. "Astaga, kukuku sampai lecet seperti ini." Terlihat warna kuku hasil cat kutek merah marun sedikit tergores.
"Dan aku paling membenci jika bajuku harus kotor karena kalian." Dalam bayangan Hinata ia melihat Neji yang bertanya ini-itu seperti reporter. Akan sangat menyulitkan untuk mengelak dari kakaknya yang overprotektif itu. "Aku sudah telat pulang dan kalian memperburuk keadaan." Ia menarik napas panjang kesal. Hari ini sungguh melelahkan sampai badanya terasa lengket akibat banyak keluar keringat.
Satu pemuda yang tadi menabrak rak buku berusaha bangkit, hendak memberi bogem mentah pada wanita yang sibuk mengoceh ini-itu. Persetan dengan kuku lecet atau baju kotor yang dilontarkan Hinata. Ia tidak peduli dan ingin segera memberi pelajaran pada perempuan sialan itu.
Hinata jelas tak menyadari, dan ketika kepalan tangan itu terangkat ke atas lalu terayun tepat pada kepala bagian belakang Hinata, lelaki itu harus kembali tergeletak di lantai karena pukulan seseorang tepat mengenai tengkuknya.
"Diam di situ, atau kubuat impoten sekalian."
Hinata berbalik ke belakang, melihat sosok tinggi berdiri melindunginya. "Na-naruto-san?" Tanyanya sedikit tak yakin.
.
.
.
TBC
RnR
OOC parah kan? Tapi saya lagi mood bikin Hinata versi garang ~nyaaa!
Ini bukan multichapter, perkiraan saya sampai 3 chapter lah. Kemungkinan update mungkin dua minggu lagi atau lebih sedikit karena saya sedang magang selama 14 hari ke depan.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
7/22/16
Atharu_u
