KH and its characters are not mine. They are SE's.
Yahh, saya di sini.
Kubuat sekuel dari Between Us. Semoga masuk akal ya ^^
Fic ini akan berfokus pada Roxas beberapa hari setelah event di Between Us yang pertama.
Well, here you go.
~Between Us 2~
~~Our Promise~~
Chapter 1
Hari-hari telah berlalu sejak hari ritual. Semua terlihat menyedihkan bagiku; tidak ada tawa, tidak ada sepatah kata, tidak ada respon yang keluar dari mulutku sejak saat itu. Aku tidak merasakan apapun sekarang; bagaikan orang mati yang dihidupkan kembali. Aku terkadang ingat hari-hari dimana aku bersama dengan saudara kembarku, Sora. Aku sangat merindukannya, aku sangat ingin melihat wajahnya yang penuh keceriaan dan tanpa beban sedikit pun. Tapi, semua itu sudah menghilang. Sora sudah tidak ada. Sora sudah mati… di tanganku…
"Sora…." Aku berbisik sendiri di kamarku. Aku selalu ingin memanggilnya, ingin mendengar jawabannya. Namun jawaban itu, tidak akan pernah muncul…. aku adalah seorang pembunuh…
"Sora… kenapa…" lalu aku selalu meneteskan air mata dan terpaku di tempat. "Maafkan aku… maafkan aku…"
XXX
Saat aku terlelap dengan cucuran air mata di pipi dan bantalku, aku bermimpi hal aneh. Aku bertemu dengan Sora. Ya, itu Sora! Dia ada di depan Sumur Cahaya, berdiri di sana sambil memandang kakinya sendiri. Aku memanggilnya,
"Sora!" dia tidak menjawabku. Kenapa?
Aku menghampirinya dengan langkah cepat lalu berhenti tepat di depannya. "Sora…" mataku terasa perih, "aku selalu menunggumu…" tapi dia tetap diam. "Aku ingin bersamamu lagi… bersama selamanya…"
Pandanganku tiba-tiba kabur, aku tak bisa melihat Sora lagi…
"Sora, mengapa kau meninggalkan aku?"
XXX
Aku terbangun dengan cara yang sopan. Mataku basah seperti biasa; air mata di pipi dan hidungku juga berair. Rasanya dadaku sesak, kepalaku sakit luar biasa. Kenapa?kenapa ini bisa terjadi? Kenapa takdir ini sangat kejam?
Dan aku mulai sesenggukan lagi. Aku mengutuk semua yang ada pada diriku. Semuanya.
"Tuan Roxas?" seseorang memanggilku, mengetuk pintu dengan sopan. Aku tersentak, cepat-cepat mengusap air mata yang ada di pipiku. Menoleh ke arah pintu, aku mengeluarkan suara pelan, seperti cicitan bayi tikus.
"?" namun, suaraku tidak keluar atau lebih tepatnya, aku tidak mau mengeluarkan suara.
"Sudah saatnya Anda bangun dan sarapan, Tuan." Katanya. Itu suara wanita. Mungkin salah seorang dayang istana.
"…" aku pun turun dari tempat tidur, membersihkan diri, kemudian turun ke bawah untuk sarapan bersama Ayah dan Mama.
Saat aku tiba di ruang makan, aku melihat Ayah yang sudah duduk di kursi bagusnya dan Mama yang tersenyum berat. Kesannya agak dipaksakan. Sejak hari itu, Mama memang masih bisa tersenyum namun, senyumnya terkesan dipaksakan. Dan di istana ini, bagiku, semuanya terkesan dipaksakan.
Aku duduk di kursiku, menatap sarapanku yang masih utuh hingga Ayah dan Mama selesai makan. Aku tidak ingin makan, aku tidak ingin minum, aku tidak ingin hidup. Aku ingin mati jadi aku bisa bertemu dengan Sora di Alam Sana. Tapi, apakah Sora ada di Alam Sana atau terendam air Sumur Cahaya?
"Roxas?" Mama tiba-tiba memanggilku, membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menatapnya. Hanya menatap tanpa mengeluarkan suara.
"Apa kau sakit?" sekarang Ayah ikut menanyaiku.
Aku diam. Ayah dan Mama saling berpandangan selama 3 detik lalu bersamaan memandangku.
"Sayang, kau harus makan, ya? Sejak kemarin kamu hanya makan sedikit. Kamu bisa sakit kalau begitu." Mama bicara dengan sangat lembut seperti air. Tapi aku tidak meresponnya.
"Mungkin kau ingin melakukan hal lainnya?" tanya Ayah. Aku diam.
"Ini salahmu, Cloud!" tiba-tiba Mama menyalak pada Ayah. Dia tersentak, menatapnya galak.
"Apa maksudmu, Aerith?"
"Kau menipuku untuk kembali ke sini agar bisa melaksanakan ritual dengan menggunakan Sora sebagai tumbal!"
"Ritual harus dilaksanakan! Kalau tidak, Speir akan jatuh dalam kegelapan abadi!"
"Ritual? Kegelapan? Dasar tolol! Ritual itu bodoh sama sepertimu!"
"Apa kau bilang?" Ayah menggebrak meja, membuat piring dan sendok yang ada saling melompat riang.
"Kau terlalu termakan hasutan pendahulumu! Ritual harus dilaksanakan, mengorbankan darah dagingmu sendiri. Kalian semua memuakkan!"
"Tutup mulutmu!" Ayah menggebrak meja lagi. Lebih keras kali ini, membuat beberapa sendok jatuh ke lantai. Suara mereka sangat keras sehingga seisi istana bisa mendengarnya. Aku tidak suka dengan suara mereka. Mereka malah membuatku merasa semakin bersalah.
Mereka terus menyalak satu sama lain. Telingaku panas, hatiku sakit. Aku berdiri lalu melangkah pergi meninggalkan ruang makan penuh suara gaduh itu. Suara gaduh tersebut menghilang begitu aku meninggalkan tempat itu.
XXX
Aku menuju ke perpustakaan anak di lantai dua karena ini memang saatnya sekolah rumah. Elli akan berlagak seolah dia adalah seorang guru baik hati sejak hari itu. Dia agaknya tidak ingin membuatku merasa tertekan; dan dia berusaha merubah sikap kerasnya menjadi lembut. Namun sayangnya, malah dia yang terlihat tertekan.
Sesampai di ruangan penuh buku dan bau kertas tua, aku duduk di tempat biasa. Membayangkan kalau di depanku, Sora sedang duduk juga; menggigit pulpennya atau memainkan pensil di atas hidungnya. Dia menyebutnya akrobat pensil di atas hidung.
Membayangkan semua itu, aku kembali merasa bersalah. Air mataku lagi-lagi menetes ke pipi. Aku seharusnya tidak memikirkan itu semua. Tidak di saat aku sedang merasa sedih seperti ini. Dan aku memutuskan untuk membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku menunggu Elli datang dengan membaca buku yang ada walau tak ada yang benar-benar kubaca.
Sudah jam 8 lewat namun Elli belum datang. Mungkin sesuatu menghambatnya? Tapi, itu lebih baik karena aku jadi punya lebih banyak waktu untuk mengosongkan pikiranku. Mirip orang yang sudah tak punya semangat hidup.
Tapi kemudian, pintu perpustakaan dibuka pelan. Biasanya Elli membuka pintu dengan agak kasar walaupun dia sudah berusaha membukanya selembut mungkin. Seseorang melangkah masuk. Dia memakai jubah hitam panjang tanpa lengan, sarung tangan yang panjangnya mencapai lengan atasnya dengan pita merah di lengannya. Wanita itu memiliki rambut merah muda sepanjang pinggang. Aku tidak mengenalnya.
"Selamat pagi." Katanya. Nada suaranya dingin. Aku melihat wajahnya yang tanpa ekspresi kemudian mengangguk pelan.
Dia mendekatiku, duduk di kursi Elli lalu meletakan buku-buku yang tadi dia bawa ke atas meja. Aku mencoba bicara tapi, aku seperti sudah lupa bagaimana cara bicara.
"Aku akan menggantikan Elizabeth McCraig selama dia kembali ke kota asalnya untuk menjaga ayahnya yang sedang sakit."
"…"
"Namaku Marcia Tourmaline."
"…" aku tidak bisa meresponnya. Aku terlalu kaget untuk itu.
"Aku berasal dari kota sebelah." Dia menyibak bukunya, "Mari kita mulai pelajaran hari ini."
TBC….
Fic kali ini mungkin pendek karena hanya sekuel.
Yah, sekian dulu.
Review ya?
