DISCLAIMER :

Togashi-Sensei

PAIRING :

Absolutely KuroPika^^

SUMMARY :

He is a God, and she is a beginner Goddess. KuroPika in mythology. My second collaboration fic with Sends^^

GENRE :

Romance

WARNING :

AU, OOC, tidak mengikuti sebagian besar fakta yang ada dalam Mitologi Yunani.

A/N :

Sends :
Banyak pencobaan untuk editnya... soalnya memang banyak masalah.. Trus sempat bertengkar *plak*

whitypearl :
Berawal dari ide tak terduga yang melibatkan alter-self aku sama Sends, akhirnya kita bikin versi KuroPika-nya. Thanks to whatsapp, haha!

.

Happy reading!

.

.

Bulan purnama tepat berada di atas Gunung Olympus. Saat manusia terlelap dalam tidurnya, inilah saat bagi dewa dan dewi untuk berpesta. Tahukah kau pesta debut yang diadakan bagi putri bangsawan? Mereka pun mengenal acara seperti itu. Semua dewi yang merupakan keturunan dari dewa tingkat tinggi dan telah menginjak usia tujuh belas tahun, diperkenalkan kepada umum. Termasuk Kurapika yang merupakan cucu kesayangan dari Zeus, dewa tertinggi.

Malam itu memang merupakan malam yang istimewa bagi Kurapika. Kini gadis itu telah dewasa, dan ia sudah dianggap mampu melakukan apa yang ia inginkan berdasarkan pertimbangan dirinya sendiri. Dan lagi, hari ini adalah hari penentuan bagi semua dewi maupun dewa, yaitu penentuan posisi dan tugas mereka di khayangan. Semua mata memandang Kurapika dengan tatapan tidak percaya. Gadis kecil itu sekarang telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik nan mempesona.

Rambut pirangnya yang panjang berkilau di bawah sinar rembulan, tampak menarik perhatian di antara teman-temannya sesama dewi. Mata birunya yang sewarna dengan birunya samudera berbinar-binar menatap tempat pesta yang indah dan dihiasi bunga-bunga. Pipinya merona kemerahan saking gembiranya.

'Sekaranglah saatnya,' ucapnya dalam hati.

"Bagaimana pestanya menurutmu, Kurapika?" tanya Zeus pada cucunya itu.

"Indah sekali Kakek, aku suka," jawab Kurapika gembira...mengundang tatapan iri dari dewi lainnya yang juga diperkenalkan malam itu. Salah satunya bernama
Menchi, meliriknya dengan tatapan sinis.

"Baguslah kalau seperti itu. Sayang sekali pesta belum akan dimulai sampai tamu kehormatan kita datang dan duduk di bangku itu," Zeus melanjutkan ucapannya sambil menunjuk bangku yang terletak di salah satu baris paling depan.

Zeus kembali menatap cucunya sambil tersenyum, "Kau bisa berjalan-jalan dulu sebelum acaranya dimulai, tapi jangan pergi terlalu jauh."

Kurapika mengangguk dan membungkuk hormat, lalu menuruni tangga singgasana Zeus dan ikut menyapa para tamu. Lama-lama ia merasa bosan...

'Siapa sih tamu kehormatan itu? Lama sekali...sungguh lancang membuat semuanya menunggu seperti ini,' ia menggerutu dalam hati.

Kurapika melangkah keluar dan menenangkan diri di tempat yang sepi. Dari kejauhan, Kurapika melihat seorang pemuda bertubuh tegap memakai tuksedo hitam melangkahkan kakinya memasuki ruangan acara. Matanya terus terpaku pada pemuda itu. Apakah dia orang yang di tunggu-tunggu itu? Gadis itu melihat Si Pemuda berjalan menghampiri kakeknya dan menyerahkan sepucuk surat.

'Aneh sekali,' batin Kurapika ketika melihat kakeknya tersenyum setelah membaca surat itu.

Seorang dayang bergegas keluar dan menghampiri Kurapika.

"Aduh...ke mana saja? Ayo cepat masuk, acaranya akan segera dimulai! Demi Zeus, aku akan mati kalau tidak berhasil menemukanmu!" kata dayang itu sambil membawanya pergi.

"Tunggu, siapa pemuda itu tadi?" tany Kurapika ingin tahu.

"Entahlah, mungkin dia pembawa berita dari tamu kita..."

Kurapika bergegas memasuki ruangan acara dan kembali ke tempatnya. Dari situ ia dapat melihat para tamu yang hadir. Matanya kembali mencari sosok pemuda lancang tadi, mulai dari bangku yang paling belakang sampai ke depan. Betapa terkejutnya dia ketika melihat pemuda itu duduk dengan tenang di kursi yang telah ditunjukkan kakeknya tadi.

Ternyata Si Pemuda bukan pembawa berita, tapi dialah tamu kehormatan itu! Rambut hitam dan matanya yang berwarna onyx memukau dewi-dewi muda yang ada di sana.

"Dia akan menjadi milikku," tiba-tiba Menchi bergumam di sebelah Kurapika, seolah memang bermaksud agar gadis itu mendengarnya.

Kurapika mendengus sebal. Bisa-bisanya pemuda lancang itu memukau para dewi di sana. Harus diakui pemuda itu memang menarik, tapi benar-benar lancang! Bagaimana bisa Zeus menjadikannya sebagai tamu kehormatan?

Seolah menjawab pertanyaan Kurapika, Zeus berbisik padanya, "Dia masih keturunan dewa tingkat tinggi. Baik-baiklah kau dengannya, kau akan banyak bekerjasama dengan Kuroro nanti."

Kurapika sangat terkejut. Dia baru saja akan protes saat acara tiba-tiba dimulai. Kurapika betul-betul tidak menyangka dengan apa yang baru ia dengarkan. Bekerja sama? Apa maksudnya ini? Satu hal yang dapat ia pastikan, dia belum tentu bisa bekerja sama dengan orang yang tidak disiplin seperti itu. Terlambat di acara penting menunjukkan watak asli seseorang. Ia berdoa dalam hati semoga ia dapat memperoleh keajaiban di malam yang istimewa ini.

Kelima orang dewi bertekuk lutut di hadapan Zeus, masing-masing diberi sebuah mahkota bertatahkan batu mulia. Kurapika menerima batu safir yang sewarna dengan matanya. Semua menikmati upacara itu...hingga tiba saatnya pemberian tugas.

"Kau, bertugas untuk menuliskan takdir setiap perempuan di bumi. Laksanakanlah dengan bijak," kata Zeus.

'Takdir?' batin Kurapika. Bukankah ada sekian banyak perempuan di bumi ini? Harus menuliskan takdir setiap perempuan. Lucu sekali. Pekerjaan ini harus dilakukan olehnya sendirian? Tiba-tiba ia teringat akan pemuda bernama Kuroro yang akan menjadi partner kerjanya. 'Bisakah pemuda itu membantuku?'

"Lalu dia," Zeus berkata lagi sambil mengisyaratkan Kuroro untuk menghampiri. "Akan menuliskan takdir semua laki-laki...mungkin kalian akan tinggal di tempat yang sama."

Kurapika langsung melirik Kuroro dengan sebal, sementara pemuda itu menatapnya sekilas. Kuroro dapat melihat dengan jelas kekesalan di mata gadis itu. Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan mohon diri untuk mulai mengikuti acara kembali.

"Kakek, tempat apa mksudnya ? Tinggal bersama dia? Aku tidak mau!" protes Kurapika kesal.

Zeus tertawa, "Hahaha, benar juga! Tapi kalian akan memiliki gedung kerja yang sama. Ayo, ini malam milikmu...bergembiralah!"

Kurapika merengut, bagaimana caranya menikmati pesta saat Kuroro sudah merusaknya?

Kuroro menatap dewi-dewi bermahkota itu sambil tersenyum. 'Dewi-dewi pemula,' ia berkata dalam hati dengan sinis. Pemuda itu berjalan meninggalkan kursinya dan mengambil minuman di meja panjang yang terdapat di sisi kanan ruangan.

Kurapika mengambil minuman dengan rasa strawberry favoritnya, membuatnya kembali bertemu dengan Kuroro. Tanpa sengaja mata mereka bertatapan.

"Oh, hai partner," Kuroro menyapa.

"Hai," jawab Kurapika dengan raut wajah datar.

Saat mengambil kue, tanpa sengaja mereka mengambil kue yang sama dan tangan Kurapika menyentuh tangan Kuroro. Menchi melihat hal itu dari jauh dan memicingkan matanya.

Kuroro menaikkan sebelah alis matanya sambil tersenyum lalu memberikan kue itu kepada Kurapika.

"Hn, Ngomong-ngomong selamat atas..." Pemuda itu terdiam beberapa saat kemudian tersenyum, "Atas penugasanmu. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik."

"Terima kasih," jawab Kurapika pelan. Ternyata Kuroro punya senyum yang menawan, membuatnya lupa sejenak akan kekesalannya. "Kuharap kau tidak terlambat lagi nanti," kesadaran Kurapika pun kembali lagi.

Bersamaan dengan itu, musik dansa mulai dilantunkan. Menchi segera datang menghampiri. "Dewa Kuroro, ayo kita berdansa," katanya sambil berdiri tepat di antara Kuroro dan Kurapika.

Kuroro mengangguk lalu mengulurkan tangannya pada Menchi. Pemuda itu tersenyum lagi pada Kurapika sebelum meninggalkan gadis itu beserta kuenya.

Kurapika memakan kuenya dengan gusar. Kenapa sepertinya Menchi tidak menyukainya? Dia tidak mengerti sama sekali.

'Silakan saja, siapa juga yang mau ditugaskan bersamanya!' gerutunya dalam hati.

Menchi pun berdansa bersama Kuroro. Ya, dia memang sudah mengincarnya sejak lama. Pasti dia bisa memperoleh kedudukan lebih dari Kurapika jika berhasil mendapatkannya.

"Wah sepertinya ada kotoran di wajahmu," kata Kuroro sambil mengelus pelan pipi Menchi sambil tersenyum menatap mata Menchi dalam, "Biar aku bantu membersihkannya."

Pemuda itu menggosok-gosok pipi Menchi dengan keras menggunakan tangannya, hingga Menchi meringis. "Wah, tidak bisa hilang. Rupanya bukan wajahnya yang kotor tapi hatinya."

Mata Menchi membelalak. "Apa maksudmu? Kau lancang sekali, pada dewi secantik aku!" Menchi melepaskan tangannya dari bahu Kuroro. Dia benar-benar merasa tersinggung.

Dari kejauhan, Kurapika melihat hal itu. Dia merasa heran, namun tanpa sadar dia pun tersenyum. Dengan kesal Menchi melangkah pergi meninggalkan Kuroro.

Kuroro tersenyum puas...kemudian kembali duduk di tempatnya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Acara tahun ini sedikit membosankan. Pemuda itu memperhatikan para dewi yang berada pada acara itu satu-persatu. Merasa tidak ada satupun yang menarik perhatiannya, Kuroro meninggalkan ruangan itu.

.

.

Kurapika merasa kesal pada seorang pemuda yang terus memaksanya untuk berdansa. "Lain kali saja ya," ia menolak lalu segera menjauhkan diri.

Sebelum keluar, Kurapika menyempatkan diri untuk mengambil segelas anggur. Itu adalah anggur pertamanya, karena sebelum berusia tujuh belas tahun seorang dewa maupun dewi tidak diperbolehkan meminumnya.

'Malam ini milikku, jadi tak apa kan kalau aku berpesta sendiri?' sambil berpikir begitu, Kurapika melangkah keluar menuju ke taman.

Kuroro yang berada agak jauh dari tempat di mana Kurapika berada, melihat gadis itu namun ia tak mengenalinya. Melalui mahkota yang ada di kepalanya, ia tahu bahwa dewi itu pastilah dewi baru yang belum tahu apa-apa. Karena merasa bosan, pemuda itu lalu mengeluarkan buku takdir yang ada padanya kemudian menuliskan takdir-takdir para lelaki di buku itu.

Kurapika duduk di kursi taman yang terbuat dari batu pualam dengan ukiran yang indah, menatap segelas anggur yang dipegangnya.

'Diminum langsung atau sedikit-sedikit ya? Aku lupa,' ia bertanya-tanya dalam hati. 'Ah...sama sajalah!'

Kurapika langsung meminumnya dalam sekali teguk. Dia tidak tahu, anggur itu baru boleh diminum saat acara berakhir karena efeknya lebih dari anggur biasa, Dyonisos Sang Dewa Anggur sendiri yang membuatnya. Dalam waktu sebentar saja, Kurapika langsung mabuk. Ia mulai meracau tak karuan.

Kuroro mendengar suara itu. Awalnya Kuroro mengacuhkannya, tapi lama-lama ia merasa terganggu. Kuroro menutup bukunya lalu dengan perlahan ia melangkahkan kaki mendekati asal suara. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Kurapika sedang duduk dengan keadaan mabuk. Kuroro menghampirinya lalu melirik sekilas gelas anggur yang ada di samping Kurapika.

'Jangan-jangan...'

Kuroro mengangkat gelas itu, mencicipi sedikit anggur yang tersisa di dalamnya. Sekarang sudah jelas.

'Dasar dewi bodoh,' batin Kuroro sambil meletakkan gelas itu kembali.

Pemuda itu berpikir sejenak, lalu kembali masuk ke dalam ruangan pesta sekedar untuk meminta izin kemudian kembali ke taman. Ia menggendong Kurapika dan membawanya pergi dari sana.

Kurapika terus mengoceh tak jelas...namun ia terdiam saat melihat wajah pemuda yang menggendongnya.

"Kau siapa?" ia bertanya, lalu tertawa kecil. "Ah...Ayah, bagaimana mungkin aku bisa lupa padamu. Sudah lama sekali...," ucap Kurapika sambil memeluk leher Kuroro yang ia kira ayahnya. Zeus akan murka kalau sampai melihat cucunya dalam keadaan seperti itu.

Kuroro membawa Kurapika ke gedung kerjanya yang berada tidak jauh dari tempat pesta. Setidaknya gadis itu bisa lebih aman di sini dari pada duduk sendiri di taman itu. Perlahan, Kuroro membaringkan Kurapika di ranjang yang berada di sana.

Kuroro baru saja melepasnya saat tiba-tiba Kurapika membuka mata dan menarik tangannya. "Ayah mau ke mana lagi? Jangan tinggalkan aku...," ia memohon dengan mata berkaca-kaca dan suara yang lirih.

Kuroro tersentak...untunglah dia segera mengerti. Kurapika sedang mabuk, tak menyadari apa yang tengah ia ucapkan. Walau misalnya ada cerita di balik ucapan gadis itu, itu bukan urusannya.

Kuroro tersenyum kemudian membelai rambut Kurapika. "Aku tidak akan kemana-mana," bisiknya.

Kurapika menatapnya sayu sambil membalas senyumannya. Sayup-sayup terdengar suara musik dari ruang pesta, membuat Kuroro sadar kembali.

'Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan kesadarannya? Beberapa jam lagi pesta akan berakhir...' ia berpikir keras.

Pemuda itu menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu sambil memanggil namanya, berharap gadis itu bisa segera sadar, "Kurapika! Bangun Bodoh. Hei! Kurapika."

Mata Kurapika berkedip. Kuroro menghela napas lega, tapi ia langsung kecewa saat tiba-tiba Kurapika beranjak dan memeluknya.

"Ayah...," ia memanggil. Rupanya dewi itu masih belum sadar.

Kuroro mengguncang-guncang tubuh gadis itu pelan, berusaha membangunkannya. "Hei! Sadarlah! Aku bukan ayahmu! Kurapika, bangunlah!"

Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar.

"Temukan Dewi Kurapika!" seseorang berkata.

Kuroro terkejut. Untunglah tak ada yang berani masuk ke tempatnya. Ia menghela napas berat dan menatap Kurapika yang masih mabuk di ranjangnya. Kuroro berusaha mengingat kembali apa yang ia dapat saat masih belajar dulu.

Pemuda itu akhirnya teringat. Iapun mendekatkan dirinya pada Kurapika dan mengucapkan mantra.

Tak lama kemudian, mata Kurapika kembali fokus. Mantra yang dibisikkan Kuroro mulai bekerja. Tapi kemudian mata biru itu membelalak saat melihat seseorang berambut hitam berada tepat di samping wajahnya.

"KYAAA...!" Kurapika menjerit dan segera mendorong Kuroro. Ia tambah terkejut saat menyadari bahwa ia tengah berada di ranjang pemuda itu!

Kuroro menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Mereka mencarimu."

Kurapika segera memeriksa dirinya. Pakaiannya masih lengkap...untunglah. Tapi dia tetap waspada. Kurapika baru saja akan menanyai Kuroro untuk memastikan hal ini saat tiba-tiba pintu ruang kerja itu diketuk. Kuroro meninggalkan Kurapika sejenak, keluar dari kamar lalu membuka pintu depan. Ada seorang dayang di sana.

"Maaf Dewa, apakah Anda melihat Dewi Kurapika?"

"Wah, kebetulan dewi yang kalian cari itu tidak ada di sini. Mungkin kau bisa cari ke tempat lain," jawabnya sambil tersenyum ramah kemudian menutup pintu kembali. Pemuda itu kembali menatap Kurapika, "Kau tidak apa-apa. Sekarang keluarlah...kau tahu apa akibatnya nanti kalau sampai ketahuan."

Kurapika segera turun dari tempat tidur dengan cemberut, sembari merapikan gaun dan rambutnya. Tiba-tiba pintu itu diketuk lagi. Kuroro menghela napas kesal dan kembali membuka pintu sambil tersenyum pada orang yang sama dengan yang datang tadi.

"Maaf...," kata dayang itu dengan pipi yang merona. "Zeus meminta Anda untuk datang bersama Dewi Kurapika...aku harus bagaimana? Apa yang harus kukatakan nanti?"

"Tunggu sebentar," jawab Kuroro, kemudian ia menutup pintu ruangan itu. Kuroro berbalik...kembali memusatkan perhatiannya pada Kurapika. "Tak ada pilihan lain, kita harus keluar sekarang," katanya tegas.

Kuroro sedikit mengernyit ketika melihat ada sesuatu yang salah, ia melangkah menghampiri Kurapika dan membetulkan letak mahkotanya. Untunglah cahaya kamar itu cukup redup untuk menyembunyikan rona kemerahan di pipi putih sang dewi.

Setelah selesai, Kuroro kembali membuka pintu dan meminta dayang itu untuk pergi lebih dulu sambil berjanji akan membawa serta Kurapika menghadap Zeus.

"Terima kasih Dewa," kata dayang itu sebelum melangkah pergi.

Kuroro menatap kepergian dayang itu. Setelah dirasa aman, ia segera mengajak Kurapika pergi, "Ayo kita sudah ditunggu."

"Iya aku tahu, tidak usah kasar begitu!" jawab Kurapika marah sambil melangkah cepat melewati Kuroro. Kuroro mengernyit melihat tingkahnya. Mereka akan bertugas bersama mulai esok hari, tapi malam ini merupakan awal yang kurang baik bagi keduanya. Ia pun berjalan, berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Kurapika dan kembali ke tempat pesta diadakan.

"Kurapika Cucuku, kemana saja kau?" tanya Zeus kepada Kurapika. Ia mengalihkan pandangannya kepada Kuroro, menyapanya dengan tersenyum ramah.

"A-aku...," Kurapika bingung harus memberikan alasan apa pada kakeknya itu.

Untunglah Kuroro segera bicara, "Tadi Kurapika merasa sedikit bosan...kurasa dia hanya berjalan-jalan di sekitar sini. Aku bertemu dengannya di taman." Tak lupa ia menoleh dan tersenyum pada Kurapika.

"Itu benar Kek," Kurapika mengiyakan.

"Oh, kalau begitu cepatlah bergabung dengan kami."

Kurapika melihat kakeknya kembali bergabung bersama para tamu yang hadir di sana. Gadis itu menolehkan pandangannya pada Kurapika, "Terima kasih," ucapnya pendek.

"Sama-sama," jawab Kurapika. Tapi kemudian senyumnya berubah menjadi senyum jahil. "Jangan sentuh anggur itu lagi malam ini, aku tidak mau menggendongmu untuk yang kedua kalinya."

"Aku juga tidak mau digendong olehmu!" kata Kurapika segera. Suaranya terdengar agak keras, membuat beberapa orang tamu menoleh ke arah mereka.

"Maaf, dia terlalu bersemangat untuk berdansa," Kuroro beralasan.

Kurapika tercengang mendengarnya, tapi Kuroro segera menariknya ke lantai dansa.

Kuroro menggenggam sebelah tangan Kurapika dan mulai melangkahkan kakinya. Pemuda itu terkekeh pelan kemudian menatap Kurapika, "Kau bisa dansa 'kan? Jangan membuatku kerepotan untuk mengajari bocah sepertimu lagi."

Kurapika pun marah. "Maksudmu apa!" desisnya kesal.

Sebelah tangan Kuroro pun sudah berada di pinggangnya, membuatnya tak senang. Kurapika menjejakkan hak sepatunya ke atas sepatu Kuroro.

Kuroro terdiam sebentar. "Kamu nakal sekali," gumamnya sambil sedikit meringis. "Diam ya...jangan pindahkan kakimu."

Kurapika heran, tapi ia terhenyak saat tiba-tiba Kuroro mengangkat kaki yang ia injak, membuat gadis itu terangkat ke udara untuk beberapa saat. Para tamu kagum melihatnya dan bertepuk tangan.

Kuroro menahan tubuh Kurapika agar gadis itu tidak terjatuh, lalu ia membantu Kurapika untuk berdiri kembali di lantai dansa juga membungkukkan badannya seraya memberikan penghormatan. Tepuk tangan riuh terdengar. Sekilas pemuda itu tersenyum licik ke arah Kurapika sebelum pergi meninggalkannya.

Kurapika mengepal kedua tangannya erat. 'Ughhh...aku benci!' ia menggerutu dalam hati. Pemuda itu benar-benar telah merusak malamnya yg indah.

.

& Skip Time&

.

Pagi ini hari pertama Kurapika bertugas. Ia segera melangkah tergesa-gesa menuju ke tempatnya bersama Kuroro. Sebuah buku berwarna merah muda ada di tangannya.

Tiba-tiba ia mendengar suara yang rasanya sudah tidak asing lagi di telinganya, "Riasanmu tebal, rokmu pendek, dan kau terlambat. Aku ingat kejadian beberapa jam yang lalu di mana seorang dewi ingusan berkata padaku agar aku tidak terlambat di hari kerjaku. Satu hal yang ingin kutekankan pada bocah itu, aku tidak pernah terlambat sekalipun."

Dahi Kurapika langsung berkerut mendengarnya. Ia membuka pintu lebih lebar dengan sebuah hentakan keras. "Riasan tebal apa? Aku hanya memakai riasan yang tipis! Rok ini juga masih wajar kok! Dan aku terlambat hanya karena sakit kepala gara-gara mabuk semalam! Setidaknya bukan aku yang terlambat di acara penting! Catat ya, umurku sudah tujuh belas tahun dan aku bukan anak ingusan lagi!" omel Kurapika.

Kuroro mendecakkan lidahnya dan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, "Oh ya? Tunjukkan padaku bahwa kau sudah dewasa. Dasar anak manja. Kenapa? Kau takut di tinggalkan oleh ayahmu? Dasar cengeng, ingusan, bodoh, polos, menyebalkan, menyusahkan, merepotkan, bocah. Kemarin itu karena awalnya aku tidak mau menghadiri acara. Seharusnya yang diundang itu ibuku, bukan aku."

Kurapika terdiam sebentar. "Jangan bicara sembarangan! Aku sudah sepuluh tahun tidak bertemu ayahku, kau tidak tahu bagaimana rasanya!"

Kurapika tidak tahu bagaimana Kuroro bisa mengetahui hal itu, tapi dia merasa sakit hati karena penderitaannya dijadikan lelucon oleh pemuda itu. Mata biru Kurapika berkaca-kaca, ia berusaha menahan tangis lalu duduk diam di tempatnya.

Kuroro tersentak kaget melihat Kurapika menangis. Ia mendekati gadis itu dan memberikan saputangannya.

"Maafkan aku. Tenanglah," Pemuda itu kembali duduk di hadapan gadis itu. "Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu. Tapi aku bisa mengerti satu hal."

"Apa yang kau mengerti?" tanya Kurapika kesal. Ia menampik sapu tangan yang disodorkan Kuroro. "Tidak usah, terima kasih. Aku tidak menangis kok." Kurapika berusaha sebisa mungkin menahan air matanya.

Pemuda itu duduk di samping Kurapika, kemudian mengelus punggungnya dengan lembut, berharap sentuhannya dapat menenangkan gadis itu, "Aku mengerti bahwa kau itu mungkin father complex."

"Tidak! Siapa yang bilang aku begitu," jawab Kurapika dengan suara yang lebih pelan sambil memalingkan wajahnya. Tanpa ia sadari setetes air mata jatuh dari sudut matanya.

Kuroro menghapus air mata gadis itu menggunakan ibu jarinya kemudian tersenyum lembut.

Kurapika terkejut. Oh tidak, orang yang dia benci sudah melihat air matanya! Mau ditaruh di mana harga dirinya? Kurapika merasa wajahnya memanas...pasti pipinya sudah memerah sekarang.

"Cuci mukamu. Kita akan pergi ke bumi hari ini. Ada tugas penting yang harus kita lakukan," kata Kuroro sambil keluar dari tempat itu.

Kurapika segera merapikan diri, lalu mengikuti Kuroro pergi ke bumi. Ia peluk erat buku merah mudanya.

"Ada apa? Apa yang harus kita kerjakan di sini?" tanya Kurapika heran. Ia pun sedikit merasa bingung dengan keadaan sekitarnya.

"Keluarkan bukumu dan lihat pasangan yang ada di sana," kata Kuroro sambil menunjuk pasangan yang sedang duduk berdampingan di sebuah kafe, "Aku mau mereka bertengkar hari ini."

"Kenapa kau mau mereka bertengkar? Kenapa aku harus menuliskan hal yang tidak menyenangkan seperti itu?" protes Kurapika keras.

Kuroro menghela napas. Kurapika benar-benar masih polos rupanya.

Pemuda itu mengelus kepala Kurapika, "Lakukan saja sesuai dengan perkataanku. Tuliskan di bukumu itu bahwa sebentar lagi gadis itu akan marah dan menyiram pacarnya dengan minuman," Kuroro memasang wajah seramnya, berusaha memaksa Kurapika untuk menuliskan apa yang ia minta.

Kurapika terkejut...dia benar-benar bingung sekarang. Karena begitu tiba-tiba, Kurapika pun menuliskan apa yang diminta Kuroro. "Pokoknya kau yang bertanggung jawab!" pekiknya.

"Kau lihat saja nanti," balas Kuroro cuek. Dia pun menuliskan beberapa kalimat pada bukunya kemudian dengan cepat menutup buku itu kembali.

Akhirnya apa yang dituliskan Kurapika pun terjadi. Kurapika membalikkan badannya, menutup telinganya karena ia merasa tak nyaman mengetahui bahwa kejadian itu terjadi karena perbuatannya. Sementara itu Kuroro hanya meliriknya sambil tersenyum, kemudian menanti apa yang ia rencanakan.

Pemuda itu menarik tangan Kurapika lagi. Ia membawa gadis itu menuju ke sebuah lapangan luas yang cukup ramai. Kuroro membuka bukunya kemudian mulai mencatatkan takdir lagi.

"Nah, sekarang catatkan takdir gadis itu sesuai keinginanmu," ucapnya.

Kurapika pun menuliskan, 'Di hari ini, Si Gadis akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari kekasihnya yang sebelumnya...dan menjalin cinta bersama.'

Kuroro menatap Kurapika tajam, "Hentikan! Kau merusak takdir pemuda itu! Cepat batalkan itu."

"Apa maumu sebenarnya?" Kurapika benar-benar kesal sekarang. Kuroro hanya memerintah tanpa mengatakan alasannya! "Katamu tadi aku harus menulis apa yang kuinginkan!"

"Bukan untuk gadis itu! Tapi gadis yang di sebelahnya! Dasar teledor! Bocah!" bentak Kuroro pada Kurapika.

"Kau tadi tidak mengatakannya dengan jelas padaku! Jelas saja aku tidak mengerti! Kau juga terus mengataiku bocah...memangnya berapa umurmu? Kau menjadi dewa lebih dulu, pasti hanya berbeda beberapa tahun!" Kurapika pun mengomel.

"Pokoknya kau harus mengubah tulisanmu itu! Sekarang! Kau bocah! Pokoknya bocah! Sekali bocah tetap bocah!" balas Kuroro tidak mau kalah. Pemuda itu menatap Kurapika tajam.

"Hakmu apa memarahi aku? Orang tua cerewet...!" pekik Kurapika tak kalah kerasnya.

"Pokoknya ubah! Kalau tidak, kau kucium."

"A-apa?" Kurapika benar-benar kaget. "Kau mesum! Aku tidak mau ciuman pertamaku diambil dewa sepertimu!"

Kurapika tidak punya pilihan lain, ia pun menuliskan agar gadis yang dimaksud Kuroro bertemu dengan pemuda yang disiram di cafe dan ternyata mereka adalah saudara kandung.

"Bukan seperti itu! Tulis kalau dia menyadari kalau pacarnya itu satu-satunya cinta sejatinya! Cepat tulis atau ciuman pertamamu kurenggut!"

"Pacarnya yang mana? Aku tidak mengerti! Gadis itu 'kan sendirian, kecuali gadis yang di cafe tadi! Aku tidak mengerti maksudmu!" Kurapika membalikkan badannya dan mendekap bukunya erat.

"Untuk gadis yang di kafe tadi, buat dia menyadari kalau kekasihnya itu satu-satunya cinta sejatinya. Untuk gadis yang sendiri tadi, buat dia agar bisa lebih terbuka pada teman-temannya."

Kurapika mendengus kesal, lalu menuliskan apa yang diminta Kuroro. Tentu saja sambil mulutnya terus melontarkan protes. Setelah selesai, Kurapika menutup bukunya.

"Sudah! Puas kau sekarang? Kau ini menyebalkan sekali! Cerewet! Tidak sopan!"

Kuroro tersenyum kemudian membawa Kurapika ke sebuah pantai yang cukup sepi. Pemuda itu duduk di batu karang di tepi pantai dan mengajak Kurapika untuk duduk di sampingnya.

Kurapika menghela napas. Hari pertamanya ini terasa begitu melelahkan, karena dia terus berdebat dengan Kuroro. Kurapika melirik pemuda itu. Tatapannya jauh memandang laut yang biru.

"Kita akan menunggu di sini sampai matahari terbenam. Apa kau masih bisa bersabar sebentar?" Tanya Kuroro sambil merapikan rambut Kurapika yang sedikit berantakan karena angin pantai, "Siapa tahu saja kau nanti akan merengek minta pulang padaku. Aku tidak mau mengurusi bocah yang merengek-rengek pada orang sibuk seperti aku."

"Memangnya setelah matahari terbenam akan ada apa?" tanya Kurapika sambil menepis tangan Kuroro dari rambut pirang panjangnya. "Dan berhenti memanggilku bocah!" wajahnya kini cemberut.

Kuroro tidak menggubris perkataan Kurapika. Dia terus diam sambil menuliskan takdir para lelaki.

Tanpa terasa, matahari telah terbenam. Ia menutup bukunya dan memandang lurus ke depan.

"Kau lihat pasangan yang ada di sana?" tanya Kuroro sambil menunjuk arah yang ia maksud. "Mereka adalah pasangan yang bertengkar di kafe tadi. Sekarang pemuda itu sedang melamar si gadis. Setelah bertengkar tadi dia baru menyadari betapa pentingnya gadis itu di dalam hidupnya."

Kurapika melihat pasangan itu dengan seksama. Kuroro kemudian melanjutkan kata-katanya, "Cinta itu tidak selamanya berjalan mulus. Kadang ada tanjakan yang memaksanya untuk terus berusaha maju."

"Kenapa tidak dituliskan saja langsung pemuda itu melamar pacarnya tadi? Jadi tidak harus bertengkar dulu,"Kurapika masih saja protes. Dia belum pernah jatuh cinta dan baru pertama kali mengurusi hal ini, jadi dia sama sekali tak mengerti bahwa masalah jika disikapi dengan baik dapat memperkuat ikatan cinta yang ada.

Kurapika memperhatikan pasangan itu sambil menunggu jawaban Kuroro. Ia melihat Si Gadis mengangguk, lalu mereka berciuman setelah kekasihnya menyematkan sesuatu di jarinya. Kurapika pun merona seketika.

Kuroro melirik Kurapika sekilas. Ia melihat rona merah tipis di pipi gadis itu. Otaknya tiba-tiba mendapatkan pencerahan yang luar biasa, lalu ia berkata,

"Kenapa? Kau juga mau dicium seperti itu? Aku mau memberikannya secara cuma-cuma untukmu. Mengingat ini bukan lagi ciuman pertamaku. Tapi aku senang bisa mengambil ciuman pertamamu. Itu pun kalau kau bersedia."

"Kau senang, tapi aku yang tidak senang kalau ciuman pertamaku diambil dewa menyebalkan sepertimu!" kata Kurapika sambil menjulurkan lidahnya kesal dengan wajah merah padam bercampur malu dan marah. Dia bertugas menuliskan takdir, tapi takdirnya sendiri sungguh menyedihkan! Benar-benar ironis.

Kurapika segera berdiri, tapi ia kehilangan keseimbangan dan tanpa sadar menarik Kuroro hingga pemuda itu terjatuh tepat di atasnya.

"Wah, kau benar-benar agresif. Kau mau aku cium?" bisik Kuroro lembut.

"B-bukan begitu! Aku tidak sengaja!" kata Kurapika sambil mengeraskan suaranya supaya tidak terdengar gugup. Tapi tetap saja suaranya gemetar.

Kuroro tersenyum lalu segera mengangkat tubuhnya dan berdiri tegak kembali.

"Baiklah, cukup untuk hari ini. Besok kita mulai latihannya lagi. Begitu kau sudah bisa, kau bisa bekerja sendiri. Sekarang aku harus pulang, aku punya kencan dengan Menchi malam ini."

Kuroro berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan Kurapika tanpa menoleh sedikitpun.

Setelah Kuroro menghilang dari pandangan, Kurapika menjerit sejadi-jadinya. Untunglah saat ini tak ada manusia yang bisa melihat maupun mendengarnya. Kalau tidak, mereka bisa terkejut melihat gadis cantik seperti dia bertingkah seperti itu.

TBC

.

.

A/N :

Review please…