A/N: Hai penghuni fandom NaruHina, sudah lama semenjak Naruto tamat, saya rasa fandom ini tidak seramai tahun lalu. Mungkin ada beberapa dari kalian yang mengenali saya. Saya memang sempat menghapus semua fics saya untuk sebuah alasan yang bersifat pribadi. Namun jujur, ketika suasana mulai tenang dan damai, saya merasakan kerinduan terhadap fandom ini. Saya pikir semua fic saya sudah lenyap sebelum akhirnya saya menyadari bahwa file fics saya masih menetap di Recycle Bin (Oh, God). Akhirnya saya memutuskan untuk mengulang dari awal. Bagi yang sudah pernah membaca, maaf harus mengulang dari awal, sekalian kembali mengingat #ditabok. Bagi pembaca baru, welcome!

Abandoned Defenses
Karya Hinaekoi
Diangkat dari "Naruto" Karya Masashi Kishimoto

PROLOGUE

Sudah satu bulan semenjak perang dunia kedua dimulai. Kematian, siksaan dan darah menjadi pemandangan tidak layak bagi banyak orang. Tapi bagi mereka— rakyat kecil—mereka tak punya daya untuk memprotes apalagi memberontak. Yang bisa mereka lakukan hanyalah mengikuti alur yang telah diciptakan oleh petinggi mereka. Berperang, memperebutkan wilayah, membunuh atau terbunuh. Sungguh tampak layaknya neraka dunia.

Di antara negara-negara yang berperang tersebut, negara Konoha merupakan negara terkuat dan disegani, memiliki andil yang besar dalam perang dunia ini. Pemilik pasukan militer yang kuat dan juga para politikus terhebat. Tak dapat dipungkiri para penduduknya memiliki jaminan aman dari serangan musuh dibandingan dengan negara-negara lainnya.

Lantas mengapa seorang gadis berambut indigo—salah satu dari penduduk Konoha—meringkuk di anatara bangunan tua Konoha seraya memeluk adik kesayangannya dengan penuh ketakutan? Tidak, ternyata Konoha tidak seaman itu, paling tidak bukan untuk orang-orang yang memiliki garis keturunan layaknya gadis itu.

Gadis itu berambut indigo dengan wajah kusam yang seolah memancarkan ketidaktenangan. Tidak, dia memang tidak tenang, tidak pernah tenang, terlebih setelah mata naif-nya telah merekam sosok kedua orang tuanya dibunuh bersimbah darah. Hal itu merasuki benaknya, menciptakan trauma yang dahsyat, menyesakkan dadanya dan meremukkan hatinya. Ia berteriak tertahan oleh tekanan bahaya. Disambarnya adiknya, dipeluknya dengan erat. Oh, Tuhan. Hanya adiknya yang dimilikinya sekarang.

Air mata gadis itu menetes, tubunya bergetar. Benaknya tak habis habisnya melontarkan pertanyaan akan alasan terjadinya semua ini, membandingkan dengan fakta bahwa dahulu Konoha adalah tempat yang aman dan nyaman bagi mereka semua. Dan tak perlu dijawab, semuanya sudah jelas. Semua terjadi tak lain diakibatkan oleh pengangkatan Hokage yang baru—pemimpin negara konoha yang baru. Iblis itu!

Untuk alasan yang tidak dapat dimengerti, Hokage yang baru benar-benar membenci klan Hyuga, menyatakan bahwa merekalah penyebab kalahnya Konoha pada perang dunia pertama. Pria fanatik yang memerintahkan pasukan elit Konoha yaitu Anbu untuk memburu semua klan Hyuga. Lalu hari tragedi itu dimulai, semua Hyuga diburu dan dibakar hidup-hidup. Sang Hokage menuntut agar klan terkutuk itu harus dibumihanguskan. Di hari itulah gadis berambut Indigo tersebut melihat kedua orang tuanya dibunuh dengan menggenaskan. Benar-benar merupakan neraka. Ada juga Hyuga berhasil melarikan diri, termasuk sang gadis berambut indigo dan adiknya tentu saja. Masih dalam trauma yang menyerang jiwa, para Hyuga yang tersisa berusaha bersembunyi, menyelamatkan diri.

Kabur dari Konoha. Itu rencana—angan-angan mereka mereka. Itu sama saja dengan bunuh diri. Perbatasan Konoha dijaga begitu ketat, jika ketahuan, bukannya penyelamatan diri yang berhasil dilakukan, tetapi bunuh diri. Beuruntung bagi mereka beberapa penduduk baik hari yang tinggal di sudut-sudut kota tua Konoha yang sepi berbaikhati mau menyembunyikan mereka.

Hinata—gadis berambut Indigo tersebut—membelai adiknya yang tengah tertidur itu dengan sayang. "Nee-sama akan melindungimu, Hanabi," bisiknya pelan. "Hanya kau yang kau punya sekarang. Aku tak boleh mengecewakan Tou-sama dan kaa-sama! Aku akan menjagamu!" tambahnya dengan air mata yang menetes semakin deras dari pelupuk matanya yang begitu lelah.

Hinata kemudian mendongakkan kepalanya untuk menangkap pemandangan langit malam yang seharusnya terlihat begitu indah, tetapi di matanya itu semua terlihat suram dibalut oleh kesedihan hatinya. Pikirannya bergemuruh. Apa Chichi dan Haha-nya berada di surga nan jauh di atas sana sekarang? Mungkinkah mereka sedang berbahagia? Gadis itu ingin bahagia juga. Mendadak terbesit di benaknya pikiran untuk mati. Dengan begitu ia tak perlu merasa khawatir lagi, semuanya akan terasa tenang dan damai. Lagipula ada atau tidaknya dirinya, tak akan mengubah apapun di dunia. Pikiran itu begitu menggoda, begitu menenangkan, berbisik di telinganya bak nyanyian tidur yang menenangkan. Mereka membisikan kebahagian! Ia dan Hanabi... bahagia. Yang perlu dilakukan hanyalah membunuh dirinya dan... Hanabi? Hinata tersentak. GILA! Ia menggelengkan kepalanya. Membunuh adiknya? Setan apa yang sudah merasukinya! Tidak, ia masih harus tetap hidup, demi adiknya—Hanabi! Ia tak boleh menelantarkan Hanabi! Jika tak ada dia, siapa yang akan menjaganya? Tak mungkin ia akan menyeret Hanabi dalam kematian bersamanya. Tidak, ia tidak boleh. Satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah tinggal di sini bersama Hanabi, berjuang bersamanya.

Kembalilah Hinata terhanyut dalam ketenangan malam yang tentu sangat berlawanan dengan kegelisahan hatinya. Ia mengosongkan kepala berusaha mengusir segala kerisauan yang layaknya bola selalu terpantul kembali. Ia hampir berhasil jika saja tidak mendengar seruan orang yang begitu tiba-tiba.

"ANBU DATANG! ANBU DATANG!" seru penduduk di lingkungan itu, sukses membuat jantung Hinata melewatkan satu detakan. Tubuhnya langsung waspada. Apa yang ia takutkan sejak dahulu akhirnya terjadi. Ia sudah siap, tapi tidak pernah benar-benar siap. Buru-buru diguncangkannya tubuh adiknya. "Hanabi! Hanabi bangun cepat!" serunya histeris.

Mendengar suara Aneki-nya yang ketakutan, Hanabi segera menyadarkan dirinya, tak peduli akan rasa kantuk yang masih sedikit menguasai dirinya. "Ada apa Nee-sama?!" tanyanya tak kalah takut.

"Anbu datang!" balas Hinata yang membuat Hanabi segera menggigil ketakutan. "Ayo, Hanabi! Kita harus bergegas!" buru-buru mereka berlari pergi dari tempat itu hendak menuju hutan sebelum akhirnya sebuah meriam meluncur dengan cepatnya menuju tempat dimana mereka beristirahat tadi.

BOAM!

Ledakan yang begitu besar membuat Hinata dan Hanabi terpelanting ke atas tanah yang kasar. Hinata meringis merasakan sakit tubuhnya yang lecet. Namun rasa itu segera Hilang ketika ia mendengar Hanabi kesakitan, berganti dengan kekhawatiran. Dengan cepat Hinata menarik Hanabi kembali berdiri. Tidak ada waktu untuk dihabis-habiskan! Mereka harus segera pergi!

"Tolong! Tolong aku!" Mendadak terdenhar teriakan parau dari seorang kakek tua yang sukses membuat Hinata menoleh. Kakek itu meraung-raung kesakitan mendapati setengah tubuhnya sudah tertimbun puing-puing bangunan yang hancur.

'Penduduk biasa,' pikir Hinata, mendatangkan rasa bersalah melihat bahwa penduduk yang bukan Hyuga juga mendapat imbas dari permasalahan mereka. Mereka sudah berbaik hati menyembunyikan para Hyuga, tapi imbal butuk yang mereka rasakan. Perasaan berdosa menyelimuti. Bagaimanapun juga, ia berhutang budi pada mereka! Bergegas Hinata, dengan sekuat tenaga berusaha mengangkat puing-puing yang menutupi tubuh tua itu. Peluhnya turun.

"Hanabi! Kau pergi sekarang! Selamatkan dirimu!" perintah Hinata masih mengkhawatirkan adiknya.

Hanabi menggeleng. "Dan meninggalkan Nee-sama! Di sini?! Tak akan pernah!"

"Jangan keras kepala! Pergila sekarang!" bentak Hinata.

"Tidak!"

Merutuki kekeras-kepalaan adiknya, Hinata mengulurkan tangannya kepada kakek tua tersebut. "Ayo kek! Raih tanganku, sekarang aku akan menarikmu keluar dari timpukan tersebut!"

Kakek tersebut mengangguk lemah dan berusaha meraih tangan Hinata. Sedikit lagi tangan rapuhnya berhasil hingga—DOR! Peluru melesat tepat di kepala kakek itu seketika tubuh tua itu telengkuk tak bernyawa.

"OH TIDAK!"

Pupil Hinata mengecil, tak pernah terbiasa melihat kematian, tetapi tak ada waktu lebih lama untuk terkejut. Cepat-cepat Hinata menundukkan kepalanya sebelum beberapa peluru melesat.. "Lari, Hanabi!" teriak Hinata keras sementara jantungnya berdegub semakin keras. Tentu saja! Ini urusan antara hidup dan mati! Mereka terus berlari mengabaikan setiap bunyi pelatuk yang ditekan. Peluru demi peluru melesat ke arah mereka, tak ada satupun yang berhasil mengenai me—oh tidak. Tubuh Hanabi jatuh terjerembab di tanah dengan lubang di dada.

Manik lavender Hinata melebar. "Tidak! HANABI! HANABI!" teriak Hinata histeris dengan suara bergetar, berusaha menggapai tubuh tak beryawa tersebut hingga akhirnya suara peluru melesat terdengar lagi. Penuh air mata dan keperihan di hati, ia bangkit, berlari secepat yang ia bisa, berbelok dari tujuan awalnya, melewati bangunan-bangunan tua yang masih utuh. Ia tak tahu arah. Pikirannya kosong, hanya kegilaan yang memuncak, aku rasa ia akan benar-benar jadi gila ditelan tekanan yang sudah melebihi puncaknya.

Mendadak hening. Suara peluru tak terdengar lagi, mungkin Anbu-Anbu biadap itu sudah kehilangan jejaknya. Namun bukan untuk waktu yang lama, Hinata tahu itu, mengingat bahwa ia masih berada di tempat yang sama. Mungkin inilah yang ia inginkan! Mungkin sebaiknya ia mati saja! Hanabi—alasannya untuk hidup pun telah hilang. Urgh! Hinata menjambak rambutnya sekuat tenaga, membiarkan rasa frustasi menguasai dirinya, ia mengigit bibirnya hingga berdarah. Ia tak tahu lagi! Ia tak tahu lagu harus bagaimana, memikirkan apa, ataupun merasakan apa!

Hinata melihat ke sekeliling. Mayat, mayat dimana-mana. Klan Hyuga ataupun penduduk biasa. MAYAT! Darah! Darah dimana-mana! Trauma itu datang lagi menguasai itu kembali menyerang dirinya. Hari dimana keluarganya dibantai, orang tuanya direbut dari dirinya. Tak ada yang berubah sejak saat itu, ia tak berkembang sama sekali. Ia tak berguna. Tubuhnya berguncang dengan hebat. Hinata tersungkur di atas tanah, tak dapat menahan air matanya. Ia gagal menjaga Hanabi. "Tou-sama! Kaa-sama! Hanabi!" teriaknya histeris sebelum kemudian menjerit tak karuan layaknya orang gila. "OH TUHAN AKU TIDAK TAHAN LAGI!"

Satu meriam meluncur lagi. Untuk kedua kalinya Hinata terlontar. Ia bersusah payah berdiri. Tubuhnya begitu kotor tertutupi oleh debu, pandangan matanya sayu tanpa harapan untuk hidup hingga akhirnya menegang tepat ketika melihat sebuah batu besar dari puing-puing bangunan melesat ke arah orang asing yang entah sejak kapan berada di depan matanya..

Tidak. Tidak ada lagi orang yang boleh mati! Ia tak bisa membiarkan lagi ada orang yang mati di hadapannya. Ia melesat—tak tahu tubuhnya mampu bergerak secepat itu. Nyatanya berhasil menarik—menyelamatkan orang tersebut dari hantaman-hantaman puing jatuh. Sedetik kemudian puing batu raksasa itu menubruk tanah dan hancur menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil lagi.

Hinata mendapati nafasnya terengah-engah. Ia berhasil. Paling tidak ia berhasil menyelamatkan satu nyawa. Meski hanya sedikit sekali, dia berguna. Perasaan senang yang tak seberapa muncul. Hinata melirik orang yang baru saja diselamatkannya tersebut. "Kau tak apa-apa?" tanyanya.

Namun tak terdengar jawaban apapun.

Detik dimana Hinata menangkap wajah orang itu, ia merasa nafasnya tertahan. Hinata merasa tubuhnya bergidik. "H-Hokage..."

Tak mungkin, tak mungkin ia tak mengenal wajah itu. Kulit tan, garis yang menghiasi pipi, mata Sapphire menyejukkan—tidak. Mata itu tak terlihat menyejukkan dengan pandangan tajam yang menusuk.

"Memalukan sekali aku harus diselamatkan oleh seorang Hyuga," ucapnya dingin.

"U-Uzumaki Naruto," ucap Hinata dengan suara bergetar.

Dan saat itu Hinata sadar, ia telah menyelamatkan seekor iblis.

Bersambung