Disclaimer : I do not own Naruto and all of the characters. They belong to Masashi Kishimoto.
Pairing : GaaIno and many (?) slights
Genre : Horor? Angst? Romance? Hurt/comfort? Supernatural? Tapi horor kayaknya kurang berasa... XP
A/N : Italic for the past scenes.
Enjoy!
Ai no Sakura
.
.
"Suigetsu! Cepatlah! Lelet banget sih kau ini!" teriak seorang gadis berambut merah –Karin- pada pacarnya yang berambut biru keperakan.
"Cih!" umpat Suigetsu sinis. "Ngapain juga kita ke sini? Cuma ada pohon Sakura begini!"
"Hah! Memangnya kau tidak pernah denger apa-apa soal gosip yang romantis itu?" ujar Karin lagi sambil berbalik menghadap Suigetsu yang masih berjalan malas-malasan di belakangnya. Kedua tangan gadis itu kemudian diletakkannya di pinggang. Menanggapi pertanyaan Karin, Suigetsu hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Dasar pacar yang tidak romantis!" ujar Karin lagi sambil memonyongkan bibir bagian bawahnya sedikit.
"Sudahlah! Katakan saja apa gosip bodoh yang membuatmu ngotot untuk pergi ke Bukit Sakura ini!" ujar Suigetsu yang tinggal berjarak beberapa meter dari Karin. Karin pun akhirnya menghela napas menghadapi ketidakpekaan pacarnya. Tapi toh akhirnya gadis berkacamata itu pun memutuskan untuk menceritakan gosip yang membuatnya ingin mendatangi Bukit Sakura ini.
"Jadi, menurut gosip yang beredar," ujar Karin sambil menaikkan kacamatanya sedikit, "kalau sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, datang ke Bukit Sakura ini dan berhasil menemukan pohon 'Ai no Sakura', kemudian mereka menuliskan namanya di batang pohon tersebut, maka cinta mereka akan bersemi selamanya!"
Suigetsu menyeringai, "Kalau yang datang sepasang manusia sesama jenis, terus mereka mengukir nama mereka berdua, jadinya gimana? Ada efeknya tidak?"
Sebuah perempatan muncul di pelipis Karin. Dengan sigap, gadis itu kemudian memukul kepala Suigetsu sambil setengah berteriak, "Kau benar-benar menyebalkan! Hayati dong keromantisan ceritanya! Jangan malah mencari celah untuk melontarkan lelucon garing-mu itu!"
Suigetsu merengut sambil memegangi kepalanya yang sedikit berdenyut setelah dihantam Karin.
"Lagipula," imbuh Karin sambil menunduk, "apa kau tidak ingin hubungan kita bertahan untuk selamanya?"
Sejujurnya, Suigetsu hendak membantah pertanyaan irasional Karin. Dia juga ingin mengubah pikiran romantisme sang gadis yang menurtutnya sangat tidak logis. Bayangkan saja. Apa kaitannya antara mengukir nama di pohon Sakura dengan cinta yang akan selalu bersemi selamanya? Heh! Perempuan memang suka dengan hal-hal yang seperti itu bukan?
Tapi, daripada ia menerima amukan sang pacar untuk kedua kalinya, akhirnya Suigetsu pun mengalah dan kemudian berkata, "Baik, baik! Kalau begitu ayo kita cari pohon yang dijuluki 'Ai no Sakura' atau apapun itu!"
Sebuah senyum kini mengembang di wajah putih Karin. Ia pun kemudian menggenggam tangan Suigetsu sebelum akhirnya ia benar-benar menggelayut manja ke lengan kekasihnya tersebut.
"Ayo!" sahut Karin dengan riang.
Tapi, belum sempat mereka berjalan lebih jauh, mendadak sebuah suara mengagetkan mereka.
"Kalian mencari 'Ai no Sakura'?" ujar sebuah suara yang begitu familiar di telinga keduanya.
Spontan, reaksi pertama mereka adalah menengok ke arah asal suara.
Di situlah asal suaranya. Di dekat sebuah pohon Sakura. Pemilik adalah seorang wanita yang memiliki rambut berwarna pirang pucat. Wanita itu mengenakan baju berupa kemeja setengah lengan berwarna putih polos yang dipadupadankan dengan rok span sepanjang lutut.
"Ino-Sensei?" ujar Karin saat ia menyadari bahwa ia mengenal pemilik suara tersebut.
Yang dipanggil dengan sebutan 'Ino-Sensei' itu awalnya hanya bisa memperlihatkan senyumannya. Senyuman yang cantik. Sekaligus penuh makna.
"Apa yang Sensei lakukan di sini?"
Lagi-lagi, hanya sebuah senyuman yang bisa diberikan oleh wanita yang berusia sekitar 30 tahun-an itu. Merasa gurunya itu sedikit menakutkan, Karin semakin merapatkan tubuhnya pada sang kekasih.
"Karin dan Suigetsu ya?" Akhirnya, sang guru – Ino- membuka suaranya untuk bertanya pada kedua remaja yang tampak berdekatan satu sama lain itu. "Kalian sendiri, kenapa datang ke tempat ini?"
"Yeah, semua karena gosip bod- ah! Maksudku, gosip romantis yang sedang beredar di kalangan siswi-siswi Konoha High School!" ungkap Suigetsu yang berada di bawah tekanan berupa tatapan mata angker yang ditunjukkan oleh Karin.
Ino hanya mengangguk perlahan.
"Sensei tahu soal gosip itu?"
"Ya. Sangat tahu," ujar Ino lagi sambil menyipitkan matanya dan memperlihatkan sebuah seringai yang membuat, bahkan Suigetsu, bergidik. "Tapi sebenarnya… Gosip itu hanyalah omong kosong belaka!"
"Eh?" seru keduanya –Karin dan Suigetsu- bersamaan.
Ino kemudian menyentuh batang pohon Sakura yang berada tepat di sebelahnya. Angin semilir kemudian melintas sekilas hanya untuk menimbulkan keheningan yang mencekam di tempat itu. Seolah sudah puas menatap pohon Sakura yang ada di sebelahnya, kini Ino menatap ke arah dua muridnya yang tampak berdiri mematung, seolah terbius oleh kecantikan alam yang disuguhkan di Bukit Sakura ini.
"Pohon inilah yang kalian sebut sebagai 'Ai no Sakura'," ujar Ino akhirnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan kemudian menyenderkan bahunya ke pohon yang tengah berbunga dengan indahnya itu.
"Dari mana Sensei tahu?" tanya Karin sambil menaikkan kembali posisi kacamatanya.
"Oi, Karin!" panggil Suigetsu hingga gadis itu menatap ke arahnya. Setelah itu, arah pandang Karin pun berubah mengikuti jari telunjuk yang baru saja digerakkan Suigetsu.
Ya.
Di batang pohon Sakura tempat sang guru bersandar, terukir sebuah tulisan dalam huruf kanji yang berbunyi 'Ai'. Sepertinya, itulah alasannya mengapa pohon tersebut dinamakan 'Ai no Sakura'.
"Jadi…"
"Aku ingin menceritakan sesuatu pada kalian," potong Ino sebelum Karin dapat berkata-kata lebih jauh. "Cerita sesungguhnya di balik pohon Sakura yang satu ini…"
Ino pun memejamkan matanya sekilas sambil merebahkan kepalanya ke batang pohon itu.
Dan ceritanya pun dimulai saat mata aquamarine sang guru kembali terbuka…
~FLASHBACK STORY with Ino's PoV~
Beberapa hari sudah berlalu semenjak aku menolak seorang cowok dari kelas sebelah yang mendadak 'menembak'-ku. Bukan bermaksud sombong, tapi gini-gini, aku memang cukup populer di masa SMA-ku dahulu. Dan, ya, pernyataan cinta sudah seperti makanan sehari-hari bagiku. Sayangnya, untuk saat itu, cowok seperti apapun yang mencoba mendekat, akan kutolak dan kusingkirkan jauh-jauh. Tidak terkecuali cowok kelas sebelah yang merupakan kapten klub sepak bola itu.
Kenapa aku menolaknya?
Jawabannya mudah saja.
Waktu itu sebenarnya hatiku tengah kutambatkan untuk seseorang. Seseorang yang awalnya sama sekali tidak kukenal. Seseorang yang awalnya begitu misteriusnya sampai-sampai membuatku begitu penasaran akan sosoknya.
Ceritanya dimulai saat aku diputuskan oleh pacar yang sudah bersama denganku selama hampir 5 bulan. Aku shock, tentu saja! Apalagi alasan kami putus adalah karena aku memergokinya selingkuh dengan cewek yang tidak lebih baik dariku. Jujur, aku merasa duniaku benar-benar hancur saat itu. Pasalnya, cowok itu benar-benar sudah mendekam di hatiku begitu kuatnya. Tapi, gengsi dan kekeraskepalaanku membuatku tidak bisa lagi menerimanya walaupun dia sudah meminta maaf. Hei, aku bukan masochist yang siap disakiti berkali-kali. Dan dalam pikiranku, sekali cowok berani berselingkuh, ia akan mencobanya untuk kedua kali dan seterusnya.
Di saat aku sedang sedih-sedihnya akibat putus dari pacarku, dukungan semangat itu pun mulai bermunculan. Aku mulai menerima ungkapan-ungkapan cinta dari seseorang yang bahkan tidak kuketahui siapa. OK, untuk sementara sebut saja orang itu penggemar rahasiaku. Nah, penggemar rahasiaku ini kerap memberiku berbagai macam bunga atau surat yang biasanya berisi kata-kata cinta yang lugas, tanpa rayuan gombal dan semacamnya. Kadang pun, isi suratnya tidak lebih dari kata-kata penghiburan yang memintaku agar kembali bersemangat seperti sebelumnya.
Sebagai orang normal, tentunya wajar kalau aku merasa risih, bahkan takut, pada awalnya. Tapi, mail pertamanya yang kuterima saat itu membuatku membuang semua pikiran negatif-ku tentang si penggemar rahasia ini. Sampai sekarang pun aku tidak bisa lupa.
Ia mengatakan, melalui mail-nya, bahwa ia hanyalah orang yang selalu memendam perasaan padaku. Ia tidak ingin melihatku terus menerus bersedih akibat kehilangan orang yang memang bukan ditakdirkan untukku. Awalnya, ia ingin langsung mengatakannya di hadapanku, tapi karena suatu alasan, ia memutuskan untuk mendukungku dari jauh saja. Ia juga menambahkan di akhir mail pertamanya bahwa ia bersedia menghentikan semua perbuatannya seandainya aku merasa keberatan.
Mendadak, rasa ketakutan itu berganti menjadi rasa penasaran. Bahkan, entah sejak kapan, kami mulai menjadi teman mail. Melalui mail juga lah ia kerap memberiku semangat, di samping kiriman bunga dan surat yang masih tetap rutin ia berikan.
Jujur, lama-lama aku semakin menyukai perbuatan penggemar rahasiaku itu. Bahkan, semua pemberiannya tidak lagi kubuang, melainkan kusimpan baik-baik di rumahku. Dan saat itu, sudah hampir 2 bulan semenjak ia mengirimiku semua dukungan semangat berupa bunga, surat, ataupun mail.
"I-Ino-chan? Ino-chan sedang senang ya?" tanya Hinata, sahabat baik sekaligus pacar dari sepupuku- Naruto- di suatu pagi saat kami tengah berada di depan loker sepatu.
"Ah? Oh… Yah…" ujarku sambil tersenyum dan memasukkan sebuah surat kecil yang baru saja selesai kubaca ke dalam tas berwarna putih dengan motif dua bintang berwarna ungu dan merah bata. Kami berdua kemudian berjalan di sepanjang koridor untuk mencapai kelas kami masing-masing.
"Ino-chan sudah bisa melupakan… Eh… Cowok jahat itu?"
"Apa? Oh? Dia? Tenang, Hina-chan! Aku sudah lupa padanya entah sejak kapan!" ujarku sambil tetap memamerkan senyumku dan berkacak pinggang.
"T-tapi… Kudengar kau baru menolak cowok lagi baru-baru ini. Padahal yang menembakmu itu kan k-kapten klub sepak bola?"
"Lalu?"
"Ah, eh… Maksudku… Apa gara-gara cowok jahat itu, Ino-chan jadi enggan berpacaran lagi?" tanya Hinata lagi dengan nada khawatir terdengar jelas dalam suaranya.
Aku tertawa. Lalu, sambil menggerak-gerakkan tanganku, aku berkata, "Bukan, bukan! Justru sebaliknya!"
"Eh?"
"Kurasa aku sedang jatuh cinta!" jawabku sambil tersenyum memamerkan gigi-gigiku. Sebuah jari telunjuk mendarat di udara kosong di dekat pipiku, menunjuk ke arah diriku sendiri.
"S-sama siapa?" tanya Hinata yang mendadak membesarkan mata pearl-nya yang mulai tampak berbinar. Sebuah senyum yang disertai rona kemerahan pada pipinya juga tidak dapat disembunyikannya lagi.
"Aku tidak tahu," jawabku jujur.
Seketika itu juga, senyumannya hilang dan berganti kerutan di dahinya.
"I-Ino-chan sedang mengerjaiku ya?"
"Tidak kok~! Aku mengatakan hal yang sebenarnya!"
"Ta-tapi," jawab Hinata sambil mengerutkan dahinya, "Ino-chan tadi bilang kalau Ino-chan tidak tahu dengan siapa sedang jatuh cinta. Apa itu tidak aneh?"
Aku menghela napas di sela-sela senyuman yang belum mau hilang dari wajahku. Aku pun merogoh isi tasku dan mengeluarkan surat yang tadi kumasukkan tepat sebelum Hinata menyapaku.
"Ini," ujarku sambil menyodorkan surat itu ke Hinata. Gadis berambut indigo itu menerimanya dan melihat-lihat amplop berwarna putih polos itu sebelum ia mengeluarkan isi suratnya.
Kubiarkan suasana menjadi hening saat Hinata tengah membaca surat itu.
"I-Ino-chan… Ini…"
Aku menganggukkan kepalaku. "Sudah dua bulan orang ini mengirimiku surat semacam ini dah hadiah-hadiah lainnya," jelasku sambil mengambil kembali surat itu dari tangan Hinata.
"Apa dia tidak mengganggu? Ino-chan tidak… t-takut?"
Aku menggelengkan kepala. "Awalnya sih. Tapi sekarang tidak kok!"
"T-tapi…"
Belum sempat Hinata berkata lebih jauh, mendadak sebuah teriakan yang familiar langsung berdengung di telingaku. Siapa lagi yang memiliki energi sebesar itu untuk berteriak selain aku dan… Sepupuku- Namikaze Naruto.
"O-ohayou, Naruto-kun!" sapa Hinata sambil tersenyum.
"Ah! Pagi, Hina-chan!" balas Naruto cepat dengan napas yang sedikit terengah-engah. Tanpa menanggapi Hinata lebih lanjut, Naruto langsung menoleh ke arahku.
"Ino! Kau udah dengar berita itu?"
"Huh? Berita apa?" tanyaku sambil memiringkan kepalaku sedikit.
"Mantan pacarmu itu… Si Sai.."
Aku merengut, jelas-jelas tidak senang dengan topik yang ia bawakan padaku. "Kenapa dia?"
"Dia dikabarkan menghilang kemarin sama pacar barunya! Si Shion!"
"Me-menghilang?" tanya Hinata tampak bingung.
Hah..
Kukira berita apaan.
"Dengar ya, Naruto!" ujarku sambil berkacak pinggang. "Jujur, aku tidak peduli lagi ama orang itu! Mau dia menghilang, mau dia minggat, udah bukan urusanku!"
"Yah…" jawab Naruto dengan alis yang berkerut.
"Lagian, kalau dia ilang ama pacarnya, cuma ada satu kemungkinan kan?" ujarku lagi tanpa berusaha menyingkirkan nada sinis dalam setiap kata-kataku. "Kawin lari!"
Hinata tampak menahan napas terkejut. Naruto sih melipat tangannya di depan dada dan kemudian mengangguk-angguk sambil bergumam, "Masuk akal sih…"
"Iya kan? Jadi udahlah! Tidak usah dibesar-besarkan lagi!"
"INOOOO!"
Oh, aku lupa. Selain aku dan Naruto, cewek yang satu itu juga punya energi yang tidak kalah besar.
"Ada apa, Tenten?" ujarku setelah aku melihat siapa yang menghampiriku.
"Kau sudah dengar? Sudah dengar, eh?"
"Kalau soal Sai, maaf saja. Aku tidak mau dengar lagi! Cukup udah Naruto yang ngasih tau!"
Tenten tampak kecewa. Tapi ia tetap saja ngotot untuk melanjutkan. "Yah, tapi kau pasti belum tahu gosip yang lebih hebat lagi kan?"
"Apa?"
"Katanya, sebenarnya kedua orang itu udah dibunuh oleh perampok yang sedang menyembunyikan hasil rampokannya! Dan mayatnya dikubur di Bukit Sakura di belakang sekolah itu!" ujar Tenten sambil menunjuk ke satu arah yang hanya terhalang oleh beningnya kaca jendela sekolah kami, ke arah lahan yang dipenuhi pohon Sakura. Untuk sesaat, tidak ada di antara kami yang bisa berkata-kata. Semua mata tampak memandang ke arah pohon-pohon Sakura yang entah kenapa jadi terlihat… Dipenuhi aura misterius!
"Di-dibunuh?" ujar Hinata yang mendadak saja memecah keheningan. Saat aku menengok ke arahnya, bisa kulihat sorot mata ketakutan terpantul di bola matanya yang berwarna pearl.
"Ah!" ujarku sambil mengibaskan tangan ke bawah. "Itu kan hanya gosip?"
"Tapi," ujar Tenten dengan suara rendah, seolah ingin menciptakan kesan misterius. Ia bahkan sedikit menundukkan tubuhnya dan mengangkat jari telunjuknya. Wajahnya dibuat menyeringai saat ia melanjutkan kata-katanya, "Ada anak kelas sebelah yang mendengar teriakan Shion saat ia sedang melewati pinggiran dari Bukit Sakura itu untuk pulang ke rumahnya."
"Gimana caranya dia bisa tahu kalau itu teriakan Shion?" bantahku sambil tertawa kecil. "Kelihatan banget dibuat-buatnya."
Karena aku malah tertawa, kulihat Tenten sedikit merengut.
"Ah! Ino jadi tidak asik! Biasanya kau yang paling semangat kalau ada gosip yang aneh-aneh."
"Asal tidak berkaitan dengan dua orang itu!" jawabku sambil menyeringai. "Udah ah! Aku mau ke kelas dulu!"
"Oh, aku juga kok! Bareng deh!" kata Tenten.
Naruto dan Hinata pun mengikuti kami. Saat aku sudah hendak melupakan gosip seputar mantan pacarku dan selingkuhannya, mendadak aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku hingga aku pun berhenti berjalan untuk menengok ke belakang.
Pohon Sakura.
Bunga Sakura yang berguguran akibat tertiup angin.
Dan..
Apa itu?
Manusia?
Bukan?
Aku merasa tidak ada gangguan penglihatan saat itu. Dan aku semakin yakin kalau sosok yang kulihat saat itu adalah sosok manusia. Manusia, perempuan, yang memiliki rambut dengan warna yang senada dengan warna bunga Sakura. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya. Sungguh. Hanya sosoknya saja yang terlihat samar-samar. Sebelum… Sosok itu menghilang!
Aku mengerjabkan mataku. Tidak percaya.
Saat itu, aku bertekad akan memeriksakan mataku ke dokter pulang sekolah nanti.
Dan keanehan itu pun kulupakan begitu saja. Sampai nanti saatnya aku dipaksa untuk mengingatnya kembali…
o-o-o-o-o
"Ino! Aku suka padamu! Maukah kau jadi pacarku?"
Kan? Sudah kubilang kalau aku populer. Baru kemarin ini aku ditembak oleh kapten klub sepakbola dari kelas sebelah, sekarang ketua klub science yang terkenal kaku itu yang menembakku! Tapi, kalau ketua klub sepakbola yang keren itu aja kutolak, apa dia pikir aku akan menerima cowok yang kaku sepertinya?
"Aku tersanjung atas pernyataanmu," jawabku sambil tersenyum, "tapi maaf! Aku tidak bisa berpacaran denganmu saat ini!"
"Kenapa?" tanyanya ngotot.
Sekalian saja deh kukasih tahu. "Saat ini… Ada seseorang yang kusukai."
Kulihat pundak cowok di hadapanku ini sedikit bergedik. Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena kacamata hitam yang dipakainya. Kuduga sih, ia terkejut mendengar pernyataanku. Tapi… Hei? Memang sebegitu mengejutkannya ya kalau aku punya cowok yang kusukai?
"Begitulah," ujarku sambil bersiap untuk pergi. Tapi dasar cowok itu keras kepala, dia langsung menarik tanganku. "HEI!" protesku.
"Tidak! Kau cuma berbohong kan? Aku tidak pernah melihatmu bersama cowok lain selain sepupumu saat ini! Dan mantanmu itu juga sudah menghilang bersama cewek lain!" ujarnya sambil menggenggam kedua lenganku. Ralat, mencengkram.
"Sakit!" pekikku sambil berusaha mendorongnya di dada. "LEPASKAN AKU!"
"Tidak! Aku.. aku suka padamu, Ino-chan! Kenapa kau menolakku mentah-mentah seperti itu?"
"Karena aku tidak suka padamu!" seruku dengan jelas dan tegas. "Sekarang lepaskan aku!"
"Aku tidak bisa melepaskanmu! Aku… aku akan membuatmu… suka padaku!" ujar si cowok kaku itu sambil mendekatkan wajahnya padaku.
Untuk ukuran seorang pecinta science, tenaganya ternyata cukup kuat. Saat itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain memejamkan mataku. Tanganku tercengkram erat, rasa-rasanya nyaris putus pula. Saat kukira cowok kaku itu akan memaksa menciumku.. mendadak sebuah suara aneh malah terdengar jelas di telingaku.
BUAGHH!
Ya! Kira-kira seperti itulah bunyinya. 'Buagh!' Seperti bunyi sesuatu yang dihantam sesuatu kan? Aku kaget sih. Tapi karena setelah kutunggu beberapa lama tidak ada yang terjadi padaku, ditambah lenganku yang mulai terasa bebas, aku pun memberanikan diri untuk membuka mata perlahan-lahan.
Tebak apa yang kulihat?
Ya.
Di hadapanku, berdiri cowok lain, berambut merah bata. Dengan sebuah tato kanji 'Ai' di dahinya. Tepatnya di atas mata kirinya.
Dan si cowok kaku itu? Dia tersungkur di tanah sambil memegangi pipinya yang tampak memerah.
"S-Sabaku?" gagap si cowok kaku itu.
"Pergilah! Kalau kau masih mau hidup enak!" ancam si cowok berambut merah dengan nada yang berat. Spontan saja, si cowok kaku langsung melesat dan meninggalkan kami.
Sekarang, si cowok berambut merah tampak mengamat-amatiku. Entah apa yang ingin ia ketahui dariku.
"A-ano…" ujarku sambil meletakkan kedua tanganku di depan dada, saling bertautan. "Arigatou…"
Cowok di hadapanku ini masih membisu pada awalnya. Tapi setelahnya, tanpa menanggapi ucapan terima kasihku, ia malah bertanya, "Kau… tidak apa-apa?"
Aku mengangguk. "Kurasa kau menolongku tepat waktu," jawabku sambil tersenyum simpul.
Ia kembali terdiam. Menatapku… dengan suatu pandangan yang aneh. Mata turquoise-nya itu seolah hendak mengatakan sesuatu. Tapi… Tidak! Dia sama sekali tidak mengatakan apapun. Jujur, aku sih bukan tipe orang yang senang keheningan. Karena itu, sekali lagi aku mengajaknya bicara. Eh? Takut padanya? Tidak, tidak sama sekali. Walaupun tampangnya seram akibat lingkaran hitam yang mengelilingi matanya, aku sama sekali tidak takut. Dia kan penolongku?
"Ng… kau... Eh, boleh tau... siapa namamu?" tanyaku dengan berhati-hati.
Aku tahu kalau dia bermarga Sabaku. Kan cowok kaku tadi yang memanggilnya demikian? Dan seingatku, cowok ini disebut-sebut sebagai salah satu dari preman sekolah. Itu sih, menurut gosip yang beredar. Dia juga sering tidak masuk sekolah karena terlibat perkelahian dan kemudian dikenai skorsing. Tapi sekali lagi ya, itu menurut gosip yang beredar.
Setelah melihatnya langsung, entah kenapa aku tidak bisa lagi melihat gosip itu sebagai kenyataan. Mungkin dia memang sedikit seram dan sepertinya dia orang yang cukup kuat. Tapi soal preman yang suka berkelahi? Aku rasa itu terlalu mengada-ada. Kurasa gosip itu muncul karena sifat pendiamnya. Ya, sekali liat saja aku langsung tahu kalau dia ini tipe orang pendiam yang sering kali mengundang kesalahpahaman orang!
"Sabaku…" ujarnya perlahan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Gaara," sambungnya sambil melihat ke arah lain.
"Sabaku Gaara?"
Dia hanya mengangguk.
Aku tersenyum.
"Baiklah, Sabaku Gaara," ujarku sambil tersenyum. "Namaku Yamanaka Ino dan aku sangat berte –…"
Mendadak saja, ia memotong perkataanku.
"Aku sudah tahu."
"Hah?"
"Aku sudah tahu tentangmu…" ujarnya sambil menatap tajam ke dalam bola mataku. "Sejak lama…"
DEG!
Saat itu, aku tidak tahu alasannya. Yang jelas, aku merasa berdebar. Melihat bola matanya, aku merasakan suatu kehangatan. Aku pun terdiam begitu saja dengan mulut yang sedikit terbuka. Entah mengapa… aku merasa bahwa dia…
"Sudah ya!" ujarnya sambil berbalik. Tapi kala itu, aku lah yang bertidak agresif. Kutarik tangannya hingga ia kembali menghadap ke arahku. Dia terkejut. Pastinya.
"Sebentar!" ujarku cepat. "Jangan-jangan, kau…"
Dia menghentikan ucapanku dengan telunjuk yang ia tempelkan ke bibirku. Aku membesarkan bola mataku. Dan kurasa, bola mataku semakin membesar tatkala ia menunjukkan… senyumannya!
DEG!
Lagi, jantungku berdebar kencang.
Perlahan, kuangkat tanganku dan kusentuh pipinya. Rasanya… aku seperti baru menemukan harta karun yang selama ini kucari-cari.
"Katakan… apa kau yang selama ini selalu mengirimiku kartu dan bunga? Juga mail yang berisi dukungan semangat untukku?"
Dengan sopan, ia melepaskan tanganku dari pipinya. Dia tidak menjawab lagi.
Ya ampun! Apa segitu susahnya untuk mengatakan 'ya'?
"Aku sedang bertanya padamu lho?" tegasku.
Mendadak saja ia menggeleng. "Sebaiknya, kau tidak usah tahu."
Aku mengernyitkan alisku mendengar jawabannya.
"Kenapa aku tidak boleh tahu?"
"Karena aku tidak mau memberitahunya!"
"Tapi jawabanmu sudah jadi cukup bukti kalau kau memang orang itu!"
"Aku tidak pernah mengatakan 'ya' untuk pertanyaanmu itu!"
"Kau –.."
Sekali lagi, ia memotong ucapanku. Tapi kali ini dengan cara… menempelkan bibirnya sendiri ke bibirku! Aku tersentak. Tapi juga tidak menolak. Lembut dan hangat. Sungguh, ciumannya berbeda jauh dengan perawakannya yang agak… err… menyeramkan!
"Tadinya…" ujarnya sesaat setelah bibir kami terpisah. "Aku tidak mau kau tahu…"
"Eh?"
Mendadak ia menutup bagian atas wajahnya dengan sebelah tangan. Ia pun segera berbalik. "Lupakan!"
Kalau kalian mengenalku, kalian pasti tahu kalau aku punya sifat keras kepala. Karena itu, aku langsung menarik seragamnya di bagian punggung yang lagi-lagi berhasil memaksanya untuk berhenti.
Dengan posisinya yang masih memunggungiku, aku pun berjalan semakin dekat, hingga akhirnya aku bisa menempelkan dahiku di punggungnya. "Kenapa kau tidak mau aku tahu? Apa kau mau mengabaikan perasaanku juga?"
Kurasa tubuhnya sedikit menegang saat itu.
"Sudah lama aku ingin mengucapkannya…" ujarku lagi, menggenggam semakin erat bajunya. "Terima kasih… untuk perhatianmu selama ini!"
Gaara terdiam.
"Dan sudah sejak lama juga aku ingin mengatakannya… aku… mungkin aku su…"
Untuk ketiga kalinya hari itu – for Kami-Sama's sake!- dia kembali memotong ucapanku! Kali ini dengan jalan memelukku. Aku pun jadi terdiam karenanya.
"Jangan katakan… jangan katakan apapun lagi!" ujarnya sambil membelai rambutku.
Aku pun menurutinya. Sekali itu, aku sudah menggerakkan tanganku untuk memeluk punggungnya. Kubiarkan keheningan yang kubenci mendominasi suasana saat itu.
Biarlah.
Saat itu, aku memang sudah tidak dapat memikirkan apapun. Aku hanya bisa merasa senang. Sangat senang. Orang yang mungkin kusukai karena segala bentuk perhatiannya, ternyata adalah orang yang memang begitu baik. Walaupun sekali lagi, tampangnya itu sama sekali tidak mengindikasikan kalau dia orang baik.
Yah, sudahlah!
Don't judge the book by its cover, right?
o-o-o-o-o
Keesokan harinya, aku datang ke sekolah dengan wajah yang berseri-seri. Kenapa? Karena aku akhirnya berhasil bertemu dengan pengagum rahasiaku itu! Dan yah, bisa dikatakan, sosoknya itu melebihi ekspektasiku sih. Ah? Aku belum bilang ya? Walaupun menyeramkan, wajahnya itu termasuk tampan lho! Di atas standard lah! Setidaknya, aku sama sekali tidak kecewa begitu tahu bahwa dia –Gaara- adalah pengagum rahasia yang selama ini membuatku penasaran.
Nah! Lucky bagiku! Baru saja aku memikirkan tentang Gaara waktu itu, aku langsung bisa menangkap sosoknya tengah mengambil sepatu di depan loker.
"Gaara-kun!" panggilku.
Kulihat ia sedikit bergedik.
"I-Ino…" ujarnya tampak kaku. Aku tersenyum padanya. Lalu, kusodorkan tanganku ke hadapannya. Tentu saja ia memandangku dengan bingung.
"Mana surat untukku hari ini?" tanyaku dengan senyum yang masih mengembang.
Memerah! Wajahnya memerah! Sekarang wajah dan rambutnya sudah berwarna senada! Menarik sekali!
"Aku…" ujarnya sambil memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku. Tangannya yang lain tampak menyentuh bagian tengkuknya. Dengan sigap, aku pun segera menarik tangannya yang masuk ke dalam saku dan… bingo! Sebuah surat dengan tulisan yang sama dengan yang biasa kuterima. Sudah agak kucel memang, tapi itu bukan masalah.
"Ah!" seru Gaara panik.
Aku pun menyeringai sambil berjalan menjauh darinya. Kubiarkan Gaara tercengang di tempatnya sementara aku berlalu untuk mencapai kelasku sendiri.
Setelah sampai di kelasku, aku langsung meletakkan tas dan duduk. Lalu, kubuka amplop yang sama dengan yang biasa bertengger di dalam loker sepatuku. Kurasa aku sudah tidak bisa lagi menyembunyikan senyumku.
Begini isi suratnya waktu itu.
'Sebenarnya aku jadi bingung mau menulis apa. Semenjak kau memergoki identitasku, aku jadi sedikit merasa… kurang nyaman.'
Aku mengerutkan dahiku kala itu. Kurang nyaman katanya?
'Selama ini, aku senang bisa membantumu dari kejauhan. Aku senang bisa melihat senyum ceriamu walaupun itu tidak ditujukan padaku. Tapi… begitu kau mengetahui tentang diriku, kau sama sekali tidak menunjukkan penolakanmu. Bahkan kau sempat akan berkata kalau kau… menyukaiku? Aku tidak tahu. Kau boleh mengganggapku terlalu percaya diri. Tapi jujur, tingkah lakumu saat itu membuatku jadi ingin memonopolimu… untuk diriku seorang.'
Aku menahan napas.
'Yamanaka Ino…'
"Maukah kau menjadi pacarku?"
Aku terbelalak dan menengadah ke atas. Di depanku, saat itu berdiri sesosok pemuda berambut merah yang tengah memandang ke arahku. Dan.. tidak! Aku tidak salah dengar! Dia-lah yang baru saja memintaku untuk menjadi pacarnya! Aku yakin!
"G-Gaara-kun?"
Kurasa, beberapa siswa mulai memandangi kami dengan pandangan bertanya-tanya. Ah, masa bodoh dengan mereka kan? Yang ada di pikiranku saat itu…
Gaara menembakku?
"Maaf," ujarnya sambil menengok ke arah lain. Wajahnya mulai memerah sementara tangannya bergerak-gerak gelisah menyentuh tengkuknya. "Tidak seharusnya aku mengatakan itu. Tapi…"
"Aku mau kok!" jawabku akhirnya, tidak lupa dengan senyuman terbaikku.
Nah, dengan begitu, ia langsung melihat ke arahku lagi. Aku pun berdiri dari kursiku, meninggalkan surat itu di atas meja dan kemudian… aku langsung menggerakkan tanganku untuk melingkari lehernya, bergelayut manja padanya.
"Aku mau menjadi pacarmu!" bisikku tepat di telinganya.
Kurasa wajah Gaara tidak akan jauh dari warna tomat matang saat itu. Apalagi, teman-teman sekelasku mulai menyoraki kami berdua. Aku yang sudah biasa menjadi pusat perhatian sih sama sekali tidak merasa canggung. Tapi Gaara? Oh! Dia terlihat sangat kikuk waktu itu!
"INOOOOOO!"
Satu teriakan kencang langsung menghancurkan moment-ku dengan Gaara. Segera saja kulepaskan pelukanku pada Gaara hanya untuk memberikan tatapan mematikan pada cewek bercepol dua yang merupakan salah satu sahabatku itu.
"Apa sih Tenten?"
Tenten tampak mengerjab-ngerjabkan matanya saat melihat Gaara di sebelahku. Bahkan dengan tidak sopannya, ia langsung menunjuk-nunjuk Gaara.
"Haaaahh?" serunya tidak percaya.
"Apa?" tanyaku sambil memeluk lengan Gaara. "Mau kenalan sama pacar baruku?"
"Kau itu…" ujar Tenten sambil berjalan mendekat. "Apa maksudnya nih?"
Aku menyeringai. "Seperti yang kau dengar! Ini Gaara, pacar baruku! Dan Gaara, ini Tenten, sahabatku!" ujarku sambil memperkenalkan keduanya.
Gaara hanya mengangguk kecil hingga Tenten-pun hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.
"Lalu? Ada perlu apa sebenarnya?"
"Oh!" seru Tenten tampak teringat akan tujuan utamanya menghampiriku. "Ke sini kau!"
Dengan itu, dia pun memisahkan aku dari Gaara.
Gaara tampak bengong. Tapi setelah itu, aku tidak bisa lagi melihatnya karena Tenten menarikku sampai ke tempat yang cukup jauh dari ruang kelasku.
"Apa sih, Tenten?" ujarku sesaat setelah Tenten melepaskan tarikannya padaku.
"Kau sudah dengar?"
"Dengar apa?"
"Katanya ketua klub science juga menghilang!"
Aku mengerutkan dahiku. "Lalu? Apa hubungannya denganku?"
"Oh, ayolah, Ino! Kau baru saja bercerita padaku lewat mail kemarin!" seru Tenten dengan tidak sabar. "Kau bilang dia baru saja menembakmu kan? Dan dia hampir aja menciummu kalau kau tidak ditolong –.. Hei! Jangan bilang yang menolongmu itu…"
"Gaara-kun? Memang dia!" ujarku sambil memamerkan cengiranku. "Udahlah! Balik ke topik! Lalu kenapa dengan si ketua klub science itu?"
"Yah!" ujar Tenten sambil menggaruk-garuk bagian atas kepalanya. "Seperti yang kubilang tadi! Dia menghilang! Dan kau.. apa kau tidak merasa aneh?"
"Tidak," jawabku cepat. "Di mananya yang aneh?"
"Pertama Sai. Sekarang ketua klub science itu!"
Nah, kurasa saat itu aku mulai menangkap maksud Tenten.
"Dua orang yang menghilang, dua-duanya punya kaitan denganmu!" ujar Tenten langsung menembak tepat sasaran.
Aku menelan ludah. Masa sih?
"Itu cuma kebetulan!" ujarku sambil menggerakkan tanganku naik turun. "Kebetulan!"
Tenten tampak memandangku dengan tatapan menyelidik sebelum akhirnya ia menghela napas. Sudah pasti aku merasa tersinggung kan? Seolah ia ingin mengatakan kalau aku-lah… yang menyebabkan orang-orang itu menghilang!
"Kenapa kau melihatku seperti itu sih?" tanyaku akhirnya. "Apa kau mau bilang kalau aku pelakunya?"
"Hah? Mana mungkin!" ujar Tenten sambil menggelengkan kepalanya. "Bukan itu tahu! Maksudku… Jangan-jangan kau diikuti Dewa Pelindung yang akan membuat orang-orang yang menjahatimu menghilang?"
Aku memutar bola mataku. "Tidak mungkin! Kau kebanyakan baca manga!"
Mendengar penyangkalanku, Tenten pun langsung membulatkan wajahnya. Lucu sekali.
"Dasar kau itu! Tidak seru ah!" ujarnya kesal. "Lebih baik kuceritakan pada Hinata! Dia pasti percaya!"
"Jangan macam-macam! Kau hanya akan menakutinya, tahu! Lagipula, sudah bel tuh! Sana kembali ke kelasmu!"
Tenten menjulurkan lidahnya dan kemudian berlari menjauh dariku. Aku pun tertawa kecil. Entah karena dorongan apa, aku pun menengok ke arah bukit Sakura yang ada di sebelah kananku.
Sakura bermekaran dengan indahnya.
Dan…
Lagi-lagi…
"Tenten!" panggilku.
Tidak ada jawaban.
"Ten…?"
Saat aku menengok, di depanku sudah tidak ada siapapun. Yah. Tenten memang seorang pelari yang cepat. Dan sial sekali aku yang ditinggalkan begitu saja olehnya!
Aku pun mengabaikan sosok samar-samar dari seorang gadis yang kulihat berdiri di bawah salah satu pohon di bukit Sakura itu. Aku berlari kembali ke kelasku. Ada suatu perasaan takut menyusup ke dasar relung hatiku.
Tapi di saat yang bersamaan, aku pun merasa ada suatu kekuatan magis yang menarikku untuk mendekat .
Mendekat pada gadis di bawah pohon Sakura itu.
o-o-o-o-o
Tidak perlu waktu lama bagiku untuk langsung menyadari keanehan yang lagi-lagi terjadi. Di saat sedang heboh-hebohnya dengan masalah orang hilang, ketidakadaan Naruto dan Hinata -yang seharusnya sekelas denganku- tentu saja membuatku jadi sedikit cemas. Aku juga tidak bisa langsung merundingkan hal ini dengan Tenten karena dia sudah ada di kelasnya sendiri.
Walaupun pelajaran sudah dimulai, akhirnya aku memutuskan untuk aku mengeluarkan handphone-ku dan kemudian mengirimkan mail pada Naruto dan Hinata. Mungkin aku jadi sedikit paranoid. Dan tindakanku ini hanya untuk meyakinkan bahwa mereka baik-baik saja.
Sayangnya, sampai pelajaran sekolah berakhir hari itu, tidak ada balasan untuk mail-ku, baik dari Naruto maupun Hinata. Aku berulang kali mengecek handphone-ku, memastikan apa benar tidak ada balasan dari mereka. Lagi-lagi, aku dipaksa menelan kekecewaanku karena memang tidak ada balasan mail yang kuharapkan. Baru saja aku mau menghubungi Tenten, mendadak sebuah suara membuatku lupa akan tujuanku semula.
"Ino.." panggil seseorang saat aku masih saja terdiam di kelas yang sudah kosong. Aku mendongak dan mendapati Gaara yang sudah membawa tasnya. "Kau… tidak pulang?"
"Ah! Pulang kok!"
Gaara mengangguk. Aku pun segera membereskan tasku dan berdiri dari kursiku.
Kutepis segala perasaan cemasku tentang Naruto dan Hinata untuk sementara. Sekarang fokus pada Gaara. Cowok yang kusukai, bahkan sebelum aku melihat wajahnya. Aneh? Tidak juga ah! Itu artinya semua perasaan Gaara tersampaikan padaku meskipun hanya berupa surat, mail, dan bunga! Yang jelas, Gaara yang baik ini pasti bisa menjadi pendamping yang tepat untukku. Wajahnya yang ganteng, walaupun agak menyeramkan, itu sih bonus.
"Oh ya, Gaara-kun!" ujarku yang memulai pembicaraan tidak lama setelah kami meninggalkan ruang kelasku. Gaara memang terkesan pendiam dan kurasa ini cocok dengan sifatku yang lebih suka berbicara. Maksudku, dia bisa jadi pendengar yang baik untuk semua ceritaku. "Sebenarnya, aku ingin tanya dari dulu…"
"Hn?"
"Kenapa sih sebelumnya kau tidak mau menunjukkan dirimu padaku?"
Kulihat pundak Gaara sedikit menegang saat kulontarkan pertanyaan itu. Aku sudah memandangnya dengan tatapan menyelidik. Beberapa detik – hingga satu menit, kukira – sudah berlalu. Tapi Gaara belum juga menjawabnya. Aku akhirnya memutuskan untuk berhenti berjalan yang secara tidak langsung membuat langkahnya juga ikut terhenti.
"Gaara-kun?"
Dia kini berbalik, menghadap ke arahku.
Aku diam, menunggunya menjawab pertanyaanku.
"Aku…" Akhirnya ia mulai membuka mulutnya. "Aku sebenarnya… tidak pernah berpikir bahwa semuanya akan jadi seperti ini…"
"Aku juga," jawabku sambil menaikkan kedua alisku. "Tapi bukan itu masalahnya!"
Gaara menghela napas. "Kurasa aku memang seharusnya memberitahumu sebelum aku mengajakmu menjalin hubungan denganku!"
"Ng?"
Gaara menunjuk ke kepalanya sendiri. "Aku… penderita tumor otak!"
Kaget? Sudah pasti! Siapa yang tidak kaget saat disuguhkan berita buruk seperti itu.
"Gaara-kun! Jangan bercanda, ah!"
"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?"
Aku terdiam.
"Memang, aku sudah menjalani operasi pengangkatan tumor. Kira-kira sekitar 2 bulan yang lalu!" ujarnya mulai berbicara panjang lebar. "Tapi dokternya pun berkata bahwa tumor seperti ini tidak bisa terprediksi! Apalagi yang menyerang otak. Walaupun sudah menjalani operasi dan terapi-terapi yang dianjurkan… tidak ada yang bisa menjamin bahwa tumor itu benar-benar sudah hilang! Seandainya tumor itu ternyata masih ada, mungkin saja tumor itu akan semakin mengganas dan akan melumpuhkan tubuhku seluruhnya. Seandainya tidak mengganas pun…. Yah, mungkin kau pernah mendengar bahwa jangka waktu hidup penderita tumor otak, biasanya tidak lebih dari 10 tahun meskipun sudah menjalani berbagai macam perawatan!"
Tidak bisa lebih dari 10 tahun? Hidup Gaara?
"Bagaimana mungkin? Kau terlihat sehat! Sangat sehat malah!" bantahku berdasarkan fakta yang kulihat di depan mataku. Dalam penglihatanku, Gaara tidak terlihat seperti orang penyakitan! Ia bahkan bisa dengan mudah mengalahkan ketua klub science itu! Tapi... tunggu! Bukankah menurut gosip Gaara termasuk orang yang sering absent dan tidak masuk sekolah? Masa sih... Gara-gara dia... sakit?
"Sejujurnya, Ino…" ujar Gaara sambil tersenyum simpul. "Beberapa bagian tubuhku sudah nyaris tidak bisa merasakan apa-apa akibat tumor terdahulu!"
Aku menganga.
"Tapi kalau aku terlihat sehat di matamu… itu karena aku… tidak mau kau melihatku dalam keadaan menyedihkan!"
"T-tidak mungkin! Aku…"
Gaara menghela napasnya sekali lagi. "Maafkan aku. Memang tidak seharusnya… aku muncul di hadapanmu ya? Tentunya kau tidak seharusnya menjalani hubungan dengan orang yang tidak memiliki kepastian masa depan yang baik."
"G-Gaara-kun…" ucapku lemah.
Gaara berbisik lirih, "Ungkapan cintaku tadi… dilupakan saja ya?"
Ia kemudian melanjutkan tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab, "Dan kita akan kembali seperti semula. Aku akan tetap jadi penggemar setiamu dan kau tidak perlu tahu siapa aku…"
Saat itu, aku tidak dapat menahan keinginanku untuk berteriak.
"Kau gila!" ungkapku dengan kasar. Aku kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Kenapa kau bisa seenaknya berkata begitu? Apa kau tidak peduli pada perasaanku?"
Aku menarik kerahnya. "Harus kuapakan, perasaan yang sudah tumbuh ini?" Aku menggenggam kerahnya semakin erat. "Harus kukemanakan, Gaara?"
"Ino…"
Aku tidak mau tahu apa-apa lagi saat itu. Kubiarkan tubuhku bergerak dan langsung saja kuterjang bibirnya dengan bibirku. Masa bodoh dengan masa depan. Yang terlihat olehku hanya 'saat ini'!
Dan 'saat ini'… aku ingin bersama dengan Gaara.
Hanya itu.
~END of FLASHBACK STORY with Ino's PoV~
***TBC***
A/N:
Heran deh, tadinya mau bikin one-shot, tapi ternyata nggak bisa. Sampai-sampai harus dipecah jadi two-shots. Kalau nggak dipecah, ntah jadinya sepanjang apa ni cerita. Hahahaha.
Btw, fic ini dibuat atas request Shana-chan yang doyan ama cerita-cerita misterius horor. Maaf yah kalau horornya nggak berasa DX dan soal penyakit Gaara, saya dapet idenya dari hasil surfing di internet… haha… saya sndiri bingung kenapa saya malah milih penyakit ini. Yah… moga-moga nggak ada masalah dengan pemilihan penyakit ini deh. XD
Now…. What do you think bout this one?
Give me your opinions via review. 'Kay?
I'll be waiting,
Regards,
Sukie 'Suu' Foxie
~Thanks for reading~
