LOVE
by
kuncipintu
[CANON. For Fujoshi only, seriously—
—yup, saya tahu judulnya memang klise. tolong jangan kaget karena ceritanya terlalu mainstream dan gak gereget.]
.
Manis.
Rasanya terlalu manis ketika bibir Baekhyun yang bersentuhan dengan milik Chanyeol yang sama dinginnya. Angin malam berhembus pelan melewati jendela kamar yang lalai ditutup. Tapi kedua insan itu mengabaikan hawa dingin yang kian lama kian menusuk.
Awalnya hanya percakapan teman sekamar biasa, tapi percakapan itu jadi luar biasa ketika Chanyeol menanyakan kekasih Baekhyun. Ia jawab tidak ada karena memang tak punya. Lalu ketika pertanyaan yang sama terlontar balik untuk Chanyeol, jawabannya ini.
Jawabannya tersembunyi di sela-sela rambut Chanyeol yang diremas pelan oleh Baekhyun. Terselip di antara jemari panjang Chanyeol yang menahan punggung Baekhyun erat seolah ia adalah boneka porselain rapuh yang akan langsung jatuh jika pelukannya dilepaskan. Mata Baekhyun tak kunjung terbuka sejak detik pertama, terlalu menikmati.
Sekalipun yang diberikan Chanyeol hanya sentuhan lembut dan kecupan-kecupan kecil, tanpa lumatan, tanpa gigitan. Hanya sekedar dua bibir dingin yang saling menempel, tidak lebih dan tidak kurang, jauh berbeda dari ciuman-ciuman Baekhyun sebelumnya—mungkin Chanyeol juga. Tapi ada yang meledak-ledak dalam perut Baekhyun, dan sesuatu dalam kepalanya terus berteriak-teriak agar Baekhyun mengalah. Membiarkan dirinya ikut terhanyut dan membiarkan saja apa yang sedang terjadi sekarang.
Baekhyun mengambil napas panjang setelah Chanyeol melepas tautan bibir mereka. Pipi Baekhyun memanas (semoga tidak memerah) seiring dengan dadanya yang naik turun tidak teratur. Lalu jantung Baekhyun kembali menggila ketika Chanyeol membisikkan namanya pelan. Baekhyun mendongak. Mendapati wajah tampan sobat kentalnya itu kembali mendekat. Baekhyun mendesah kecil ketika memperhatikan bayangan samar dirinya sendiri di mata Chanyeol yang tak sebening biasanya.
Tiba-tiba, seperti ada sirine berdering di samping telinganya, Baekhyun tersentak dan mendorong dada Chanyeol menjauh dalam satu kali gerakan.
Baekhyun menunduk dan terus menunduk, sedang Chanyeol sendiri tidak menunjukkan reaksi selain tatapannya yang tak kunjung lepas dari sosok mungil di hadapannya.
'Apa yang kau lakukan, Byun Baekhyun? Mengapa kau mencium sahabatmu sendiri?'
'Tidak! Tidak! Dia yang memulainya. Seharusnya dia yang merasa bersalah karena sudah melecehkan sahabatnya sendiri'
'Tapi kenapa aku menerimanya begitu saja?'
Baekhyun tidak tahan dengan suara-suara yang bersahutan di dalam kepalanya yang kacau. Tanpa mendongak untuk menatap Chanyeol yang entah bagaimana ekspresinya, Baekhyun berujar; "Chanyeol-ah… maaf, a-aku tidak bermaksud…," ucapan Baekhyun berhenti di tengah jalan, kehabisan kata-kata—sangat bukan Byun Baekhyun sekali.
Tanpa menunggu balasan dari lawan bicara sekaligus teman sekamarnya, Baekhyun setengah berlari keluar kamar dengan sesak di dada dan sesuatu yang remuk di dalamnya.
Air hangat turun perlahan lewat di pipi putih Baekhyun. Ada sesuatu tak bernama yang terasa seperti menggedor-gedor dadanya hingga rasanya sangat sesak. Terlalu sesak. Baekhyun mempercepat langkahnya tanpa menoleh lagi. Melewatkan Chanyeol yang mematung sambil memandangi punggung Baekhyun dengan sendu, ditemani perih dan sesak yang sama.
.
L O V E
"Naege malhaejwo, ige sarangiramyeon…,"
.
Luhan menghempaskan punggungnya ke kursi kecil di kamarnya—dan Sehun dan Kyungsoo juga. Suara Tao bergema dari ruang tengah, ingin rasanya Luhan membungkam mulut adiknya itu untuk kali ini saja. Tapi pemuda dengan wajah kelewat kecil itu tidak juga beranjak dari tempatnya, tahu kalau Tao tidak akan bungkam jika bukan Kris atau Suho yang menegur.
Kyungsoo tidak ada di kamar. Jika bukan berkutat dengan panci dan wajan, pasti adik-bermata-bola-basket-nya itu sedang pasrah diseret-seret Jongin ke kedai bubble tea. Sehun tidur sejak sarapan selesai, mungkin magnae-nya itu terlalu lelah karena jadwal yang menumpuk.
Luhan akhirnya ikut merebahkan diri di samping Sehun yang terlelap (Sehun akhir-akhir ini sering sekali tidur di ranjang Luhan, tapi tidak memperbolehkan seorang pun menyentuh ranjangnya). Sehun terlihat begitu nyaman dan tenang, lain halnya dengan Luhan yang bergerak-gerak gelisah. Padahal ranjang di dorm mereka semuanya super-empuk, tapi Luhan tidak bisa mendapatkan posisi nyaman.
Akhirnya, Luhan memaksakan kedua mata coklat beningnya untuk terpejam. Biar bagaimanapun, waktu kosong seperti ini harus sebaik-baiknya digunakan untuk istirahat sebelum jadwa lain membuat grup mereka sibuk. Dan ini satu-satunya hari baik untuk itu, lagipula dari pagi sama sekali tidak terdengar suara duo Happy Virus yang biasanya tidak pernah rela membiarkan member beristirahat—tumben sekali, mungkin mereka juga kelelahan.
Luhan baru saja hampir terlelap ketika suara pintu dibuka (yang sebenarnya tidak terlalu nyaring) membuatnya terlonjak dalam posisi baring.
"Eh? Apa aku membangunkanmu, hyung?" Luhan bangkit duduk ketika menangkap suara khas Baekhyun.
Luhan tersenyum. "Tidak. Aku memang belum tidur." Luhan menepuk-nepuk ranjangnya ringan, menyilakan Baekhyun untuk duduk disana—dan langsung dituruti.
"Tumben sekali kau kesini. Biasanya kau betah bertengkar dengan Chanyeol di kamar." Celetuk Luhan. Dan mungkin hanya perasaan saja, tapi Luhan melihat Baekhyun sedikit berjengit karena kalimatnya.
Luhan melirik si main vocal grup mereka itu, lalu menyadari bahwa kulit putih Baekhyun tidak bersinar seperti biasanya—melainkan hampir terlihat pucat. Tidak ada kantung di bawah mata, tapi Luhan tahu Baekhyun lelah bahkan hanya dari sorotannya saja. Bahu Baekhyun tinggi, sejajar membentuk garis lurus. Luhan lupa kapan terakhir kali Baekhyun setegang ini—rasanya sudah lama sekali.
"Kau kenapa?" Luhan tak tahan untuk tak bertanya.
Baekhyun menggeleng pelan tanpa memandang Luhan. "Aku tidak apa-apa,"
"Itu membuktikan kalau kau kenapa-kenapa." Luhan menyahut yakin sembari melempar senyum.
"Kau memang tidak ada duanya, hyung…," puji Baekhyun, sedikit takjub karena tingkat kepekaan Luhan yang di atas rata-rata.
"Cepat ceritakan." Luhan menyamankan posisi duduknya, menghadap Baekhyun dan membelakangi Sehun yang tidur menghadap dinding.
Beberapa menit hening.
"Percaya padaku, 'kan?" Tanya Luhan saat Baekhyun tak kunjung memulai. Yang ditanya mengangguk dengan sangat perlahan.
Luhan membuang napas. Kalau sedang diam begini, Baekhyun jadi terlihat seperti anak manis yang penurut. Tapi Baekhyun yang diam juga sedikit membuat Luhan merasa ngeri.
"Berjanjilah untuk tidak berhenti jadi saudaraku setelah ini,"
"Ampun, deh," Luhan tertawa kecil mendengar kalimat Baekhyun. Walaupun tak bisa disangkal, ia sedikit merasa waswas karena peringatan Baekhyun. "Bahkan jika kau berubah jadi gay pun, aku tetap saudaramu—,"
Bahu Baekhyun menegang lagi. Dan Luhan menyadarinya.
"—karena aku tahu kau juga akan melakukan hal yang sama."
Baekhyun mendesah. Ia tidak ingin bercerita tapi ia mau ada yang paham perasaannya. Jika mungkin, Baekhyun ingin ia hanya perlu memeluk Luhan dan hyung-nya itu mengerti. Tapi sayangnya, hal seperti itu tidak mungkin bahkan bagi orang seperti Luhan.
"…kau pernah jatuh cinta pada sahabatmu sendiri, hyung?"
Luhan tidak langsung menjawab. Sejujurnya, Luhan sendiri tidak menyangka kalau 'jatuh cinta' adalah penyebab Baekhyun menjadi pendiam dan sedikit mengerikan. Dari penampilan dan sifat, Luhan selalu merasa kalau Baekhyun-lah member yang tidak perlu pusing soal percintaan. Tapi pernyataan Baekhyun barusan membuktikan kalau Luhan salah.
"Jadi, siapa orang yang kejatuhan cintamu ini?" Tanya Luhan tanpa basa-basi.
Baekhyun meringis. "Aku tidak bilang kalau aku sedang jatuh cinta,"
"Lalu?" Satu alis Luhan terangkat tinggi, meniru salah satu ekspresi Sehun yang sangat disukainya.
"Hanya sekedar bertanya."
"Aku anggap kau belum memulai ceritamu, kalau begitu,"
"Hyung belum menjawab pertanyaanku…,"
Luhan terdiam. Ia menatap Baekhyun ragu. Sejenak terlintas pikiran untuk mengabaikan pertanyaan Baekhyun dan tidak perlu mendengar cerita pemuda itu. Tapi Luhan tahu Baekhyun butuh teman untuk berbagi dan Luhan tidak ingin jika Baekhyun jadi satu-satunya pihak yang bercerita—karena bukan itu yang dimaksud' berbagi'.
"Bukan sahabat." Jawab Luhan di penghujung keheningan. "Tapi orang yang bahkan lebih dekat dari itu," pandangan Luhan menerawang ke balik pundak tegang Baekhyun.
"Bukannya itu bagus?"
Luhan tersenyum, pahit. "Kami sangat dekat, tapi jauh dari artian romantis," Luhan memberi Baekhyun tatapan 'bisa-kau-bayangkan?'.
Baekhyun tidak menjawab, tapi gesturnya mengisyaratkan Luhan untuk melanjutkan.
"Dua tahun, Baek. Dua tahun dan aku terus berpura-pura menganggapnya adik padahal malaikat juga tahu kalau aku ingin lebih."
Baekhyun dan Luhan sama-sama terdiam. Merenungi diri sendiri dan masalah yang sedang mereka hadapi.
"…selanjutnya apa?" Baekhyun bertanya setelah beberapa menit sunyi menguar. Luhan tersenyum asimetris saat mendengar pertanyaan itu.
"Kau mau jawaban jujur atau bohong?"
"Aku tidak suka dibohongi," Baekhyun tidak terlihat menikmati pertanyaan aneh Luhan.
"Tapi aku mau tanya satu hal, apa kau sedang menyukai orang yang dekat denganmu?"
Baekhyun mengarahkan pandangannya ke ujung kaki Sehun yang putih—menghindari kontak mata dengan Luhan.
"Tidak…," nadanya menggantung dan bahu Baekhyun makin terlihat tegang. "…tahu. Makanya aku butuh ceritamu supaya aku bisa tahu,"
Luhan membuang napas. "Kalau aku… yang kulakukan hanya menyerah,"
"Kenapa?" suara Baekhyun terdengar seperti mencicit.
Luhan lagi-lagi tersenyum asimetris. "Karena memacari orang yang baru saja kau tahu namanya jauh lebih mudah daripada menyatakan cinta pada orang yang sudah menganggapmu Kakak,"
"Ada batasan-batasan tertentu yang tidak bisa dilanggar karena nama persahabatan. Makanya ada peraturan yang mengatakan bahwa manusia dilarang menjalin hubungan khusus dengan orang yang memiliki hubungan darah, sahabat, ataupun hutang piutang [1]. Awalnya kupikit itu hanya peraturan konyol yang dibuat oleh orang-orang kurang kerjaan, tapi ternyata aku salah besar. Mencintai orang terdekat memang rasanya sakit."
Luhan dan Baekhyun menghembuskan napas dalam-dalam. Keduanya bertatapan, saling menelisik hati siapa yang paling perih.
"Siapa yang tahu cinta itu akan bertahan lama? Seandainya tidak, hubungan kami tidak akan pernah sama seperti dulu lagi. Dan aku tidak ingin, sangat, sangat tidak ingin jika harus kehilangan seluruh momen selama empat tahun bersamanya hanya karena aku memaksakan perasaanku padanya."
Baekhyun mengangguk paham, sangat paham. Tapi tak sedikitpun kata terlontar dari bibirnya.
"Jadi, kupikir bersahabat walau menyesakkan akan tetap lebih baik daripada membiarkan dia tahu kalau aku mencintainya…,"
Baekhyun termenung, memikirkan Chanyeol dan juga Luhan—yang dari cara bicaranya, terdengar masih memiliki perasaan khusus itu untuk orang terdekatnya. "Bagaimana kalau ternyata ia juga menyukaimu tapi sama-sama tak berani mengungkapkannya?"
Untuk ketiga kali, Luhan tersenyum miring. Pahit. "Aku dekat sekali dengannya, Baekhyun. Aku tahu bagaimana sikapnya jika sedang jatuh cinta dan sayangnya, dia tidak pernah bersikap begitu terhadapku."
Luhan terdiam sejenak.
"Selain itu, jika kurenungi lagi, mungkin akan jauh lebih baik tetap begini saja. Aku tidak pantas untuknya."
Baekhyun tertegun mendengar kalimat Luhan. Luhan yang biasanya tertawa paling lebar dan bertingkah heboh luar biasa. Luhan yang tampan, pandai menari, bersuara bagus. Luhan-hyungnya yang sempurna, ternyata punya masalah yang begini menyakitkan. Mungkin karena masalah yang mirip atau karena rasa peduli yang sudah mengakar, Baekhyun mampu paham apa yang Luhan rasakan.
Dibilang tidak pantas terkadang masih jauh lebih baik dibandingkan merasa tidak pantas.
Setelah hening yang dingin dan pahit, Luhan berdehem. "Jadi, apa yang ingin kau ceritakan?" tanyanya sambil tersenyum. Tapi Baekhyun berani bersumpah, ada genangan air di sudut mata Luhan yang bening.
Lalu kata-kata itu keluar begitu saja seperti air hujan yang mengalir dari atap rumah. Lancar dan bening, sebelum akhirnya jatuh menghempas tanah.
Setelah dua desahan berturut-turut, Baekhyun menceritakan semuanya. Semuanya. Mulai dari pertanyaan tentang kekasih, bagaimana bibir Chanyeol menyentuh bibirnya, mata tajam Chanyeol yang selalu Baekhyun hindari sejak kemarin, hingga sesak yang masih melekat hingga sekarang.
Luhan mengernyit berkali-kali selama Baekhyun bercerita.
"Jadi, kau dan Chanyeol…,"
"Tidak! Kami tidak sedang menjalin hubungan apapun selain saha—err… teman sekamar," jawab Baekhyun buru-buru.
"Lalu dimana letak masalahnya?" Luhan memainkan jemari, iri setengah mati pada Baekhyun. "Bukankah dia sudah terang-terangan menyatakan perasaannya?"
Baekhyun melotot begitu lebar selama beberapa detik. "Masalahnya bukan padanya, hyung. Tapi pada perasaanku."
"Hm?" Luhan menelengkan kepalanya, sepenuhnya terfokus pada cerita Baekhyun. Ada sebersit rasa tersanjung yang sejenak hadir karena Luhan sadar bahwa ia jadi orang pertama yang Baekhyun jadikan tempat mengadu.
"Aku… aku sama sekali tidak tahu apa perasaanku pada Chanyeol." Baekhyun menggigit bibir, menatap Luhan dengan pandangan memohon. Seolah mengerti, Luhan mengangguk dan tersenyum begitu manis, mencoba menenangkan dongsaengnya itu.
"Apa yang kau rasakan kalau kau bersama Chanyeol?"
Baekhyun memutar mata karena pertanyaan klise itu. "Awalnya nyaman. Tapi lama kelamaan jadi tidak sama sekali. Sama sekali." Jawabnya dengan wajah serius.
"Contohnya?"
"Pokoknya tidak nyaman. Rasanya seperti ketika kita akan naik panggung debut, atau saat pengumuman award pertama, atau saat menonton es krim stroberi-ku meleleh."
Luhan tersenyum penuh arti, campuran antara bahagia dan iri.
"Aku heran kenapa kau tidak terlihat terkejut, hyung." Baekhyun mengubah senyum Luhan dengan kalimatnya.
Luhan hanya terdiam selagi jemarinya menyisir rambut dengan kasar. "Yah… bukannya aku tidak pernah sadar kalau Chanyeol sering menunggumu latihan saat trainee dulu,"
"Eh?" Mata Baekhyun yang polos tanpa eyeliner membulat, membuat Luhan meringis geli menyadari seberapa lovable sosok di depannya ini.
"Kau memang tidak peka, ya? Menurutmu Chanyeol akan langsung menciummu begitu saja tanpa alasan?"
"Ku…kupikir begitu. Makanya aku… err… merasa dipermainkan."
"Lalu? Kau marah?"
"Tentu saja!" Baekhyun menjawab spontan.
Luhan tersenyum lagi. "Kau juga menyukainya, Baek." Sejumput rasa iri hadir lagi.
Baekhyun kembali menegang. Alisnya berkerut-kerut dengan pelipis mengilat karena keringat. Sudut bibirnya bergetar, tanda protes keras yang tak terucap.
"Jangan terlalu yakin, hyung, bahkan aku sendiri tidak yakin pada perasaanku. Bisa saja ini hanya sebatas sayang sebagai sahabat dan teman satu grup, atau mungkin aku hanya terlalu kagum, atau bisa jadi kami hanya sedang sama-sama depresi ringan hingga bisa saling berciuman," Baekhyun berujar panjang dalam satu tarikan napas. Dadanya naik turun dengan cepat setelah selesai bicara.
"Atau," Luhan tersenyum. Aneh sekali bagaimana mendengarkan suara dan melihat ekspresi Baekhyun dapat membuat Luhan menarik ujung bibir tanpa sadar. "…kau memang mencintainya,"
Baekhyun menggeleng cepat. Ada kabut tebal di wajahnya yang Luhan tangkap sebagai penyangkalan. Baekhyun menyangkal hatinya dan Luhan tahu mengapa. Sangat, sangat tahu.
"Aku normal." Satu kalimat pernyataan. Tapi Luhan tahu Baekhyun sendiri ragu saat mengucapkannya.
"Baekhyun-ah…," Luhan menarik napas dalam-dalam. Bersiap untuk kembali berbicara panjang lebar. "Di dunia ini ada banyak rasa. Pahit, manis, asin, asam, dan banyak lagi yang tak terdefinisi. Saking banyaknya, tidak semua rasa dapat dirasakan karena tertutup rasa yang lainnya,"
Luhan terdiam sejenak. Kaget karena baru sadar ia baru saja mengucapkan kalimat aneh dan mendramatisir. Ah, Luhan yakin Sehun akan tertawa jika saja pemuda itu bangun dan mendengarnya bicara seperti tadi. Tapi wajah Baekhyun terlihat menunggu, jadi Luhan melanjutkan.
"Kau berkata obat itu pahit. Padahal ada zat glukosa di dalamnya. Hanya saja tertutupi oleh rasa pahit, walaupun manis itu ada di sana. Sama seperti cinta, yang selalu ada bahkan pada pandangan pertama namun tertutupi oleh rasa segan dan canggung. Kau hanya perlu menyadarinya lebih awal." Luhan menerawang. Ingatannya kembali ke kejadian dua tahun lalu, di ruang latihan SM, saat pertama kali ia mengenalkan diri sebagai trainee baru di hadapan trainee-trainee lainnya yang masih muda.
"Bisa jadi rasa cintamu tertutupi oleh status 'sahabat dekat'. Barangkali kau hanya menyangkal perasaan yang aslinya kau tahu sendiri benar adanya,"
"Tapi, hyung, bagaimana pun juga kami satu grup. Dan sama-sama… laki-laki."
"Lalu kenapa?" tantang Luhan.
"Hyung! Pikirkan bagaimana reaksi member yang lain. Hal seperti ini tentu membuat anggota lain tidak nyaman."
Mata Luhan meredup, Baekhyun tahu kalau pemuda bermata rusa itu setuju padanya.
"Kami saudaramu, Baek. Jangan pernah ragukan kalau kamu mendukungmu," ujar Luhan lirih, meluruhkan seluruh rasa khawatir Baekhyun hanya dengan dua kalimat.
Bahu Baekhyun yang tegang merosot ke bawah. Dan bergetar, diiringi air yang menggenang di sudut mata. Tapi tidak pernah mengalir turun. Tidak, karena Luhan sudah terlebih dulu mengusap mata Baekhyun dan membawa pemuda itu ke pelukannya.
"Cari tahu perasaanmu yang sebenarnya, Baek. Tanya hatimu, tanya dirimu. Jangan sampai kau menyesal hanya karena tidak berani mengakui perasaanmu sendiri. Jangan jadi pengecut sepertiku. Jangan…," Luhan merasakan kausnya diremas erat oleh Baekhyun di sela pelukan mereka.
Ketika pelukan hangat itu terlepas, ada bekas air mata di pipi Luhan—alih-alih Baekhyun.
"Jujur pada dirimu, Baekhyun-ah… Jangan takut karena aku ada di sini—kami ada disini,"
"Sekalipun aku bisa saja merusak nama baik EXO?" Baekhyun bertanya dengan mata terbenam air.
"Jika aku—kami—tidak bisa melindungimu sebagai sesame member EXO, kami akan membelamu sebagai saudara, Baek. Apapun kau, siapapun kau, seberapapun cerewetnya kau, kami tetap bersedia melipat gandakan kebahagiaanmu hingga dua belas kali lipat dan menerima kesedihanmu hingga hanya tersisa satu per dua belas [2],"
Bahu Baekhyun kembali bergetar, lengkap dengan cairan bening yang turun melewati pipi. Luhan kembali mengulurkan tangannya untuk meraih bahu tegang Baekhyun ke dalam pelukannya. Yang lebih tua tersenyum, kontras dengan air mata yang mengalir tanpa tersendat.
"Bicarakan dengan Chanyeol, bahkan jika kau masih belum yakin atas hatimu." Telapak tangan Luhan mengelus punggung Baekhyun lembut.
"Entahlah, hyung… Menatap matanya saja aku tidak bisa." Suara Baekhyun masih terdengar bening dan merdu di telinga Luhan—terlepas dari fakta bahwa Baekhyun baru saja menangis.
"Memangnya kau ingin terus tersiksa seperti ini, hanya karena tidak berani bicara? Bukankah sudah kubilang kalau kau harus jujur pada diri sendiri?" Luhan melepas pelukan mereka dan mencengkeram bahu Baekhyun erat.
"Tidak ada salahnya mencoba, Baekhyun…,"
"Kenapa hyung tidak mencoba, kalau begitu?"
Luhan mendesah, keras. "Kau dan aku berbeda." Jawabnya singkat.
Baekhyun menyipitkan mata, tidak puas akan jawaban Luhan. Tapi pada akhirnya tidak ada protes yang keluar.
"Mencobalah, Baek. Kau boleh pukul aku jika saran itu tidak berhasil." Luhan tersenyum.
Lamat-lamat Baekhyun ikut tersenyum. Tipis, tapi begitu manis.
"Terima kasih…,"
Luhan tersenyum lembut, matanya berbinar melihat senyum Baekhyun. "Sama-sama," bisiknya lirih.
"Mau bubble tea?" Baekhyun menawarkan minuman kesukaan Luhan. Biasanya si tertua kedua itu tidak akan menolak, tapi kali ini jawaban yang diterima Baekhyun adalah gelengan pelan.
"Aku ingin tidur," Luhan membaringkan badannya di samping Sehun yang terlelap tanpa bergerak sedikitpun.
Baekhyun mengangguk paham. Ia beranjak dan menutup pintu kamar dengan anggun—nyaris tanpa suara.
Sepeninggal Baekhyun, Luhan menghadapkan wajahnya ke langit-langit—terlentang. Kelopak matanya mengatup, menyembunyikan sepasang mata coklat bening yang tak lagi berbinar.
Luhan berdo'a, tentang Baekhyun dan Chanyeol, tentang EXO, tentang sosok di sampingnya dan perasaannya sendiri. Tiba-tiba saja, ada sesak tak terhingga yang menghimpit dada Luhan. Terlalu sesak hingga tanpa sadar ada air hangat menggenang di pelupuk mata.
"Maafkan aku karena jadi pengecut…," bisik Luhan lirih, terlalu lirih hingga tenggelam ditelan bunyi angin.
Luhan menghembuskan napas, berharap sesaknya dapat berkurang sesedikit apapun itu. Di sela-sela sesaknya, Luhan menutup mata lagi, karena sesak yang sama selalu hadir tiap kali Luhan memandang tengkuk Sehun yang tertutupi beberapa helai rambut pirang platina gelap.
"Maafkan aku karena tidak bisa jujur," Luhan berbisik lagi. Suaranya ditelan butiran-butiran perih yang melayang di udara.
Di sisi lain ranjang yang sama, Sehun mengerjapkan matanya yang hanya mampu menatap dinding. Menahan sesuatu tak bernama yang menyeruak keluar dari dalam dada sejak pertama kali Luhan berbaring di sisinya.
.
To Be Continued
.
[1] : disadur (dengan sedikit perubahan) dari teenlit karya Lexie Xu, berjudul Permainan Maut.
[2] : diambil dari segmen "A Man Wrote A Letter"-nya Suho di 300513 Sukira.
a/n : sejak awal saya selalu merasa kalau karakter Baekhyun itu terlalu lovable sampai bisa membuat orang lain menyukainya walaupun hanya dengan sekedar melihat sosoknya. dan saya juga selalu merasa kalau Luhan itu tipe teman yang kelewat loyal dan gak segan nangis demi/bareng temannya.
Well, this is my imagination, right? Mungkin saja, kalian punya pendapat yang berbeda. =)
Btw, adegan berantem di drama version Wolf #2 sangat penuh unsur film Indosi*r, ya? Untung di situ gak ada naga-naga dan elang raksasa hasil editan-_- tapi kenapa wajahnya Luhan lebih cakep waktu dia bonyok, ya? #jderr #dor #duarr
Growl dapat berapa kali menaaaaang, hayo~~? Duh, bangga sama mereka. \^o^/
Ada yang bersedia menunggu kelanjutan chapternya? Review, please?
.
kiss and hug,
kuncipintu.
