Naruto © Masashi Kishimoto. Standar warning. Tidak mengambil keuntungan materil apapun dalam pembuatan fanfic ini.
Pairing : Sasuke & Hinata. Genre : Angst & Romance. Rating : T.
Amarah dan Penyesalan ©
Saat amarah mulai berganti dengan penyesalan, hanya menyisakan ratap pilu dan isak tangis yang tak kunjung berakhir
.
Amarah dan Penyesalan
.
Ia berdiri dengan kaki gemetar. Rinai hujan yang sedikit deras tidak membuatnya gentar. Bahkan, ketika sepasang mata nyalang menatapnya penuh amarah dan dendam. Ada sebongkah besar rasa bersalah yang terus menggelayuti hidupnya. Rasa bersalah kepada mata yang menatapnya nyalang itu. Dan karena perasaan itu juga, ia tidak takut jika harus berakhir.
"Apa yang kaulakukan di sini, Hinata?" suara si pemilik mata nyalang itu berujar dingin. Begitu dingin hingga seluruh organ milik seorang gadis membeku ketika mendengar.
Gadis itu balas menatap bola mata hitam kelam milik lawan bicaranya. "A-aku juga ti-tidak tahu."
Ada suara dengusan yang tampak kentara muncul dari milik mata hitam itu. Perlahan, ia mendekati perempuan bermahkotakan indigo yang terlihat semakin menggigil kedinginan. Melihat itu, ingin rasa dirinya menguliti secara perlahan tubuh mungil itu dengan sebilah pisau yang terselip di balik jubahnya. Pasti akan sangat menyenangkan mendengar jerit dan ratap memohon dari mulut gadis itu. Ya, Hinata pantas mendapatkannya atas apa yang telah diperbuat keturunan Hyuuga itu.
Ketika ia sudah berdiri tepat di depan perempuan itu dan menyampirkan jubah sehingga memperlihatkan kilau pisau yang tajam, matanya menangkap keterkejutan. Bukan. Bukan dari manik hitamnya.
"Buka matamu!" perintahnya dengan suara datar namun begitu mencekam.
Hinata yang mendengarnya langsung membuka mata cepat. Sekilas ada horor yang tercetak pada kedua lilacnya yang menangkap bayangan kilau bilah pisau itu. Bukankah akan lebih baik begini? Dan ketakutan itu perlahan pudar dan berganti perasaan ikhlas. Kau layak mendapatkannya.
"Apa kau takut?" tanya suara bariton itu.
Hinata menggeleng pelan. Kepalanya tertunduk pasrah.
"Seharusnya kau takut, pembunuh!"
Maafkan aku, Sasuke. Hati Hinata menjerit menginginkan semua segera berakhir. Hanya suara derai hujan yang terdengar di hutan itu. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang keluar di tengah cuaca yang tidak bersahabat malam itu.
"Mengapa kau diam saja?!" teriaknya frustrasi. Ada rasa kesal yang membuncah dalam dadanya. Bukan seperti ini yang diharapkan. Seharusnya ia mampu mengendalikan diri. "Seharusnya kau takut dan memohon ampun!"
"Ma-maafkan aku, Sasuke," gumam Hinata. "Ma-maaf," suaranya semakin lirih nyaris tak mampu terdengar karena suara gemuruh langit yang membahana.
"Mudah saja bagimu berucap satu kata maaf," celanya jijik memandang perempuan di depannya. "Kembalikan apa yang sudah kauambil dariku!"
Mendengar itu, Hinata tergugu. Airmata yang sebenarnya sudah menetes namun terkalahkan hujan sedari tadi kini semakin terlihat jelas. Suara isak yang tak terperi mengiringi hujan yang kian lama mulai mereda. Andai ia bisa mengembalikan apa yang menjadi milik Sasuke, lelaki yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan ganas itu, pasti ia akan berusaha menyerahkannya kembali. Tapi itu mustahil. Hinata sendiri tidak bisa. Ia tidak tahu ...
"Kau adalah makhluk menjijikkan, paling hina, dan tak memiliki perasaan."
Kau benar.
"Pantas saja orang tuamu membuangmu. Kau layak mendapatkannya!"
Berhenti. Kumohon.
"Tapi bukan berarti kau mengambil kebahagiaanku juga!" Sasuke semakin menjadi-jadi. Rasa sakit yang menggelayuti hatinya selama empat tahun, ia tumpahkan secara frontal pada gadis di depannya. Rasa kehilangan ini menusuk batinnya hingga entah apakah sanggup untuk kembali pulih.
"Dasar wanita jalang!"
Isak tangis Hinata memelan. Ia sudah lelah berlari. Ia lelah berpura-pura bahwa semua akan baik-baik saja jika gadis itu menjadi sosok dingin—sama seperti lelaki di depannya kini.
"Kau ... KENAPA KAU DIAM SAJA, SIALAN!" Sasuke berang dan langsung menarik kasar kerah baju Hinata lalu mengangkatnya. "Lihat aku, brengsek!"
Ada rintihan kecil keluar dari mulut Hinata saat secara tidak sengaja Sasuke menyentuh luka sayatan pada dadanya yang satu minggu lalu Hyuuga itu dapatkan dari sang ayah. Namun Sasuke yang sudah dikuasai amarah tidak mendengar bahkan menyadari kesakitan perempuan itu. Hinata sengaja menahannya. Aku pantas mendapatkannya.
"Ma-maaf," Hinata mengulang lagi. Andai ada cara agar Sasuke mau memaafkannya, ia akan melakukan apapun itu meski ia harus mati sekalipun.
Sasuke yang mendengar gumaman maaf itu semakin naik pitam. Kata maaf tidak akan mengembalikan Itachi. Kata itu juga tidak akan membawa kedua orangtuanya hidup. Kata maaf juga tidak akan membawa Ino kembali.
"Kau harusnya mati saja!" desisnya dari antara rahang yang mengetat keras kemudian raga Hinata diayun lalu terlempar lima meter menghantam pohon dedalu. Tubuh perempuan itu jatuh dengan debam sangat keras. Batang pohon dedalu itu retak bahkan nyaris ambruk.
Rasa sakit menjalar tiap sel dalam tubuh Hinata. Meski begitu, ia memaksa diri bangkit untuk kembali menghadap sang Uchiha.
"Lawan aku!" Sasuke kembali membanting Hinata ke tanah berlumpur. Hinata bergeming dengan semua tindakan lelaki raven itu.
Sasuke terengah-engah lelah karena amarahnya. Matanya yang semula menyipit sontak melebar melihat hoodie putih gadis itu berubah menjadi merah muda. Matanya semakin membulat ketika bunyi batuk dari mulut Hinata turut mengeluarkan cairan kental dan gelap.
Dengan sisa tenaganya, Hinata masih mencoba untuk berdiri. Namun sebelum tubuhnya tegak sepenuhnya, dua telapak tangan besar merengkuh bahu perempuan itu dan dengan kasar mengempaskan raga mungil itu ke batang pohon lain. Ia tak lagi berpikir sudah sehancur apakah organ dalamnya. Saat ini, ia hanya ingin dimaafkan. Hanya itu. Jika dengan cara ini semua akan selesai, maka Hinata membiarkan Sasuke menuntaskan segala derita lelaki itu padanya. Bahkan ketika harus mengakhiri entitasnya, itu tak masalah. Untuk apa hidup jika banyak orang tersakiti karena kehadirannya?
"Kau—" Sasuke mengentakkan tubuh Hinata yang sudah lemah satu kali, "Brengsek—" Sekali lagi punggung gadis itu menghantam kayu keras, "Kembalikan—" Satu lagi, "mereka!" Hantaman terakhir membuat gadis itu lagi-lagi tersungkur. Karena energinya terkuras, Sasuke melepaskan cekalannya dari pundak Hinata. Lagipula, perempuan itu sepertinya juga sudah kehabisan tenaga. Tidak ada pergerakan dari Hinata. Bahkan tak ada batuk maupun gerakan napas kelelahan dari tubuh gadis itu. Seolah-olah ...
Mati?
Sasuke langsung bertelut. Matanya terpejam. Rasa sakit itu masih ada. Seharusnya rasa sakit itu hilang. Bukankah gadis pembawa sial yang selama ini ia benci telah menjadi seonggok mayat? Seharusnya segala pedih yang ia tanggung menguap dan hilang, kan? Tapi kenapa ia masih saja perih dan ... sesak? Dari ujung bibir lelaki itu, terbentuk sebuah senyuman yang makin lama makin besar lalu disusul tawa yang membahana dari mulutnya. Tawa yang terdengar ... memilukan. Tawa dari seorang merana Sasuke Uchiha. Gelak tawa yang terdengar trenyuh itu mulai meredup lantas berubah menjadi isak tangis kencang. Raga yang tergeletak tak bergerak itu direngkuhnya.
"Bangun, brengsek!" murkanya. "Aku belum selesai denganmu!" Guncangan yang dihasilkan untuk membangunkan Hinata sia-sia.
Sasuke merintih; kesesakan itu kian membesar dan menciptakan sayatan-sayatan tak kasatmata pada hatinya. Kesedihan itu terus berlanjut.
Sunyinya hutan, bersihnya langit malam, dan terangnya bulan purnama ternyata tak memedulikan sosok gelap itu. Mereka tak peduli bahwa telah terjadi penyesalan. Tak pernah sekalipun manusia belajar tentang pentingnya bertindak, pentingnya bernurani, dan pentingnya memaafkan.
Teriakan yang menggores hati siapapun menjadi pemecah keheningan malam itu.
Catatan penulis :
Maaf malah mengunggah cerita lain. Saya sedang terkena sindrom yang sering diderita banyak penulis. Ketika mencoba menulis lanjutan cerita fanfic yang lain, semua seakan buntu. Jadi, saya butuh pelarian agar tidak terjebak terus dalam sindrom memuakkan itu.
Lalu, entah datang darimana, saya jadi punya ide soal menulis catatan kaki. Saya ingin berbagi mengenai beberapa hal.
Kata baku "FRUSTRASI"
Kebanyakan saya masih menjumpai kata tersebut masih ditulis dengan kata "FRUSTASI". Ditengok dari bahasa inggris frustration kemudian di-Indonesia-kan menjadi frustrasi nyatanya masih banyak yang salah.
Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di catatan penulis berikutnya.
