Dentingan dari perabotan pecah belah terdengar lirih di salah satu ruang makan. Keheningan dalam ruang makan tersebut menjadikan dentingan antara sendok dan piring terdengar menggema. Saat kita melihat ke dalam ruang makan tersebut, kita akan menjumpai dua orang yang sedang terlarut dalam aktivitas bernama makan malam. Lelaki paruh baya yang diam dan fokus menghabiskan makanannya. Dan seorang gadis remaja yang juga menyantap makanannya, namun beberapa kali manik bulannya melirik ke arah lelaki paruh baya tadi. Terdengar hembusan nafas lirih dari sang lelaki tadi.
"Ada yang ingin kau sampaikan, Hanabi?" Tiba-tiba saja lelaki itu berucap lirih. Namun tidak meninggalkan makannya.
"I-Itu…" Gadis belia tadi menaruh peralatan makannya dan memandang laki-laki tadi sejenak. "B-Begini Otou-sama, b-bolehkah aku meminta sesuatu kepada Otou-sama setelah pulang dari Konoha?" Gadis bernama Hanabi tadi mengulum senyum penuh harap.
"Katakan…" Lelaki tadi berucap dingin.
"I-Itu…" Hanabi menunduk malu-malu. "S-Syal…" Lanjutnya lirih.
"Hm? Katakan sekali lagi!" Perintah laki-laki tadi masih dengan nada sedang.
"A-Aku ingin Otou-sama membelikanku syal k-ketika pulang dari Konoha…"
Tidak ada sahutan lagi. Gadis bernama Hanabi hanya masih terdiam dan menunggu sahutan dari lelaki yang diketahui sebagai ayahnya. Melihat tak ada tanda-tanda bahwa ayahnya akan memberikan respon, gadis yang baru saja memasuki umur 18 tahun itu hanya mengambil peralatan makannya dan kembali menyantap makanannya. Terdengar decitan dari sebuah kursi yang ditarik. Gadis bernama Hanabi itu menoleh karena decitan kursi tadi berhasil menarik perhatiannya. Dari sana ia melihat ayahnya berdiri dan mengambil jas yang terlampir di sandaran kursi.
"Otou-sama?" Hanabi menatapnya heran.
"Warna apa yang kau inginkan, Hanabi?"
Bukan menjawab pertanyaan Hanabi, lelaki itu justru melontarkan pertanyaan. Mendengar kalimat tanya seperti itu, seulas senyuman lebar terpancar dari gadis belia itu. Dengan penuh semangat, gadis itu mengangguk mantap dan menghentikan makan malamnya.
"B-Biru, Otou-sama!" Seru Hanabi senang.
"Hn, akan aku ingat. Sekarang lanjutkan makanmu dan segera belajar. Ingat, setelah itu kau baru boleh tidur." Lelaki itu perlahan beranjak dari ruang makan meninggalkan Hanabi.
Dalam kesendirian malam itu, gadis remaja ini terlihat sangat gembira. Mau bagaimana lagi, ini adalah permintaan kecilnya dari semua permintaan. Sebuah syal berwarna biru. Warna yang ia sukai karena selalu mengingatkannya akan seseorang terkasih.
'Yey! Dengan begini aku bisa memiliki syal serupa dengan milik Konohamaru-kun…'
.
.
.
.
.
.
Terima Kasih, Ojii-san…
.
Story by : Neko Nichibana
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
.
Rate : T
.
Genre : Drama, Family
.
Sekuel : Maafkan Aku
.
WARNING:
AU, TYPO, ALUR CEPAT, OOC, OC, ABAL, dll…
.
DON'T LIKE, DON'T READ!
.
.
.
.
.
.
PERTOKOAN KONOHA, 10.00 A.M.
.
"Arigatou gozaimasu…" Seorang pegawai toko membungkuk hormat pada lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari toko.
Seorang lelaki dengan setelan jas serba hitam berjalan mendekati lelaki paruh baya tadi. Lelaki muda dengan surai hitam pendek membungkuk hormat. Sang lelaki paruh baya tidak merespon dan hanya memandangnya dingin. Semakin dekat lelaki muda itu, sang lelaki paruh baya tadi hanya memalingkan ke arah lain. Bukan bermaksud untuk menghindari tatapan dari lelaki muda tadi. Hanya saja pendengarannya sedikit terusik dengan sebuah rengekan kecil di sekitarnya. Manik amethyst lelaki itu menangkap bayangan seorang anak kecil bersurai kuning sedang memegang erat tas selempang warna merahnya. Raut wajahnya sedikit memerah menahan tangis. Mata safir indahnya mendongak ke atas, menatap salah satu pegawai wanita di depan toko aksesoris itu. Bibir mungil anak laki-laki itu sedikit bergetar.
"Kumohon Nee-san! Aku hanya punya uang 1 yen saja. Biarkan aku membelikan jepitan rambut itu untuk hadiah ulang tahun adikku!" Lagi-lagi anak itu merengek.
"Maaf ya adik kecil. Kakak tidak bisa memberikan jepitan rambut itu. Harganya saja 15 yen. Lebih baik adik kecil menabung dulu. Nanti kalau sudah terkumpul uangnya, baru kemari lagi untuk membelinya…" Pegawai toko itu berucap lembut.
"T-Tapi… Tapi…" Bulir air mata sudah terkumpul di pelupuk mata indahnya.
"Hiashi-sama…"
Pandangan lelaki paruh baya itu teralihkan lantaran lelaki muda tadi memanggil namanya. Melihat tuannya sudah menatap wajahnya, lelaki muda itu tersenyum kecil dan melanjutkan ucapannya.
"Mobil Anda sudah siap." Lelaki muda itu lalu membungkuk.
"Hn."
Lelaki paruh baya yang ternyata memiliki nama lengkap Hyuuga Hiashi ini mengedipkan mata sejenak sebelum melanjutkan jalannya. Namun, sayang sekali. Lagi-lagi ia terusik dengan bocah kecil tadi yang sekarang sudah menangis. Ia berhenti melangkah. Ia kembali menolehkan kepala. Anak kecil berusia sekitar 5 tahun itu sudah mengusap wajahnya yang penuh air mata. Dengan sesegukan, ia mencoba untuk tidak terlihat cengeng. Sedangkan pegawai toko tadi kini berlutut dan berulangkali mengucap maaf pada si anak kecil. Hiashi yang menatap peristiwa kecil itu entah mengapa sedikit iba dengan anak kecil. Badannya pun sudah sigap dan berbalik sepenuhnya menghadap si anak kecil. Sedangkan lelaki muda yang sebelumnya memanggilnya, menaikkan sebelah alisnya lantaran melihat tuannya itu bukan berjalan menuju tempat mobil berada dan justru berjalan ke tempat si anak kecil.
"Hiashi-sama?" Panggilnya dengan nada penuh heran.
"Ryo, tunggulah aku di dalam mobil. Ada yang ingin aku lakukan sebentar!" Hiashi memberikan perintah.
"Baik, Hiashi-sama!" Lelaki bernama Ryo itu membungkuk hormat dan menuruti perintah tuannya.
Kembali pada Hiashi. Kini lelaki berusia sekitar 60 tahun itu berjalan mendekati anak laki-laki kecil yang menangis tadi. Hiashi sedikit mengulum senyum prihatin karena melihat anak itu menangis. Sesampainya, Hiashi tersenyum sedikit pada pegawai yang menenangkan si bocah. Pegawai wanita tadi segera berdiri dan memberikan hormat.
"Ah, selamat datang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Wanita itu bertanya lembut.
"Aku ingin kau membungkuskan jepitan rambut yang dipilih anak ini untukku."
Si bocah itu terbelalak kaget. Masih dengan wajah sembab dan sesegukan, anak itu mendongak dan menatap kaget Hiashi. Mendengar lelaki atau mungkin lebih tepatnya kakek-kakek membeli barang yang sangat ia inginkan, membuat bocah itu kembali sedih. Dalam hati ia sangat kesal karena barang yang sebenarnya akan ia berikan untuk hadiah adiknya telah diambil orang lain. Safirnya kini teralihkan pada pegawai wanita yang selesai membungkus dan memberikan jepitan rambut itu pada si kakek. Wajah bocah itu merengut kesal.
"Ojii-san, a-aku yang pertama kali melihatnya. J-Jadi, tolong Ojii-san kembalikan. A-aku mau memberikan jepitan itu untuk a-adikku!" Bocah kecil itu terlihat memohon pada Hiashi.
"Lalu kenapa kau tidak membelinya, Nak?" Hiashi tersenyum kecil.
Melihat Hiashi yang tersenyum seperti itu, membuat rasa tidak enak timbul di hati si bocah. Rasanya ia malu dan menyesal telah memohon hal seperti itu pada orang asing. Terlebih lagi dengan pertanyaan dari si kakek yang membuat nyalinya menciut. Memang benar apa yang dikatakan kakek di depannya ini. Jika dia ingin memberikan jepitan itu untuk adik kecilnya, kenapa ia tidak segera membelinya. Tetapi, si bocah itu paham betul bahwa mustahil baginya untuk membeli jepitan rambut berbentuk buah blueberry tersebut. Karena uang yang dibawanya sangatlah tidak mencukupi untuk membeli jepitan itu. Tangannya yang menggenggam uang 1 yen perlahan dibuka dan ia hanya bisa melihat sendu uang dari hasil ia menyisihkan sebagian uang jajannya tersebut. Lagi-lagi si bocah kecil hanya bisa menunduk sedih.
Hiashi yang melihat anak kecil tersebut memasang wajah sedih, hanya tersenyum kecil. Ia pun berjongkok di depan si bocah untuk bisa mensejajarkan posisinya dengan posisi si bocah. Tangannya terulur untuk mengusap pelan surai kuning yang menyerupai dedaunan milik si anak kecil. Senyum masih terpatri. Sebenarnya, Hiashi dapat merasakan kekagetan dari anak kecil tersebut saat ia melakukan hal itu. Namun, ia mengindahkannya dan kini justru memandang lekat-lekat manik safir si bocah.
"Jangan bersedih seperti itu, Nak. Kamu 'kan laki-laki. Anak laki-laki harus kuat dan tidak cengeng." Hiashi berucap lembut.
"T-Tapi… B-Boruto hanya ingin membelikan H-Hima-chan hadiah…" Akunya lirih.
"Kalau begitu, Ojii-san berikan jepitan rambut ini asalkan kau berjanji untuk tidak menangis lagi. Bagaimana?" Tawar Hiashi.
Mendengar tawaran dari Hiashi, membuat si anak kecil tadi mengulas senyum lebar. Ia sangat senang dengan apa yang dikatakan oleh Hiashi. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia teringat dengan ucapan ibunya untuk tidak menerima segala pemberian dari orang asing. Baik itu berupa makanan maupun mainan. Bocah itu pun menggeleng cepat. Hiashi yang melihatnya hanya menatap heran.
"Maaf, Ojii-san. Kaa-chan bilang Boruto tidak boleh menerima pemberian dari orang yang tidak Boruto kenal. Jadi, maaf Ojii-san. Boruto tidak bisa menerima pemberian dari Ojii-san…" Anak itu berucap jujur pada Hiashi.
Mendengar pernyataan jujur dari anak sekecil itu membuat Hiashi takjub. Menurutnya, anak ini benar-benar sangat berani. Meskipun ia sudah menawarkan barang yang diinginkan anak itu, tetapi ia justru memperoleh penolakan. Hiashi tersenyum. Kagum dengan kepatuhan yang dibawa oleh anak ini. Walaupun sekarang ibunya tidak bersamanya, tetapi anak ini masih tetap menuruti perintah ibunya. Selain itu, Hiashi juga merasa gemas dengan sikap cemberutnya anak kecil itu. Tingkahnya dan wajah cemberut dari anak tadi mengingatkan Hiashi pada putri keduanya dulu ketika seumuran dengan bocah ini. Hiashi yang teringat hal itu, hanya tersenyum miris. Kadang terbesit di pikirannya bahwa tindakannya lima tahun yang lalu mungkin sangat keterlaluan. Namun, ia tidak bisa membohongi ego dalam dirinya yang tidak menerima keadaan putrinya tersebut kala itu.
"–san! Ojii-saa~n!"
Hiashi terbuyar lamunannya ketika tangan mungil bocah di depannya melambai-lambai. Hiashi segera marubah raut wajahnya dan kembali tersenyum pada si bocah. Sedangkan anak laki-laki di depannya menatapnya penuh heran. Sedikit ia memringkan kepalanya. Hiashi yang melihat wajah keheranan dalam mimik muka si anak, langsung saja mencari alasan lain.
"Eh, ya, maaf ya, Ojii-san tadi melamun…" Hiashi tersenyum kecil.
"Tidak apa-apa, Ojii-san." Bocah kecil itu tersenyum manis, koreksi, sangat manis.
"Hei, begini saja, bagaimana kalau kau mentraktir Ojii-san? Sebagai gantinya aku akan memberikan jepitan rambut ini." Hiashi berani bertaruh bahwa tawaran darinya itu tadi adalah refleks dan timbul begitu saja dalam pikirannya.
"Emmm…" Anak itu menaruh salah satu jarinya di dagu dan memasang pose berpikir. Ia sedang mempertimbangkan tawaran kedua Hiashi.
"Bagaimana?" Hiashi kembali bertanya.
"Etto…" Anak itu berbisik sedikit, "bagaimana jika Ojii-san aku undang saja dipesta ulang tahun Hima-chan besok malam di rumahku? Boruto tidak punya uang untuk mentraktir Ojii-san…" Anak itu berucap jujur, tak sadar jika semburat merah akibat malu ada di kedua pipi gembilnya.
Hiashi terdiam sejenak. Ia memikirkan tawaran lain dari anak itu. Sebenarnya, urusan bisnisnya di Konoha telah selesai tadi dan kini ia tinggal menempuh perjalanan pulang setelah membelikan Hanabi, anaknya, sebuah syal. Cukup lama ia memikirkan hal tersebut. 'Mungkin tidak ada salahnya aku menginap sekali lagi di hotel'.
"Hm, baiklah. Ojii-san akan datang ke rumahmu dan merayakan ulang tahun adikmu bersama-sama." Hiashi tersenyum.
"Yey! Aku akan menantimu, Ojii-san!" Anak kecil itu sangat gembira.
"Oh iya," Hiashi berucap sejenak. Anak kecil yang kegirangan tadi akhirnya kembali menatapnya, "siapa namamu, Nak?" Hiashi bertanya.
"Namaku Namikaze Borrllzt, etto, Tou-chan bilang Borrllzt, tetapi karena aku susah mengucapkannya, Ojii-san bisa memanggilku Namikaze Boruto!" Anak itu berseru senang.
"Hm, apa mungkin namamu Namikaze Bolt?" Hiashi mencoba menebak.
"Iya! Ojii-san benar sekali, ttebasa!" Anak bernama asli Bolt itu bersorak senang dan tak sadar jika kebiasaan yang diturunkan dari ayahnya terucap begitu saja.
"Ttebasa?" Hiashi mengangkat sebelah alisnya.
"Etto, dari kecil aku sudah mengucapkannya, Ojii-san, hehehe…" Bolt tersenyum malu-malu.
"Kau ini lucu sekali, Bolt-kun!" Hiashi refleks saja mengacak lembut surai Bolt.
Sedangkan Bolt hanya tersipu malu diperlakukan seperti itu. Anak itu hanya menyunggingkan senyum kecil. Bolt tidak tahu kenapa ia sangat menyukai jika Ojii-san asing itu mengacak lembut surai kuningnya. Ia jadi teringat dengan kebiasaan Tou-chan kebanggaannya yang selalu mengacak rambutnya dikala ayahnya itu sedang gemas padanya. Bolt berhenti sejenak. Ia memikirkan sesuatu. Ah, ternyata ia lupa untuk menanyakan nama Ojii-san yang baik hati itu.
"Ne, nama Ojii-san siapa?" Bolt bertanya dengan wajah yang super menggemaskan, menurut Hiashi.
"Nama Ojii-san, Hyuuga Hiashi. Bolt-kun bisa memanggilku Hiashi jii-san." Lagi, Hiashi mengulum senyum.
"Hiashi… jii-san?" Dengan malu-malu Bolt berusaha menggumamkan nama Ojii-san tersebut.
"Terdengar cukup baik." Hiashi lantas memberikan bungkusan berisi jepitan rambut. "Ini hadiah untuk adikmu, Bolt-kun…"
"Terima kasih, Hiashi jii-san!" Seru Bolt.
Bolt menerima bungkusan kecil itu. Tiba-tiba saja anak itu mendekat dan mencium pipi kanan Hiashi. Jujur saja, Hiashi sebenarnya sangat kaget dengan kecupan kecil yang diberikan oleh Bolt. Amethystnya membulat sempurna. Tubuhnya sedikit tegang. Bahkan ia masih bisa merasakan bagaimana rasanya kecupan kecil Bolt setelah anak itu menjauh darinya. Hiashi kini yang sudah mulai tenang, menatap Bolt teduh. Dapat ia lihat senyuman super lebar dari anak itu terpatri jelas. Oh, sungguh. Hiashi merasakan kehangatan saat melihat senyum ceria dari anak itu. Hal ini benar-benar membuatnya bingung untuk berpikir bahkan berkata. Ia, seorang Hyuuga Hiashi, mengakui bahwa ia menyukai senyum ceria anak kecil asing bernama Namikaze Bolt.
"Anoo," Bolt berucap lirih. "Boruto harus pulang sekarang, Hiashi jii-san. Kaa-chan sudah menunggu di rumah. Kalau Boruto tidak pulang, nanti Kaa-chan akan khawatir. J-Jadi, Boruto pamit pulang dulu, Hiashi jii-san." Bolt sedikit mengambil langkah mundur dan membungkuk penuh hormat pada Hiashi.
"Rumah Bolt-kun dimana? Hiashi jii-san antar pulang, ya?"
"Tidak perlu, Hiashi jii-san. Boruto bisa pulang sendiri. Boruto, Kaa-chan dan Tou-chan serta Hima-chan tinggal di apartemen Konoha lantai 3 nomor 305. Dekat dari sini. Nanti Hiashi jii-san harus datang loh ya. 'Kan tadi sudah janji sama Boruto!" Anak menggemaskan itu menatap serius Hiashi, namun ekspresi seriusnya yang terlihat lucu itu justru membuat Hiashi semakin merasa gemas.
"Hai, hai, Ojii-san mengerti."
Bolt mengangkat jemari kanannya. Keempat jarinya mengepal dan menyisakan jari kelingking mungil miliknya. Bolt tersenyum dan mengangkat tinggi-tinggi jari itu.
"Ayo berjanji kelingking, Hiashi jii-san!" Bolt menatapnya penuh pinta.
"Hai!" Hiashi menyambut jemari kelingking Bolt dan menautkan jari kelingkingnya sendiri.
.
.
.
.
.
.
KONOHA APARTEMEN, 18.30 P.M.
.
"Ittadakimasu..~"
Tiga orang yang berada dalam ruangan kecil itu mulai mengambil sumpit yang ada di depan mereka masing-masing. Salah seorang wanita dengan surai indigo mengambil semangkuk bubur hangat di depannya. Tangannya yang semula memegang sumpit, kini beralih memegang sendok kecil. Perlahan wanita itu menyendok kecil bubur tadi dan mendinginkannya sebentar. Tak lama, tangannya tergerak ke samping, dimana terdapat seorang balita perempuan tengah duduk.
"Hima-chan, buka mulutnya nak, aaaa…~" Ucap lirih wanita itu.
NYAM NYAM NYAM…
Seolah paham dengan apa yang wanita itu gumamkan, balita kecil tadi yang juga memiliki surai indigo sama seperti wanita itu mengunyah pelan bubur yang baru saja masuk dalam mulutnya. Manik safirnya tampak berkilau. Senyum kecil terpatri di wajah balita itu. Sang wanita yang mengamati ekspresi si balita, hanya tersenyum kecil. Ia pun kembali mengulangi gerakan yang sama dan menyuapi balita kecil itu dengan bubur hangat.
"Hima-chan makannya lahap sekali, ttebasa…"
Bocah kecil dengan surai kuning, yang diketahui bernama Namikaze Bolt, mengamati balita tadi sambil memakan makanannya. Lelaki dewasa yang memiliki paras serupa Bolt hanya tersenyum kecil. Sumpit sempat lelaki itu taruh hanya untuk mengusap lembut puncak kepala Bolt.
"Hahaha… Hima-chan perlu nutrisi yang banyak, Bolt!" Seru laki-laki itu.
"Tapi, ini berbeda, Tou-chan. Biasanya Hima-chan sangat rewel ketika makan…" Bolt memasukkan sesumpit nasi memenuhi mulutnya. "Swepwertwi kwelapwarwan…" Lanjut Bolt di sela-sela makannya.
"Hora, Bolt-kun. Sudah Kaa-chan bilang untuk telan dulu makananmu baru bicara…" Wanita tadi menatap Bolt, namun masih tidak meninggalkan acara menyuapi si balita kecil.
Namikaze Naruto, lelaki dewasa yang berada di antara wanita dan anak-anak kecil tersebut hanya tersenyum sambil memakan. Sesekali ia melirik ke tempat istrinya, Namikaze Hinata, yang sedang sibuk dengan balita kecilnya. Safirnya lantas melirik makanan di depan Hinata. Naruto melihat bahwa makanan istrinya sama sekali belum tersentuh. Seusai menelan makanannya sendiri, Naruto berucap kecil.
"Hinata-chan, sesekali makanlah makananmmu…"
"Ah, iya, Naruto-kun. Aku akan memakannya sebentar lagi." Hinata tersenyum padanya.
"Aduh, aduh, aduh, Tou-chan…" Bolt tiba-tiba menggeleng kecil, menirukan gaya tokoh anak TK yang sering ia tonton. "Kaa-chan 'kan sedang menyuapi Hima-chan. Harusnya Tou-chan menyuapi Kaa-chan dong, supaya Kaa-chan juga bisa ikut makan…" Bolt lantas melahap lauknya.
"Bolt-kun, jangan berkata yang aneh-aneh…" Hinata meliriknya sekilas.
"Hai, hai." Bolt mengangguk.
Naruto tersenyum kecil. Kembali ia memakan makanannya. Sejenak ruang makan tersebut menjadi hening. Bolt yang berada dalam situasi tersebut sedikit menggembungkan pipi. Inilah yang paling tidak disukai Bolt ketika makan malam. Ibunya akan sibuk dengan menyuapi adiknya, lalu ayahnya hanya diam sambil makan. Naruto yang melihat kerutan kecil di dahi Bolt hanya menaikkan sebelah alisnya. Menurut lelaki tersebut, jarang sekali ia melihat Bolt memasang wajah seperti itu. Ia pun berinisiatif untuk membuka obrolan.
"Ne, Bolt, bagaimana dengan sekolahmu hari ini?" Naruto menatapnya.
"Hmm," Bolt memasang wajah berpikir. "AH!"
Tiba-tiba saja Bolt berseru. Naruto hanya semakin menatapnya heran. Hinata pun sampai menoleh pada putra kecilnya tersebut. Safir Naruto sempat bertemu dengan amethyst Hinata. Seperti dapat membaca tatapan dari suaminya, Hinata hanya mengendikkan bahu singkat. Keduanya lantas menoleh pada Bolt.
"Ada apa, Bolt-kun?" Tanya Hinata.
"Etto, tadi di sekolah Ayame-sensei memberi kami kelinci. Sensei bilang kami harus merawatnya. Kelincinya sangaaat lucu. Oh, warnanya juga putih. Karena kelas Boruto yang merawatnya, kami sepakat menamainya Shiro!" Bolt bercerita penuh binar. Ia pun menatap ibunya, "ne, ne, ne, Kaa-chan!"
"Hai?" Hinata menatapnya lembut.
"Besok saat mengantar Boruto sekolah, Kaa-chan harus melihat Shiro yah!" Bolt terlihat sangat berharap.
"Baiklah, Kaa-chan akan melihatnya besok. Dan Hima-chan juga pasti akan menyukai Shiro sama seperti Bolt-kun. Ne, Hima-chan?" Hinata seolah menanyakan pendapat pada Himawari, adik Bolt.
"Bwawawa…" Balita kecil itu hanya menggumam namun wajahnya tampak senang.
"Waah… Shiro pasti sangat lucu, ya Bolt. Kau terlihat sangat menyukainya." Naruto menatap wajah putranya.
"Tentu saja, ttebasa!" Bolt menatap ayahnya dengan ceria. "Bulu Shiro juga sangaaaaat lembut. Seperti permen kapas yang Tou-chan belikan dulu!" Bolt berseru dan jemari-jemari mungilnya tidak berhenti bergerak sepanjang ceritanya.
"Hmm, Tou-chan jadi penasaran dengan Shiro. Ne, Bolt, bagaimana jika besok Tou-chan saja yang mengantarmu?" Naruto memberikan ajakan pada Bolt.
"Tidak mau, ttebasa!" Bolt memalingkan muka.
"Eh?" Naruto terheran. "Kenapa begitu, ttebayo?" Naruto tampak sedikit kecewa karena ajakannya ditolak Bolt.
"Karena Tou-chan pasti nanti akan bangun terlambat dan tidak jadi mengantar Boruto ke sekolah!" Bolt masih memalingkan mukanya, cemberut.
"E-Eeeeeh?" Naruto hanya sweatdrop.
"Ma, ma, Bolt-kun, begini saja, em, bagaimana jika Tou-chan dan Kaa-chan serta Hima-chan mengantar Bolt-kun ke sekolah?" Hinata kini mulai angkat bicara.
"Eh, jangan Kaa-chan!" Bolt langsung menoleh cepat dan memasang wajah menolak pada ibunya.
"Eh, kenapa jangan?" Hinata kini penasaran.
"Nanti Boruto diejek Chouchou dan Yan di sekolah karena diantar Tou-chan dan Kaa-chan. Boruto malu…" Semburat kecil muncul di kedua pipi Bolt.
Kedua orang dewasa itu terdiam sejenak. Naruto yang mendengar penuturan dari jagoan kecilnya kini mulai merasa geli. Ia pun sedikit bergetar akibat menahan tawa yang sebentar lagi meledak. Hinata yang sebelumnya juga sempat cengo dengan ucapan Bolt kini juga merasa geli. Menurutnya, anak laki-lakinya ini sangat lucu.
"Hmmph… Hwahahaha…." Naruto pun akhirnya tertawa lepas.
"Hihihi…" Hinata juga akhirnya tertawa.
"J-Jangan tertawa dong…" Bolt kini sudah cemberut karena ia ditertawakan oleh ibu dan ayahnya.
"Ha… ha… ha… haduuh, Bolt, kau ini sungguh lucu sekali…" Naruto kini sudah mulai berhenti tertawa. "Abaikan saja ejekan dari teman-temanmu, Bolt. Kau tidak perlu malu." Naruto mengelus pelan puncak kepala Bolt.
Bolt tidak menyahut namun bibirnya yang memanyun cukup sebagai bukti bahwa anak kecil itu kini sedang kesal dan cemberut. Hinata yang telah selesai menyuapi Himawari, kini memposisikan duduknya dengan benar. Ditatapnya lekat-lekat Bolt yang masih ngambek tersebut. Senyum kecil terangkat di sudut bibirnya.
"Bolt-kun, sudah ya, jangan ngambek lagi. Benar apa yang dikatakan Tou-chan. Bolt-kun tidak perlu malu hanya karena kami mengantarmu. Baiklah, kalau Bolt-kun tidak mau malu, besok Kaa-chan saja deh yang mengantar Bolt-kun ke sekolah…" Hinata berusaha menghibur Bolt.
"Benarkah?" Bolt kini menatap Hinata dengan pandangan ragu.
"Iya, Kaa-chan dan Hima-chan akan mengantar Bolt-kun." Hinata tersenyum lembut.
Bolt yang mendengarnya kini juga ikut tersenyum. Dalam hati, Bolt merasa sangat senang sekali karena ibunya begitu pengertian terhadapnya. Tidak seperti ayahnya, yang Bolt rasa kurang peka. Meskipun Bolt berpikiran seperti itu, tetapi ia sangat menyayangi ayahnya. Baginya, ayahnya sudah seperti sosok pahlawan dalam hidupnya. Ayahnya yang keren, baik dan juga peduli membuatnya kagum. Begitu juga dengan ibunya. Menurut Bolt, ibunya adalah wanita nomor satu yang menempati seluruh peringkat wanita paling baik di dunia. Bolt benar-benar bersyukur dengan memiliki ibu seperti Hinata. Ia yang kini juga memiliki adik, juga sangat menyayangi adiknya. Meskipun adiknya masih akan menginjak usia dua tahun esok.
Membicarakan adiknya membuat Bolt teringat pertemuannya tadi sepulang sekolah dengan kakek tua yang baik hati. Bolt yang teringat bahwa ia akan mengundang kakek tersebut, cepat-cepat menatap ayah dan ibunya.
"Kaa-chan, Tou-chan, etto…" Bolt sedikit gugup. "Besok kita tetap merayakan ulang tahun Hima-chan, bukan?" Ditatapnya bergantian ayah dan ibunya.
"Tentu saja kita tetap merayakannya, Bolt." Naruto menyahut. "Kenapa?"
"Begini, Boruto sepulang sekolah tadi mau membeli hadiah untuk Hima-chan. Tapi uang Boruto kurang. Terus ada kakek baik hati yang membelikannya untuk Boruto. Jadi, Boruto mengundang kakek baik itu untuk ke rumah dan merayakan ulang tahun Hima-chan bersama kita." Bolt menarik nafas sejenak. "J-Jadi, t-tidak apa-apa 'kan Boruto mengundang kakek tersebut tanpa memberitahu Kaa-chan dan Tou-chan dulu?" Bolt kini menatap takut-takut pada kedua orang tuanya.
"Ya ampun, Bolt. Kau mengundang orang asing? Haah…" Naruto menghela nafas.
"T-Tapi kakek itu baik sekali, Tou-chan. D-dan Boruto sudah dibelikan hadiah untuk Hima-chan. Boruto juga sudah berjanji padanya…" Bolt kini menunduk.
Hinata yang menatap anak laki-lakinya menunduk lesu tersebut hanya terdiam. Amethystnya kini melirik ke arah Naruto. Sebelum Naruto sempat berucap, Hinata memberi kode padanya berupa gelengan kepala. Naruto yang melihat istrinya tersebut memberi tanda, akhirnya hanya mengangguk. Hinata kembali menatap anaknya.
"Yah, karena Bolt-kun sudah berjanji pada kakek tersebut, Kaa-chan rasa tidak ada salahnya jika kita mengundangnya." Hinata berucap kalem.
"H-Hei, Hinata-chan, kita tidak mengenal orang tersebut, bukan? Bagaaimana jika kakek tersebut hanya orang jahat yang menyamar?" Naruto menatap istrinya serius.
"Hmm, tidak apa-apa, Naruto-kun. Nanti kalau semisalnya ada apa-apa, kita tinggal lapor polisi, bukan?" Hinata mengerlingkan sebelah matanya.
"T-Tapi…" Naruto masih berusaha menolak.
"Kumohon, Tou-chan…" Bolt menyela dan menatap Naruto penuh harap.
Safir indah Naruto menangkap pasang mata dari anak dan istrinya kini sedang menatapnya penuh harap. Dan inilah kelemahan ayah dua anak tersebut. Ia selalu tidak bisa melawan atau bahkan menolak permintaan dari keluarga kecilnya jika mereka sudah mengeluarkan puppy eyes mereka. Dengan berat hati dan helaan nafas singkat, Naruto pun menyadari jika ia tidak memiliki pilihan lain.
"Baiklah, Bolt boleh mengundang kakek tersebut. Dan, Bolt, jangan pernah mengundang orang asing lagi lain kali. Ingat! Ini yang terakhir kalinya loh ya!" Tutur Naruto.
"Hai, Otou-chan!" Bolt berseru dengan mengangkat salah satu tangannya, memberikan pose hormat ala militer.
"Sudah, lanjutkan makanmu…"
Bolt menurut dan ia menghabiskan makanannya. Hatinya sangat senang malam itu.
.
.
.
.
.
.
KONOHA APARTEMEN, 19.00 P.M.
.
"Ck! Hiashi jii-san telat, ttebasa!" Bolt bergumam sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Hinata yang telah mempersiapkan kue dan beberapa lilin kecil di atas meja makan, menoleh sekilas ke arah Bolt yang sedang berdiri gelisah di dekat pintu yang menghubungkan ruang makan dengan ruang keluarga. Senyum kecil terpatri di wajah Hinata. Ia pun meninggalkan sejenak kue ulang tahun dan lilin-lilin tersebut untuk menghampiri Bolt.
"Bolt-kun…" Hinata menepuk pelan salah satu bahu Bolt dari belakang.
"Kaa-chan?!" Bolt menoleh dengan cepat.
"Kenapa berdiri saja di sini? Ayo bantu Kaa-chan mempersiapkan kuenya…" Hinata menatapnya lembut.
"Em, etto, Boruto menunggu Ojii-san yang baik hati itu, Kaa-chan…" Bolt menatap ibunya.
"Hm," Hinata memangku dagu dengan salah satu tangannya, "mungkin Ojii-san itu sedang terkena macet. Sudah, ayo bantu Kaa-chan. Nanti kalau Ojii-san datang bisa menekan tombol bel di luar pintu, bukan?" Hinata mengulas senyum lembut, berusaha menenangkan anaknya yang tampak gelisah itu.
Bolt terdiam sejenak. Anak itu lantas menghela nafas pelan.
"Baiklah…" Bolt akhirnya menurut.
Hinata dan Bolt kini kembali ke ruang makan. Hinata menyiapkan beberapa piring dan sendok sedangkan Bolt membantu menancapkan lilin-lilin penuh warna-warni di atas permukaan kue. Safir anak laki-laki itu terlihat sangat senang melihat kue berhiaskan cream dan buah blueberry tersebut telah siap. Selanjutnya, ia dan ibunya hanya tinggal menunggu ayahnya yang masih mandi dengan Himawari. Tentu saja, ia juga menunggu kedatangan Hiashi jii-san untuk menghadiri pesta ulang tahun adiknya.
"Yeaaaay! Hima-chan kini sudah siaaaap!"
Terdengar suara Naruto disertai langkah besarnya berjalan menuju ruang makan. Tak lama, Bolt dan Hinata sudah menangkap sosok Naruto yang sedang menggendong Himawari di puncak kepalanya. Seringai dan wajah senang tak lepas dipancarkan oleh Naruto. Lelaki dewasa itu kini mendatangi anak dan istrinya. Terlihat sekali kebahagiaan terpancar di wajah Hinata dan Bolt melihat kedatangan Naruto dan Himawari. Naruto lantas meraih Himawari dan berganti menggendongnya di depan dada. Safir indah Naruto yang melihat persiapan pesta kecil ulang tahun Himawari, tersenyum kecil.
"Waaah… Hima-chan sangat wangi, ttebasa!" Bolt berseru senang. "Tou-chan pasti membersihkan semua badan Hima-chan ya!"
"Tentu saja, ttebayo!" Naruto menyahut. "Untuk itu Tou-chan dan Hima-chan menghabiskan waktu cukup lama saat berendam dan mandi. Ne, Hima-chan?" Naruto menatap Himawari.
"Bwawawakyaaa…" Himawari berceloteh kecil, terlihat sangat gembira.
"Kita anggap saja Hima-chan menjawab iya, hahahaha…." Naruto tertawa.
"Naruto-kun, sini biar Hima-chan kugendong…" Hinata menawarkan diri pada Naruto.
"Tidak perlu, Hinata-chan. Lebih baik kau persiapkan korek apinya saja. Kita mulai acara ini." Naruto tersenyum lembut pada istrinya.
"Baiklah…"
Hinata pun mengambil sebuah korek api di dekat kue. Perlahan ia mengambil satu batang korek api dan menggesek pelan pemacu apinya. Sebuah percikan api keluar. Hinata pun dengan segera menyalakan lilin-lilin tersebut satu persatu. Semua wajah di sana tampak bahagia. Hanya saja, salah satu anggota Namikaze tersebut terlihat gelisah. Berkali-kali Namikaze Bolt melirik pintu tempatnya berdiri tadi untuk menunggu kedatangan seseorang. Naruto yang berdiri di sampingnya hanya menatapnya heran. Ayah kebanggaan Bolt itu pun bertanya lirih pada putra laki-lakinya.
"Ada apa, Bolt?"
"Eh?!" Bolt menoleh cepat. "B-Boruto hanya sedang menunggu Hia–"
.
TING TONG TING TONG!
.
Suara bel pintu apartemen terdengar. Bolt tidak melanjutkan ucapannya. Semua orang dalam ruangan itu menatap pintu dapur. Hinata yang hendak melangkahkan kakinya untuk melihat kedatangan tamu tersebut, terhenti langkahnya ketika Bolt melarangnya membuka pintu.
"Biar Boruto saja, ttebasa!" tawar Bolt. "Itu pasti Ojii-san!"
Belum sempat kedua orang dewasa itu menanggapi ucapan Bolt, anak kecil yang baru saja memasuki tingkat pertama sekolah taman kanak-kanak itu sudah melesat pergi. Bolt berlari secepatnya dan menghilang di balik pintu dapur. Hinata dan Naruto saling memandang dalam diam. Tak lama sebuah senyum mengembang di wajah dua orang tersebut. Meskipun berbeda fisik, namun batin mereka berdua saat ini sedang memikirkan tingkah laku Bolt yang tidak sabaran dan membuat anak kecil itu terlihat lucu dan menggemaskan.
"Ojii-san! Kau sudah datang, ttebasa!" Terdengar seruan senang dari Bolt.
"Iya, Ojii-san sudah datang…" Suara berat lelaki memasuki indra pendengaran Naruto dan Hinata.
"Ayo! Ayo! Acaranya sudah mau dimulai!"
Suara langkah beriringan terdengar. Langkah kaki dari Bolt dan si kakek terasa bisa memenuhi ruang makan tersebut. Sesekali terdengar rintihan kecil dari si kakek untuk Bolt agar tidak menarik dengan kuat jemarinya. Naruto dan Hinata saling menatap. Langkah kedua orang tersebut semakin mendekat. Bayang-bayang Bolt dan lelaki tua itu sudah nampak di ambang pintu dapur. Tak lama, anak yang menyerupai Naruto tersebut sudah terlihat. Wajah senangnya terpampang jelas. Salah satu tangannya terlihat sedang menarik sesuatu. Hingga–
.
.
PRAAK!
.
.
Korek api yang dipegang Hinata terjatuh. Isinya berhamburan di sekitar kakinya dan kaki Naruto. Tangannya bergetar. Maniknya membulat sempurna. Kaki tempatnya untuk berpijak seolah-olah terasa lemas. Tak kuat, Hinata sedikit oleng dan menubruk bahu Naruto. Manik safir Naruto yang sebelumnya juga membulat besar kini teralihkan dengan Hinata yang hampir terjatuh di sampingnya. Salah satu tangan kekar Naruto yang bebas menangkap tubuh Hinata agar istrinya itu tidak terjatuh. Himawari yang berada dalam gendongan Naruto hanya menatap heran ibu dan ayahnya. Kedua orang dewasa itu menatap tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapan mereka saat ini. Seorang lelaki paruh baya yang juga memiliki manik amethyst sama seperti Hinata. Wajah tegas dan terlihat dingin dari lelaki tua itu, justru kini menatap teduh Bolt, anak mereka.
"O-Otou-sama…" Hinata berucap lirih.
Lelaki paruh baya tadi berhenti menatap Bolt. Badannya seketika tegang saat mendengar suara wanita yang sangat jelas-jelas ia kenal. Bergerak pelan untuk menegapkan badannya, lelaki tersebut perlahan menoleh untuk mencari sumber suara tersebut. Manik bulan laki-laki itu terbelalak kaget saat menyapu seluruh area ruangan dapur dan menemukan dua orang dewasa dan seorang balita sedang menatapnya. Hyuuga Hiashi masih menatap tak percaya dengan dua sosok yang ia kenal. Bukan dua, tetapi salah satunya. Ia mengenal betul sosok wanita yang terlihat tegang itu. Bibirnya bergetar. Suaranya sedikit tercekat. Dengan menarik nafas, Hiashi mencoba tenang.
Bolt yang sedari tadi mengamati wajah keterkejutan dari semua orang dewasa di situ, hanya bisa menatap berkali-kali wajah Hiashi dan wajah kedua orang tuanya. Safir Bolt sedikit menampakkan keheranan. Merasa tiba-tiba suasana dalam ruangan yang jadi beku, Bolt pun berantusias untuk mengenalkan kakek baik hati yang baru saja ia seret.
"Kaa-chan, Tou-chan, perkenalkan ini adalah Hyuuga Hiashi jii-san, kakek yang menolongku!" Bolt tersenyum lima jari ke arah kedua orang tuanya.
.
.
.
.
.
.
Hinata dan Naruto bertepuk tangan kecil setelah menanyikan lagu ulang tahun untuk Himawari. Bolt dan Himawari meniup lilin-lilin kecil hingga tak tersisa. Hyuuga Hiashi terdiam sambil menatap wajah ceria Bolt dan adiknya, Himawari. Manik bulan tersebut kini memandang dua orang dewasa di belakang Bolt dan Himawari. Terlihat sangat jelas saat ini, sang wanita begitu tampak bahagia dan seorang laki-laki dewasa tengah merangkulnya. Senyum dan tawa tak lepas dari wajah cantik wanita itu saat ia mendapat kecupan dari Bolt dan Himawari. Bagi, Hiashi, ia belum pernah melihat kebahagiaan alami dari wajah wanita itu. Ya, wanita yang dulu sempat ia usir dari rumahnya karena aib yang dibawa wanita tersebut. Wanita yang kini terlihat dewasa dan bijaksana. Dan wanita yang terlihat bahagia. Wanita yang dirindukan oleh Hiashi. Hyuuga Hinata, anak keduanya.
"–jii-san! Hiashi jii-san!" Bolt mengguncang pelan salah satu bahu Hiashi, menyadarkan laki-laki tua tersebut dari lamunannya.
"Oh, Bolt-kun, ada apa?" Hiashi terkesiap.
"Jii-san jangan hanya duduk di sini dong. Ayo kita foto bersama! Tou-chan sudah menyiapkan kameranya!" Jemari mungil Bolt menarik salah satu jari Hiashi. Mengajaknya untuk lebih mendekat ke arah keluarga kecil Bolt.
Hiashi sempat menarik kembali jemarinya. Bolt pun menatapnya heran. Bagi Hiashi, melihat dan mengikuti acara perayaan ulang tahun Himawari di jarak sedemikian sudah lebih cukup baginya. Duduk di kursi paling pojok dan jauh jangkauannya dari meja makan yang cukup berisikan enam orang. Menurut Hiashi, ia merasa tidak pantas jika harus ikut bergabung dengan keluarga kecil bocah Namikaze tersebut. Ia merasa dirinya tidak patut bersanding dan mendapat kebahagiaan sama seperti yang dialami oleh keempat orang di ruangan itu. Hiashi merasa hina jika harus mengikuti sorak-sorai gembira keluarga kecil tersebut. Bukan karena statusnya yang tinggi sebagai salah satu kepala keluarga ternama di Suna, tetapi sebagai seseorang yang telah memberikan penderitaan bagi satu-satunya wanita dewasa di situ. Ia merasa hina karena dulu telah mengusir anak gadisnya tersebut, Hyuuga Hinata. Ah, bukan, Namikaze Hinata.
"O-Ojii-san di sini saja, ya…" Hiashi menolak halus.
"Eeh?! Kenapa?" Bolt menatapnya heran.
Sikap keheranan yang ditimbulkan oleh Bolt menarik perhatian Hinata dan Naruto. Kedua pasangan dewasa tersebut menatap heran Hiashi dan Bolt. Sorot mata mereka yang masih canggung dengan kehadiran Hiashi terlihat sangat jelas. Hinata sedikit menatap takut-takut pada laki-laki tua yang dulu sempat mengakuinya sebagai anak. Sedangkan Naruto, menatap sendu pada Bolt yang masih mendesak laki-laki tua, yang seharusnya menjadi ayah mertuanya, di sampingnya untuk mengajak laki-laki itu ikut berfoto.
"B-Bolt-kun…" Hinata berusaha memanggil.
Bolt menoleh. Hiashi pun mau tak mau juga ikut menoleh.
"K-Kalau Hiashi jii-san tidak m-mau, tidak perlu dipaksa, bukan?" Hinata berusaha berkata bijak. Dan sayangnya semua orang di sana, kecuali Bolt dan Himawari, menyadari terdapat nada getir di dalam ucapannya.
"T-Tapi Kaa-chan, nanti tidak seru dong kalau Hiashi jii-san hanya duduk saja!" Bolt kembali menoleh pada Hiashi. "Ayolaah jii-san! Sekali saja! Ayolah… ayolah…" Bolt bergelanyut manja dengan mengguncang-guncangkan lengan Hiashi.
"I-Itu…"
"Berfoto dengan kami walaupun sekali saja tidak apa-apa, Hyuuga-san."
Suara baritone dari Naruto tiba-tiba terdengar. Hiashi dan Bolt menoleh ke arah lelaki Namikaze yang menggendong Himawari. Sorot teduh safir laki-laki itu menatap lurus amethyst Hiashi. Tak terlihat keraguan dalam sorot mata indah tersebut. Yang ada kini hanyalah tatapan penuh keteduhan dan sedikit sendu, seolah memohon pada Hiashi untuk menerima tawaran darinya. Hiashi mengalihkan pandangannya kini pada Bolt yang masih menatapnya penuh memohon. Tak tega dengan wajah memelas Bolt, Hiashi pun menghela nafas kecil dan mengedipkan mata sejenak. Setelah membukanya, ia tersenyum kecil.
"Baiklah…" Hiashi berucap pelan.
Hinata yang satu-satunya wanita dewasa di ruangan itu menoleh sekilas pada Naruto yang ada di sampingnya. Iris bulannya sudah melebar tak percaya setelah mendengar kalimat kecil yang baru saja keluar dari bibir Hiashi. Manik secantik bulan itu perlahan mulai berkaca-kaca. Meski begitu, Hinata segera menggerakkan jemarinya untuk menyapu buliran air mata yang hampir merembes keluar. Tak ingin momen bahagia ulang tahun Himawari diikuti dengan tangis kecilnya. Hinata tidak ingin anak-anaknya melihat betapa terharunya ia saat ini setelah mendengar ucapan kecil dari Hiashi tadi. Aah, biarlah ia merasa senang untuk kebahagiaan kecil yang bersifat sementara ini.
.
.
.
.
.
.
Suara gelak tawa lelaki kecil berumur lima tahun serta kicauan kecil balita yang baru saja memasuki usia dua tahun itu menggema di seluruh area ruang keluarga apartemen kecil kediaman Namikaze. Terlihat sekali bocah bernama Bolt saat ini sedang bergurau bersama Himawari, balita kecil, disertai beberapa mainan yang berserakan di sekitar mereka. Melihat keceriaan bocah-bocah kecil itu, Hiashi yang sedari tadi duduk di salah satu sofa ruang keluarga hanya mengulum senyum kecil. Amethystnya tidak lepas dari pandangan kebahagiaan yang dipancarkan oleh anak-anak itu. Hingga ia sedikit menoleh saat sebuah jemari lentik milik perempuan telah meletakkan secangkir teh hangat di depan mejanya. Hiashi menoleh. Mendapati Hinata sedikit tersenyum namun kentara sekali rasa takut dan ragu juga terbesit di mimik wajahnya.
"S-Silahkan tehnya, H-Hyuuga-san…" Hinata masih berdiri di samping sofa tersebut.
"Terima kasih, Namikaze-san…" Hiashi menyahut lirih.
Perhatian kedua orang dewasa yang sama-sama memiliki manik amethyst itu sedikit teralihkan saat mendengar suara Naruto yang baru saja bergabung dengan Bolt dan Himawari. Dari sorot mata mereka masing-masing, terlihat Naruto kini sedang bermain dan sesekali menggelitiki anak-anak kecil tersebut. Suara gelak tawa Naruto, Bolt dan Himawari bahkan bercampur jadi satu. Tak lama, terlihat sekali bahwa saat ini mereka bertiga sedang bermain polisi dan penjahat. Tentunya, Naruto sebagai penjahatnya dan Bolt sebagai sang polisi yang terlihat sedang melindungi Himawari. Hinata tersenyum dan sesekali terkekeh kecil melihat kelakuan lucu dari ketiga anggota keluarganya yang sangat ia cintai. Tak mengetahui jika Hiashi sedari tadi mengamati dirinya.
"Mereka telah tumbuh sebesar ini…"
Hinata menghentikan tawanya saat mendengar beberapa kata keluar dari bibir Hiashi. Mata cantiknya pun beralih dan menatap ragu pada Hiashi. Tak tahu harus menjawab apa, Hinata hanya mengiyakan saja apa yang baru saja dikatakan oleh Hiashi tersebut.
"Melihat kau yang bisa tertawa lepas seperti ini, kurasa kau menyukai kebersamaanmu bersama mereka, bukan?" Hiashi berucap dan tidak mengalihkan pandangannya dari Bolt yang masih bermain dengan Naruto dan Himawari.
"H-Hai…" Hinata menjawab lirih. "B-Bagiku, mereka bertiga adalah satu-satunya hal yang paling berharga di dunia ini. Tentu saja aku sangat menyukai mereka. Mereka adalah keluarga kecil yang selalu memberikan kebahagiaan untukku…" Hinata sedikit menunduk saat mengatakan penjelasan tersebut.
Hiashi terdiam sejenak. Mendengar penuturan dari Hinata membuatnya berusaha untuk mencerna kalimat demi kalimat sederhana tersebut. Ia pun tergerak untuk meraih secangkir teh hangat yang baru saja disodorkan oleh Hinata. Aroma teh bercampur wanginya bunga melati membuat Hiashi tersenyum kecil saat menghirup aroma tersebut. Perlahan ia menyeduh teh tersebut. Sedikit ia meneguk cairan hangat nan manis itu. 'Aroma serta rasanya tidak berubah sama sekali…'
"Ternyata masih sama…" Hiashi bergumam.
"Eh?" Hinata menatapnya. "A-Apa tehnya tidak enak?"
"Tidak." Hiashi menaruh cangkir tersebut. "Rasanya masih tetap sama seperti buatanmu yang selalu kau berikan padaku dulu. Tidak terlalu panas, tidak terlalu manis namun aroma teh bercampur dengan bunga melati yang terasa begitu kental. Sepertinya keahlianmu membuat teh masih belum berubah, Hinata…"
"…"
"Aku sempat berpikir mungkin tidak akan bisa menikmati teh buatanmu lagi. Namun, saat ini kurasa aku harus menyangkal pemikiran tersebut, bukan? Terlebih…" Hiashi mengalihkan pandangannya dan berfokus menatap Bolt, "anak itu adalah anak yang lucu namun terlihat berkemauan kuat dan teguh. Aku tidak tahu jika ia akan tumbuh menjadi anak yang mengagumkan seperti itu…"
"…"
Hinata masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas ucapan Hiashi. Jemarinya yang memegang nampan hanya semakin meremas kuat ujung nampan. Bibirnya sedikit bergetar. Matanya mendadak terasa panas. Ia tahu, jika ia berdiam diri seperti itu cepat atau lambat matanya akan kembali terisi dengan bulir-bulir air mata.
"Harusnya dulu aku tidak menyuruhmu untuk membuangnya, jika tahu ia akan mengagumkan seperti sekarang ini, Hinata…" Hiashi masih menatap Bolt.
"H-Hyuuga-san…" Hinata hanya bisa berbisik lirih.
"Yah, kurasa penyesalan memang selalu datang terlambat, Hinata. Sama seperti apa yang selalu diucapkan oleh ibumu dulu. Dan kurasa…" Hiashi berhenti sejenak, "aku mungkin baru merasakan hal yang bernama penyesalan tersebut, hahahaha…" Lelaki tua itu tertawa hambar demi menutupi kecanggungannya tersebut.
Hinata menatap Hiashi cepat. Tak peduli dengan bulir air mata yang jatuh bersamaan dengan gerakan kepalanya yang terangkat. Hiashi, lelaki tua yang juga sampai sekarang masih ia hormati sebagai ayahnya, tadi mengatakan apa? Penyesalan? Itu pasti tidak mungkin. Bagi Hinata, selama ia hidup dua puluh tahun bersama ayahnya, ia tidak pernah mengenal yang namanya penyesalan dalam kamus hidup sosok Hyuuga Hiashi. Namun sekarang rasanya ia–
"Maafkan aku, Hinata…"
"EH?!"
Kalimat kecil yang keluar dari bibir Hiashi membuat Hinata melebarkan mata dan bibirnya terkatup rapat. Badannya sedikit tegang. Jantungnya juga berpacu cepat. Dalam hati, wanita itu menyangkal dan beruangkali menyangkal hal yang baru saja didengarnya. Hyuuga Hiashi dan juga sosok ayah yang masih ia kagumi dan hormati, baru saja mengucap kata maaf? Benarkah itu? Apakah Hinata saat ini sedang tidak bermimpi? Atau mungkin saat ini ia sedang berfantasi dengan halusinasinya saja? 'Kumohon, seseorang… katakan padaku bahwa ini bukan mimpi…'
Hiashi pun bangkit dari duduknya. Lelaki itu menoleh sekilas pada Hinata yang berdiri di dekatnya. Hiashi tersenyum kecil. Hinata semakin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 'Ini bukan mimpi!'
"Terima kasih karena sudah mengundangku. Kue dan teh buatanmu sangat enak. Dan juga…" Hiashi merubah tatapannya menjadi teduh. "Maafkan perbuatan lelaki tua ini lima tahun yang lalu, Hinata…"
Hiashi pun berbalik. Meninggalkan Hinata yang berdiri bergetar setelah mendengar ucapan ayahnya. Rasanya ia hampir tidak kuat untuk berdiri. Ditatapnya punggung Hiashi yang perlahan menjauh dan berjalan mendekati keberadaan Naruto, Bolt dan Himawari. Hinata pun mendengar jika ayahnya tersebut berpamitan pada anak laki-lakinya. Dengan jelas ia melihat Bolt yang tampak kecewa karena Hiashi berniat untuk undur diri. Hiashi mengulum senyum maklum melihat Bolt yang memasang wajah kecewa. Jemari renta tangannya terulur untuk mengacak pelan puncak kepala Bolt. Dengan berat hati, Hinata bisa mendengar jika Bolt pun akhirnya merelakan kepergian lelaki tua tersebut. Dan kini, dalam pandangan matanya, ia melihat Bolt mengantar Hiashi menuju pintu depan. Menghilang di balik pintu utama kediaman Namikaze.
"Hiks…"
Hinata yang tak kuat menahan diri lebih lama, hanya bisa menjatuhkan diri. Nampan yang ada di tangannya sudah jatuh begitu saja. Naruto yang mendengar kegaduhan tersebut menoleh, mendapati istrinya jatuh terduduk di samping sofa. Ia pun berdiri meninggalkan Himawari yang duduk sendirian bersama mainannya.
"Hinata-chan!"
"Hiks… hiks… N-Naruto-kun…"
Hinata tidak bisa berucap apa-apa lagi. Dia hanya bisa menghamburkan diri ke dalam dekapan Naruto. Lelaki dewasa itu pun hanya mampu memeluk erat Hinata. Memberikan ketenangan pada wanita yang juga istrinya itu sebuah pelukan disertai usapan lembut pada surai indigonya. Melalui air mata yang membasahi kemeja dan dada bidangnya, Naruto tahu bahwa saat ini hanya pelukan hangat saja yang mampu menenangkan Hinata yang terharu.
Ya, Naruto tidak salah kira istrinya itu sedih. Karena ia sedari tadi tahu. Ia tahu bahwa sebelumnya lelaki tua bernama Hyuuga Hiashi itu telah meninggalkan sebuah kata-kata berharga bagi istrinya, Namikaze Hinata.
'Terima kasih sudah mau datang, Hiashi Tou-san…'
.
.
.
.
.
.
THE END
.
.
.
.
.
.
OMAKE
.
Hinata mengambil sampah yang berada di sudut ruang makan. Pagi-pagi sekali ia telah membereskan dapur dan ruangan lainnya. Dan kini ia pun hanya tinggal mengakhiri kegiatan bersih-bersihnya dengan membuang sampah. Hinata berjalan menuju pintu apartemen. Setelah membukanya, ia pun mengernyitkan alis. Sebuah amplop terjatuh tepat saat ia membuka pintu. Hinata menaruh sebentar sampah tersebut. Jemarinya berganti meraih amplop polos berwana putih tersebut. 'Surat?'
Perlahan ia membukanya dan membaca isi di dalam surat tersebut. Perlahan senyum kecil tampak menghiasi wajahnya.
.
.
.
.
Hinata,
Lain kali buatkan teh untukku dan juga ajak Bolt dan Himawari serta suamimu ke Suna,
Hanabi pasti akan senang…
.
.
.
Sign, Hyuuga Hiashi
.
.
.
.
.
.
.
.
Jeng jeng jeeeeng…
Neko kembali hadir dengan bawain sekuel 'Maafkan aku' seperti janji neko dulu. Yah, pada fic kali ini neko memang sengaja mengambil rate T dikarenakan neko hanya ingin fokus utama dari fic ini condong ke drama dan family nya, hehehe…
Dengan begitu, lunas deh utang neko, hwahahaha… :D
Akhir kata, terima kasih telah membaca fict 'Maafkan aku' dan 'Terima Kasih, Ojii-san' dan etto… neko tunggu buat reviewnya yaaah…
Jaaa neee~!
