'Mana adalah energi. Energi ada dalam diri setiap orang.
Mana tidak terbingkai, tidak terbatas.
Mana tidak dapat dihilangkan, namun dapat diciptakan dan dimanfaatkan.
Energi mana itu absolut dan akan terus ada saat dibutuhkan.
Hanya satu kelemahan mana,..- yaitu penggunanya.'
-.~.-
Entah berapa menit aku terdiam menatap sosok didepanku yang sibuk merobek helaian putih kekuningan itu menjadi potongan kecil. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, namun menatapnya mampu membuatku berteriak ngeri.
"Ma-mama. buku itu...,-"
"Kamu benar-benar nakal, Ran. Berapa kali kubilang untuk jangan pernah membaca buku ini lagi?" senyum terukir di wajahnya yang cantik, namun aku cukup mengerti maksud dibalik senyuman itu.
Aku menunduk, tidak berani menatap wajahnya. Tepatnya, aku tidak cukup kuat untuk menatap wajahnya dengan tanpa ekspresi seperti biasanya.
Sosok di depanku adalah seorang istri bangsawan kaya di Saint Haven. Rumahnya besar dan megah. Nama keluarganya terkenal dan harum di kalangan keluarga kerajaan Saint Haven. Anggota keluarga selalu memakai pakaian berenda mewah dilengkapi perhiasan berkilau di leher dan tangan.
Harus kuakui.. Dialah ibu kandungku.
Mama sudah selesai dengan kesibukannya. Ia mengibas serepihan kertas yang masih menempel di gaunnya ke tubuhku yang berlutut di dekat kakinya. Dia sengaja, aku tahu itu.
Aku mengambil sepotong kertas di lantai. Dari sebuah buku tua yang tebal dan penuh ilmu, kini tinggal potongan kecil yang mustahil untuk disusun ulang dan dibaca tulisannya.
"Ran. Selama kau tinggal di rumah ini dan menyandang nama keluarga ini, kau harus mengikuti semua perintah Mama," katanya sepertinya masih tersenyum. Aku terus menunduk. Tubuhku bergetar hebat, merasa betapa menusuknya setelah kehilangan sesuatu yang berharga.
"Kenapa.. Mama? Kenapa aku tidak boleh belajar tentang kekuatan mana dan dunia di luar sana...?" tanyaku lirih. Sebisanya aku menahan air mata, tidak menunjukkan betapa hancurnya aku saat ini karena hanya akan memperburuk situasi.
Suara pukulan terdengar menggema di ruangan luas nan sepi. Kurasakan tangan Mama menampar pipiku. Perih.. sakit sekali... Air mata yang kubendung kini tak dapat ditahan dan jatuh membasahi lantai perpustakaan. Tubuhku bergetar hebat, menahan agar suara isak tangis tidak terdengar.
Sakit.. rasanya sangat sakit. Memang tamparan ini tidak sebanding dengan pukulan dengan gagang sapu dulu, tapi batinku merasakan sakit teramat dalam.
Mama berbalik badan. "Keluarga kita. Keluarga Castyane. Kita adalah keluarga bangsawan! Kita memperoleh uang dari pajak dan menjual barang kepada adventurer. Bahkan kadang kita menipu adventurer bodoh untuk mendapat keuntungan. Kau tidak perlu belajar mengenai Mana dan kutu-kutu nya,"
Tubuhku bergetar hebat. Marah, kesal, sedih, sakit, dan benci, semua emosi menghujam diriku. Semakin aku mendengar perkataan Mama, semakin dalam aku menundukkan kepala.
"Untuk apa kau belajar tentang Mana?! Cita-citamu menjadi seorang adventurer goblok dibanding meneruskan usaha keluarga?!" Suara Mama meninggi, seolah sedang mengambil alih kontrol diriku dan menekan batinku habis-habisan.
'Diam! Jangan bicara lagi!' Batinku terus berteriak. Aku kehilangan kontrol emosiku. Melihat buku pengetahuan Mana kesayanganku dan satu-satunya di perpustakaan itu berubah menjadi serepihan kertas, rasanya seperti kehilangan impian. Rqsanya hampa...
Mama menepuk tangannya 3 kali, lalu pelayan pribadinya datang tergopoh-gopoh. "Singkirkan robekan kertas bekas itu. Dan juga cari buku di perpustakaan yang tidak berkaitan dengan ilmu perdagangan dan bakar semuanya," perintah Mama.
Andaikan...
Andaikan aku punya sihir waktu, aku akan menghentikan waktu saat Mama memarahiku.
Bila aku punya sihir pelindung, aku akan memakainya agar ia tidak menggangguku.
Bila aku punya sihir api, aku ingin membakar jeruji jendela kamarku dan kabur untuk melihat dunia luar.
Bila aku punya sihir es, aku ingin membekukan barang-barang kesayanganku agar tidak mudah dirusak oleh Mama.
Sayangnya semua hanya impian belaka. Karena aku hanya seorang manusia biasa, dan buku sumber ilmu sihirku sudah hilang.
-.~.-
Desclaimer : Dragon Nest ©Shanda Games, Kreon, Etc
Summary : Seorang manusia biasa yang ingin menguasai sihir seperti adventurer lainnya, namun dikekang oleh sekelilingnya. Kesedihan dan luka batinnya terus bertambah hingga akhirnya ia nekat mengambil jalan lain.
Rated : T (Teen).
Genre : friendship, adventure
Shiroi Karen's proudly present : Wants To Get Better At Controlling
-.~.-
"Konsentrasi, Ran Castyane. Konsentrasi!" perintah guru private-ku sambil memukul kepalaku dengan gulungan kertas.
"Ouch! Iya baiklah baiklaah," kataku mencoba menahan agar ia tidak memukulku lebih jauh.
Guru private-ku memperbaiki letak kacamatanya, lalu bersandar di kursi sambil mendengus kesal. "Kau minta agar kita belajar di udara terbuka hari ini, dan aku sudah susah payah mengabulkannya. Tapi sekarang kau malah bengong. Kau sebenarnya mau apa sih'?"
Aku terkekeh pelan. "Entahlah... Kukira akan terasa nyaman kalau belajar di luar rumah. Tapi rasanya tetap tidak enak," jawabku spontan sambil melirik tumpukan buku akuntansi dan matematika di depanku.
Dia terdiam mendengar alasanku, dan akhirnya berhenti meneruskan penjelasan materi pelajaran. Sepertinya dia kehilangan semangat mengajarnya karena aku. Ehehehe...
Aku juga terdiam menikmati udara alam. Saat ini kami berada tempat duduk di kebun mansion keluargaku. Jarang aku bisa keluar dari rumah seperti ini karena sehari-hari belajar private di dalam ruang belajar. Tapi untuk hari ini orangtuaku mengijinkan guruku untuk mengajar di luar. Sebenarnya aku lebih berharap bisa ke hutan atau laut sih... Tapi bisa keluar di kebun sudah cukup lah.
"...Mungkinkah aku belajar hal lain selain pelajaran ini?" gumamku pelan.
"Memangnya kau mau belajar apa?" tanya guru private-ku, seorang wanita berambut coklat panjang. Sepertinya ia mendengar gumamanku.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Aku merasa lebih tertarik tentang pengetahuan dunia ini dibanding ilmu dagang. Seperti...- pengetahuan energi mana..?" Aku mengecilkan suara saat mengucapkan kalimat terakhir, karena aku baru saja mengucapkan kata yang kuanggap sakral sejak kejadian di perpustakaan dua bulan lalu.
"Hee... Tak kusangka seorang anak bangsawan sepertimu punya ketertarikan dalam sihir dan berpetualang,"
-Dan lagi-lagi guruku mendengarnya (-_-)
"Tidak salah kok punya impian seperti itu," katanya. "Dulu suamiku adalah seorang adventurer kuat dan berbakat dalam sihir. Tapi ia malah memilih mengikuti impiannya menjadi ilmuan dan menciptakan barang-barang aneh untuk perkembangan teknologi Saint Haven. Sama saja sepertimu yang ingin menjadi sesuatu di luar jalur," lanjutnya.
"Whoahh.. Suamimu bisa sihir? Tunggu dulu.. kalau begitu, bolehkah aku belajar sihir darinya?! Yaa.. memang aku hanya manusia biasa yang tidak punya darah penyihir atau apapun. Tapi, aku percaya sihir pasti juga ada di dalam diri manusa! Pasti aku juga bisa menguasai sihir!" teriakku semangat.
Detik berikutnya, guruku menyikut perutku cukup keras. Aku mengaduh kesakitan, tapi segera sadar maksud guruku.
Ya. Orangtuaku menatapku tajam dari jendela yang rumah yang mengahadap kebun. Aku sadar mungkin teriakanku barusan mengundang perhatian mereka.
Aku membuka buku akuntansi dan pura-pura sibuk membacanya, berharap orangtuaku tidak curiga. Untunglah tak lama kemudian mereka pergi.
"Begini, Ran.." bisik guruku. "Aku tidak bisa membawamu menemui suamiku karena kami tinggal di Saint Haven. Sedangkan kau tinggal di daerah Hermalte Port. Kuyakin keluargamu tidak akan mengijinkanmu keluar rumah tanpa alasan, apalagi ke Saint Haven," lanjutnya. Aku mendengus kesal. Lagi-lagi orangtuaku menjadi penghalang. Menyebalkan.
"Tapi aku membawa buku panduan sihir suamiku dan kau boleh meminjamnya. Toh' sekarang ia tidak memakainya lagi karena terlalu sibuk dengan penelitiannya. Jangan sampai ketahuan kau membacanya, yah. Kalau tidak, aku juga dalam masalah," bisik guruku sambil mengedipkan matanya. Mataku berbinar setelah mendengar tawarannya.
"Benarkah boleh? Tapi, kudengar kau punya anak seumuran denganku, kan? Apa anakmu bisa belajar sihir kalau aku meminjam bukunya?" tanyaku memastikan.
"Tidak masalah. Anakku adalah seorang Cleric dan ia rajin memperdalam ilmunya. Kudengar ia sedang memperdalam sihirnya agar bisa jadi Priest. Jadi ia sudah tidak butuh buku ilmu sihir dasar seperti ini," jawab guruku tersenyum, lalu mengeluarkan buku sihir yang ia maksud dari tas dan menyerahkannya padaku diam-diam.
Seperti menyeludupkan barang ilegal.
Aku tersenyum lebar menatap buku itu. Sampulnya coklat polos dan rapi. Bukunya tipis, tapi ilmunya sangat mendalam. Dengan penampilan seperti ini, orangtuaku tidak bisa membedakan mana buku sihir dan mana buku pelajaran! Sempurna!
Aku mengucapkan terima kasih pada guruku yang pengertian itu, lalu melanjutkan pelajaran dengan lebih semangat. Tentu saja, aku kan' tidak mau guruku dimarahi kepala pelayan orangtuaku karena dianggap gagal mendidikku. Jadi hanya ini yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan guruku.
Tapi aku juga rajin belajar sihir dari buku pinjaman guruku. Tiap malam aku tidak pernah absen mencoba berbagai macam sihir di kamarku. Sebagai manusia tanpa darah penyihir, pasti akan jadi sulit bagiku untuk memusatkan energi mana untuk mengeluarkan sihir. Tapi aku yakin aku bisa menguasainya.
-.~.-
Setelah 4 bulan, aku akhirnya berhasil menguasai sihir api! (Jangan tanya berapa banyak luka bakar di tubuhku). Aku senang sekali! Aku pamit pada guruku bahwa aku akan kabur dari rumah dengan bantuan sihir api ini. Guruku terlihat kecewa dan menyesal meminjamkan buku sihir itu padaku, tapi aku meyakinkannya bahwa aku lebih bahagia untuk mempelajari hal yang kusuka dibanding dituntut untuk bekerja sebagai alat demi nama baik keluarga yang sama sekali tidak menyayangiku. Akhirnya guruku hanya tersenyum dan bilang bahwa ia akan membantu penelitian suaminya setelah tidak mengajarku lagi.
'Pukul 00.00, seorang gadis bangsawan berumur 13 tahun, Ran Castyane, akan meninggalkan kehidupan mewahnya dan berpetualang mencari arti kehidupan!' pikirku semangat.
Pertama, aku melelehkan jeruji besi jendelaku dengan sihir api. Tidak mudah karena besinya tebal, dan aku harus melubangi cukup besar agar tubuhku bisa keluar.
Sudah 15 menit mencoba melelehkan besi. Aku terbatuk-batuk karena asap mulai memenuhi ruanganku. Disisi lain, aku mulai kehabisan tenaga karena memakai energi mana terlalu banyak. Tapi aku tidak boleh menyerah. Kalau sampai rencana ini gagal, tidak akan ada kesempatan kedua bagiku.
"Tuan Castyane! Asap muncul dari kamar nona muda!" teriak seseorang di luar kamar.
Ugh... sial.
Pintu kamarku mulai digedor-gedor oleh para pelayan dan petugas keamanan. Beruntung aku sudah menguncinya tadi. Aku harus lebih cepat... lebih cepat...
KLANG! Potongan besi yang tidak punya pegangan berjatuhan di lantai, membuat lubang yang cukup besar pada jendela. Aku melompat lewat lubang, berhati-hati jangan sampai ujung besi yang masih panas mengenai kulitku.
"Seseorang keluar dari jendela kamar! Sepertinya ia hendak menculik nona muda!"
"Tangkap dia hidup-hidup dan bawa padaku! Siapapun dia, akan kuhukum dengan berat!" suara Papa terdengar nyaring, disertai bunyi langkah kaki kuda dan manusia jauh dibelakangku.
Aku memegang erat kerudung jaket dan buku sihirku sembari berlari kencang. Jujur aku tidak tahu kemana aku harus lari, karena ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di luar rumah.
"Atas nama besar Castyane, berhenti!"
Tanpa pikir panjang, aku berbelok ke jalur yang mendaki dan masuk ke hutan terdekat. Dalam kegelapan, pasti sulit bagi para pengikut orangtuaku untuk mencari di hutan.
Aku masuk semakin dalam. Hutan itu sudah mati, kebanyakan tinggal ranting dan kayu pohonnya yang tersisa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan hewan apapun disini. Di-dimana aku? Aku tidak tersesat kan?
Setelah berjalan puluhan meter, aku menarik napas lega ketika melihat sebuah pedesaan kecil di depanku. Aku mempercepat lari dan memasuki gerbang desa.
Sepi. Tidak ada orang. Hanya rumah dan perabot tua yang berdebu dan tak terpakai lagi. Ini sangat tidak wajar. Kemana perginya semua penduduk desa?
HOONKKK... HOONNKKK
Tiba-tiba terdengar suara seperti tiupan terompet dari kerang. Suaranya bergema di hutan malam yang sepi ini. A-ada apa ini?! Suara apa itu tadi?!
Aku semakin panik ketika mendengar gerbang desa tertutup sendiri. Semua akses keluar desa tertutup rapat, dan suara-suara aneh mulai terdengar.
Lalu aku mendengar suara langkah kaki berat dari belakangku. Bayangan tubuhnya yang besar membuat pandangan didepanku semakin gelap. Kulirik sosok besar dibelakangku, berharap itu bukan ayahku.
GRROOOAAAAAAAARR!
"Kyaah!" Kurasakan ayunan cakarnya mengenai tubuhku cukup keras, sehingga aku terlempar ke belakang beberapa meter.
Dengan gesit aku mengarahkan tanganku kedepan dan mengeluarkan api dari tanganku, namun makhluk itu menahan seranganku dengan mudah.
Si-sial! Tak salah lagi, ini pasti salah satu spesies monster yang biasa disebut Ghoul! Aku pernah membacanya di buku kalau jenis ini adalah Moss Ghoul. Katanya ia punya jenis serangan yang dapat meracuni lawannya! Sial! Kenapa aku harus bertemu dengan makhluk seperti mereka di saat seperti ini?!
Ia kembali mengayunkan cakarnya ke depan, dan aku berguling ke kanan untuk menghindar. Namun ia membalikkan arah ayunannya dan menyerangku dari arah kiri. Terlalu cepat! Aku tidak bisa menghindarinya!
Aku memusatkan energi mana yang tersisa pada telapak tangan kiriku, mencoba menahan hantaman cakarnya dengan tangan dan sihir. Detik berikutnya, suara ledakan keras terdengar saat cakarnya bertabrakan dengan semburan api dari tanganku. Tubuhnya terpelanting dan terbaring tak bergerak di tanah.
Aku menghela napas lega. Namun baru saja aku akan berdiri, ghoul itu meloncat dari posisi tidurnya dan menyerangku, menyebabkan luka cakar yang cukup dalam di tubuhku.
"AAKHH!" Cakar itu kembali diayunkan dan menggores tangan dan bahu kiriku membuatku kembali terpental beberapa meter. Jaket berkerudungku koyak akibat gesekan dengan ranting kering di tanah, dan tubuhku lecet. Energi mana ku habis, dan aku tak punya kekuatan untuk bergerak lagi.
Tiba-tiba kurasakan perih teramat sangat saat benda asing lain menembus daging bahuku. Aku berteriak keras. Sakit.. Sakit sekali...
Cairan merah kental mengalir deras dari bahuku, membasahi jaket dan pakaian yang kukenakan. Aku ambruk tak bertenaga di tanah. Samar-samar kudengar teriakan gembira dari makhluk di depanku, diikuti beberapa ekor makhluk hijau bersayap. Tak salah lagi, mereka pasti Green Gargoyle. Mereka menyerang dengan terbang secepat kilat dari jauh ke arahku dan mencakar tubuhku. Pantas saja aku tidak melihat serangan mereka karena terlalu sibuk dengan Ghoul ini.
Sial...
"Eagle's Descent!"
BLAAR..
Kurasakan tubuhku terhempas ke belakang lagi, begitu pula para monster. A-apa itu tadi? Suaranya seperti manusia...
Belum saja aku mencerna apa yang sedang terjadi, tiba-tiba para monster meraung tidak suka. Mereka mendekati orang itu untuk menyerangnya.
Sosok elf wanita berambut pirang diikat satu itu menyatukan kedua tangannya di depan dan memusatkan energi mananya.
"Spiral Vortex!" Detik berikutnya, muncul kubah dari pusaran angin mengelilingi tubuhnya dan membunuh semua monster disekitarnya. Ku-kuat sekali...
Darahku belum berhenti mengucur. Kurasakan pandanganku mulai kabur. Mataku perlahan terpejam dan semuanya menjadi gelap. Hal terakhir yang kulihat adalah sosok elf itu menghampiriku. Entah apa yang akan ia lakukan padaku, aku sudah berserah.
-.~.-
'Denyut jantungnya sudah stabil. Lukanya sebagian besar sudah tertutup. Maafkan aku karena tidak bisa menyembuhkan semua lukanya,'
'Ndak apa-apa, kakak Jake! Bantuan kakak sudah lebih dari cukup. Terima kasih!'
'Tidak masalah. Sudah menjadi tugasku sebagai Cleric untuk menggunakan sihir penyembuhan yang berguna bagi orang lain. Sisanya kuserahkan padamu, Yuki. Aku harus kembali bertugas melatih bawahanku,'
'Baik!'
-.~.-
Aku membuka mata karena udara dingin yang menusuk dagingku. Aku terbangun di sebuah ruangan gelap dan hanya diterangi perapian di sudut ruangan. Dimana aku?
Ruangan gelap membuat mataku lebih cepat terbiasa dengan keadaan di ruangan ini. Pertama kali kulihat adalah langit-langit ruangan terbuat dari susunan kayu. Tempat yang kutiduri adalah kasur dari kapuk yang dilapisi kain tipis.
Jelas ini bukan di kamarku. Lalu aku ada dimana?
Aku bangkit dari tempat tidur. Kakiku yang terasa lemas dan perih. Badanku sebagian besar dibalut perban dan hanya tertutup oleh selimut. Tangan kiriku kaku dan terasa sangat sakit saat digerakkan.
Aku baru ingat. Terakhir kali aku kabur dari rumah dan diserang oleh para monster. Setelah itu, aku tidak ingat apapun. Apa ada yang menolongku? Atau aku ditangkap oleh orang jahat? Atau keluargaku menemukanku dan mengurungku di rumah khusus agar aku tidak bisa kabur lagi?
"Uwaa! Akhirnya kau bangun!"
Aku menyipitkan mata ketika memandang seseorang yang datang dari pintu ruangan. Cahaya matahari dari luar sangat terang dan menusuk mataku, sehingga aku tidak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas. Yang kulihat hanya bayangan gadis dikuncir satu bertelinga panjang meruncing dengan busur dan panah di punggungnya.
Gadis itu menutup pintu membuat ruangan kembali gelap. Kemudian ia menyandarkan busur dan panahnya pada dinding ruangan, lalu mengambil sebuah botol dari tasnya dan menyodorkannya padaku. "Jus jeruk untukmu! Masih segar kok, karena baru kubuat tadi," katanya.
Dengan ragu aku menatap gadis itu, kemudian mengambil botol itu dan meminum jus nya.
Whoah... enak...
Aku meminum jus dengan lahap karena aku haus dan jus ini sangat menyegarkan. Sambil minum, aku menatap gadis disebelahku ini. Rambutnya pirang diikat satu dan bajunya bernuansa putih. Dari penampilan wajahnya, umurnya mungkin beda beberapa tahun di atasku, tapi mengingat ia seorang elf, mungkim umurnya sudah puluhan atau ratusan tahun.
"Apa yang kau lakukan sendirian di Ghost Town of Isolated Forest?" tanya elf itu.
Aku meneguk habis jus yang tinggal sedikit, dan beralih menatapnya. "Apa? Insomnia Forest? Apa itu?" tanyaku heran.
Gadis itu facepalm mendadak. "Ghost Town of Isolated Forest," ulangnya dengan tempo perlahan supaya aku menangkap perkataannya. Aku terkekeh geli melihat responnya, sedangkan ia hanya memberi tatapan 'Isolated dengan Insomnia itu jauh banget lho.. Jauh...'
"Aku kebetulan sedang berlatih disana ketika aku melihatmu dikelilingi monster dalam keadaan terluka. Jadi aku menolongmu," kata gadis itu. Ah, jadi Ghost Town of Isolated Forest adalah tempat aku tersesat itu. 'Ghost Town'? Pantas saja desa itu tidak berpenghuni.
"Ah, terima kasih banyak, kak.. Namaku Ran Cast..- maksudku Ran Kirei! Aku baru saja belajar sihir api, lalu aku tersesat di hutan itu. Aku tidak bisa berbuat banyak saat monster disana menyerangku karena sihirku tidak cukup kuat untuk mengalahkan mereka," jelasku. Aku sengaja memalsukan nama keluarga karena aku takut gadis ini akan mengantarku kembali pada orangtuaku. Lagipula, aku sudah kabur dari rumah. Aku tidak memiliki ikatan apapun lagi dengan keluargaku, begitu pikirku.
Elf itu menghela napas panjang. "Jadi begitu ya... Nekat sekali kau berkeliaran di dungeon sekitar Saint Haven dengan kemampuan sihir masih rendah," kata gadis itu, sedangkan aku hanya terkekeh kecil. Tentu saja aku sedikit memalsukan ceritaku padanya agar tidak mencurigakan. Memang sih' jadinya aku terlihat seperti orang bodoh dan nekat.
"Oh iya! Namaku Yukishirota! Aku seorang Acrobat, bisa dibilang sebagai Archer yang lebih mengandalkan kekuatan tangan dan kaki dalam bertarung. Saat ini aku tinggal di Saint Haven dengan teman-temanku," katanya sambil mengulurkan tangan, dan aku menyambutnya dengan tanganku.
"Salam kenal, Kak Yuki! Saint Haven? Sudah lama aku ingin pergi ke kota besar itu! Kudengar disana ada menara pengawas yang tinggi sehingga bisa melihat seisi kota dari atas!" kataku kembali membayangkan keindahan kota impian itu.
"Sayangnya dengan kekuatanmu itu, percuma kau datang ke Saint Haven. Dungeon sekitar Saint Haven dipenuhi monster yang terlalu kuat, seperti tempat kau tersesat. Menurutku, lebih baik kau menetap di kota yang dungeon sekitarnya ndak terlalu kuat dulu saja. Itu akan mempermudahmu melatih sihir dan meningkatkannya," jelas elf itu membuatku agak kecewa. Kuat? Bahkan aku sangat jauh dari kata kuat! Aku saja baru belajar sihir 4 bulan yang lalu...
"Begitu yah? Ngomong-ngomong, dimana ak-.. aduh!" Aku meringis kesakitan ketika tidak sengaja mencoba menggerakan tangan kiriku. Perih sekali rasanya! Seperti ditusuk dari dalam tubuh.
Kak Yuki mengambil sehelai kain dan mengikatnya di leherku, lalu menggantung tangan kiriku pada kain tersebut. "Ini di Mana Ridge! Daerah di puncak gunung bersalju jauh dari pusat kota. Disini banyak dihuni oleh Cleric dan Sorceress. Kau tahu kan, Cleric punya kekuatan untuk menyembuhkan luka? Jadi aku meminta bantuan seorang Cleric terkenal, Cleric Jake, untuk mengobatimu. Memang tidak 100% sembuh, tapi kondisimu jauh lebih baik," jelasnya. Aku tak bisa berkata-kata lagi selain mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya dalam hati dan bersyukur pada elf yang mau menolongku ini.
"Disini banyak Sorceress lain sepertimu. Kau bisa belajar skill pada mereka agar kau lebih kuat. Dungeon sekitar kota ini juga tergolong mudah, jadi kau bisa berlatih banyak disini!" kata Yuki sambil tersenyum.
Aku.. tunggu.. aku seorang Sorceress? Aku hanya manusia biasa dan karena aku menguasai sihir, aku bisa menjadi seorang Sorceress?! Betapa gembiranya aku mendengar kabar ini! Akhirnya usahaku 4 bulan berlatih sihir tidak sia-sia.
Kami berjalan ke pintu keluar ruangan membukanya. Hamparan salju putih menyambut pandanganku. Udara dingin menyengat kulitku, namun tidak membuatku berhenti terpukau dengan keindahan alam. Kehangatan memenuhi dadaku. Rasanya nyaman sekali! Aku merasa berbeda dari pemandangan alam kebun atau bangunan megah rumahku. Tanpa kusadari, aku sudah tersenyum lebar.
"Aku mau membeli pakaian baru di penjual terdekat. Kau mau ikut?"
"Mau!"
-.~.-
"Hoi Ran.. Kenapa diam saja? Kita bisa di Calderock Village sepanjang hari kalau kau melamun begitu. Jadi ke Raider's Den tidak?" kata Priest berambut coklat itu sambil menyikutku pelan.
"He? Oh! Maaf maaf.. aku baru teringat sesuatu di masa lampau. Tidak penting untukmu, jadi lupakan saja," kataku tersenyum, lalu menatap langit biru di pagi hari ini. "Tak kusangka, sudah 4 tahun sejak kejadian itu," bisikku.
"Hah? 4 tahun kejadian apa?" tanyanya.
JDUAKK!
"Aduh! Hei!"
"Kubilang lupakan saja! Lagipula tadi aku berbisik! Bagaimana kau bisa mendengarnya?!" kataku sewot, lalu mengusap ujung staffku yang baru kupakai untuk memukul kepala pemuda yang lebih tinggi dariku ini.
"Itu karena suaramu sekeras toa..- iya ampun ampun!" kata pemuda itu frustasi dan menjauhkan dirinya dariku sebelum aku menghantam kepalanya.
Aku menghela napas panjang, dalam hati tertawa kecil melihat tingkah pemuda itu.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Xernel! Ayo pergi!" kataku menggenggam erat tangan pemuda itu dan menyeretnya menuju gerbang keluar Calderock Village, sedangkan yang diseret hanya pasrah.
Lihat saja, Yuki! Aku akan menyusulmu ke Saint Haven!
Dan kalau bawahan orangtuaku masih memburuku, aku tidak perlu khawatir.
Karena aku akan menjadi lebih kuat dan berguna sehingga aku dapat memperoleh kebebasan yang sebenarnya!
-.~.- The End -.~.-
Yo! Nama saya Shiroi Karen! Ini adalah fic kedua saya di fandom Dragon Nest! Sebenarnya ini adalah side-story fic pertama saya, 'Relic of Life', yang lebih menceritakan masa lalu Sorceress Ran Kirei dalam cerita tersebut (judul fic ini sendiri diambil dari salah satu tittle di game saat mati di dungeon Death Basin). Jadi bagi kalian yang belum membaca fic pertama, baca ya! Kalau bisa minta reviewnya #nak
Akhir kata, terima kasih kepada teman-teman seguild dan segrup saya yang bersedia membantu pembuatan fic ini! Terima kasih pula kepada Yukishirota yang bersedia usernamenya dipinjam untuk fic. Juga bagi kalian yang menyempatkan diri membaca, bahkan ada yang bersedia mereview! Nanti review kalian akan saya balas di PM, dan bagi yang guest akan saya balas di author's note di fic Relic of Life!
Ah iya.. Saya main Dragon Nest INA di server Vestinel sebagai Saint dengan username XernelKuroi. Biasanya nongkrong di Saint Haven atau Lotus Marsh channel paling sepi #nak. Bagi kalian yang mau temenan di game, kirim request aja! Pasti akan saya accept.
Akhir kata.. Terima kasih! Dan mind to review?
-Note : Maaf! Saya baru saja repost fic ini. Alur tidak berubah kok, tapi typo error fatal bin ajaib dimana saya nulis 'Academic' instead of 'Acrobat' telah diperbaiki. Terima kasih buat reviewer Rainessia Toumitsu karena telah mengingatkan! Baik, saya mohon pamit. Maaf untuk ketidaknyamanannya!
