Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.
Warning: drabble, au, miss typo(s), and other stuffs.
to be your simple thing
.
Hanji menyukai hal-hal sederhana; embun-embun pagi di jendela, cangkir teh setengah retak milik Levi, sandal hotel yang sudah terlampau tipis, angin sore tepat pukul lima, dan hangatnya selimut lusuh yang selalu tersimpan di lemarinya.
Ia mudah tertawa, dan Levi akan bertanya-tanya apa yang lucu dari kehidupan ini. Hanji akan berkata, "Tak perlu hal lucu untuk membuatmu tertawa. Bibirmu akan berubah bentuk kalau hanya tertawa jika hal lucu terjadi, Levi" Jadi, mungkin Levi sedikit memercayai itu. Sebab orang-orang berkata ia tak punya kurva di bibir. Bibirnya terlampau linear dengan sudut yang terlalu dalam. Ia tak akan tertawa, jika tak ada hal lucu. Dan hal lucu hanya akan datang satu kali dalam berminggu-minggu kemudian. Ah, ia memang membosankan.
Hanya saja, ada waktu-waktu di mana ia merasa mampu tersenyum akan hal sederhana.
Ia tak menyukai cangkir teh buluknya, memang. Ia tak suka angin sore. Ia lebih suka sentuhan hangat Hanji dibanding selimut tebalnya sendiri. Levi memang rumit, mungkin karena itu Hanji selalu berkata tidak menyukainya. Sebab tak ada satu pun hal sederhana melekat pada Levi, yang kiranya mampu disukai Hanji. Tidak sarkasmenya, tidak tindak tutur penuh ilokusinya. Ia terlampau rumit untuk disukai seorang Hanji.
Adalah ketika ia mencuri tatap kepada mata Hanji; ketika mata itu menelusur langit-langit sore di pekarangan belakang rumah bersama mereka, "Bulan sudah mulai terlihat!" dan wanita itu tersenyum dengan suara tawa halus. Matanya yang dibingkai kaca tebal itu menyipit, membuat Levi kehilangan cahayanya barang sedetik. Lalu, mendapatkan lagi di detik berikutnya. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat, ada yang berdetak dan itu membuat rongga dadanya menghangat. Levi akan mengabaikan tehnya, angin-angin yang membelai lembut sisi wajahnya. Senyum itu begitu sederhana—jenis yang tidak cantik dan dibuat-buat sedemikian rupa. Tapi Levi tahu, bahwa asalnya dari hati. Bahwa senyum Hanji adalah hal sederhana yang mampu membuat orang rumit sepertinya tersenyum tipis.
"Menemukan hal lucu, tuan pesimistis?" Hanji akan bertanya seperti itu saat menemukan senyum Levi, menyeringai lebar dan berlagak seolah-olah ia memenangi satu taruhan di atasnya. Tapi Levi hanya mendengus, memukul halus kepala wanita itu sebelum kemudian menarik Hanji ke dalam dekapannya.
"Jangan menantangku, mata empat."
"Aku selalu menang bahkan sebelum kau sempat menerima tantanganku."
"Begitu?"
Hanji tertawa jenaka, menyurukkan wajahnya pada sisi leher Levi yang hangat, mengecupnya lembut. "Memang selalu begitu."
Levi memeluk lebih erat. Merasakan spektrum terang mulai hilang dan berganti kelam-kelam petang. Hanji masih menyerang lehernya, membuat Levi tersadar bahwa mereka masih berada di luar rumah.
"Sebegitunya membenciku sampai seperti ini, hn?" Levi berkata di tengkuknya. "Sejauh yang kuingat, kau masih selalu berkata bahwa kau membenciku."
Hanji mengangkat wajahnya, memeta mata Levi hingga tak ada lagi yang mampu Levi lihat selain mata itu. Tangannya terangkat, mengusap rahang Levi, berhenti di sudut bibirnya. "Aku memang membencimu," Jemari itu mencuri satu usapan di bibir Levi. "Tapi bukan berarti aku tak menyukaimu."
Yang Levi ingat kemudian adalah langit menggelap dan gelitik bibir Hanji di atas bibirnya.
Levi membalas erat ciumannya.
Malam ini, akan ia pastikan bahwa ada hal rumit yang pada akhirnya disukai Hanji.
.
.
(end.)
