First fic in Osomatsu fandom, yoroshiku!

Di sini cuma numpang multichap—lagi—buat promosi. Selalu aja merasa kasihan liat Karamatsu gapenah dianggep di Matsuno sextuplets:( skarang lagi kepengen bikin Kara's side story—kasian biar ga di bully mulu

Na, mari membaca!

.

.

HAL KECIL

Genre : Family/ Hurt-comfort

Rate : T…?

Pair : no current

Setting : Kara's side, all sextuplets have jobs

Warnings : Typo(s) , no roman, just family, OOC, alay, amburegul, emeseyu, de-el-el

.

.

#HappyReading!

.

.

Osomatsu-kun/san © Akatsuka Fujio

FanFiction © Colonel29

.

Walaupun ia dianggap tidak ada, namun matanya selalu awas.

Bab I : Osomatsu-nii-san

.

Karamatsu adalah anak kedua dari kembar enam keluarga Matsuno. Namun ia selalu dianggap tidak ada keberadaannya di rumah kecil itu.

Alasannya cukup sederhana, kelakuannya menyakitkan. Menyakitkan dalam arti segalanya. Pakaiannya, gayanya merayu wanita di pinggiran jalan, caranya berbicara sehari-hari, semua menyakitkan. Tidak ada yang tahu dari mana sifat itu muncul.

Atau sepertinya ini pengaruh kesendiriannya.

Tetapi bagi sang empunya nama, ia merasa tidak masalah. Memang, terkadang ia merasa sakit hati diabaikan saudaranya, namun lama kelamaan ia terbiasa. Dan diam-diam, Karamatsu menggunakan kesempatan ini untuk mengamati.

Karamatsu tidaklah bodoh, dan ia juga tidak masokis. Diabaikan tentu menyakitkan, namun keheningan yang menyelimutinya kala diabaikan memberinya ruang unik tersendiri.

Mata hitamnya berputar, mengamati kelima saudara wajah samanya itu. Diabaikan membuatnya bisa melihat sesuatu yang tidak bisa didapatkan dalam keramaian, sesuatu yang disebut Karamatsu sebagai hal kecil.

Contoh kecil saja, ketika Todomatsu disidang oleh semua kakaknya, Karamatsu tidak sengaja menangkap momen Choromatsu mengupil ketika Osomatsu tengah menanyai Todomatsu. Karamatsu hampir tersedak keripik kentangnya. Sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak tertawa meledak ketika Choromatsu diam-diam memakan upilnya.

Contoh lainnya, Karamatsu tidak sengaja melihat Jyuushimatsu tersandung batu, dan jatuh dengan wajah mencium jalanan duluan. Tentu tidak ada yang melihatnya, semua sibuk berjalan di depan. Hanya Karamatsu yang melihatnya. Kadang kala Karamatsu juga melihat Ichimatsu menciumi kucing kuning kesayangannya ketika semua orang pergi keluar, yang ditangkap Karamatsu sebagai momen terlucu adiknya itu. Dalam hati ia merutuki dirinya tidak membawa ponselnya.

Atau ketika Todomatsu pipis di celana ketika mereka terpisah di taman bermain. Tidak ada yang melihatnya, dan Karamatsu-lah yang membantu menuntun Todomatsu ke toilet umum.

Tidak ada yang melihat momen kecil seperti itu, ketika semua sibuk dengan riuhnya dunia.

Kecuali Karamatsu, yang selalu mengamati ketika seluruh dunia menaunginya sepi.

.

.


Kakaknya sekaligus yang tertua diantara enam bersaudara, adalah yang terbodoh.

Kalian bisa tambahkan kata yang lain, seperti pemalas, tukang penghambur uang, paling santai, atau apapun. Namun kakaknya Osomatsu tidak bisa terlepas dari titel 'bodoh' .

Terjebak dalam status tidak memiliki pekerjaan dan pasangan, Osomatsu tidak memiliki pengaruh besar sebagai seorang kakak—dalam artian sebenarnya. Katakana saja Choromatsu-lah yang pantas menjadi kakak tertua, melihat bagaimana ia pandai mengatur hidup. Bahkan berkat Choromatsu, Osomatsu akhirnya mendapatkan pekerjaan, walau hanya sebatas pekerja di bengkel.

Sifat Osomatsu yang paling menonjol adalah, pachinko. Ia rela mati seandainya dunia tidak ada pachinko. Osomatsu akan girang luar biasa jika menang besar di pachinko (yang kemudian akan habis dalam sehari) , dan akan marah besar jika salah satu dari adiknya memenangkan pachinko, seperti pada kasus Todomatsu. Ia akan meraup semua uang adik-adiknya dan berburu pachinko, lalu kalah di sore harinya. Kemudian ngambek di sisa hari.

Hobby-nya yang lain adalah membuat kejahilan. Osomatsu boleh maniak pachinko, namun jika ia tidak jahil sehari, bukan Osomatsu namanya. Karamatsu—sebagai korban kejahilannya terkadang—sempat berpikir di dalam otak Osomatsu hanya ada kejahilan, dan pachinko.

Osomatsu, yang tertua dalam enam bersaudara Matsuno. Yang pertama, dan satu-satunya.

Namun, akan lain cerita ketika dunia berangsur senyap.

.

.


Hal kecil itu Karamatsu temukan di suatu malam di musim gugur.

Udara malam bertambah dingin, membuat Karamatsu terjaga dari tidurnya. Menggigil, ia mendapati selimut ditarik kuat oleh Jyuushimatsu. Ichimatsu di sebelahnya ikut menggigil, namun tidak terjaga. Karamatsu memutuskan bertukar posisi dengan adiknya itu.

Setelah menyelimuti Ichimatsu, Karamatsu memutuskan turun untuk membuat teh. Hitung-hitung menghangatkan dirinya. Saat itulah ia menyadari bahwa di dalam kamar hanya ada lima kepala. Lima.

'Siapa yang bangun malam-malam begini?' Batin Karamatsu bertanya-tanya. Pintu digeser perlahan, sebisa mungkin meredam bunyi.

Karamatsu baru akan menginjak anak tangga terakhir ketika bau asap rokok menyambut hidungnya. Kini ia mengerti, siapa yang tengah terjaga sekarang.

"Osomatsu-nii-san, " Sosok kakaknya redup oleh gelapnya ruang tamu. Osomatsu sendiri hanya melirik, lalu kembali menghisap rokoknya. Osomatsu dan rokok memang tidak bisa dipisah.

Tanpa banyak bicara, Karamatsu melangkah ke dapur, mengisi teko dengan air dan memasaknya. Ia mengambil gelas birunya dan gelas merah Osomatsu, lalu meletakkan dua kantung teh di dalamnya. Beberapa menit berlalu, air mendidih. Karamatsu segera menuangkannya ke dalam masing-masing gelas. Membentuk pusaran air sesaat, hingga wangi teh tercium. Karamatsu membawanya ke ruang tamu.

Osomatsu, hanya melirik, lalu memfokuskan matanya kembali ke jendela di sampingnya. Bulan nampak tidak bulat sempurna dari luar, tertutup awan gelap. Kepulan asap rokok dan asap dari teh membumbung perlahan.

Karamatsu menyesap sedikit, "Minumlah, nii-san, " Ujar Karamatsu, pelan. Osomatsu masih tidak bergerak.

Seberisik apapun, ketika malam, semua akan berubah. Begitu juga dirinya. Osomatsu jauh lebih diam, dan nampak lebih tertekan dari biasanya. Dahinya terus berkerut, alis bertaut sengit. Jarinya mencengkeram rokoknya kelewat erat. Hembusan napasnya juga terdengar kasar dan terburu-buru.

Mencoba tetap tenang, Karamatsu bertanya, "Ada masalah, nii-san?"

Ketika Osomatsu lebih diam, berarti ada masalah dalam dirinya.

Barulah Osomatsu menunjukkan pergerakan. Bahunya sedikit bergerak, dan badannya berputar menghadap Karamatsu. Cahaya dalam mata Osomatsu menyiratkan bahwa masalahnya lebih besar dari apapun.

"Karamatsu, " Suaranya serak, dan asap rokok keluar sedikit dari sela-sela giginya, "Menurutmu, apa kita akan selalu bersama?"

Alis tebal Karamatsu ikut menekuk. Kita dalam konteks apa?

Tangan Osomatsu terulur untuk mengambil gelasnya, meminum sedikit tehnya, lalu meletakkannya kembali. Rokok dalam genggamannya ia ratakan dalam asbak, lalu diam. Karamatsu tidak menuntut jawaban. Apapun yang terjadi, Osomatsu akan mengatakannya.

Osomatsu suka sekali menyimpan segalanya sendiri.

"Kita selalu bersama dari kecil, dari lahir, " Osomatsu buka suara, dan kali ini terdengar bergetar, "Kita semua sudah dewasa, masing-masing dari kita sudah mendapat pekerjaan. Tidakkah kau berpikir bahwa suatu saat kita akan menikah, berkeluarga, dan akhirnya meninggalkan masing-masing dari kita?"

Mata Karamatsu melebar.

"Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku menggap kalian semua lebih berharga dari diriku sendiri, " Osomatsu menutup matanya, berusaha mengontrol napasnya, "Aku memang egois, tentu saja kita tidak bisa tinggal di sini selamanya…"

Osomatsu memang egois terhadap segalanya.

Karamatsu tidak menduga kakaknya yang terlihat jarang berpikir ternyata menyimpan pikiran sebesar ini. Siapa yang menyangka orang secuek Osomatsu adalah orang yang selalu mengedepankan keluarga.

Senyum tipis tercetak. Karamatsu kembali meminum sisa tehnya, "Kalau begitu, bukankah tugas seorang kakak tertua untuk merangkul keluarganya?" Katanya. Bisa dilihatnya Osomatsu tersenyum kecil, walau matanya masih nampak ragu.

"Kau benar, " Punggungnya bersandar pada sofa, jauh lebih rileks dari sebelumnya, "Tapi aku hanyalah seorang kakak yang suka mengamburkan uang demi pachinko—" Lalu ia terkekeh. Karamatsu ikut tertawa kecil.

"Tidak usah terburu-buru, nii-san, " Ujar Karamatsu, merasakan segarnya udara malam memasuki hidungnya, "Semua akan indah pada waktunya."

"Lagi-lagi kata-kata menyakitkan itu."

Lalu mereka tertawa dalam gelapnya malam musim gugur.

.

.


Esoknya, Osomatsu kembali seolah-olah pembicaraan semalam tidak pernah muncul. Dengan semangat, ia memakan sarapannya. Sedikit mencuri daging milik Ichimatsu. Lalu setelah mandi, ia berlari sembari mengenakan mantelnya. Ia berhenti di teras depan. Karamatsu melihatnya tengah memasang tali sepatu.

"Ah, dimana syalku—"

Tangan Karamatsu refleks mengulurkan syal merah itu pada kakaknya.

"Terima kasih, " Ia lantas mengenakannya, lalu tangannya meraih pegangan pintu,

"Terima kasih juga untuk semalam, "

Osomatsu adalah sosok egois. Ia selalu menyimpan segalanya untuk dirinya sendiri.

Karamatsu melambaikan tangan, tersenyum seperti biasa, "Hati-hati, nii-san, " Kemudian sosok kakaknya menghilang di tikungan.

.

.


Bagi Karamatsu, kakak tertuanya adalah sosok pemalas yang suka menghamburkan uang untuk pachinko. Terlalu santai dan cuek akan segala hal.

Tapi kakak tertua tetaplah kakak tertua. Ia menanggung beban berat sebagai pengayom adik-adiknya.

Ia menyayangi kami lebih dari dirinya sendiri.

Ia ingin kami selalu bersama, tertawa bersama.

Bersama hingga akhir.

.

.


Tidak ada yang tahu, Osomatsu adalah pemikir yang terlalu sayang keluarga.


END OR TBC?


Itu semua tergantung reader-sama semua

Terima kasih untuk review, serta ide yang muncul ketika asyik tidur siang

Trima kasih sudah menerima ane di fandom ini!