[Seoul, 2007]
.
Dua tahun sudah berlalu sejak Jongdae mengenal—atau lebih tepatnya—memperhatikan gadis itu.
Si pipi bulat dengan gummy smile yang menawan. Kim Minseok namanya. Gadis pertama yang berhasil mencuri hatinya—atau bisa dibilang—Minseok adalah cinta pertamanya.
Awal pertemuan yang cukup manis, Jongdae rasa. Saat itu, ia sedang berkutat dengan buku-buku kesayangannya di perpustakaan. Tak butuh waktu lama baginya untuk tenggelam dalam barisan-barisan kalimat yang mungkin bagi sebagian orang terlihat membosankan. Namun tidak bagi Jongdae. Baginya, buku adalah segala-galanya—bahkan ia sempat berpikir bahwa ia hanya akan jatuh cinta pada buku.
Namun, pendapatnya itu hanya bertahan lima menit saja.
Tiba-tiba ia teringat akan satu buku yang kemarin siang belum sempat ia selesaikan. Jongdae segera berdiri dan menuju rak buku dimana terakhir kali ia menyimpan buku itu.
Dan disanalah ia bertemu dengannya.
Saat ia menggeser tumpukan-tumpukan buku tebal itu, matanya menangkap sesosok gadis manis dari balik rak. Darahnya berdesir dan hatinya berdegup kencang manakala ia mulai memperhatikan gadis itu secara detail. Pipinya yang sedikit bulat, bibir merahnya yang mengerucut—sepertinya ia terlihat kesal—, dan juga alis tebalnya yang saling bertaut, entah karena kebingungan dengan buku yang sedang ia baca, atau justru kembali ke pemikiran pertama—gadis itu sedang kesal.
'Kim Minseok,' batin Jongdae saat membaca name-tag yang terpasang di seragam gadis itu. Bibirnya tersenyum simpul, entah mengapa ia sangat senang hanya karena mengetahui nama gadis itu.
Jongdae jatuh cinta padanya.
.
.
cha83 presents
A ChenMin Story
'Late Confession'
.
.
"Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Minseok?" tanya seorang gadis yang kini duduk di depan Jongdae dengan sebungkus roti di tangannya.
Jongdae mendelik heran, "Hubungan apa, Baek?"
Si gadis itu, Byun Baekhyun, memutar bola matanya kesal. "Oh, ayolah! Sampai kapan kau akan terus seperti ini, bodoh? Kita sudah kelas tiga dan sebentar lagi kita akan lulus! Kau tau jelas Minseok akan pindah ke London setelah lulus—dan lihat, apa yang sudah kau lakukan sejauh ini?"
Berbanding terbalik dengan Baekhyun yang sibuk mengomelinya, Jongdae hanya tersenyum simpul. "Karena aku tau dia akan pindah, jadi sebaiknya tidak usah saja sekalian," balasnya tenang.
"Lalu kau akan mati dengan penyesalanmu karena tidak pernah mengatakannya. Kumohon, pikirkan ini baik-baik. Lagipula… Kurasa dia juga menyukaimu," kata Baekhyun santai sambil melahap roti cokelatnya.
"Apa? Menyukaiku?" Jongdae tertawa mendengarnya—terdengar sedikit miris, sih. "Jangan mengada-ada, Baek. Memangnya aku siapa? Mana ada putri secantik dia menyukai cowok culun berkacamata tebal si sahabat para buku seperti aku."
Baekhyun mendengus kesal. "Aku tidak mengada-ada, pabo!"
Namja itu menatapnya tak yakin. "Berikan aku alasan."
Baekhyun menelan rotinya. "Pertama, aku sering melihatnya memperhatikanmu di kelas matematika. Kedua, aku mengenal Minseok dari SMP dan aku tau persis dia benci sejarah! Dan tebak apa yang kulihat saat menghampirimu di perpustakaan waktu itu? Dia sedang membaca buku sejarah yang cukup tebal! Lalu—"
"Siapapun bisa berubah. Termasuk kecintaan seseorang pada sejarah. Ya, kan?" potong Jongdae, yang sebenarnya lebih terlihat ingin menekan harapan yang perlahan mulai tumbuh di hatinya.
"Kim Jongdae!" seru Baekhyun gemas. "Dia itu sedang mencari perhatianmu, bodoh! Dia berharap kau akan menghampirinya lalu kalian mengobrol tentang sejarah bla bla itu dan bam! Kalian akan berkenalan—secara resmi, maksudku—kemudian kalian akan berpacaran. Selesai."
Tawa Jongdae meledak. "Hahaha! Berhentilah membaca dongeng, Baek. Kau terdengar konyol," ejeknya sambil mengusap kepala Baekhyun layaknya anak kecil.
Baekhyun menepis tangan Jongdae kasar. "Yaa! Aku tidak pernah baca dongeng lagi!"
Jongdae semakin tertawa lepas melihat tingkah Baekhyun yang sedang merajuk. Hal itu membuat Baekhyun kesal dan mulai memukul –mukuli Jongdae—
—tanpa menyadari, seseorang tengah menatap sendu ke arah mereka dari meja di sudut kantin.
Istirahat kedua merupakan saat-saat favorit Jongdae.
Ia akan selalu pergi ke taman belakang sekolah yang cukup jarang dikunjungi orang-orang. Selain karena tempatnya yang nyaman dan rindang, ada satu alasan yang membuatnya selalu ingin mendatangi tempat itu.
Kim Minseok, tentu saja.
Disitulah tempat persembunyian gadis itu setiap hari. Bersandar di bawah pohon ek sambil mendengarkan lagu dari i-Podnya. Matanya akan selalu terpejam—entah karena terlalu menikmati suasana tenang ini atau justru tertidur. (Jongdae tertawa kecil dengan pemikirannya yang terakhir)
Di saat itulah Jongdae akan bebas memandanginya. Dari balik tanaman pagar yang membatasi mereka berdua, ia bisa leluasa mengamati gadisnya dari celah-celah tanaman itu. Wajah tenang Minseok seakan obat penenang baginya. Minseok-lah yang selalu membuat harinya membaik, bahkan tanpa dia melakukan apapun. Hanya memandanginya seperti ini saja mampu membuat Jongdae menyunggingkan sebuah senyuman.
Namun, hari ini berbeda.
Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat sesuatu yang mengalir pelan di pipi gadisnya itu.
Air mata.
Minseok menangis.
Jongdae membatu. Dadanya terasa sesak. Di kepalanya muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan, namun hanya satu yang bisa ditangkapnya.
Apa—atau siapa yang membuat gadis itu menangis?
Ingin rasanya ia menghampiri gadis itu, menghapus air matanya, memeluknya lalu kemudian membisikkan kata-kata yang bisa menghiburnya. Sungguh, melihat gadis itu menangis merupakan yang pertama kalinya untuk Jongdae—dan itu sungguh terasa menyakitkan. Dadanya terasa sesak dan tenggorokannya tercekat hebat.
Tangannya mengepal kuat. Rasanya ia ingin menghajar siapapun yang membuat Minseok-nya menangis.
Namun sedetik kemudian ia tersadar—siapa dia? Dia bahkan tidak berhak untuk mengetahuinya. Dia bukan siapa-siapa. Dia bukan bagian dari kehidupan Minseok dan bukan siapapun di mata Minseok.
Jongdae menatap sendu gadis itu. Matanya masih terpejam namun air mata terus membasahi pipinya. Ia benar-benar benci melihat gadis itu menangis seperti ini.
"Minseok-ah," bisiknya pelan pada akhirnya.
"Uljimayo…"
.
.
Sejak hari itu, Minseok menghilang.
Gadis itu tidak pernah lagi terlihat di sana.
Jongdae menghela nafasnya. Seminggu berlalu, dan Minseok sama sekali tidak muncul.
Namun ia tetap menunggunya.
Jongdae sudah memikirkannya bulat-bulat dan sudah memutuskan segalanya.
Ia akan menyatakan cintanya kepada Minseok di pesta perpisahan nanti.
Dirinya tidak peduli walaupun harus ditinggal pergi ke London. "At least, kau sudah menyatakannya. Buat apa memikirkan London. Masih sama-sama di planet bumi ini, kok." Begitu kata Baekhyun dengan optimis. Dukungan sahabatnya itu membuat dirinya semakin yakin kalau ini keputusan yang benar.
Ditambah lagi, Jongdae tidak ingin melihat gadis itu menangis lagi. Dia tidak mau lagi melihatnya terluka seperti waktu itu.
Jongdae khawatir dan sekaligus penasaran. Itulah mengapa ia berniat menyatakan perasaan terpendam ini. Ia ingin menjadi bagian dari hidup Minseok, begitulah pikirnya.
Lagi pula, hari ini sudah hari ke 12 sejak Minseok menghilang dari bawah pohon ek itu. Jongdae bukan pria bodoh yang hanya menunggu—ia sudah mencarinya! Namun setiap kali istirahat kedua, Minseok langsung melesat keluar bahkan sebelum Jongdae dapat mengejarnya.
Karena hasil yang nihil, Jongdae memilih untuk kembali menunggu. Kembali duduk di balik tanaman pagar dan mengintip melalui celah-celah itu. Rasanya sesak melihat pohon ek itu nampak kosong. Tidak ada Minseok yang mengisinya disana membuat sesuatu seakan hilang.
Jongdae menghela nafas berat.
Ia merindukannya.
Hari-hari di High School semakin terasa singkat. Waktu kelulusan hampir tiba, dan para murid kelas akhir semakin disibukkan dengan ujian-ujian yang ada. Perpustakaan merupakan sasaran utama Jongdae untuk mengerjakan soal-soal untuk belajar karena tempat itu memang merupakan tempat favorit keduanya.
Seperti siang ini, ia langsung bergegas ke perpustakaan saat bel pulang berdering. Dia tidak memusingkan Baekhyun karena gadis itu sudah sibuk menghilang ke kelas kekasihnya yang setinggi tiang, Park Chanyeol.
Setelah meletakkan tasnya di rak penyimpanan, ia langsung bergegas menuju rak buku-buku tentang geografi. Besok ujian geografi dan dia tidak boleh gagal mengerjakannya.
Menemukan apa yang ia cari—Jongdae memilih untuk mengerjakannya di meja perpustakan yang menempel pada kaca. Perpustakaan ini tidak dilapisi tembok—melainkan kaca, sehingga orang-orang dapat dengan bebas melihat ke dalam perpustakaan, begitu juga sebaliknya.
Jongdae baru saja hendak mengerjakan soalnya—saat sosok yang sangat ia rindukan tak sengaja tertangkap oleh matanya.
Itu Minseok—Kim Minseok!
Jongdae meletakkan pensilnya dan mulai sibuk memperhatikan gadis itu. Sepertinya ia sedang berbicara dengan seseorang—namun sayangnya, orang itu terhalang oleh sebuah pilar. Jongdae merutuk kesal karena tidak bisa melihat orang itu.
Sesekali gadis itu tersenyum malu-malu, kemudian tertawa kecil. Lalu sebuah tangan terulur—tangan orang di balik pilar itu—dan mengelus lembut pipi bulat Minseok. Kemudian helaian rambutnya yang terurai diusap manja oleh orang itu—membuatnya lantas merona merah.
Prak!
Jongdae membuang semua buku di mejanya dengan kasar. Ia memilih untuk menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Dadanya naik turun dengan cepat dan nafasnya terdengar begitu memburu. Emosinya kini benar-benar memuncak.
Cemburu? Tentu saja.
Siapa yang tidak cemburu melihat seseorang yang kau cintai disentuh seperti itu?
Tapi, lagi-lagi, pemikiran sial itu datang menghampirinya.
Memangnya kau siapa, Kim Jongdae? Kau bukan siapa-siapa. Kau bukan bagian dari kehidupan Minseok dan kau bukanlah siapa-siapa di mata gadis itu.
"Argh!"
Jongdae mengerang frustasi dan memutuskan untuk pulang. Moodnya sudah terlalu hancur untuk belajar.
Sebelum benar-benar pergi, ia kembali menoleh ke belakang. Lama ia menatap gadis itu, sampai suatu kata—yang ia baca dari gerakan bibir Minseok—membuatnya benar-benar serasa ditampar keras. Hatinya berdenyut nyeri dan rasa sesak memenuhi rongga dadanya.
Na-do sa-rang-hae.
Tak mau membuat moodnya semakin memburuk, Jongdae memutuskan untuk berbalik dan pulang.
.
Malam ini pesta perpisahan.
Dan Jongdae tidak ingin datang.
"YA! BANGUN KAU UNTA PEMALAS! INI SUDAH JAM 12!" seru Baekhyun murka. Ia menarik paksa selimut Jongdae yang menutupi tubuhnya sehingga membuat mereka tampak seperti berebutan selimut.
Bagaimana dia tidak murka? Tadi, pagi-pagi sekali (sebenarnya sudah jam 11 tapi jam 11 di hari Sabtu bagi Baekhyun sama dengan jam 6 di hari Senin), Jongdae menelfonnya dan berkata ia tidak jadi datang ke pesta perpisahan. Baekhyun—yang tadinya setengah sadar—langsung sepenuhnya terbangun dan bergegas ke kamar mandi untuk menemui Jongdae di rumahnya.
"Sudah kubilang aku tidak jadi datang!" seru Jongdae yang masih mempertahankan selimutnya.
Baekhyun berkacak pinggang. "Hey, bodoh! Kau akan mati dalam penyesalan seumur hidup nantinya! Bersikaplah dewasa, Kim Jongdae! Aku tidak mau tau, kau harus ikut!"
Jongdae bangun dan menyibakkan selimutnya. "Baek, Minseok sudah punya pacar!"
"A-apa?" tanya Baekhyun tak percaya. "Kata siapa Minseok sudah punya pacar?"
"Aku melihatnya sendiri," Jongdae berdecih kesal mengingat peristiwa waktu itu. "Saat masa-masa ujian akhir, aku melihatnya sedang berbicara dengan seseorang. Orang itu mengelus rambutnya, mengelus pipinya—Baek, apakah itu tidak kelihatan seperti orang pacaran?"
Baekhyun menghela nafas dan memutuskan untuk duduk di tempat tidur pria itu. "Kau tau siapa orangnya?"
"Sayangnya, tidak." Jongdae memalingkan wajahnya. "Dia berdiri di belakang pilar jadi aku tidak bisa melihatnya."
Kemudian mereka terdiam. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Jongdae dengan peristiwa itu—dan Baekhyun dengan rasa-tidak-percayanya.
"Tetaplah datang, Dae," bujuk Baekhyun untuk terakhir kalinya. "Setidaknya kau bisa melihatnnya untuk yang terakhir kali, kan?"
Dan Jongdae—pada akhirnya—menyerah.
.
.
Ballroom yang telah dihias sedemikian rupa dengan berbagai hiasan membuat ruangan itu nampak mewah. Sederet makanan kecil dan minuman sudah berjejer dengan rapi di tengah dan pinggiran ruangan. Suara musik jazz yang mengalun pelan membuat suasana pesta semakin terlihat menyenangkan dan tenang.
Namun, hal itu berbanding terbalik dengan perasaan Jongdae.
Ia berjalan sendiri di tengah keramaian pesta sambil melirik kesana kemari untuk menemukan satu-satunya tujuan ia datang kesini. Baekhyun sudah menghilang sejak tadi—ditarik entah kemana oleh kekasihnya yang setinggi tower itu.
"Setidaknya kau bisa melihatnnya untuk yang terakhir kali, kan?"
Ucapan Baekhun selalu terngiang di otaknya—dan itu membuatnya, entah mengapa, cemas dan grogi. Jongdae memutuskan untuk mengambil segelas minuman, sekedar untuk menenangkan hatinya yang cemas. Ia meminum minumannya sambil membalikkan badannya—dan tersedak saat itu juga ketika matanya mengarah langsung kepada Minseok.
Minseok, Kim Minseok. Sosok yang menjadi alasannya untuk datang kesini.
Gadis itu tampak sangat menawan dengan dress biru gelap selutut yang membalut tubuh indahnya. Kaki jenjangnya dihiasi sepatu high heels berwarna senada dengan simpulan tali yang sedikit rumit. Rambut lurusnya dibiarkan tergerai dengan diberi tiga jepitan kecil sebagai pemanisnya.
Dan Jongdae bersumpah—Minseok terlihat seperti malaikat yang begitu indah di matanya.
Minseok sangat, sangat cantik. Jadi jangan salahkan dirinya jika ia semakin jatuh cinta kepada gadis itu.
"Pemandangan yang indah, bukan?"
Jongdae menoleh dan mendapati Baekhyun sudah berdiri di sampingnya. Ia tersenyum jahil—seakan menggoda Jongdae yang terlalu menikmati pemandangan di depannya. Jongdae tersenyum dan kembali memandangi Minseok.
"Terlalu indah, malah."
Baekhyun terkekeh, namun sedetik kemudian ia tersenyum sedih. "Sayangnya, kau sedikit terlambat, Dae."
Jantungnya berdetak lebih cepat mendengar ucapan Baekhyun. "Maksudmu?"
Baekhyun menghela nafasnya. "Kau benar, Minseok sudah—"
"KYAAA!"
Baekhyun dan Jongdae menoleh bersamaan kala mendengar suara teriakan tak jauh dari mereka.
Dan pada saat itu juga, Jongdae lebih berharap untuk mati ketimbang menyaksikan pemandangan menyakitkan di depan matanya itu.
Ketika dimana seorang namja mengecup kening Minseok cukup lama, sedangkan gadis itu memejamkan matanya dan sibuk memerah padam. Ciuman dadakan itu cukup membuat heboh beberapa orang hingga mau tak mau mereka berdua menjadi pusat perhatian di tengah pesta ini.
Sepuluh detik itu cepat—namun untuk beberapa orang, sepuluh detik terasa seperti berpuluh-puluh tahun lamanya.
Termasuk Jongdae.
Ciuman itu terlepas, namun dengan cepat pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Minseok. Cukup erat, seakan ingin mengatakan bahwa gadis itu adalah mutlak miliknya.
Butuh beberapa saat bagi Jongdae untuk menyadari bahwa pria itu adalah Xi Luhan—pria asal China yang ada di kelas XII-4. Namja itu cukup populer dan memiliki banyak penggemar—tidak seperti Jongdae yang bahkan hanya punya Baekhyun sebagai teman.
Mereka terlihat cocok dan serasi. Jongdae merasa dadanya kembali sesak dan hatinya seakan terkoyak hebat. Rasanya dadanya begitu hampa dan juga sakit di saat bersamaan. Seperti ada sayatan di sana, dan itu sangat perih.
Hatinya hancur.
" Kekasihku, Kim Minseok."
Dan Jongdae memejamkan matanya erat, kemudian bersumpah—
— ia akan segera membuang perasaannya jauh-jauh detik ini juga.
FINALLY I MADE A CHENMIN STORY, MY BIASSS!
Bukan otpfav sih tapi mereka berdua itu bias aku hoho
Ini bakan jadi twoshot with sequel (jika mau), janji kok;-;)v
Soooooooooo, review? Ehehehe:3
[20:04—090414]
