Pemuda itu sedang merangkul seorang gadis di hadapannya. Tidak peduli dengan celananya yang kotor karena pasir pantai, ia duduk sembari menenggelamkan kepalanya pada bahu sang gadis. Sementara kedua lengannya, masih merangkul erat pada gadis itu dari belakang.

Ombak-ombak pantai seakan berlari, berlomba untuk menyapa pasir pantai terlebih dahulu. Dan derunya suara ombak menciptakan melodi tersendiri bagi dua insan yang tengah mendengarnya.

Bukan sekumpulan nada yang terlalu bagus memang. Tapi suara gemuruh ombak itu mampu menggambarkan suasana hati sang pemuda saat ini.

Menyedihkan.

Itu yang ditangkap oleh sang pemuda yang masih merangkulkan kedua lengannya pada gadis dihadapannya. Bahkan alam seakan tahu apa yang sedang ia rasakan. Tapi sayangnya, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya.

"Kyuhyun…" gadis itu berbisik, tapi cukup terdengar oleh pemuda di belakangnya. Ia bisa merasakan lengan sang pemuda yang semakin erat merangkulnya, merespon sebagai jawaban tanpa harus membuka suara.

Gadis itu tersenyum lembut, namun senyuman itu tidak bisa menutupi apa yang tengah ia rasakan sekarang. Tatapan gadis itu lurus, menatap tepat pada sang mentari yang akan menenggelamkan sinarnya dibalik birunya laut—menciptakan perpaduan warna langit yang indah dengan warna oranye dan merah muda yang seakan menyatu dengan gelap langit di atasnya. Namun sayangnya, tatapan gadis itu berbanding terbalik dengan pemandangan yang berada dihadapannya. Seakan tidak ada kehidupan yang tertangkap pada tatapan gadis itu.

"Kyuhyun-ah…" gadis itu membuka suara lagi. Dan pemuda di belakangnya hanya menggumamkan kata 'hm' untuk merespon panggilan itu kali ini. Gadis itu tersenyum kecil. "Katakan padaku, apa langit hari ini terlihat sangat indah?" tanyanya pelan.

Pemuda dengan panggilan 'Kyuhyun' itu sedikit mendongakan kepalanya. Tatapannya beralih pada pemandangan dihadapannya sebelum menggumamkan kata 'sangat indah' untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

Gadis itu kembali tersenyum setelah mendengar jawaban dari pemuda di belakangnya. Kemudian ia sedikit menyandarkan tubuhnya, membuat dirinya nyaman dalam pelukan pemuda tersebut.

Sementara sang pemuda, ia kembali merangkul gadis itu dari belakang, erat. Seakan tidak ingin berpisah dari gadis itu.

"Aku…aku ingin sekali melihat untuk beberapa detik saja," ucap gadis itu tiba-tiba. Pemuda itu tersenyum getir mendengarnya. Ia kembali menenggelamkan kepalanya pada bahu gadis pelukannya. Berusaha mengusir kesedihan yang kembali datang bersamaan dengan ucapan gadis itu.

"Min—"

"Aku hanya ingin melihat langit hari ini dengan mataku sendiri," ucap gadis itu memotong perkataan pemuda dibelakangnya yang belum sempat terselesaikan itu. Bibir gadis itu mengulaskan sebuah senyuman. Sementara pemuda itu nampak tengah menggigit bibir bawahnya sendiri, berusaha menahan apa yang memang sedang ia tahan sejak tadi.

Gadis itu mengangkat satu tangannya, bergerak menyentuh wajah sang pemuda yang kini tengah merangkulnya. Pemuda itu pun menggenggam tangan gadis itu, lembut. Matanya terpejam merasakan sentuhan dari jemari gadis itu di pipinya. Ia bisa merasakan jemari sang gadis yang mulai mendingin sebelum memutuskan untuk mengeratkan genggamannya pada jemari itu. Setidaknya itu akan membuat tangan sang gadis agar tetap hangat.

"Meskipun aku tidak bisa melihat, aku tidak ingin kau menangisiku," gadis itu kembali membuka suara. Ia bisa merasakan kehangatan yang menjalar dari tangan sang pemuda yang kini tengah menggenggam tangannya. Sementara pemuda dibelakangnya memilih untuk tidak merespon perkataan itu. Ia sendiri tidak yakin kalau ia akan bisa.

Suara deru ombak semakin terdengar keras. Angin terus berhembus bersamaan dengan gulungan-gulungan ombak yang bergantian menerpa pasir pantai. Sementara sang surya semakin menunduk, mengharapkan sang bulan untuk segera menggantikannya.

"Aku ingin sekali menepati semua janjiku padamu, Kyuhyun," ucap gadis itu pelan membuat pemuda dibelakangnya tersenyum pahit. Pemuda itu kembali menggigit bibir bawahnya sendiri, sedikit keras kali ini. "Aku ingin kita bisa terus bersama sampai tua nanti," tambah gadis itu lagi disertai dengan seulas senyuman yang terukir dibibirnya.

Gadis itu sedikit menghela nafasnya pelan. Merasakan sakit yang semakin menjalar di sekujur tubuhnya. Sementara jemari dinginnya bergerak lembut, mengelus pipi sang pemuda dibelakangnya.

"Aku ingin sekali…mempunyai seorang anak darimu, Kyuhyun," ucap gadis itu pelan. Ia sedikit mengambil jeda. "Aku ingin kita bisa melihatnya tumbuh dewasa bersama. Aku juga ingin suatu saat nanti ia mengenalkanku dengan orang yang dicintainya. Aku ingin…aku ingin sekali melihat cucu-cucuku nanti tersenyum bahagia…bersama denganmu," gadis itu sedikit tertawa pahit ketika menyadari apa yang baru saja ia ucapkan. Ia tahu kalau ia tidak akan bisa. Tidak akan pernah bisa.

Sementara pemuda dibelakangnya memilih untuk tetap diam. Ia kembali merangkul gadis itu, erat. Dan tangannya yang satu masih menggengam tangan gadis itu. Pemuda itu masih berusaha untuk tidak menangis. Ia tidak ingin menangis dihadapan gadis yang dicintainya walaupun ia ingin sekali. Ia bahkan tidak tahu harus membalas apa mendengar kata-kata yang baru saja terlontar dari gadis yang sangat dicintainya itu.

Kata-kata tadi memang sudah tidak asing lagi di telinga pemuda itu. Mereka memang sudah sering mengatakan hal itu sebelumnya dan menganggap hal itu sebagai sebuah janji. Janji abadi mereka. Tapi mendengar kata-kata itu terlontar kembali disaat yang seperti ini…

"Tapi, kau tahu?" gadis itu membuka suara lagi. "Aku lebih menginginkan kau yang selalu bahagia dan tersenyum," lanjutnya pelan disertai dengan senyuman lembut yang terukir dibibirnya.

Pemuda itu menggigit bibir bawahnya kembali, berusaha untuk mengucapkan sesuatu yang sejak tadi ingin sekali ia katakan. Ia bisa merasakan jemari tangan gadis itu yang semakin dingin di dalam genggaman tangannya. Dan rasa takut itu kembali menyeruak didalam dirinya. "Min, aku—"

"Kyuhyun," lagi. Gadis itu memotong ucapan pemuda dibelakangnya. Ia dapat merasakan nafasnya yang semakin berat disertai rasa sakit yang semakin menyerang disetiap urat nadinya. "Berjanjilah…" jemarinya kini membalas genggaman tangan pemuda itu dengan erat. Semakin memperdalam rasa takut pada diri pemuda itu. "Berjanjilah padaku…kau akan selalu bahagia," ucapnya disela-sela nafasnya yang mulai tersengal itu. "Berjanjilah padaku…berjanjilah kau akan selalu tersenyum."

Pemuda itu tidak menjawab. Ia tidak berani menjawab. Ia sendiri tidak yakin kalau ia bisa berjanji seperti itu. Tapi pemuda itu, pemuda itu sangat mencintai gadis yang berada di dalam dekapannya itu. "Aku…aku janji," ucapnya pelan—dan hanya ia yang tahu entah ada atau tidaknya keraguan dalam ucapannya itu.

Gadis itu memejamkan matanya pelan, merasakan angin dingin yang bersemilir lembut menerpa wajahnya. Jemarinya masih menggenggam erat pada jemari pemuda itu. Sementara dibibirnya terukir sebuah senyuman ketika mendengar jawaban dari pemuda yang dicintainya itu. "Terima kasih…" gumamnya pelan. "Terima kasih, Kyu—"

Bersamaan dengan tenggelamnya sang surya, genggaman jemari gadis itu pun melemah. Dan derunya suara ombak semakin terdengar bergemuruh di telinga.

Pemuda itu menangis. Bodoh kalau ia masih menahannya. Jemarinya masih menggengam jemari gadis itu dengan erat, sesekali mengecupnya diantara sela-sela tangisannya.

Pemuda itu membuka kedua matanya pelan, mendapati dirinya berada disebuah lapang yang luas dengan ilalang disekelilingnya. Sang surya nampak tengah condong ke barat. Sebagian sinarnya menciptakan warna oranye pada langit sore kala itu. Sebagian lagi memantul lembut pada ilalang-ilalang yang menjulang tinggi disekitarnya.

Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak yakin kalau ia mengetahui tempat itu. Ia kembali mengedarkan pandangannya lagi dan menangkap sebuah sosok yang kini tengah berdiri tidak jauh dihadapannya. Sosok seorang pemuda, itulah yang ia tangkap dari kedua mata hitamnya.

Sosok pemuda itu berjalan pelan menjauhinya. Dan secara tak sadar ia mendapati dirinya melangkahkan kedua kakinya, mengikuti pemuda itu dari belakang. Ia bahkan tidak tahu kenapa ia mengikuti pemuda itu. Tapi ia dapat merasakan ada sesuatu yang menarik dirinya, menyuruhnya untuk mengikuti pemuda itu. Seorang pemuda berambut orange yang bahkan tidak lebih tinggi darinya. Dan ia yakin kalau ia tidak pernah mengenal pemuda itu sebelumnya.

Kedua matanya terus menatap punggung pemuda itu dari belakang. Namun tatapannya melebar seketika saat pemuda itu membalikkan tubuhnya.

Tubuhnya membeku saat pandangannya bertemu dengan kedua mata sang pemuda dihadapannya. Dan semakin membeku ketika pemuda itu tersenyum padanya. Tapi bukan itu yang mengejutkan dirinya. Melainkan paras sang pemuda yang bahkan tidak asing lagi dimatanya. Paras seseorang…yang sangat dicintainya.

"Min"

"Aku ingin sekali melihatmu tersenyum, Kyu," ucap pemuda itu, pelan.

"Min-ah…"

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali namun sosok itu semakin mengabur dan semakin menjauh darinya. Ia berjalan cepat, berusaha mendekat kearah sosok itu.

"Min!"

Tapi ia tetap tidak bisa meraih sosok pemuda yang semakin menjauh darinya itu.

"Min!"

"Min!"

Seorang pemuda berambut coklat gold membuka kedua matanya tiba-tiba. Nafasnya memburu, pandangannya yang mengabur semakin jelas secara pelan. Kini pandangannya tertuju pada langit-langit kamarnya. Ia mendengus pelan. Sementara nafasnya masih tersengal akibat mimpi yang baru saja dialaminya.

"Kui Xian!"

Pemuda itu mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Tangannya bergerak meraih kepalanya yang kini terasa sedikit pusing.

"Kui Xian, kau tidak apa-apa?" tanya seseorang dari balik pintu itu.

Pemuda itu bangun dari tidurnya dan memutuskan untuk mendudukkan dirinya. Berusaha untuk menghilangkan rasa pusing yang menyerang kepalanya.

"Aku tidak apa-apa, Mi," serunya, menjawab pertanyaan seseorang dari balik pintu kamarnya. Pandangannya kini beralih pada penunjuk waktu yang berada tepat di meja samping tempat tidurnya. Sedikit berdecak pelan menyadari kalau ia baru tidur tidak lebih dari dua jam lamanya.

"Boleh aku masuk?" tanya seseorang dari balik pintu.

"Pintunya tidak terkunci," balas pemuda berambut coklat gold itu.

Seorang pemuda berambut merah datang dari balik pintu itu. Pemuda itu berjalan mendekat kearah pemuda yang tengah duduk di tempat tidurnya. Kemudian ia pun mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang letaknya tidak jauh dari tempat tidur itu. Sementara pandangannya masih tertuju pada pemuda dihadapannya.

"Mimpi buruk?" tanya pemuda berambut merah itu. Pemuda dihadapannya tidak merespon pertanyaan tersebut. Kepalanya masih tertunduk, mencoba mengingat kembali mimpi yang baru saja dialaminya. Ia sendiri tidak yakin kalau yang baru saja dialaminya itu termasuk mimpi buruk atau sebaliknya. "Apa ini tentang…Minsung lagi?" pemuda berambut merah itu bertanya kembali.

Lagi. Pemuda dihadapannya tidak merespon pertanyaan itu. Ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan itu. Sementara pemuda berambut merah itu menghembuskan nafasnya pelan. Menyadari kalau ia tidak akan mendapat jawaban apapun dari pemuda dihadapannya.

"Kui Xian…" pemuda berambut merah itu sedikit mengambil jeda. "Mungkin lebih baik… mungkin lebih baik kalau kita kembali ke Korea," lanjutnya pelan, membuat pemuda dihadapannya menatapnya dengan tatapan terkejut.

"Tidak, Mi," pemuda itu menggeleng pelan. "Aku tidak ingin kembali ke Korea," tambahnya. Kini kepalanya kembali tertunduk.

"Tapi—"

"Aku tidak ingin meninggalkan China," pemuda itu memotong kata-kata pemuda berambut merah didepannya. "Aku tidak ingin… meninggalkan semua kenanganku disini. Aku… tidak ingin meninggalkan semua kenanganku dengan Minsung."

Pemuda berambut merah itu sedikit terdiam mendengar perkataan pemuda dihadapannya. Ia benci melihat pemuda dihadapannya itu seperti ini. Ia benci melihat kondisi sahabatnya yang seperti ini. Karena ia seakan tidak bisa melihat kehidupan dari sosok sahabatnya lagi.

"Kui Xian, kau tidak bisa selamanya terus seperti ini," pemuda berambut merah itu membuka suaranya kembali. "Minsung… Minsung telah tiada. Suka atau tidak suka, kau harus menerima kenyataan itu. Kau… kau masih punya kehidupanmu yang lainnya. Tapi tidak seperti ini," lanjutnya lagi. Sementara pemuda dihadapannya hanya tersenyum pahit mendengar kata-kata itu.

"Aku tidak bisa, Mi," ucap pemuda berambut coklat gold itu, pelan. Sementara pemuda dengan panggilan 'Mi' itu hanya berdecak kecil mendengarnya. "Aku…aku terlalu mencintai Minsung. Aku tidak ingin—"

"Sampai kapan…" potong pemuda berambut merah itu. "Sampai kapan kau mau seperti ini terus, Kui Xian?" Ia benar-benar sudah tidak tahan dengan kondisi sahabatnya itu. Tangannya mengepal erat diatas kedua kakinya yang jenjang itu. "Kau tidak berniat untuk berdiam diri dan menunggu kematian menjemputmu, bukan?!" tanyanya lagi dengan nada suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Sementara pemuda dihadapannya hanya tersenyum getir mendengar pertanyaan itu. "Mungkin, aku memang…"

"B-bodoh," pemuda berambut merah itu bangkit dari duduknya semula. Tidak berniat untuk berbicara lebih pada pemuda dihadapannya. Ia tahu, sebanyak apapun ia mencoba, sebanyak apapun ia berkata, sahabatnya tidak akan kembali lagi seperti dulu. "Baiklah… aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi kau harus mengingatnya, Kui Xian. Minsung menginginkan agar kau selalu bahagia. Dia ingin agar kau selalu tersenyum. Seharusnya kau menepati janjimu," lanjut pemuda berambut merah itu lagi, sebelum ia keluar meninggalkan kamar itu.

Sementara pemuda berambut gold itu menatap horror kearah pintu kamarnya. Tepat ketika lawan bicaranya itu meninggalkannya.

"Aku ingin sekali melihatmu tersenyum, Kyu."

Kata-kata itu muncul kembali diingatannya. Yang anehnya, ia hanya mengingat kata-kata yang baru saja muncul dimimpinya tadi. Tangannya kembali bergerak, menyentuh kepalanya, meremas rambutnya. Ia merasakan rasa pusing itu kembali menyerangnya.

"S-siapa kau… ugh… siapa kau sebenarnya…" desisnya pelan entah pada siapa. Kepalanya semakin tertunduk bersamaan dengan rasa pusing yang semakin menyerang kepalanya. Ia meremas kembali rambutnya, kencang.

.

.

.

"Aku tetap tidak bisa membujuknya," ucap pemuda berambut merah itu pelan pada seseorang diseberang telephone. "Yesung, kau masih disana?" lanjutnya lagi.

"Ya, aku masih disini," sahut seseorang diseberang telephone. "Ah, ya. Siapa orang yang kau maksud tadi?" tanyanya kemudian.

"Kui Xian…" jawab pemuda berambut merah itu sambil berjalan mendekati sofa sebelum mendudukkan dirinya di sofa itu. "Err… Kyuhyun," ucapnya lagi, membenarkan ucapannya yang sebelumnya.

"Ah, orang yang sama dengan yang kau ceritakan sebelumnya, ya?"

"Tepat," jawab pemuda berambut merah itu. "Dia tidak ingin meninggalkan China karena…karena dia tidak ingin meninggalkan semua kenangannya dulu bersama kekasihnya."

"Tapi, kau bilang kekasihnya telah meninggal tiga bulan yang lalu, bukan?" tanya orang diseberang telephone itu lagi.

Pemuda berambut merah itu sedikit menghela nafasnya, "Benar," balasnya. "Tapi meskipun begitu, ia masih benar-benar terlihat belum bisa menerimanya. Yesung, aku tidak bisa meninggalkan Kui Xian sendirian disaat kondisinya yang seperti ini," lanjutnya.

"Zhoumi, Henry bilang kalau kau tidak kembali ke Korea maka ia akan pergi dengan Sungmin," ucap pemuda bernama Yesung itu tiba-tiba. Sementara pemuda yang dipanggil Zhoumi itu sedikit membelalakkan matanya ketika mendengar hal itu.

"Apa?!" Zhoumi bangkit dari duduknya. "Bagaimana…bagaimana bisa Henli berkata seperti itu? dan siapa Sungmin?! Tsk, harusnya aku tidak terlalu mempercayai Henli begitu saja."

Zhoumi dapat mendengar suara tawa Yesung diseberang telephone. "Hahaha…Sungmin hanya teman baru kami," Sahut Yesung menjelaskan "Um…aku dan Henry mengenalnya dua bulan yang lalu. Dan—Ya! bisakah kalian diam sejenak? Henry, aku sedang berbicara dengan Zhoumi, kau tenang—"

"Tunggu," Zhoumi memotong. "Apa Henli sedang bersamamu sekarang?" tanyanya ketika mendengar Yesung memanggil nama Henry di telephone.

"Yeah…dia disini. Dan Sungmin juga ada disini," sahut Yesung. "Ah! bicara tentang Sungmin…mungkin dia bisa sedikit membantumu untuk membujuk temanmu, Mi," lanjutnya lagi.

Zhoumi sedikit mengerutkan alisnya ketika mendengar perkataan Yesung diseberang telephone. "Entahlah. Yesung, aku sendiri tidak yakin Kui Xian mau kembali ke Korea lagi. Um…tapi mungkin aku bisa berbicara dengan Sungmin sebentar?"

"Tentu saja."

"Zhoumi…"

Pemuda berambut merah itu membalikkan badannya, mendapati seorang pemuda kini berdiri tidak jauh darinya. Sementara ponselnya ia jauhkan tiba-tiba dari telinganya. Sedikit terkejut karena mendengar namanya terpanggil.

"Oh, Kui Xian. Kau mengejutkanku," ucap Zhoumi. Tangannya yang satu sedikit mengelus pelan dadanya. "Ini…" Zhoumi menyerahkan ponselnya pada pemuda dihadapannya. "Ada seseorang yang ingin berbicara padamu," lanjutnya, melupakan niatnya yang sebelumnya.

Pemuda itu sedikit menatap Zhoumi heran sebelum memutuskan untuk menerima ponsel itu dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Sayup-sayup ia masih dapat mendengar percakapan di seberang telephone itu.

"Yesung, aku tidak bisa berbicara mandarin."

"Tsk, kau tenang saja. Dia bisa berbicara bahasa Korea."

Pemuda itu bisa mendengar suara seseorang yang berdehem di seberang telephone itu sebelum mendengar orang itu berkata, "H-hallo…"

Pemuda itu tertegun ketika mendengar suara yang baru saja menyapanya diseberang telephone. Pandangannya kini sedikit beralih pada pemuda berambut merah di depannya. Entah kenapa, ia merasa tidak asing dengan suara yang baru saja di dengarnya itu. Tapi ia sama sekali tidak mempunyai petunjuk dimana ia pernah mendengarnya.

"Yesung! Tidak ada jawaban. Apa telephone ini masih tersambung?"

"Coba kau sapa sekali lagi."

"Hallo…" sapa seseorang di seberang telephone itu lagi. Membuat pemuda itu tersadar dari pikirannya. "Hallo? Apa kau bisa mendengarku?"

"Aku akan kembali ke Korea."

"Huh?"