Hetalia - Axis Powers (c) Himaruya Hidekazu.

Tidak ada keuntungan material apapun yang di dapatkan oleh penulis atas pembuatan karya.

Dia melamun, lagi, selama lebih kurang lima belas menit hari ini, mengenai sesuatu yang akan membabat jumlah penduduk negeri yang dia representatifkan hingga hari ini, sampai nanti.

Tidak ada suara lain, rinai selaik hujaman kejam air hujan membuka dimensi hening lain, setelah mengoyak hening antara dia dan 'dia'.

"Yakinkah, kau, bagaimana cara memulai dan menghentikan peperangan dalam dunia?"

Cangkir teh setengah penuh (dan setengah kosong) itu dia mainkan saja, bergeming mencari jawab, dengan si lawan bicaranya ia tidak berani beradu tatap.

"Jika saja kau, sebagai perwakilan untuk menyuarakan pilihan rakyat dari seluruh wilayah negaramu, tetap mengambil keputusan ini, maka dampaknya bagi dunia akan besar sekali. Sangat besar, malah.

"Tidak cukup satu-dua tahun untuk menuntaskan semua ambisi, itu perlu waktu yang lama... Lama sekali..."

Derit tidak beraturan dari cangkir adalah perobek hening, selain derasnya mata air langit dan detak jam dinding yang memamerkan ketiga jarumnya...

... Pukul dua belas lebih tiga puluh menit sekian detik. Sudah tiga jam mereka duduk berhadapan, berperang argumentasi dan opini masing-masing.

"Indonesia adalah negara maritim yang sangat luas, melampaui negara Asia Tenggara lainnya tanpa banding..." Bicara si lawan bicaranya hanya dia dengarkan, tanpa niatan menjawab seucap kata apapun.

"... Beranugerahkan berbagai kelebihan dibandingkan negara lain, beranggotakan kekuatan militer yang mulai kokoh setelah terombang-ambing sekian dekade usia Indonesia."

Masih saja dia terbungkam. Tidak seperti biasanya, kali ini sang personifikasi 'kelam' Republik Indonesia terus diam.

Terlalu banyak serpihan tajam masalah di dalam benaknya.

"Peringkat militer negaramu mengalami peningkatan yang begitu signifikan. Melampaui Brazil, Iran, Australia, Korea Utara, termasuk juga negeri orang se-Asia Tenggara; yang notabene adalah saudara-saudarimu, melebihi batas hubungan teman satu region dalam sebuah dunia..."

(Sangat) Berkebalikan dengan si lawan bicara, yang hari ini (sangat) banyak mengutarakan ratusan menuju ribuan kata dari mulutnya.

"Ingatlah, pengutaraan 'ingin' demi kesumatnya dendam rakyatmu adalah bencana. Kaubisa mengakhiri kehidupan di bu-"

"Aku tahu. Cukup."

Sendok kecil pengaduh teh disentaknya ke meja, denting-denting tidak beraturan memutus rangkaian bicara lawan bicara Kartika, personifikasi 'legam' Indonesia.

"Aku tahu apa yang rakyatku rasakan. Itu sesak. Bahkan paru-paru yang terbakar hingga beralih menjadi abu pula masih tidak selara kesedihan, ketakutan, kebimbangan, kemurkaan, dan kehancuran mental, serta perasaan mereka semua.

Itu sakit. Sakit sekali. Teramat sangat sakit, hingga mati membusuk dengan belatung menggerogoti tubuh mereka dirasa jauh lebih baik dari perasaan mereka yang sudah terpasung pada rasa-rasa negatif itu..."

Kartika mengambil nafas, ada suatu rasa dari batinnya, secara terus-menerus mendorongnya untuk segera menangis, mewakili hancurnya mental Indonesia.

Hinaan yang teralamatkan kepada Indonesia terlalu merendahkan. Sangat merendahkan, seperti rakyat Indonesia tidak memiliki harga diri sebagai manusia.

Dihargai macam apakah Indonesia ini? "Kamu, personifikasi kedua dari Negara Matahari Terbit, barangkali kamu tidak pernah merasakan apa yang kami rasakan. Dicerca, dihina, ditindas, bahkan dijajah berkali-kali oleh berbagai negara yang ingin mendeklarasikan diri demi menjadi 'penguasa seumur hidup' di atas tanah Indonesia..."

Jrep!

Imajiner keris milik Indonesia yang berkedua sisinya tajam sepanjang lebih dari lima puluh luk Kuro rasa menusuk jantungnya dengan sangat cepat, hingga menembus tubuhnya.

Sesak. Pun salah satu kata yang Kartika katakan untuk mewakili perasaan negaranya.

'Indoneshia-san...'

Kartika mengambil nafas, lagi. "Bekerja di bawah cambukan dan tikaman alutsista, bahkan dilindas oleh kendaraan lapis baja para penjajah yang sangat kejam itu masih lebih baik, daripada hinaan negara yang mengaku-ngaku sebagai pemimpin dunia..."

Jreeepp!

'... Kau sama sekali belum memaafkan mantan penjajahmu?' Imajinernya tentang sebilah keris berukuran lebih kurang sama kembali menikam dalam diam tubuh Kuro, tepat menikam di ulu hati.

Ini yang kedua.

Nyeri. Sejatinya memang tidak ada darah yang mengalir keluar dari badannya.

"Tidak bisakah kauredam lagi amarah rakyatmu, The Republic of Indonesia?" Kuro mencoba untuk tenang, yang dia hadapi dalam segala tentangan argumen adalah salah satu negara yang siap menggoyahkan posisi negara-negara adidaya dunia...

... Pun termasuk dirinya.

Menggelengnya Kartika dengan tegas, tanpa pikir panjang, dengan rahang yang mengatup dengan garis rahang bawah yang terlihat kaku adalah 'masalah' untuk sekarang. "Aku sudah terlalu lama mengekang mereka untuk membalas luka.

"Dan itulah kesalahan sekaligus kebodohanku yang paling rendahan. Memberikan senyuman dan perilaku baik bagi 'mereka' yang telah menggores relief kenangan pahit..."

Sepersekian detik setelah dipejamkannya kedua mata, Kartika meloloskan sebutir bening tanda luka pada perasaan.

Kartika, sisi kelam Indonesia yang menyimpan semua kenangan pahit, buruk, rusak, apapun itu yang begitu negatif bagi bangsa Indonesia.

Tangan kanan 'Indonesia' mengepal kaku. "Kamu bukan 'Indonesia' yang aku kenal..."

Lirihan itu sebatas angin. "Pikirkan dan rundingkan masalah ini lebih dalam dari segala sudut pandang lagi, Kartika.

"Barangkali, kautemukan beberapa opini yang mungkin menentang keputusan mayoritas wargamu, yang meminta perang besar dan perang saudara serumpunmu tempo dekat." Kuro sampai pada satu kesimpulan: keputusan perang adalah sesuatu hal yang bahwasanya sangat sulit ditentang oleh pihak yang akan menabuh genderang perang...

Kartika merenung. Sebentar, cukup sesaat. "Tidak ada yang bisa dirundingkan lagi. Tidak ada yang bisa dipikirkan lagi." Kartika bangkit berdiri, merapihkan sedikit seragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara yang berwarna putih, lengkap dengan segala lencana penghargaan dan identitas.

"TNI Angkatan Udara."

"Benar..." Kancing di pergelangan tangan Kartika kaitkan. "Tanda deklarasi peperangan panjang, akan aku kibarkan Sang Saka dengan posisi terbalik..."

Merah Putih... Yang terbalik? "Apa artinya?"

Selarik senyum bersemu seringai tipis. "Pada waktunya, pencarian makna..."

"Terima kasih banyak, ya, sudah mau meluangkan lama waktumu untuk mendengarkan masalahku dan masalah negaraku, meskipun dengan kau memaksaku untuk bicara, Honda Kuro.

"Aku permisi. Sampai jumpa dengan 'aku yang lain'nya..."

Kartika beranjak keluar, demi mempersingkat waktu, lima detik berikutnya dia sudah berada di luar ruang runding.

'Aku bukanlah aku. Aku bukan Kartika yang kamu kenal...'

.o0o.

... daulat adalah kuasa,

... kuasa adalah ambisi,

... ambisi adalah kompetisi,

... 'lakon' kompetisi adalah 'dunia'...

- KOMPETITOR -

0o0

Bertegak di anjungan kapal perang terbesar negaranya, Kartika memberikan komando melalui tatap untuk mengubah suasana penduduk negaranya menjadi serius.

Lengkap dengan seragam TNI Angkatan Darat berwarna hitam,

Hanya ada serius. Penuh keseriusan. Tidak boleh ada yang berleha-leha mulai nanti.

Satu tangan, sebelah kanan, Kartika acungkan. Empat jari yang saling merapat dan ibu jari yang 'sendiri' itu kaku, bersamaan dengan sembilan paskibraka berseragam putih, lengkap dengan identitas masing-masing di belakangnya.

Detukan pantofel menggema, bersaing dengan debur ombak membiru semuan sapu putih.

Dua orang lagi, dengan seragam putih menyejajarkan letak badan, di samping Kartika. Saling sebelah-menyebelah, mendampingi, kelihatannya.

"Buka. Barisan. Kanan. KIRIIIIIIIIIIIIII- GRAK!"

Detukan pantofel kembali terdengar.

Di tengah-tengah barisan sejumlah sembilan pasukan pengibar bendera pusaka, berapitkan dari segala sisi oleh seorang demi seorang pasukan; seorang gadis bersurai hitam sebahu, tersenyum tipis, juga membawa baki untuk letakkan bendera maju mendekat.

Delapan lainnya masih jalan di tempat, lalu berhenti, berbarengan.

Tuk!

Tak!

Tuk!

Tak!

Tuk!

Tak!

Tuk!

Tak!

Prasasthiputeri Adelya Herfanisa; Adel, lima belas tahun usia pada tahun ini, puteri ketiga dari empat bersaudara.

Sang pelajar yang diberikan kesempatan untuk menjadi pembawa baki; sekaligus menjadi penyerah duplikat Sang Saka Merah Putih kepada Ratih Latifasari Kartika Radhyangkara Infanteri Kushnapaharani, sang personifikasi 'kelam' Indonesia, di atas kapal tempur RI-08, berada di anjungan.

"Balik kanan... Grak!"

Hanya seruan pelan, ketiga personifikasi wanita Indonesia menghadap Adel dan pasukan delapan.

Baki peletak dipasrahkan, Sang Saka berpindah tangan.

Adel mundur pelan-pelan, kembali pada seregu pasukan delapan.

Anjungan kapal memiliki tiang bendera, namun hanya delapan setengah meter, sebatas penunjang identitas penghuni kapal.

Kedua ujung bendera satu-persatu saling terkait dengan kaitan bertali pada tiang bendera, tidak pada letak yang se'benar'nya...

... Namun pada letak yang tertukar.

Srrrkk-

BRAK!

Terbentangnya bendera, siap berkibar gagah di cakrawala.

"Lapor. Bendera siap!"

Dengan posisi yang terbalik, Sang Saka Merah Putih, tanda kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, putih dan merah.

"Dengan penghormatan tinggi kepada Sang Saka yang sengaja dikibarkan dengan posisi terbalik...

"Dengan ini, Indonesia menyatakan PERANG terhadap United States of America, bersama para sekutunya..."

"... Hingga titik darah penghabisan, tumpah dara negeri tercinta...!"

.

Genderang perang ditabuh...

Seru-seruan serang riuh rendah digemakan.

Dari mulut para saksi, Indonesia Raya berkumandang spontan.

Dari Laut Jawa, kapal tempur seberat tiga ton Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang dibuat oleh PT. Nusantara Jaya disambut oleh para warga pesisir pantai.

Sang Saka Merah Putih, menjadi Sang Saka Putih Merah.

Peperangan besar akan terjadi, melibatkan lebih dari separuh warga dunia.

'Saya Indonesia...Dalam artian yang sesungguhnya.

'Saya Pancasila...' Dimana para petinggi negara semasa menuju proklamasi 1945 silam.

Demikianlah ujaran penyampai amanat rakyat Indonesia.

END.

A/N: Dibuat ketika perjalanan dari Klaten Kota menuju Mojokerto. Akhirnya selesai ketika masih di Ngawi Kota.

Dan dipublikasikan setelah sampai di Mojokerto, selang delapan jam sejak sampai ke tujuan. Heuhue.

Terinspirasi dari terbaliknya bendera Indonesia di buku panduan SEA Games 2017, yang pada akhirnya mengingatkan saya tentang makna sebenarnya dari bendera negara yang dibalik.

Well, thank's for read, and have a nice day!

LARNETTA BALIES.