Laki-laki itu, adalah entitas yang tidak terlalu khusus.

Sebuah rata-rata diantara rata-rata, seorang awam diantara yang paling awam. Andai kata ia hilangpun, rasa-rasanya masih banyak orang—atau bahkan benda?—yang bisa menggantikan keberadaannya.

Tidak ada satu orang pun yang berharap apa-apa dari laki-laki ini. Bahkan lucunya, laki-laki ini juga tidak terlalu berharap banyak dari dirinya sendiri.

Menjalani hari demi harinya sebagai pondasi terdasar dari hirarki kehidupan, ambisi laki-laki ini semakin lama semakin menumpul. Tanpa adanya kemauan, tanpa adanya niatan.

Sesekali. Ia sering berpikir, kadang bertanya, kadang juga berdialog, mengenai apa arti hidup ini disaat malam sedang sunyi-sunyinya? Tapi sayang, jawaban yang ia terima selalu sama,

Tidak ada.

Tidak ada jawab yang pertama. Tidak ada yang tahu itu yang kedua. Dan diatas semuanya, tidak ada yang peduli dengan keberadaannya itu yang pasti.

Memandang jauh ke atas langit beserta bulan matinya, laki-laki ini menerawang melewati masa lalunya.

Bukan berasal dari garis keturunan murni penyihir—faktanya hanya ayah angkatnya saja yang merupakan seorang magus—adalah sebuah pencapaian besar baginya bisa diterima sebagai salah satu murid di Clock Tower, asosiasi penyihir terbesar didunia yang berada di London, ini.

Menjadi pengajar tetap di Clock Tower adalah targetnya, ekspetasinya cukup tinggi kala itu.

Menghadiri semua kelas yang bisa ia hadiri dalam satu hari, tanpa terkecuali, membuat reputasinya menjadi terkenal entah dikalangan murid lain atau para instruktur. Tapi tentunya bukan dalam artian positif.

Minggu pertama. Ia hanya mendengar beberapa cibiran samar-samar.

Minggu kedua. Ia mulai mengerti arti sebuah hinaaan yang tersirat.

Minggu ketiga. Semua pengkucilan tersebut ditunjukkan langsung ke depan matanya.

Tanpa henti. Laki-laki tersebut bertanya 'kenapa?', mencoba mencari tahu bagian mana yang salah dari dirinya.

Apakah garis keturunannya? Apakah sikapnya? Apakah penelitiannya?

Segala macam praduga ia keluarkan, tapi sayang tetap tidak ada jawab. Laki-laki itu sendirian.

Hingga diakhir, ketika rasa muak serta benci mulai meracun di dalam darahnya. Ia menarik sebuah hipotesis sederhana. Bahwa,

"Di dunia ini. Memang ada seseorang yang terlahir tuk dibenci dan ada juga yang terlahir tuk dicintai."

Mengamini dengan tulus perkataan tadi dalam hati, laki-laki ini lalu memejamkan matanya sejenak. Berusaha menikmati desiran angin malam yang masuk-keluar melalui jendela ruang kerjanya, yang mana secara merata membuat bulu kuduknya berdiri.

Terkekeh. Ia menikmatinya. Terkantuk. Ia nyaris terlelap.

Hingga sebuah suara bising dari sepeda motor lama tahun 70'an berwarna hijau yang diparkir didepan halamannya membuatnya mau tak mau membuatnya membuka mata.

Melirik kesekitaran kanan, kearah dinding dengan sebuah poster bertuliskan huruf-huruf Sankserkerta besar tertempel disana, ia berusaha mencari tahu kesebelah mana pandum kecil dari jam dinding tuanya itu berhenti.

Dan setelah itu, tanpa bergerak ataupun merubah posisinya sama sekali, ia kembali memejamkan matanya. Sama sekali tidak memperdulikan keadaan orang yang menggedor-gedor pintu depannya dengan cukup keras, yang mana sekarang sudah berdiri dibelakangnya dengan jengkel sambil menjinjing helm.

Sedikit menggertutu, urat-urat kekesalan jelas tampak didahinya, wanita itu berkata dengan sinis,

"Jadi ini caramu memperlakukan orang yang kamu mintai bantuan hah? Oh, sungguh, betapa baik hatinya dirimu ini."

Berbalik dengan memutar kursi kerjanya, laki-laki tersebut melemparkan senyum simpul kepada wanita tadi. Melakukan obeservasi sejenak, ia kemudian bangkit, berjalan kearah si wanita lalu bertanya dengan singkat,

"Dimana pesananku?"

Mengikuti alur yang ditunjuk oleh jempol si wanita, mata laki-laki itu berhenti mencari tatkala ia melihat sebuah kantong cokelat berukuran sedang sudah diletakkan secara tertelungkup di atas meja makan.

Kembali tersenyum. Laki-laki tersebut lalu memberikan terima kasihnya kepada sepupu perempuannya ini.

"Cairan binahong, akar tanaman akar dewa, kembang tujuh rupa, gigi siung babi hutan muda, sisik-sisik lama dari ular yang berganti kulit, serta yang paling sering kau minta, dendam dari korban penindasan."

Sebuah tabung kaca kecil wanita itu keluarkan dari saku bajunya. Beberapa tetes cairan berwarna merah gelap tampak memenuhi dasar dari tabung tersebut.

Mengendap, pekat dan terasa menjijikkan, kiranya itulah kesan pertama yang didapat orang-orang ketika melihat isi tabung tersebut. Tapi, berbeda dengan mereka semua, malah rasa senang yang ditunjukkan oleh laki-laki itu.

Bertepuk tangan beberapa kali. Ia memuji hasil kerja dari sepupunya tersebut dengan tulus lalu kemudian berbalik dan mulai berkemas.

Hanya memasukkan beberapa pasang baju, celana dan beberapa buku tua bersampul tebal kedalam koper besarnya, persiapan laki-laki itu bahkan tidak mencapai waktu lima menitan. Kemudian, tidak langsung menutup koper, laki-laki itu masih menyempatkan diri tuk melihat ke luar jendela.

Dengan puas. Ia menikmati saat-saat memandang bulan mati seperti ini, yang mungkin tidak akan bisa ia lakukan lagi di masa mendatang.

"Jadi sekarang harinya huh?"

Sebenarnya, yang dilontarkan wanita itu bukanlah sebuah pertanyaan. Karena sedari tadi matanya sudah mencuri-curi pandang kearah sebuah pola berbentuk tribal, layaknya tato, yang melekat bagai kulit di punggung tangan kanan sepupunya itu.

Pada kodratnya. Sebuah pertanyaan muncul ketika kita tidak tahu sama sekali mengenai sesuatu hal, entah apa saja. Jadi ketika kita sudah mengetahui segala seluk beluk dari suatu hal tersebut tapi tetap bertanya, maka jatuhnya kita bukan bertanya melainkan hanya memastikan saja.

Dan itulah yang sekarang tengah dilakukan Nirmala Larasati terhadap satu-satunya anggota keluarganya, Rendy Irawan.

"Jika yang ditanya adalah hari keberangkatanku, maka aku akan menjawab iya. Tapi jika yang kau tanyakan adalah kapan puncak dari ritual ini, maka mohon maaf karena aku tidak tahu jawabannya."

Tepat saat itu, Rendy menutup kopernya dan Nirmala menghela nafas cukup panjang. Entah kenapa, rasa-rasanya banyak sekali perasaan tidak enak yang menumpuk didalam hati wanita itu ketika mendengar jawaban barusan.

Ah, tapi rasanya itu adalah perasaan yang wajar dirasakan seseorang ketika mengetahui bahwa salah satu anggota keluarga atau kenalan dekatnya mungkin akan meninggal dunia dalam hitungan beberapa hari kedepan.

"Apakah dia juga ikut berpartisipasi dalam perang ini?"

Kembali, Nirmala mencoba memastikan. Sebuah kesia-siaan karena tentunya, tanpa memperdulikan Rendy yang sama sekali tidak mersepon, jawabannya adalah iya.

Dia yang dimaksud disini adalah seorang pria berkerwarganegaraan ganda—Indonesia dan Belanda—bernama Koenraad van Eych. Yang mana dulunya adalah sahabat karib dari Rendy Irawan, tapi—dikarenakan satu dan dua hal—sekarang mereka berbalik menjadi musuh bebuyutan.

Sebenarnya, dalam hubungan Rendy dan Nirmala, ada sebuah peraturan tidak tertulis yang wajib dihormati, yang isinya tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Dan salah satu isi dari peraturan tersebut adalah larangan menyebut nama Koenraad dalam setiap pembicaraan. Sesuai dengan apa yang diajukan oleh Rendy Irawan dan disetujui oleh Nirmala Larasati.

Tapi karena disini Nirmala tidak menyebut nama tapi menggunakan kata ganti 'dia', makanya Rendy tampak tidak terganggu sama sekali. Berbeda dengan biasanya—dia akan kalap dan bertindak agresif—jika ada yang salah-salah, atau tidak sengaja, mengucap nama Koenraad di depan matanya.

Tindakan berlebihan? Sebenarnya tidak juga.

Malahan jika mengingat segala macam perbuatan yang diterima olehnya dulu, maka rasanya wajar-wajar saja jika Rendy begitu dalam menumpuk rasa bencinya kepada pria jangkung berambut pirang tersebut, kepada Koenraad van Eych.

Berawal dari tujuan mereka yang sama-sama ingin memperbaiki keturunan sihir keluarga mereka. Kedua orang ini, Rendy dan Koenraad, lalu menjalin rekanan yang tak bisa digoyahkan siapapun.

Melakukan penelitian bersama, saling membantu dalam studi masing-masing serta tak pernah ragu untuk menolong satu sama lain. Maka tak ayal jika diakhir, hubungan pertemanan ini juga berimbas kepada eratnya hubungan kedua keluarga berbeda tersebut. Perjodohan antara Rendy dengan salah satu adik perempuan Koenraad adalah salah satu contohnya.

Tapi ternyata, dibalik sikap ramah tamahnya yang sangat kentara, Koenraad ternyata adalah seorang pengkhianat, seorang musuh dibalik selimut, seekor serigala berbulu domba. Entah Rendy mau menyebutnya yang mana.

Mengklaim semua penelitian berharga Rendy atas namanya seorang, yang mana akhirnya membuat Rendy diusir dari Clock Tower secara tidak hormat, Koenraad juga ternyata telah menipu sahabatnya itu dengan menjodohkannya dengan sembarang wanita yang ia hipnotis, yang mana akunya adalah adik semata wayangnya.

Penyihir kasta bawah yang mencuri penelitian berharga milik orang lain. Begitulah para magus di Clock Tower mengcapnya.

Laki-laki rendahan yang menggunakan ilmu sihir untuk memuaskan nafsunya kepada seorang wanita tak berdosa. Begitulah pandangan masyarakat terhadapnya.

Seolah-olah kata 'buruk' sudah menjadi nama tengahnya, Rendy Irawan semakin ditepikan ke sudut dua dunia yang berbeda ini.

Didiamkan disana selamanya, sebenarnya membusuk dan mati hanyalah opsi yang bisa ia pilih. Tapi diakhir, daripada menyerah terhadap ketidakadilan yang menghinggapinya, ia malah memilih jalan yang bisa menghitamkan kembali namanya dengan mudah.

Balas dendam.

Harga dirinya terkoyak habis. Kepercayaannya diinjak-injak. Kekesalannya sudah sampai pada batasnya, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat tuk meledak saja.

Dan sekarang. Hari Kamis, tanggal 17 September adalah hari yang dinanti-nantikannya. Hari dimana mantra perintah [Command Spell] muncul ditangannya. Pertanda bahwa sudah diakuinya keberadaan Rendy sebagai salah seorang partisipan dalam perang Cawan Suci yang diabaikan ini.

Perang Cawan Suci yang diabaikan.

Iya, rasanya-rasanya memang agak susah jika tidak menghubung-hubungkan kejadian ini dengan perang cawan suci yang terjadi di kota Fuyuki, Jepang beberapa tahun kebelakang.

Sebuah alat maha dahsyat yang dapat mengabulkan segala jenis permohonan macam apapun, itulah Cawan Suci.

Untuk mendapatkannya. Pertarungan sengit hingga mati wajib dilakukan oleh ketujuh Master—orang yang dipilih sang Cawan—hingga hanya tersisa satu orang saja. Dan barulah, setelah itu, permohonan dapat dikabulkan.

Singkatnya, jika membuang beberapa fakta minor, itulah garis besar yang dapat ditarik dari Perang Cawan Suci. Tapi kali ini, ada penambahan kata 'yang diabaikan' dibelakangnya.

Kira-kira apa maksud dari kata-kata tersebut?

Kurang lebihnya pasti itu yang akan ditanyakan. Dan untuk menjawabnya, kita perlu mundur sedikit lebih jauh kebelakang. Membaca sekilas mengenai sejarah awal penemuan Cawan Suci tersebut.

Dua ratus tahun yang lalu, bisa kurang bisa juga lebih, sekelompok orang melakukan eksperimen dan percobaan supranatural mengenai teori mengenai suatu tempat 'diluaran dunia ini'. Sebuah eksperimen yang ada sangkut pautnya dengan Cawan Suci sudah pasti.

Adalah Einsbern, Makiri dan Tohsaka yang melakukannya.

Tiga keluarga permulaan ini dahulu sempat berkerja sama, menggabungkan seni rahasia masing-masing untuk membentuk sebuah wadah yang bisa menampung sebuah kekuatan maha kuasa. Sayangnya, setelah mengetahui bahwa Sang Cawan hanya bisa mengabulkan satu macam permohonan saja, koalisi tiga keluarga ini pun segera lenyap bagai tidak pernah terjadi dan digantikan oleh konflik berdarah yang berkesinambungan.

Setelah itu setiap enam puluh tahun sekali, bisa berubah bisa juga tidak, Sang Cawan akan datang ke sebuah kota yang terletak di timur jauh, yang akhirnya biasanya dikenal dengan nama 'Fuyuki'. Dan disanalah awal permulaan atas semua Perang Cawan Suci terjadi.

Atau setidaknya itulah yang ditulis sejarah

Tapi, sejarah tidak pernah sekalipun menjelaskan kenapa harus kota Fuyuki yang dipilih? Secara, masih banyak sekali daerah-daerah lain di planet ini yang memiliki medan energi sihir jauh lebih besar ketimbang yang ada di kota Fuyuki. Bucharest di Roma dan Kairo di Mesir adalah beberapa contohnya.

Spekulasi pun banyak berterbangan.

Adalah yang mengatakan bahwa Perang Cawan Suci ialah permainan monopoli dari ketiga keluarga tadi. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa Sang Cawan sendirilah yang memilih kapan dan dimana dirinya akan muncul. Entah yang mana yang jawabannya tidak ada yang tahu pasti.

Dan ketimbang ikut terbawa arus perdebatan yang tidak ada gunanya sama sekali itu—Setidaknya itulah yang dipikirkannya—Rendy Irawan lebih memilih untuk berkutat dengan penelitiannya. Sebuah penelitian yang bertujuan untuk mencari jawaban dari pertanyaan,

Kenapa harus kota Fuyuki yang dipilih Sang Cawan?

Awalnya dia juga sempat berpikiran bahwa Perang Cawan Suci ini memang hanyalah permainan dari ketiga keluarga awal mula saja. Tapi kemudian dia berpikir bahwa itu adalah suatu ketidakmungkinan. Mengingat betapa serakah dan berambisinya ketiga keluarga itu, jelas adalah suatu bercandaan jika sampai mereka mau berbagi kekuatan dari Sang Cawan untuk kepentingan mereka bersama.

Lalu, apakah jawabannya adalah karena semua itu sudah kehendak Sang Cawan?

Rendy tidak menyetujuinya. Karena sama seperti jawaban 'sudah takdirnya' saat kita ditanya mengapa matahari terbenam, jawaban 'sudah kehendak Sang Cawan' juga sudah jelas bukanlah sebuah jawaban.

Sebuah anomali.

Singkatnya, ada sesuatu hal—yang entah apa itu—yang membuat Sang Cawan selalu terpanggil di kota Fuyuki. Itulah kesimpulan yang diambil Rendy sekitar 8 tahun yang lalu setelah melakukan beberapa studi tingkat lanjut ke beberapa tempat dengan medan energi sihir diseluruh penjuru dunia.

Kedekatan dengan sang 'awal'. Dugaan itu mencuat dipikiran Rendy tatkala ia mengamati hasil dari salah satu percobaannya yang menggunakan satu-satunya sihir yang ia bisa yaitu,

[Perewangan]

Itulah nama dari seni magus yang dikuasai Rendy. Layaknya mencuri, sihir ini mengambil prana dari luaran dan memakainya untuk menyusun ulang sirkuit sihir milik penggunannya lewat medium apa saja.

Sekiranya hal inilah yang membuat diri Rendy Irawan dibenci oleh para magus yang sangat mengagung-agungkan garis keturunan mereka. Karena walaupun tidak memiliki keturunan seorang penyihir sama sekali, sirkuit sihir yang dimiliki Rendy setara dengan sirkuit sihir yang dimiliki praktisi tingkat tiga, atau bahkan dua.

Prana-prana yang dapat diambil oleh teknik [Perewangan] ini bisa didapat dari berbagai macam hal. Bisa dari makhluk hidup maupun benda mati. Dan kala itu, sampel yang diambil oleh Rendy untuk uji coba adalah sekepal tanah dari masing-masing kota yang ia kunjungi. Semisal,

Athena di Yunani, London di Inggris dan Kairo di Mesir.

Ketiga kota ini memiliki karakteristik yang bisa dibilang hampir sama. Tidak terlalu kuat tetapi kental. Yang sekiranya disebabkan oleh sejarah panjang mengenai praktek-praktek sihir yang terjadi di daerah ini semenjak dahulu kala. Tapi meskipun memiliki suplai prana yang besar, ketiga kota ini sama sekali tidak memiliki kemiripan apapun dengan kota Fuyuki.

Lalu Transylvania di Rumania.

Kebalikan dari ketiga kota diawal. Transylvania, yang mana jika dibandingkan dengan ketiga kota tadi jelas memiliki sejarah sihir lebih sedikit, ternyata malah memiliki aliran prana yang cukup kuat. Agak sedikit lebih kuat daripada yang ada dikota Fuyuki tapi tetap tidak ada kesamaan diantara keduanya. Malahan, relasi kedua kota ini bisa diibaratkan sebagai dua ujung magnet berkutub positif yang didekatkan satu sama lain.

Kemudian terakhir, Bali di Indonesia.

Satu kata yang dapat menjelaskan kekuatan medan sihir di pulau ini, 'Serampangan'.

Sangat besar, sangat kuat, sangat kental hingga nyaris membuat Rendy mual. Meskipun tidak memiliki sejarah panjang mengenai dunia sihir sama sekali, tapi medan energi sihir yang melingkupi seantero pulau benar-benar diluar nalar. Benar-benar suatu hal yang patut dipertanyakan.

Lalu, sembari melangkahkan kakinya ke daerah Tanah Lot, suatu pertanyaan mendasar muncul di pemikiran Rendy Irawan,

"Kenapa bisa sumber daya sihir sebesar ini bisa luput dari pengawasan para penyihir?"

Tanpa adanya satu pun risalah yang membahas tentang pulau ini tersimpan di perpustakaan Clock Tower serta tanpa adanya satu pun instansi sihir yang didirikan di pulau ini—Rendy sudah mengeceknya—bagaimana tidak boleh dikataka bahwa pulau ini memang luput dari pengawasan kaum penyihir?

Tentu saja itu hal aneh. Tapi daripada terlalu ambil pusing dengan pertanyaannya waktu itu, Rendy lebih memilih memfokuskan diri dengan eksperimennya.

Diambilnya sekepal tanah dari daerah persawahan di pinggiran kota Singaraja, Rendy lalu memfokuskan dirinya untuk mengambil prana yang tersimpan di tanah tersebut dengan menggunakan teknik [Perewangan] yang dikuasainya.

Tanah dari Bali di kiri dan tanah dari kota Fuyuki di kanan.

Kemudian dalam hitungan satu, dua, tiga. Kedua prana yang berasal dari materi yang berbeda tersebut pun menyatu dengan diri Rendy Irawan, merekonstruksi sirkuit sihir miliknya mulai dari awal.

Berbentrokan, mereka berdua sangatlah berbeda, itulah yang terjadi pada awalnya.

Tapi perlahan demi perlahan. Prana dari tanah yang berasal dari Bali mulai melemah, dalam artian mencoba mentolerir kuantitas energi sihir yang dilepas oleh tanah yang berasal dari kota Fuyuki, hingga membuat aliran prana yang mengalir ditubuh Rendy menjadi hanya satu buah saja.

Takjub, Rendy menyeringai. Tidak percaya, ia mengulang percobaan ini beberapa kali.

Hingga diakhir, setelah total delapan kali percobaan berakhir dengan hasil yang sama semua, Rendy Irawan pun menarik sebuah kesimpulan. Bahwasanya pulau Bali ini adalah satu-satunya tempat yang memiliki tingkat toleransi sihir cukup tinggi.

Dalam artian, semua ritual ataupun sihir—yang entah berasal dari negara mana saja atau membutuhkan hal apa saja—jika dilakukan di pulau ini maka kemungkinan berhasilnya akan melebihi angka 75%. Bahkan jika beruntung bisa mencapai kisaran 100%.

Dan begitu pula dengan ritual "Perang Cawan Suci".

Jika dilakukan dengan prosedur yang benar, maka tak bisa disangkal jika Sang Cawan dapat dihadirkan di pulau ini. Setidaknya itulah yang diyakini Rendy tatkala ia membaca beberapa dokumen lama mengenai Perang Cawan Suci di dalam perjalanannya pulang ke London.

Tak banyak membuang waktu—Setibanya ia di bandara internasional Heatrow, London, Inggris—Rendy pun langsung meluncur menuju rumah penelitiannya yang berada dikawasan pelabuhan. Apartemen reyot dengan hiasan alami berupa lumut-lumutan serta tanaman menjalar, itulah dia.

Membuka-buka rangkuman-rangkuman lama berisi sejarah lengkap mengenai keluarga Matou dan Tohsaka yang pernah ia curi dulu. Rendy langsung mendecih kesal tatkala menyadari bahwa ia tidak mempunyai secuil pun informasi mengenai Einzbern.

Dan karena itu, ia pun memutuskan untuk bertanya ke sumbernya langsung.

Mengembara didalam dinginnya badai salju pegunungan Alpen, Jerman selama 5 hari lebih. Rendy lalu berhasil menyusup ke benteng tak terlihat milik keluarga Einzbern,—entah bagaimana caranya—mengambil salah satu perkamen rahasia milik mereka dan kemudian melancong keluar kastil sembari membawa beberapa organ dalam dari beberapa Homonculus—kembali, entah bagaimana caranya—bagai tidak terjadi apa-apa.

Sebenarnya, setelah perjuangan yang ia lalui dengan bolak-balik dari London ke Bali selama kurang lebih dua setengah tahun serta berulang kali melakukan eksperimen panjang yang melelahkan, usaha pemanggilan Sang Cawan sudah mencapai tahap akhir. Tahap pengimplementasian.

Tapi sayang. Takdir lebih suka bermain menjadi peran Antagonis saat itu.

Pengkhianatan Koenraad muncul ke permukaan. Mencuri semua jerih payah Rendy selama ini dan serta merta menjauhkannya dari penelitiannya, dari Clock Tower, dari dunia sihir, dari semua hal yang ia sukai dengan sangat hina.

Marah, Rendy ingin membalas. Lemah, Rendy tidak bisa melakukannya.

Sebuah mantera semi-permanen telah dipasang di pembuluh vena miliknya, yang mana membuatnya akan merasakan kesakitan yang amat sangat jika dia berani menginjakkan kakinya di tanah London apapun tujuannya dan juga tanpa peduli seberapa kuat prana yang digunakan Rendy tuk menyangkalnya. [Perewangan] tidaklah membantu.

Jadi sekarang bagaimana caranya ia bisa membalas Koenraad yang sudah dengan sangat jelas tidak akan meninggalkan kota London apapun yang terjadi?

Sudah jelas dengan bantuan Cawan Suci tentunya.

Masih teringat betul perkataan Koenraad mengenai mimpinya yang ingin membawa kejayaan serta kebanggan seorang penyihir bagi keluarganya dalam waktu sesingkat mungkin, sorot mata penuh ambisi terlihat jelas dimatanya saat itu.

Sebuah hal yang mustahil dilakukan memang.

Tapi bagaimana jika kita menambahkan kemungkinan tentang keajaiban? Bagaimana jika seseorang menambahkan informasi mengenai suatu alat pengabul maha kuasa yang tersimpan di suatu pulau di tenggara dunia? Memberikan semua penelitiannya kepadanya dengan cuma-cuma. Apakah hal tersebut masih layak dibilang mustahil?

Tentu saja tidak.

Setelah mendekam dibalik hotel prodeo selama kurang lebih satu tahun. Rendy pun akhirnya mendapat surat balasan dari 'rekan bisnisnya' yang mana mengatakan bahwa 'dirinya' telah setuju untuk melanjutkan eksperimen mengenai Perang Cawan Suci di Bali dalam kurun waktu lima tahun lagi, tiga tahun setelah masa hukuman Rendy habis.

Menyeringai dengan bengis, Rendy pun tidak sabar untuk menanti hari tersebut datang. Hari dimana akhirnya ia bisa merobek muka bajingan yang menusuknya dari belakang itu dengan tanpa halangan apapun.

Dan, saat inilah harinya.

Berdiri didepan halte umum pada tengah malam pukul 01.15. Rendy tampak sedang menunggu kedatangan bis malam menuju Singaraja sembari ditemani sepupu perempuannya, Nirmala.

"Jika kau tidak mau. Sini, berikan kepadaku."

Menyalakan satu batang rokok tapi tidak menghisapnya sama sekali. Nirmala jelas cukup gelisah mengenai keberangkatan Rendy hari ini, semua itu tergambar jelas dari gerak-geriknya, dan sepupu laki-lakinya pun pasti tahu itu.

Tersenyum dan memasukkan rokok murahnya ke dalam mulut, tapi tetap tidak menyedotnya, Nirmala lalu menggeleng-gelengkan kepalanya kekiri dan kekanan beberapa kali. Tanda bahwa dia menolak permintaan sepupu laki-lakinya itu mentah-mentah.

Kemudian, sembari menyandarkan diri ke plang yang ada dipinggirnya, Rendy membuka bahasan,

"Kapan kapalmu berangkat?"

"Bisa-bisanya kau mengkhawatirkan orang lain disaat nyawamu sendiri sedang kau pertaruhkan begini?"

Awalnya, kata-kata itu memiliki maksud sebagai gurauan. Tapi dikarenakan situasinya yang sama sekali tidak mendukung, kata-kata itupun jatuhnya malah menjadi sebuah cibiran sarkastik. Dan Rendy pun tampak tidak mentolerir hal tersebut sama sekali.

"Maaf."

Dan permintaan maaf pun meluncur keluar dari mulut Nirmala tatkala ia menyadari dimana letak kesalahannya, waktu ia menyadari tatapan ketidaksukaan yang dipancarkan Rendy kepadanya sesaat tadi.

Mengangguk pelan, Rendy memakluminya. Membatin entah apa didalam hati, ia berjalan menghampiri Nirmala dan duduk di bangku kosong yang ada disampingnya. Sama-sama memandang kearah datangnya bis, Rendy lalu angkat bicara.

"Akan jadi lebih baik jika kau dan keluargamu cepat-cepat angkat kaki dari pulau ini. Karena kau tahu, skala perang ini tidak hanya menyangkut masalah keselamatanku seorang saja."

Intonasinya datar. Tapi, entah kenapa, rasa yang dimunculkan malah terkesan mengancam.

"Iya, aku tahu itu. Jika tidak ada keterlambatan, maka mungkin lusa aku akan berlabuh dipelabuhan Tanjung Perak, Surabaya."

Membuang puntung rokoknya ke jalur bis, Nirmala menjawab.

Menanggapi dengan sedikit senyuman, Rendy lalu berdiri, mengambil koper besar berwarna cokelat dikanannya, dan kemudian bergerak menuju pintu bis yang terbuka dan berhenti didepannya.

Berbalik untuk yang terakhir kalinya, ia lalu mengucapkan salam perpisahan kepada orang yang sudah diayominya setelah sekian lama.

"Aku pergi dulu."

"Tidak punya pesan yang ingin kusampaikan kepada bibi di Jawa?"

Pertanyaan barusan menghentikan langkah kakinya, membuat tubuhnya sontak merasa bergetar. Ingin sekali rasanya Rendy berbalik dan membisikkan sebuah amanat sembari merangkul erat satu-satunya anggota keluarganya ini.

Tapi sayang seribu sayang, Rendy sudah terlanjur menaruh egonya diatas segalanya.

"Tolong bersihkan rumput-rumput yang ada dikanan-kiri beliau dan katakan juga bahwa tidak ada gunanya merisaukan keadaan anaknya sekarang."

Hanya bisa berkata sombong tanpa berbalik, meskipun beberapa bulir air mata hampir menetes jatuh dari ujung matanya. Dia kemudian, tanpa menunggu terlalu lama, berjalan kembali kedalam bis. Sekali lagi tanpa menoleh kebelakang atau mengcuapkan sepatah kata pun.

Mencoba bersikap setegar mungkin

"Kembalilah, anak-anakku menyukaimu."

Sesaat sebelum pintu tertutup otomatis dan bis mulai berjalan. Rendy masih sempat mendengar perkataan tulus, yang lebih mirip gumaman, itu keluar dari mulut Nirmala. Yang mana secara tersirat mewanti-wantinya agar tidak terbunuh dalam Perang Cawan Suci kali ini.

Mengangguk tanda mengerti sekali, meskipun ia tahu jika Nirmala tidak melihatnya, ia menyanggupi permintaan berat barusan dan kemudian bergerak ketengah guna mencari tempat duduk.

Kursi deretan kedelapan dari kiri, ia memilih ditempat yang dekat dengan jendela. Melipat kaki kanannya diatas kaki kirinya. Rendy lalu melihat keluaran jendela sembari memangku dagu.

Sekurang-kurangnya satu jam, belum termasuk pemberhentian ditengah jalan, itulah waktu yang dibutuhkan bis ini untuk sampai di kota Singaraja. Jadi bisa diamsusikan jika Rendy akan tiba di terminal Banyuasri, Singaraja, pada pukul 02.30.

Dan karena sekarang bis masih belum keluar dari kecamatan Wanagiri, serta jam yang melekat ditangannya juga masih menunjukkan pukul 01.45, makanya Rendy pun memilih menyerah kepada rasa kantuknya dan menutup matanya. Tertidur sambil memeluk kopernya.

Saat itu dia tidak bermimpi.

Hanya kegelapan yang bisa ia lihat. Kegelapan yang sama seperti yang dilihat seseorang saat menutup mata.

Meskipun hanya sekilas, tapi tetap saja rasanya memuakkan.

Sama halnya seperti diabaikan, sama halnya seperti ditinggalkan. Ia sendirian disana, dibiarkan untuk mati membusuk dan mengkubur mayatnya sendiri.

Dan sebelum bayangan masa lalu datang menghampiri, sebuah teriakan cempreng dari arah depan datang menyelamatkannya,

"Banyuasri, terminal Banyuasri. Kita sudah sampai di terminal Banyuasri."

Membuka matanya secara perlahan. Sorot mata orang ini kembali keadaan sedia kala, Dingin dan tajam. Sama sekali tidak menyisakan tanda-tanda kepenatan atau rasa kantuk yang beberapa saat yang lalu ada diwajahnya. Dua hal itu hilang, lenyap tak berbekas.

Sambil menyeret kopernya keluar dari bis. Rendy lalu berjalan menuju pinggiran kota, menyusuri kanal-kanal air yang nanti akan menuntunnya menuju tempat persembunyiannya selama Perang Cawan Suci kali ini. Ia sebisa mungkin menghindari kontak dengan para penduduk lokal.

Memang—meskipun jam masih menunjukkan pukul 02.37—pada saat inilah para rakyat Bali yang berprofesi sebagai pedagang bangun, memulai hari terlalu dini untuk berniaga di pasar. Sebuah masalah tentunya untuk keberlangsungan Perang Cawan Suci yang pada dasarnya harus dilakukan saat malam hari seperti ini.

Tapi karena tidak adanya orang yang bertugas sebagai pengawas pada Perang Cawan Suci ini, maka atas dasar apa dirinya bisa beranggapan jika para Master yang lain akan selalu mengikuti tradisi dan hanya bertarung saat malam hari saja?

Benar, itu hanyalah sebuah pemikiran yang naif.

Sama naifnya seperti sebuah harapan bahwa dirinya tidak akan langsung diserang setibanya ia di medan pertempuran.

"..."

Didepannya, berjarak sejauh hanya lima langkah saja, berdiri seorang wanita cantik dalam balutan kebaya berwarna hijau dengan tambahan sebuah plat baja dibagian dadanya. Memegang sebuah pedang unik berlekuk banyak di tangan kanannya, ia memandang Rendy bukan dengan tatapan permusuhan, melainkan dengan ekspresi bersalah yang amat sangat.

Melepaskan kopornya, Rendy lalu mengawasi sekitar dengan seksama. Mencoba mencari tahu letak keberadaan Master dari Servant, yang ia duga berkelas Saber, yang mencegatnya ini.

Setelah melirik kearah kanal, kebagian belakang dari wanita didepannya, lalu kearah jalanan sepi diatas mereka. Rendy akhirnya berpendapat jika orang yang saat ini tengah ia cari sedang berada tepat dibelakangnya, di jalan yang tadi ia lalui, di jalan yang harusnya tidak ada seorangpun selain dirinya.

"Selamat malam, Rendy Irawan. Bagaimana kabarmu selama ini, sehat?"

Bertepuk tangan beberapa kali, orang itu memberi salam kepada Rendy. Suaranya jelas sangat familiar ditelinga Rendy. Amarahnya cukup dibuat mendidih kala itu.

Tapi, dikarenakan ada seorang Servant didepannya, Rendy cukup pintar menahan diri dan tidak berusaha menoleh kebelakang ataupun berusaha berbalik dan mencabik-cabik orang itu seperti yang ia inginkan selama ini.

"...Buruk."

Jawab Rendy, membuat pihak penanya tertawa terbahak-bahak.

Orang yang berdiri dibelakangnya sekarang adalah Koenraad van Eych. Orang yang semenjak 5 tahun yang lalu ingin Rendy cungkil matanya, yang mana tanpa ia duga telah berhasil memanggil seorang Servant terlebih dahulu dan mencegat dirinya tepat sebelum ia sampai di tempat persembunyiannya dan memulai ritual untuk memanggil seorang Servant.

"Jadi, tidakkah kau cukup kaget dengan kehadiranku disini Rendy?"

Rendy tidak menjawab. Ia hanya diam.

Tapi jauh didalam hatinya, ia jelas bertanya-tanya tentang bagaimana bisa bajingan ini mengetahui letak keberadaannya sekarang?

Ada lebih dari ratusan daerah di Bali dan tidak ada perintah wajib jika Perang Cawan Suci akan diadakan di kota Singaraja. Jadi, dari kemungkinan 99/100 peluang mereka gagal bertemu, Bagaimana bisa Koenraad berhasil memilih dengan tepat peluang yang persentasenya hanya 1/100 ini?

"Kau punya mata-mata?"

Iya, hanya itu kemungkinan yang paling mendekati kenyataan.

Seseorang itu haruslah orang yang dekat dengan Rendy, mengetahui semua seluk beluknya, semua wacana kedepannya, dan yang pasti haruslah orang yang mendapatkan kepercayaan penuh dari diri Rendy.

Dan jika kita hanya menggunakan sistem eliminasi dan mengedapankan logika, maka orang yang sesuai dengan spesifikasi tersebut hanyalah—

"Sepupumu, Nirmala Larasati,"

Ujar Koenraad singkat.

"Kau tahu kan jika salah satu anaknya sekarang tengah membutuhkan transplantasi ginjal? Jadi, setelah mengetahui fakta tersebut, aku pun menemuinya secara diam-diam dan menawarkan bantuan dengan syarat dia harus melaporkan setiap gerak-gerikmu kepadaku. Dan tidakkah kau tahu? Sepupumu itu dengan cepat mengatakan iya. Seolah-olah usaha kerasmu mengayomi dirinya beserta suami lumpuhnya itu tidak ada apa-apanya sama sekali. Sungguh, betapa kasihannya dirimu ini."

"Oh..."

Koenraad cukup tercengang melihat tindakan konfrontasinya ditolak mentah-mentah. Jangankan Koenraad, Rendy sendiri pun kaget dengan tanggapannya barusan.

Tapi memang apa boleh dibuat?

Benar kata Koenraad. Salah seorang ponakannya sekarang sedang dirawat dirumah sakit karena mengidap gagal ginjal parah dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan membeli satu buah ginjal, yang nilainya paling minim adalah Rp.500.000.000,00.

Jumlah nominal yang mustahil untuk digelontorkan oleh keluarga kelas-menengah kebawah ataupun seorang mantan narapidana yang berprofesi sebagai penagih hutang bergaji hanya Rp. 3.500.000,00 per bulan.

Nirmala tahu itu.

Makanya, jika disuruh memilih antara keselamatan anaknya sendiri atau keselamatan orang yang sudah bersusah payah membawanya ke tanah Bali, mengenalkannya dengan seorang pria yang nantinya membawa warna baru dikehidupannya, serta membiayai hampir semua keperluan hidupnya selama ini, maka tentu saja Nirmala akan memilih keselamatan anaknya sendiri.

Karena, mau dibagaimanapun juga, itu sudah prinsip dasar seorang manusia. Prinsip dasar seorang ibu, jika harus diperhalus.

Rendy jelas tahu itu.

Makanya, ia hanya tersenyum dan menerima takdir buruk yang menimpanya sekarang dengan tanpa penyesalan. Dengan tanpa penyesalan.

"Sepertinya kau sudah banyak berubah ya Rendy?"

"Entahlah, aku terlalu bodoh untuk menyadarinya."

Rendy menyimpali kalimat tanya Koenraad sambil mengangkat kedua bahu. Membuat baik dirinya ataupun laki-laki itu terkekeh bersamaan.

"Heh, baiklah kalau begitu. Kita akhiri sampai disini saja pertemuan singkat ini."

Mengalihkan pandangannya kepada Servant miliknya, yang mana tampak sedang berusaha setengah mati menahan tangannya sendiri agar tidak mengacungkan pedangnya kearah Rendy, Koenraad lalu memberikan sebuah isyarat dengan satu jentikan jarinya. Membuat Servant tersebut sontak menerjang maju kedepan bagai sebuah peluru lalu menebaskan pedangnya kearah leher Rendy sembari berujar lembut,

"Tolong maafkan saya."

Dan setelah itu, yang terdengar hanyalah bunyi ledakan dahsyat serta suara retakan dari tanah yang sedang menjadi pijakan mereka saat ini. Menyisakan hanya debu-debu yang berterbangan di angkasa serta seorang wanita yang tampak sangat sendu, menyesali perbuatannya barusan.

Menarik kembali pedangnya, wanita ini lalu berjalan melewati kepungan debu yang menutupi jalur pandangnya dan menuju ke tempat Masternya berada.

Sebagai seorang [Heroic Spirit], menyerang seseorang yang tidak memiliki pertahanan ataupun kesiapan bertarung sedikitpun jelas merupakan sebuah aib. Tidak terkecuali baginya, Servant dari kelas Saber.

Tapi apa daya, sebelum kemari, Masternya sudah memerintahkan dirinya dengan menggunakan satu [Command Spell] agar menyerang siapa saja yang diperintahkan Masternya tanpa adanya penambahan ataupun pengurangan sedikit pun.

Maka dari itu, disinilah dia sekarang, menghabisi nyawa seseorang yang bahkan dia sendiri tidak kenal dengan sangat keji dan berjalan melewatinya jenasahnya bagai tidak terjadi apa-apa.

Sepertinya, itulah hal yang sedang dipikirkannya sekarang.

Hingga, sebuah pukulan dari seseorang tak dikenal tiba-tiba datang dan menghujam tepat ke dadanya. Membuatnya terpental dan terguling cukup jauh kebelakang. Segera bangkit. Saber pun langsung memasang posisi siaga satu.

Dan coba terka betapa terkejutnya ia tatkala menyadari bahwasanya di depan, tepat diposisi awalnya berdiri tadi, seseorang yang kepalanya harusnya sudah tergelundung di tanah tengah berdiri dengan angkuhnya. Menatap Saber dengan tatapan antipati.

"Bagaimana bisa?"

Apakah orang ini menghindari serangannya?

Tidak, itu tidak mungkin. Ia sendiri yakin bahwa pedangnya telah mengenai sesuatu. Retakan serta ledakan yang ia sebabkan tadi adalah buktinya. Lalu kira-kira, apa yang menyebabkan laki-laki ini masih bisa bertahan dari serangannya?

"[Perewangan], huh?"

Koenraad, yang sudah terlebih dahulu mengambil beberapa langkah kebelakang, mengkomentari ukiran-ukiran misterius beraura besar yang muncul di sekujur tubuh Rendy Irawan. Yang menjalar secara merata mulai dari bagian atas kepala hingga kebagian bawah kakinya.

Melirik kebelakang. Rendy lalu menimpali dengan dingin,

"Apakah kau perlu penjelasan, kawan?"

Dan pada saat itu pula, Saber kembali menerjang maju dengan satu hentakan kaki saja. Melayangkan tebasannya masih kearah yang sama seperti tadi, ke arah leher Rendy, Saber berteriak dengan semangat yang membara.

Tapi, tepat sebelum mata pedang itu mengenai salah satu bagian vitalnya, Rendy sudah terlebih dahulu mengangkat kepalan tangan kanannya. Menahan laju pedang itu dengan menggunakan punggung tangan.

Ledakan energi pun terjadi tatkala tulang dan logam itu berbenturan. Menciptakan badai angin kecil yang menerbangkan semua puing-puing yang ada disekitar mereka.

Menganga, Saber tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Melompat mundur kebelakang, ia menyadari akan bahaya yang ada didepan matanya ini.

"[Perewangan], seperti yang dijelaskan pada buku-buku sejarah, adalah sebuah sihir kotor yang menyerap energi sihir dari orang atau benda disekitarnya. Dan melihat dari besarnya prana yang kau keluarkan saat ini, maka aku bisa beranggapan jika sumber mana yang kau serap adalah dari pulau ini sendiri. Benar-benar menyusahkan."

Sembari menahan agar dirinya tidak ikut diterbangkan angin pertarungan, Koenraad melemparkan komentarnya.

Sementara itu, didepan sana, Rendy dan Saber sedang bertarung dengan begitu sengitnya.

Tebasan dilawan dengan pukulan. Tusukan dilawan dengan tendangan. Meskipun tampak menjadi pihak yang tidak terlalu diunggulkan, tapi Rendy Irawan malah menjadi orang yang memegang kendali penuh disini.

Determinasinya, mengalahkan Saber. Semangat bertarungnya, menggentarkan nyali ksatria wanita itu. Dan diatas semua semuanya, kekuatan fisiknya membuat Servant ini bertanya-tanya dalam hati,

"Apakah dia benar-benar seorang manusia?"

Setelah ia berhasil menghindar dari pukulan pamungkas yang dilancarkan Rendy Irawan tepat pada waktunya—yang mana pada akhirnya mengenai dan menghancurkan dinding beton yang terhubung langsung dengan jalanan diatas kanan mereka. Membuatnya menjadi puing-puing dan menjatuhkannya ke tanah dengan begitu kuatnya.

"Kau lihat kan sekarang, Saber? Orang ini bukanlah orang biasa yang turut ambil bagian di dalam Perang Cawan Suci karena faktor ketidaksengajaan. Tidak, orang ini jelas jauh lebih berbahaya daripada itu."

Koenraad menasihati Servant yang ada disebelahnya. Saber pun mengangguk, menanggapi nasihat Masternya.

"Jadi karena itu, aku rasa kau tidak akan terlalu keberatan jika menggunakan satu serangan pamungkasmu kepada orang ini."

Saber mengangguk sekali lagi, kali ini dengan maksud menyetujui permintaan Masternya, sebelum mengangkat pedangnya keatas tinggi-tinggi. Kala itu, beberapa arus listrik bertegangan sedang tampak mengalir mulai dari tubuh Saber sampai ke ujung pedangnya.

Melihat hal ini, apakah Rendy Irawan hanya akan diam saja dan membiarkan musuhnya melancarkan serangan pamungkas kepada dirinya?

Tentu saja jawabannya tidak.

Tapi dikarenakan sekarang kedua kaki Rendy secara tak sengaja mengaktifkan mantera pengikat tingkat tinggi yang ditebar Koenraad dikanan-kiri tempatnya berdiri, maka mau tak mau Rendy pun harus terlebih dahulu melepaskan diri dari mantera pengikat terkutuk ini sebelum bisa menghindar atau bahkan menyerang balik Saber.

Benar-benar strategi licik yang hanya bisa dilakukan oleh praktisi sihir yang ahli dibidang mantera pelindung dan mantera pengekang.

"[Raung—"

Saber mulai merapal mantera.

Waktu Rendy sudah tidak banyak lagi, ia sekarang benar-benar harus pergi dari tempatnya berada.

Tapi apa daya, mantera pengikat yang mengikatnya itu benar-benar sangat rumit untuk dipecahkan. Lapisannya ada tujuh tingkat dan disetiap lapisannya masih memiliki beberapa lapisan lagi.

Dan karena itulah, memfokuskan semua prananya ke bagian depan tubuhnya sepertinya adalah satu-satunya tindakan paling rasional guna bertahan hidup dari serangan yang sebentar lagi akan diluncurkan oleh Servant didepannya itu.

Tapi, rasional saja belum tentu bisa menyelamatkannya hari ini.

"—PETIR!]"

Bersama dengan teriakan yang memecah kesunyian malam, Saber mengayunkan pedangnya kedepan. Melepaskan sejumlah besar prana yang terbentuk menjadi aliran listrik yang banyaknya tak terhingga, yang kemudian menyambar kearah Rendy dengan begitu cepatnya. Menghanguskan serta meledakkan apapun yang ada disekitarnya.

Kemudian setelah itu. Keberadaan Rendy pun lenyap bagai tak pernah ada, menyisakan hanya sebuah bekas berwarna hitam legam ditempatnya berdiri tadi.

Bertepuk tangan beberapa kali, Koenraad pun memuji hasil yang ditunjukan Servantnya, Saber, yang mana sekarang sedang membungkuk sambil terengah-engah. Serangan barusan jelas menguras cukup banyak prananya.

"Sangat bagus Saber, sangat bagus."

Puji Koenraad sembari memijat-mijat bahu mulus milik sang ksatria, bukan dengan niat mengembalikan energinya tentu saja.

"Terimakasih, Master."

Menggunakan kata terimakasihnya sebagai alasan, Saber menampik tangan Masternya dengan halus. Karena meskipun dirinya terikat kontrak yang isinya wajib menuruti segala perintah Masternya, Saber jelas masih merupakan wanita terhormat.

Tidak marah, Koenraad pun menuruti kemauan Servantnya. Melihat kesekitaran sebentar, ia sedikit berdecak kagum saat melihat bekas-bekas pertarungan didekatnya.

Kehancuran itu tidak terbantahkan.

Puing-puing disana, bekas-bekas ledakan disitu, semuanya tampak jelas dan nyata.

Dan, jika dingat lagi, ini tadi bukanlah pertarungan antar sesama Servant, tapi meskipun begitu skala kerusakan yang ditimbulkannya terbilang cukup besar. Membuat Koenraad berandai-andai akan jadi seperti apa nantinya medan pertempuran dimana hanya para Servant saja yang bertarung?

Membayangkannya, ia bergidik ngeri namun sambil tersenyum.

Tapi sebelum hal itu betul-betul terjadi, tampaknya mereka berdua harus segera pergi dari sini. Karena tentu saja, ledakan serta kilatan cahaya tadi sebentar lagi pasti akan menarik perhatian para penduduk sekitar. Dan kepopuleran itu jelas sangat dihindari oleh Koenraad maupun konsestan perang Cawan Suci lainnya.

"Kira-kira bagaimana tajuk utama dari berita esok hari ya?"

Tanyanya dengan nada menyindir sebelum mengajak Saber pergi dari sana.

Sementara itu—pada saat yang sama—Rendy Irawan, yang keberadaannya dianggap lenyap oleh Koenraad, tengah tenggelam di dalam kanal pada kedalaman antara dua-tiga meter. Serangan dari Saber jelas telah mementalkannya hingga kesini.

Bagai tengah melayang. Tubuh itu bergerak turun dengan sangat lambat.

Darah mengucur deras dari luka diperutnya yang mengangga lebar, merubah warna air disekitarnya yang seharusnya biru menjadi merah terang. Sebuah warna yang sangat mencolok mata.

"Ah, apakah ini akhirnya...?"

Batin Rendy, matanya yang sayu menandakan bahwa dia jelas sudah kehabisan baik itu tenaga maupun prana.

"...Hanya begini saja?..."

Mengarahkan tangan kanannya keatas dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, Rendy berusaha menggapai bulan mati yang terpantul diatasnya. Tapi apa daya, tangannya terlalu pendek. Baik sang bulan maupun tujuannya, ia tidak pernah bisa mencapainya.

Waktu terasa berjalan sangat lambat kala itu, sampai-sampai Rendy dapat melihat semua kilas baliknya selama ini.

Kilas balik mengenai masa kecilnya, mengenai dunia sihir, mengenai pengkhianatan, mengenai dendam, lalu mengenai pengkhianatan lagi. Semua hal itu terlintas dipikirannya dalam kurun waktu sepersekian detik saja.

Kemudian, setelah semua bayangan itu lenyap sepenuhnya, ganti warna hitam pekat yang menyumpal semua bagian kosong didalam pikiran Rendy. Mengisinya dengan amarah dan kebencian yang amat sangat.

Dan warna hitam tersebut bernama, kebencian.

"TENTU SAJA TIDAK!"

Berontak, Rendy mengobat-abitkan tubuhnya secara sembarangan ke berbagai arah. Mungkin bermaksud agar membuat tubuhnya bergerak ke atas, tapi tentunya itu malah berefek sebaliknya.

Tubuh Rendy semakin terperosok menuju dasar kanal.

Putaran-putaran tidak beraturan itu menyebabkan lukanya semakin terbuka lebar. Lalu sembari terus melakukan tindakan sia-sia tersebut, Rendy membuka mulutnya. Mencoba tuk berteriak sekencang mungkin.

"—"

Suaranya tidak terdengar, itu sudah pasti.

"—"

Masih tidak kapok, meskipun air sudah banyak yang menggelontor masuk melewati mulut, telinga, hidungnya ataupun juga lukanya, Rendy masih terus berteriak.

"—"

Ia mulai melemah.

Secara berangsur-angsur kegelapan penuh kebencian dipikirannya telah digantikan oleh cahaya putih benderang, tanda bahwa dirinya sudah mencapai titik nadir.

Menyentuh dasar dari kanal, tubuh Rendy sempat terpantul keatas sebentar sebelum akhirnya menetap disana untuk beberapa waktu kedepan. Yang mungkin akan memakan waktu entah berapa lama sebelum ditemukan petugas penyelamat.

Sembari memejemkan mata, Rendy secara perlahan menurunkan tangannya yang sedari tadi ia arahkan ke atas.

Menyerah, ia sudah menyerah.

Tapi sebelum tertidur sepenuhnya, ia masih membiarkan sisa-sisa kebencian didirinya berteriak untuk yang terakhir kalinya. Membiarkan sebagian kecil dari hatinya berharap mengenai keajaiban, meskipun sebagian yang lain sudah mengutuknya.

"—AaaAaarRRggHH!"

Tapi ya, terkadang didunia ini, batas antara keajaiban dan kenyataan memang hanyalah seujung rambut saja.