Ceritanya saya lagi kepengen nulis, tapi bosen nulis cerita romance. Terus saya juga pengen punya OC di fanfic DC. Akhirnya jadilah saya nulis fanfic ini. Mohon dukungannya. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Selamat membaca. Enjoy!


Disclaimer: Detektif Conan adalah milik Aoyama Gosho. Saya cuman minjem buat fanfic saya.

CHAPTER 1

Lana memandang lapangan yang jauh berada di bawahnya. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya menjadi lebih cepat. Tubuhnya gemetar. Hanya tinggal satu langkah saja, ia akan terjun dan menjemput ajalnya. Satu langkah saja dan semua ketakutannya akan sirna. Semua penderitaannya akan berakhir.

Benarkah?

Lana tersentak. Suara dalam hati kecilnya membuatnya ragu.

Benarkah semua akan selesai jika ia bunuh diri? Benarkah ia akan berhenti menderita?

Tentu saja begitu, batin Lana meyakinkan dirinya. Apa lagi yang akan membuatku menderita setelah mati? Tidak ada. Tidak ada.

Benarkah?

Lagi-lagi hati kecilnya bertanya, membuat Lana lagi-lagi meragukan niatnya.

Semua tidak akan selesai hanya dengan bunuh diri.

Kali ini Lana merasa ingin meledak. Matanya berkaca-kaca dalam sekejap. Dadanya sesak.

Memangnya apa yang akan terjadi padaku jika aku bunuh diri? Apa?! jerit Lana dalam hati, akhirnya ia menangis juga. Aku sudah muak berada di sini. Dunia ini membuatku muak! Aku ingin pergi!

Pengecut.

Satu kata dari hati kecilnya membuat Lana terbelalak.

Pengecut.

Apakah ia telah menjadi pengecut? Apakah bunuh diri berarti dirinya adalah pengecut?

Apakah ini artinya ia membiarkan mereka menang atas dirinya?

Apakah ia sudah kalah?

Lana terdiam, memikirkan semua pertanyaan yang muncul di kepalanya begitu hati kecilnya menyebut dirinya pengecut. Ia melangkah mundur perlahan-lahan menjauhi titik terpinggir atap gedung.

Setelah berpikir matang-matang, Lana tahu kalau hati kecilnya benar. Jika ia bunuh diri sekarang, itu artinya ia adalah pengecut karena melarikan diri dari masalah. Ia harus menghadapi masalah, bukan menghindarinya. Jika ia bunuh diri, itu artinya ia mengaku kalah. Itu artinya ia mengakui para penindas itu sebagai pemenang.

Tidak bisa. Aku tidak mau kalah dari mereka, batin Lana sambil menyeka air matanya. Aku tak mau jadi pengecut dan membuat mereka menang. Mereka tidak pantas menang.

Lana telah memantapkan hatinya. Ia telah membuat keputusan final. Ia takkan bunuh diri. Ia takkan menjadi seorang pengecut dengan bunuh diri. Ia akan menghadapi masalahnya.

Lana berbalik dan hendak turun ketika ia mendengar suara yang dikenalnya sekaligus dibencinya.

"Eehh? Kau tak jadi terjun? Kupikir kau ingin bunuh diri."

Lana membenci orang itu. Lelaki itu. Dia adalah musuhnya, salah satu penindasnya. Orang yang selalu berwajah manis di hadapan semua orang selain dirinya.

"You're wrong," balas Lana dingin, lalu terus melangkah dan tidak mengacuhkannya, tapi tiba-tiba lelaki itu menahannya dengan menarik tangannya.

"Let me go!" seru Lana. Pada detik ini ia sudah tak takut menghadapinya. Ia bukan lagi gadis penakut yang selalu diam ketika ditindas. Musuhnya pun menyadari hal itu.

"Kau sudah berani melawan, ya?" katanya dengan nada mengejek. Kemudian ia menarik Lana ke tepi atap gedung dengan paksa sementara Lana terus berusaha melepaskan dirinya. Tapi rupanya lelaki itu lebih kuat. Lana tak bisa melepaskan dirinya dan dalam beberapa menit setelah perlawanan sia-sia, Lana lagi-lagi berada di tepi gedung.

"Lihat, gerbang kebebasanmu!" kata lelaki itu sambil tersenyum menyeramkan. "Kau hanya perlu terjun dan dalam sekejap kau akan bebas. Mengapa kau tidak melakukannya sekarang?"

"Aku tidak mau mati," balas Lana sengit. "Kalau kau mau mati, mati saja sendiri. Jangan bawa-bawa aku!"

Lana tahu dirinya sudah membuat lelaki itu marah, tapi ia berusaha tidak takut. Ia takkan takut. Orang itu takkan membuatnya takut lagi. Tiba-tiba, lelaki itu tersenyum dan Lana tahu itu bukan senyum yang baik. Senyuman itu adalah pertanda buruk.

"Ah, jadi kau takut. Itu sebabnya tadi kau tidak jadi terjun," kata lelaki itu. "Tentu saja, aku lupa kalau kau ini penakut. Baiklah, sekarang aku mengerti."

Lana benar-benar marah mendengarnya. Ia melayangkan tangannya yang bebas ke wajah lelaki itu, menamparnya dengan keras. Setelah itu, Lana melihat kesempatan untuk bebas, jadi segera saja ia melarikan diri dari lelaki itu. Tapi lelaki itu lebih cepat darinya, juga lebih kuat. Tak sampai satu menit, ia telah kembali berada di tepi atap gedung.

"I hate you. I really hate you," kata lelaki itu penuh amarah. Lana hanya diam mendengarkan dengan hati yang penuh kebencian. "Aku sudah lelah melihatmu. Aku juga sudah lelah menindasmu. Tapi aku masih sangat membencimu. Mengapa kau tidak pergi jauh-jauh dariku? Kau harus pergi jauh, jauh ke tempat yang tak bisa kuraih. Hanya dengan cara itu aku bisa tenang."

"Kalau begitu kau saja yang pergi. Kau tak punya hak untuk menyuruhku pergi," balas Lana.

Lelaki itu tersenyum. "Mungkin aku tak punya hak, tapi aku bisa membuatmu pergi. Aku akan membuatmu pergi sekarang juga."

Untuk beberapa detik, Lana tak mengerti apa yang terjadi, tapi setelah lelaki itu melepaskan tangannya dan mendorongnya dari tepi atap, barulah ia paham apa yang terjadi.

Lelaki itu ingin membunuhnya dan ia akan segera jadi pembunuh karena sekarang Lana sedang terjun dari atap gedung ke tanah keras di lapangan. Lana akan segera tewas.

Lana memejamkan kedua matanya. Ia tak bisa menghentikan dirinya terjun ke tanah. Ia tak bisa menghindari kematian, jadi ia akan menerimanya dan bersyukur bahwa ia terjun bukan atas keinginannya sendiri. Ia bersyukur karena ia sempat melawan penindasnya sebelum meninggal. Ia bersyukur karena ia bukan pengecut di akhir hidupnya. Ia adalah pemenang.

Lana tahu dirinya telah menang dan lelaki itu telah kalah. Lelaki itu telah kalah sejak ia memutuskan untuk membunuh Lana.

Beberapa detik kemudian, Lana tak bisa merasakan apa-apa lagi. Ia tak lagi merasakan angin yang menerpanya saat ia terjun. Ia tak mendengar suara gemerisik dedaunan. Lana juga tak melihat apa-apa saat ia membuka kedua matanya. Semuanya tampak hitam, gelap, dan Lana mendapati dirinya terbaring entah di mana karena ia tak bisa melihat apa-apa. Ia juga tak bisa melihat tubuhnya sendiri.

Lana diam menunggu. Ia sendiri tak tahu apa yang ia tunggu. Mungkin ia menunggu sampai ada cahaya sehingga ia dapat melihat. Mungkin ia menunggu sampai ada suara yang memecah kesunyian. Yang jelas, ia tak melakukan apa-apa selain diam menunggu.

Beberapa saat kemudian, Lana melihat setitik cahaya. Secercah harapan muncul dalam hati Lana. Mungkin ia akan segera keluar dari tempat yang sepi dan gelap ini. Apa yang kira-kira akan ditemuinya jika ia mengikuti cahaya itu? Mungkinkah ia akan sampai di surga?

Lana bangkit dan melangkah ke arah cahaya itu. Semakin lama langkahnya semakin cepat hingga akhirnya ia berlari. Ia berlari secepat yang ia bisa. Ia tahu ia semakin dekat dengan cahaya itu karena semakin lama cahaya itu tampak semakin besar, bukan lagi sebuah titik kecil. Lana tersenyum lebar. Ia sudah sangat dekat. Ia bisa melihat sebuah pintu terbuka. Ia tak bisa melihat apa yang ada di balik pintu itu karena cahaya yang memancar dari pintu itu begitu terang. Lana terus berlari. Ia merasa harus masuk ke sana, ke pintu itu. Akhirnya, setelah lama berlari, setelah langkah demi langkah yang tak terhitung jumlahnya, kedua kakinya sampai juga di depan pintu. Lana bahkan tak berhenti. Ia terus berlari sampai dirinya benar-benar masuk ke pintu itu, menjemput cahaya yang telah menuntunnya keluar dari kegelapan.

TBC


Review please :)