"Ne, Ichigo," panggil Rukia. Saat ini mereka berdua sedang duduk di hamparan luas padang bunga yang terletak di Karakura. "Plesterku sudah habis."
"Benarkah? Nanti aku ambilkan lagi di klinik ayahku," jawab Ichigo
"Arigatou," Rukia tersenyum pada Ichigo yang di balas Ichigo dengan senyuman juga.
Mereka berdua memang sudah menjadi sahabat sejak Rukia pindah di sebelah rumah—atau boleh dibilang klinik kecil—keluarga Kurosaki. Tidak terasa sudah menginjak tahun ke Lima sejak persahabatan mereka bermula.
"Sudah sore, Rukia. Pulang, yuk? Bisa-bisa aku dimarahi ayahmu kalau pulang terlalu sore."
"Hai."
Ichigo berdiri dan Rukia mengikutinya.
Di perjalanan pulang, Rukia asik bercerita mengenai apa yang dilihatnya siang tadi. Tetapi hanya di jawab dengan anggukan kepala atau gumaman singkat dari Ichigo. Tentu saja itu dikarenakan hal yang dibicarakan Rukia tidak jauh dari si Boneka Kelinci Putih—atau populernya disebut chappy.
"Terus di sana juga ada strap handphone. Harganya murah tapi tetap saja aku tidak bawa uang," kata Rukia sedih. "Lagipula aku tidak punya handphone. Oh iya, ada juga chappy keluaran terbaru. Warnanya coklat, loh! Kawaiii." Wajah Rukia berubah gemas sambil berloncatan menatap Ichigo.
"Boneka chappy di sana jug—," kalimat Rukia terputus tiba-tiba karena ia jatuh terjerembab akibat tidak sengaja menyandung kakinya sendiri. Lututnya terluka dan telapak tangan bagian bawahnya berdarah akibat tergesek aspal.
"RUKIA!" Ichigo menjerit panik dan langsung mengecek keadaan Rukia.
Mata gadis kecil itu berkaca-kaca menahan tangis dan sakit. Ia mengalihkan tatapannya dari lukanya ke wajah Ichigo sebelum berkata, "sakit, Ichigo." Setetes air mata terjatuh di pipinya.
"Biar aku lihat," Ichigo memegang tangan Rukia yang berdarah lalu mengeluarkan sapu tangan yang selalu di bawanya untuk berjaga-gaja di keadaan seperti ini. Diusapnya perlahan telapak tangan Rukia sebelum berpindah ke luka di lutut Rukia. Gadis mungil ini meringis pelan saat Ichigo tidak sengaja mengusap lukanya terlalu keras.
"Maaf," ucap Ichigo dengan rasa bersalah. "Bisa berdiri?"
Rukia mengangguk lalu mencoba berdiri. Ichigo mengulurkan tangannya untuk membantu yang dengan segera langsung disambut Rukia.
"Bisa berjalan?" Tanya Ichigo lagi, kali ini Rukia menggeleng.
Seperti yang sebelum-sebelumnya, Ichigo langsung berjongkok bermaksud menggendong Rukia. Tanpa di perintah, ia segera menaruh tubuhnya di punggung Ichigo. Kemudian, Ichigo melanjutkan perjalanannya bersama Rukia. "Kau harus lebih berhati-hati, Rukia. Sekarang kita ke klinik ayahku dulu untuk mengambil plester dan mengobati lukamu."
Rukia mengangguk. Tiba-tiba ia dihinggapi perasaan bersalah karena sudah sejak dulu ia selalu merepotkan Ichigo diakibatkan sikapnya yang ceroboh dan kikuk. Bukannya Rukia sengaja sering jatuh dan terluka. Hanya saja ia memang kurang waspada dan berhati-hati.
"Maaf, aku selalu merepotkanmu, Ichigo."
Ichigo menghembuskan nafas pelan, "aku tidak merasa di repotkan, Rukia. Aku hanya khawatir terhadapmu yang selalu terluka dan terjatuh." Ichigo menatap jari-jari Rukia yang terlingkar di lehernya—yang tiga di antaranya tertutup plester karena kecerobohan Rukia sendiri. "Walaupun aku berharap bisa menjagamu terus, tetapi aku tidak bisa terus menerus ada di sampingmu."
"Ichigo mau pindah?" Ichigo merasakan tubuh Rukia menegang. "Tidak boleh! Pokonya tidak boleh!"
"Bukan itu maksudku, Rukia. Tapi sesuatu bisa saja terjadi denganku dan aku ingin kau tetap baik-baik saja meskipun tanpa aku."
Rukia tidak menjawab. Ia bingung harus menjawab apa, karena ia percaya dan yakin Ichigo akan terus berada di sampingnya. Saat itu Rukia tidak tahu sesuatu akan terjadi dan memaksanya berpisah dengan Ichigo. Sesuatu yang membuatnya menangis berhari-hari dan membenci dirinya sendiri karena tidak mampu menahan kepergian sahabat tersayangnya.
Dan permainan waktulah yang mengawali semuanya.
.
Bleach © Tite Kubo
Song of Heart © Clarette Alice
—with Rukia's POV
.
Liburan musim panas yang menurutku membosankan ini akhirnya berakhir. Mengapa membosankan? Pasalnya, selama liburan ini aku dan Ichigo jarang bermain bersama. Ichigo bilang, Ibunya—Masaki—sedang sakit dan Ichigo ingin menemaninya di rumah sakit.
Aku memakluminya.
Aku tahu Ayahnya sibuk bekerja di klinik, sementara kedua adik kecil kembarnya tentu belum bisa di andalkan. Tidak pernah kuketahui penyakit yang diderita Bibi Masaki. Hanya saja, beberapa kali aku sempat melihat Bibi Masaki mimisan sebelum ia meringis sambil memegangi kepalanya.
Penasaran, pada akhirnya aku bertanya kepada Ichigo. Sayang jawaban yang kuinginkan tidak kudapatkan darinya. Hal itu dikarenakan Ichigo sendiri juga tidak mengetahui penyakit apa yang di derita Ibunya.
Hujan sedang turun dengan lebatnya ketika Ibu masuk ke kamarku sambil menangis. "Rukia, Ibunya Ichigo…"
.
Aku tidak ingat bagaimana bisa sampai di rumah sakit. Yang aku tahu, sekarang aku melihat Ichigo menatap kosong jasad Ibunya sambil terdiam di tempat. Ya, ia hanya diam. Tidak menangis. Sedikitpun.
Ada perasaan sakit yang tak bisa kuungkapkan melihat Ichigo seperti ini. Sambil menahan isakan, pelan-pelan aku berjalan mendekati Ichigo. Dengan tangan bergetar, kusentuh bahunya. Ichigo tidak menoleh, tetap menatap kosong pada jasad Ibunya yang sudah di tutupi kain putih. Aku merasa mataku semakin panas dan kabur oleh air mata.
Aku menggoyang-goyangkan tanganku di bahunya sambil memanggil namanya dengan suaraku yang bergetar.
Ichigo menoleh menatapku dengan tatapan yang baru kali ini ku lihat. Aku benci tatapan itu, tatapan yang seolah-olah menunjukkan dunianya telah hancur berkeping-keping. Tiba-tiba ia berkata, "kenapa harus Ibuku, Rukia? Kenapa? Kenapa bukan aku saja yang meninggal?" suara Ichigo terdengar parau dan itu membuat dadaku sakit.
Tangisku pecah dan aku langsung memeluk Ichigo. "Aku tahu kamu kuat Ichigo, kamu kuat," bisikku pelan.
Ya, Ichigo, aku yakin kamu kuat.
.
Sudah hampir dua minggu sejak pemakaman Ibunya Ichigo dan saat itulah terakhir kali aku melihatnya. Ia tidak pernah terlihat di sekolah. Padahal, Ichigo tidak pernah absen sebelumnya, kecuali ia benar-benar sakit. Itupun paling lama hanya tiga hari.
Aku menghembuskan napas perlahan sambil menatap ke luar jendela kelas. Sudah berkali-kali aku mencoba menemui Ichigo di rumahnya, tapi ia menolak bertemu siapapun. Bahkan, ketika aku dan teman sekelas menjenguknya, ia tetap menolak sambil terus mengunci dirinya dalam kamar.
Pintu kelas mendadak terbuka diserta dengan Ochi-sensei yang masuk. Aku kembali menegakkan punggungku—meninggalkan pikiranku yang semula melayang—sebelum menatap wali kelasku ini.
"Sensei punya berita untuk kalian," ucap Ochi-sensei sebelum mengawali pelajaran. Dahiku berkerut, penasaran. Dan entah mengapa, aku merasa tidak siap mendengar kalimat selanjutnya. "Teman kalian, Kurosaki Ichigo, hari ini akan pindah ke Tokyo."
Kelas menjadi riuh seketika sementara aku tercekat kaget. Perasaanku benar.
BRAK!
Aku berdiri dari kursi sambil menghentakkan tangan ke meja, membuat puluhan pasang mata menatapku namun tidak kupedulikan. Dengan cepat kulangkahkan kakiku keluar kelas dan berlari menuju rumah Ichigo. Aku tidak percaya Ichigo setega itu kepadaku! Setelah hampir dua minggu tidak mengacuhkanku tiba-tiba ia pindah? Beraninya!
.
Lagi-lagi aku terjatuh.
Tidak kupedulikan rasa sakit di kaki dan sikuku akibat terjatuh barusan. Aku terus berlari sekuat tenaga. Dengan nafas terengah-engah, kuhentikan langkahku sebentar di pertigaan untuk mengumpukan oksigen di paru-paruku.
Baru beberapa detik berhenti, mobil silver milik Ayah Ichigo melintas di depanku. Air mata menggenang di pelupuk mataku melihat mobil itu. Aku melanjutkan kegiatan berlariku untuk mengejar mobil itu. Berlari, berlari, dan terus berlari sambil meneriakkan nama Ichigo. Berharap mobil itu berhenti dan Ichigo keluar untuk menemuiku.
Harapan hanyalah harapan. Pada nyatanya, mobil silver itu tetap melaju kencang meninggalkanku jauh di belakang.
"ICHIGOOOOO!" aku berteriak kencang sebelum jatuh terduduk, menangis.
Perasaan menyesal meraba hatiku, menyesal karena tidak berusaha keras menemui Ichigo. Tidak berusaha keras untuk menghiburnya. Tidak berusaha keras untuk terus berada di sampingnya. Menjadi penenangnya.
Yang bisa kupikirkan hanyalah; Ichigo akan baik-baik saja. Dia kuat. Dia pasti mengatasi kesedihan karena ditinggal Ibunya, tapi dugaanku salah! Ichigo tidak sekuat yang kupikirkan. Ichigo melarikan diri.
Melarikan diri? Melarikan diri? Ichigo-nya… melarikan diri?
Seketika, aku merasa terkhianati. Berbagai pikiran buruk merasuk dalam benakku. Ichigo tidak menganggapku sahabat. Ichigo tidak pernah menganggapku sahabat. Ia melarikan dirinya sendiri, tanpa memikirkan perasaanku. Ichigo bukan sahabat yang baik.
Aku meringis.
"Bodoh! Ichigo bodoh!"
Itulah umpatan terakhirku sebelum tangisku kembali pecah.
To be continue
Minta review nya minna ^^
