Save Me From This Darkness
Disclaimer : selamanya bakal tetep jadi punyanya Kishimoto-sensei, 'kan?
Pair : SasuNaru slight NejiGaa
Rated : entahlah. Masih masuk T ga? Untuk jaga-jaga, saya klasifikasikan ke rate M aja ya?
Genre : Mystery, drama, romance
Warning : AU. DON'T LIKE, DON'T READ! Shounen Ai, Yaoi, Typo, OOC, dll, dkk, dst.
Author Notes : coba-coba menulis fic dengan genre misteri. Ide ini datang begitu saja ketika saya menonton salah satu acara reality show misteri di salah satu stasiun televisi tentang sebuah sekolah berasrama. Semoga Anda bisa menikmati fic 'berbeda' buatan saya ini. Saya menggunakan Naruto POV disini~ Seperti biasa, saya akan mengulang warning di atas, biar ga ada reader yang 'nyasar' : DON'T LIKE DON'T READ!
Enjoy It!
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
Aku menutup pintu perlahan, meninggalkan derit aneh yang mengisi kesunyian ruangan dengan dua tempat tidur ini. Ya—ini adalah kamar baruku. Kamar dari sekolah asrama yang baru saja kumasuki beberapa hari belakangan.
Kau ingin tahu kenapa aku bisa ada di tempat ini? Aku memang sengaja memilih sekolah berasrama sebagai tempatku menuntut ilmu selama tiga tahun kedepan. Alasannya? Aku ingin mandiri sekaligus berusaha membiasakan diri sebelum aku kuliah nanti.
"Hahh.. Teman sekamarku mana sih?" gerutuku kesal.
Bukankah seharusnya semua siswa memasuki kamarnya setelah makan malam tadi? Lalu kemana orang yang akan menjadi teman sekamarku ini? Apa dia tersesat? Jujur saja, sekolah berasrama ini memiliki bangunan besar dan memang berpotensi untuk menyesatkan orang-orang yang baru saja datang kesini.
"Ah, langitnya indah sekali.." bisikku yang kini berdiri di dekat jendela dan melempar pandangan keluar.
Kamarku ada di lantai tiga, jadi aku bisa memperhatikan keadaan di luar asrama dari jendela tua ini. Kuarahkan mataku ke taman asrama, kemudian ke bangunan sekolah yang terletak tak jauh dari gedung asrama, lalu..
"Sedang apa dia di bawah pohon malam-malam begini?"
Aku melihat seorang pemuda –yang kurasa– seumuran denganku sedang bersandar di pohon, tampak terdesak. Beberapa saat kemudian, mata biruku menangkap dua sosok dalam keremangan yang menyudutkan si anak berambut merah.
"He—hei! Apa-apaan itu?" tanyaku dengan suara bergetar ketika melihat dua sosok yang tak bisa kulihat wajahnya memegangi tubuh pemuda tadi.
Salah seorang pemuda yang memeganginya kemudian mengeluarkan sebuah benda dari sakunya dan menggoreskannya di lengan si pemuda berambut merah, membuat sosok itu mengerang kesakitan.
"Sial!" umpatku sembari berbalik dan hendak melangkah menuju tempat pemuda berambut merah itu berada.
BRUK
"Adudududuh," ringisku dengan sebelah tangan memegangi bagian belakang tubuhku yang sukses menindih lantai marmer kamar.
"Baka Dobe! Kau ini bagaimana sih?" ucap pemuda di depanku sembari mengulurkan tangannya, membantuku berdiri.
"Maaf, maaf," ucapku beberapa kali.
"Ada apa? Kenapa kau terburu-buru?"
Aku langsung ingat alasanku berbalik dan hendak melangkah tadi; si pemuda berambut merah! Tanpa menjawab pertanyaan pemuda –yang sepertinya– teman sekamarku, aku segera melesat keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan tergesa. Aku harus segera menemui dan menolong pemuda tadi!
"Kau ini kenapa sih?" tanya teman sekamarku yang ternyata mengikutiku sampai ke tempat ini, tempat dimana aku melihat anak itu.
"Tadi ada pemuda berambut merah yang sedang dikerjai oleh dua orang disini. Ah, sial! Sepertinya aku terlambat," ucapku dengan nafas yang sedikit tak teratur.
"Pemuda berambut merah?" tanya pemuda di belakangku.
"Ya—apa kau juga melihatnya?" tanyaku.
"Aku tidak melihat siapapun di tempat ini ketika aku melangkah di koridor menuju asrama beberapa saat yang lalu. Mungkin kau salah lihat," ucapnya.
"Tidak mungkin! Aku melihat pemuda itu didesak oleh dua orang, dan salah satu diantaranya melukai anak itu. Tidak mungkin aku salah lihat," sergahku.
"Tapi aku tidak melihat siapapun di tempat ini tadi, Dobe. Aku sungguh-sungguh!"
"Lalu.. yang tadi itu.. apa?"
# # #
Kejadian beberapa minggu yang lalu itu masih belum bisa kulupakan. Jangankan melupakan, wajah pemuda berambut merah itu malah terus terbayang di kepalaku. Wajah pucat dengan raut datar—tak terbaca. Aku menghela nafas berat. Kalau begini terus, aku bisa gila. Aku harus mencari tahu siapa pemuda itu agar aku bisa menolongnya.
"Kau sudah selesai mengerjakan tugasmu, Uzumaki?" tanya Obito-sensei, guru Matematika di sekolah ini.
"Ya, sensei," balasku.
"Bagus. Coba kau kerjakan nomor tiga," ucapnya sembari menyodorkan spidol berwarna hitam padaku.
Aku mengambil spidol itu dari tangannya dan melangkah mendekati white board. Tanpa ragu kusalin jawaban yang tadi sudah kutulis di buku latihanku. Aku bukan anak pandai, tapi aku juga bukan anak bodoh. Mungkin aku ada diantara dua kategori itu. Kalau hanya mengerjakan soal tentang matriks begini sih, aku bisa.
Aku membaca ulang jawaban yang sudah tertoreh rapi di white board untuk memastikan kalau tidak ada yang salah. Sesaat mataku terpaku pada satu bayangan yang terpantul jelas di white board. Bayangan pemuda berambut merah yang tampak duduk di bangku kedua di baris pertama sebelah kanan, dekat tembok. Segera kubalik tubuhku dan langsung mengarahkan pandangan ke tempat sosok tadi berada, namun.. nihil.
"Jawabanmu benar, Uzumaki. Kau boleh duduk," ucap Obito-sensei membuyarkan keterkejutanku.
Aku kembali duduk di tempatku tanpa memutuskan pandangan sedikitpun dari tempat dimana aku melihat sosok itu tadi.
"Kau kenapa, Dobe?" tanya Sasuke, teman sebangku sekaligus teman sekamarku.
"Apa tadi kau melihat ada yang duduk di bangku itu, Teme?" tanyaku dengan telunjuk mengarah pada tempat duduk kosong.
"Tidak. Setahuku murid yang duduk di kursi itu tidak masuk kelas hari ini. Kenapa memangnya?" tanya Sasuke dengan tatapan heran.
"Aku.. melihat pemuda itu lagi."
"Kau jangan bercanda, Dobe. Ini sama sekali tidak lucu tahu."
"Aku tidak bercanda, Teme! Mana mungkin aku bercanda dengan situasi seperti ini?"
Aku terpaksa meredam rasa penasaran dan hasrat untuk bertengkar dengan Sasuke ketika melihat Obito-sensei memperhatikan kami berdua dari balik kaca matanya. Setelah keanehan yang kualami tadi, aku tidak mau menambah beban pikiranku dengan hukuman-entah-apa yang bisa saja diberikan sensei-ku itu.
.
"Sepertinya kau mengalami halusinasi, Dobe. Apa kau kurang tidur?" tanya Sasuke ketika kami duduk di kantin dan melahap makan siang kami.
"Aku sehat, Teme, sehat! Tega sekali kau menuduhku berhalusinasi?" balasku sebelum menyuapkan ramen ke mulutku.
"Kalau bukan halusinasi, lalu apa namanya? Jelas-jelas aku tidak melihat apa yang kau lihat, Dobe."
"Gah! Aku juga tidak mengerti, Teme! Sudahlah, aku tidak mau membahas hal itu dulu. Selera makanku bisa hilang nanti," tuturku.
Sasuke hanya menghela nafas dan berdecak pelan menanggapi kata-kataku. Walaupun aku berkata seperti itu, aku tak bisa mencegah otakku yang terus saja mengulang dua kejadian yang kualami tentang pemuda berambut merah itu.
"Te—Teme," panggilku terbata.
"Apa, Dobe?" tanyanya acuh.
"Teme," panggilku lagi, kini dengan suara bergetar.
"Apa sih, Dobe? Kau mengganggu makan siangku!"
"B–bisa kau tolehkan k–kepalamu ke arah b–belakang?" pintaku.
"Ada apa memangnya? Dan kenapa kau terbata begitu? Seperti Hinata saja," timpalnya.
"L–lakukan saja!" paksaku.
Dengan setengah hati Sasuke menolehkan kepala ke arah yang kukatakan tadi. Bisa kulihat mata onyxnya melebar sempurna. Apa sekarang dia melihat apa yang kulihat?
"Dia—pemuda yang kau maksud itu, Dobe?" tanyanya dengan mata masih menatap sosok berambut merah yang sedang membawa nampan berisi makan siang.
"Ya. Kau melihatnya, Teme?"
"Tentu saja."
Sosok itu mengarahkan pandangan padaku dan Sasuke—dan pada seisi kantin, kemudian melangkah keluar dari ruangan besar ini. Sasuke segera berdiri dan menarik sebelah tanganku, paksa.
"Apa yang mau kau lakukan, Teme?" tanyaku gusar.
"Menemuinya tentu saja. Bukankah kau ingin bertemu dengannya? Lagipula aku penasaran dengan pemuda itu," jawab Sasuke dengan langkah kaki menapaki jalan yang tadi dilewati si pemuda berambut merah.
"Apa tidak apa-apa membuntutinya seperti ini, Teme?" tanyaku khawatir.
"Ck, kau ikuti saja, Dobe."
Kulihat pemuda itu melangkah makin cepat dan berbelok—sepertinya dia sadar kalau kami mengikutinya. Kini aku dan Sasuke melangkah setengah berlari, terus mengejar sosok itu.
"Sial, dia menghilang!" umpat Sasuke.
"Aku lelah, Teme," ucapku disela-sela nafas yang tak beraturan.
"Apa kau melihatnya, Dobe?"
Sasuke mengedarkan pandangannya ke segala arah. Sepertinya dia belum menyerah mencari pemuda tadi. Aku ikut memperhatikan sekeliling. Eh, lho? I–ini dimana?
"Teme, kita ada dimana?" tanyaku.
"Eh?"
Ck, sepertinya dia juga tidak sadar kalau kami kini berada di tempat yang sama sekali belum pernah kami tapaki. Aku menatap sebuah pintu yang ada di depanku. Dilihat dari bentuk dan keadaannya, kurasa usia pintu ini sudah puluhan tahun. Perlahan kuulurkan tangan untuk meraih kenop pintu itu dan memutarnya perlahan.
# # #
'Hei, apa-apaan itu?'
"Memohonlah padaku," ucap pemuda dengan sebelah tangan mencekik pemuda lain di depannya.
"Aku tidak akan.. memohon.. pada orang sepertimu," tolak si pemuda yang sedang dicekik.
'Apa yang sedang terjadi? Hei, lepaskan tanganmu dari lehernya. Kau bisa membunuhnya tahu!'
"Che, berkata saja kau kesulitan. Sudahlah, memohon saja."
"Tidak.. akan."
"Dasar keras kepala!"
Sebuah bogem mentah mendarat di pipi pucat itu, membuat dagunya ternoda cairan merah pekat yang keluar dari sudut bibirnya. Pemuda itu melepaskan cekikkannya dan mendorong tubuh lemah di depannya hingga tersungkur ke tanah.
'Bastard! Beraninya kau melukai seseorang yang tidak berdaya!'
"Coba lihat ketua OSIS kita ini. Menyedihkan," ucapnya.
"Apalagi yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya beberapa orang yang muncul dari balik pintu.
'Selanjutnya? Apa maksudmu, brengsek?'
"Hmm.. Apa ada yang punya ide menarik?"
"Bagaimana kalau kita sedikit bermain-main?" tanya seorang pemuda dengan sebilah pisau lipat di tangannya.
'Ka–kalian mau apa? Hei!'
"Ayo kita mulai. It show time," ucap salah satu pemuda sembari melangkah mendekati si pemuda yang masih tersungkur.
'Tidak.. Jangan.. Berhenti! Jangan.. Jangan lukai dia lebih dari ini! Jangan!'
.
"Jangan.. Jangaaann!" Aku langsung bangun terduduk.
"Dobe, kau baik-baik saja?"
Tadi.. pemuda tadi.. pisau lipat.. Ah—aku bermimpi. Mimpi macam apa itu?
Sasuke yang sedaritadi duduk di tepi tempat tidurku menyodorkan sapu tangan. Aku masih diam, tubuhku masih gemetar, takut. Tiba-tiba kurasakan belaian lembut di bagian wajahku. Sasuke menyeka keringatku.
"Kau mimpi buruk?" tanyanya tanpa menghentikan kegiatan tangannya.
"Ya.. Tentang pemuda berambut merah.."
"Kau memimpikannya?"
"Ya. Dia adalah ketua OSIS di sekolah ini," ucapku perlahan.
"Ketua OSIS? Bukankah ketua OSIS kita saat ini adalah si Nara itu?"
"Aku juga tidak tahu, Sasuke. Aku sama sekali tidak mengerti."
Sasuke menghentikan gerakan tangannya dan menatap mataku lurus. Aku segera mengalihkan tatapanku darinya. Aku tidak mau berhadapan dengan sepasang mata onyx itu sekarang.
"Kau takut?" tanyanya.
"Mana mungkin aku tidak takut melihat adegan bullying secara live?" tuturku dengan nada sinis yang kentara.
"Kau.. melihat?"
"Aku melihatnya, Sasuke. Aku ada disana ketika pemuda itu dicekik, dihajar, didorong, dan.. dan.."
Aku tak mampu mengatakan apa yang kulihat selanjutnya. Aku tak mau mengatakannya. Aku tidak mau mengingat apa yang terakhir kulihat tadi. Aku tidak mau!
"Tidurlah lagi. Ini masih dini hari," ucap Sasuke, membuyarkan lamunanku.
"Kau saja yang tidur. Lebih baik aku menunggu fajar," tolakku.
Sasuke menghela nafas pelan dan beranjak ke tempat tidurnya, sekedar mengambil bantal dan selimutnya, kemudian meletakkan dua benda itu di atas tempat tidurku.
"Aku akan menemanimu malam ini," ucapnya sembari berbaring di sampingku yang masih terduduk.
"Kasur ini tidak akan cukup ditempati berdua, Teme!" ujarku gusar. Dia ini apa-apaan sih?
"Muat, Dobe. Kemari," balasnya dengan sebelah tangan menarik bahuku.
Tak bisa mempertahankan keseimbangan tubuh, dan akhirnya sukses jatuh ke atas tempat tidur dengan posisi menyamping—berhadapan dengan Sasuke.
"Muat 'kan?" tanya pemuda stoic itu pelan sembari menarik tubuhku mendekat, merapat padanya.
"Apa yang kau lakukan, Teme?"
"Membuatmu nyaman supaya kau bisa tidur lagi. Oyasumi, Naruto."
"Hei, Teme," aku memanggilnya dan berusaha menyingkir, tapi ternyata sebelah tangannya sudah mengunci tubuhku.
Merasakan hembus nafasnya yang teratur dan degub jantungnya yang menenangkan ternyata bisa membuatku mengantuk. Di tengah kesadaranku yang makin menipis, aku melihat sosok pemuda berambut merah itu disana.. berdiri di belakang tubuh Sasuke.. menatap kami dengan sorot mata ganjil yang.. terlihat sedih.
TBC
.
.
Author Notes: mau langsung ke chapter dua? Silakan~ Saya tidak akan menghalangi ^^
