Double Lariat

Dalam jarak 85 cm, tangan ini akan menggapainya.

– Setidaknya itulah yang kupikirkan.

Berada di bawah rindangnya pohon yang ranting dan daun-daunnya menari oleh angin yang berhembus ringan. Tubuh yang bersandar di batang dan berteduh di balik bayangnya. Kaki yang dibiarkan lurus tegak membuat badan bagian atas berdiri tegap.

Manik zamrudku terlihat terus menelusuri suatu objek di depan sana. Alisku turun dengan pasrah.

Melihat sang rekan sesama sniper terus menembakkan pelurunya tepat pada sasaran. Meski berdiri di atas alas yang tidak memungkinkan untuk berdiri, peluru BB sewarna bunga sakura itu terus dilesatkan tanpa ragu oleh sang empu yang matanya tertutup oleh poni hitam panjangnya.

Dengan wajah agak tertunduk, aku menguatkan genggaman pada pistol angin yang kupegang.

"Sekarang aku akan melakukannya. Jadi, tolong minggir."

.

.

.

'Aku percaya padamu.'

Entah sejak kapan aku sering dipercaya oleh orang lain. Aku tak ingat kapan dan dimana aku mulai terus dimintai tolong. Aku hanya murid biasa yang hanya ingin dipercaya, namun tak mungkin kukatakan itu sekarang. Karena faktanya aku sama sekali tak bisa mengemban kepercayaan itu. Bahkan, kepercayaan itu sudah kutanggalkan setelah aku ditetapkan pindah ke kelas E.

Namun, sekali lagi aku diberikan kepercayaan oleh teman-temanku. Kali ini kudiembankan kepercayaan yang lebih berat; Sniper. Bukan mauku menjadi yang terbaik dalam hal tembak-menembak.

Namun, entah kenapa tiap kuberpikir begitu, kepalaku selalu pusing. Dan kemudian aku memutuskan untuk tidak memikirkannya, dan tetap melanjutkan 'tugas'-ku itu.

Membidik target melalui scope yang menempel pada bagian atas senapan, kemudian menarik pelatuknya. Berkali-kali aku melakukan itu di kelas ini. Kepercayaan itu pun mulai kupercaya sedikit demi sedikit, dan kukembangkan 'bakat'-ku ini.

Bakat sebagai sniper ini pun mulai meningkat saat setiap kali aku berlatih. Meski hal itu tak bisa menandingi salah seorang temanku. Namanya Chiba Ryuunosuke, dialah yang memegang rekor tembak-menembak terbaik di kelas. Dan tentu peringkat dua pun bukan padaku, melainkan ketua kelas yang serba bisa.

2 orang berada di atasku, dan tak bisa kutandingi. Sama sekali tak bisa. Mengingatnya membuatku galau lagi.

"Mau bagaimana lagi."

Kubergumam pelan dan memutuskan untuk pasrah.

Kini jarak dengannya mulai menjauh dari 85 cm menjadi 250 cm. Kusadar bahwa dari angka 85 itu tak bisa kudekatkan lagi. Meski kumencoba berkali-kali, masih ada yang lebih hebat dariku. Kupikir aku bisa menggapainya, namun faktanya, tanganku hanya terangkat terus menerus tanpa bisa melakukan itu. Bahkan menyentuhnya pun sama sekali tak bisa.

Aku tahu itu, bahkan dari awalpun aku sudah tahu.

"Hayami hebat, ya. Seperti profesional. Aku jadi bersyukur bisa berpasangan denganmu dalam hal tembak-menembak." Kau berkata padaku dengan bangganya saat kuberhasil menembak 3 balon yang terbang secara bersamaan.

'Apanya coba?'

Jika dibandingkan denganmu yang bisa menembak tepat sasaran tanpa meleset 1 mm pun, aku bukanlah apa-apa. Tidak, tak perlu membandingkan denganmu. Bahkan dengan Isogai, aku hanya bisa menandinginya dalam hal pandangan kinetis. Di lain hal, dia memiliki banyak bakat lebih dari-ku yang hanyalah murid normal.

"Hhh..."

Kumenghela napas, dan kumengerti bahwa 250 cm itu seharusnya 5.200 cm.

Ah, aku teringat oleh salah satu temanku yang selalu menyinggung soal 'bakat'. Apa menembak memang bakatku? Aku tak yakin tentang itu.

Kalau dipikir-pikir, bakat menembak bukanlah milikku, tapi milik Chiba. Aku yang berada di bawahnya tak berhak memiliki bakat yang sama.

Begitu kupikir, jarak yang kutentukan itu kini menjadi 6.300 km.

"Kau pasti bisa!"

Kalimat penyemangat yang sering terdengar. Hanya sebagai basa basi untuk meminta pertolongan dan memberikan kepercayaan pada yang bersangkutan. Dan bahkan, jika itu Isogai yang mengatakannya, bukan berarti aku mempercayai begitu saja. Meski baru saja kumendapatkan kalimat itu darinya, aku hanya menutup mataku dan mengeluh sakit jika bertatapan dengannya.

Iri? Bukan, mungkin bukan itu.

Aku yang berada di bawah ini tak berhak iri padanya yang serba bisa. Serba bisa, ya? Omong-omong kenapa harus aku yang berpasangan dengan Chiba? Kalau dipikir, tak seharusnya pengaturannya begitu. Aku yang hanya peringkat 3 ini tak sepantasnya untuk berdiri di sampingnya.

Ya, seharusnya Isogai yang berhak.

Lalu, kenapa tidak dia saja? Aah… kalau tak salah sistem pasangan ini mulai ditentukan sejak kami merencanakan balas dendam pada mantan pacar Maehara. Waktu itu, Isogai yang juga mendapat ranking 1 dalam hal menggunakan pisau ditugaskan untuk memangkas ranting dengan Okano dan Maehara. Di pulau juga, Isogai mendapat nilai terbaik dalam mata pelajaran IPS, jadi dia berhak menghancurkan tentakel Koro-sensei.

Kalau begitu, berarti aku berpasangan dengan Chiba karena terpaksa? Karena tak ada yang lebih baik lagi setelah Isogai selain aku? Hanya karena itu?

Cukup! Aku sudah muak!

Rasanya aku ingin melompat saja dari putaran ini.

"? Ada apa?" kau menghampiriku dengan wajah cemas begitu aku tak kunjung menarik pelatuk senjataku dan malah menurunkannya sejajar dengan badan.

"...Bagaimana jika aku yang dulu melihaku yang sekarang?" aku bergumam di depanmu dengan wajah yang tertunduk murung. "Apa… aku akan menyesal?" aku melanjutkan, dan kau hanya membisu di tempat, melihatku—entah dengan wajah bingung atau bagaimana, aku tak bisa melihatmu.

Ya, dengan jarak kita yang sebesar 6.300 km, menggapaimu adalah hal yang mustahil. Karena bahkan melihatmu saja aku tak bisa. Kau yang berada jauh di depanku itu.

"Aku… sudah lelah."

"Haya—"

"Hei, apa yang harus kulakukan jika aku terus berputar dan lupa untuk berhenti?" belum kau menyelesaikan perkataanmu yang kuyakin kau hendak memanggil namaku, namun aku sudah terlebih dahulu memotong ucapanmu.

"…berputar?" kau bertanya demikian.

"Ya… ini hanya perumpamaan," berhenti sejenak. Memberi waktu untuk mengambil napas. "Dengan berputar, mungkin pikiranku akan jernih. Namun itu juga bisa membuatku hilang arah, dan lupa untuk berhenti. Begitu kepalaku mulai pusing, aku pun berpikir untuk segera mengakhirinya. Namun, jika waktu melarangku untuk mengakhirinya lebih cepat, garis finish yang begitu terlihat sebelumnya pun menghilang. Melihat teman-teman yang bisa berputar lebih handal dariku, aku hanya bisa pasrah dan mengeluh sakit kepala jika melihat semuanya. Kupikir, dengan menutup mata dan terus berputar, aku bisa menggapai lainnya, setidaknya dalam jarak 85 cm. Tapi, tanpa kusadari orang-orang mulai menghilang satu persatu mendekati garis finish, meninggalkanku."

Dengan penjelasan panjangku, kau hanya terdiam.

"Bagaimana, ya… jika memang melompat adalah jalan terbaik, mungkin aku—"

"Hayami, apa itu memang benar pemikiranmu?" kali ini, kaulah yang memotong pembicaraan. Aku hanya bisa tersentak kaget mendengarmu, "Eh?"

"Tertinggal, ya... Hei, bagaimana kalau kau mengubah sudut pandangmu?"

Mendengar ini, aku memiringkan kepalaku sedikit ke arah kiri. Bingung, tak bisa mencerna dengan baik perkataanmu.

"Kau mengumpamakan dirimu sendiri, bukan?"

"..." terdiam. Aku merasa enggan untuk menjawab. Melihatku yang tak membuka mulut, kau pun mengangkat kedua bahu dan melanjutkan perkataanmu.

"Yang kau maksud dengan berputar adalah kemampuan menembak, dan teman yang bisa berputar lebih baik adalah aku, dan Isogai. Lalu garis finish adalah keberhasilan membunuh Koro-sensei... kalau kugabungkan, maka istilah melompat adalah mengundurkan diri."

Aku tertegun saat kau berhasil menerjemahkan penjelasanku dengan begitu akurat.

"Jika memang benar begitu pikiranmu, berarti kau keliru."

"Keliru apanya?"

Aku berkata dengan nada tinggi. Emosiku melonjak naik.

"Faktanya, meski kukira hanya tinggal 85 cm, aku sama sekali tak bisa menggapaimu. Jarak kita ibarat 6.300 km. Jangankan menggapaimu, melihatmu pun aku tak bisa. Aku—"

"Kalau begitu, lihat aku". Sekali lagi, kau memotong ucapanku. "Aku ada di sini".

"Hn.. ya, kau memang ada di panggung yang sama denganku. Tapi, kau sudah berada jauh di depan. Meninggalkanku, hingga aku tak bisa lagi melihatmu. Aku juga ragu, apakah kau masih ada di tempat yang sama."

"Aku tak kemana-mana, Hayami. Aku ada di sampingmu. Aku tak meninggalkanmu. Bahkan dari tempatku, aku bisa melihatmu dengan jelas dari dekat. Tapi... mungkin kau yang selalu pura-pura tak melihatku sehingga kau memutuskan untuk tertunduk mengeluh?"

"Tidak, aku tak berpura-pura. Kau memang berada jauh di depan. Hei, 6.300 km itu bukan angka yang sedikit, kau tahu?"

"6.300 km? Kau salah!" kau memegang wajahku dengan kedua tanganmu, kemudian kau angkat kepalaku. Memaksaku untuk menatap wajahmu yang sebagian tertutup oleh poni. "Lihatlah! Aku ada di sini!"

"Aku tak akan meninggalkanmu! Tidak, bukan hanya aku. Teman-teman di kelas E ini tak akan ada yang meninggalkamu, Hayami. Kami akan terus berada di sampingmu."

Aku membisu di tempat. Manik hijauku masih menatap wajahmu meski kedua tanganmu kini telah kembali ke asalnya.

"Tak ada yang akan mencapai finish lebih dulu. Bukankah kita semua sudah setuju akan menyelesaikan ini bersama-sama?"

"…aku…"

"Tapi,"

Begitu aku mencoba kembali menundukkan wajah, kau kembali membuka mulut. Namun, dengan ucapan yang menggantung. Membuatku penasaran dengan apa yang ingin kau katakan, aku kembali mengangkat kepala menatapmu. Perlahan, tangan kananmu naik, kau mengulurkan tangan padaku.

"Kalau kau masih meragukannya, aku akan terus bersamamu untuk membuktikan aku tak kemana-mana. Bagaimana? Adil, kan?"

Mataku menerjap saat kau mengatakan ini. Kuangkat tangan kiriku, telapak tangan mencoba menggapai tangannya.

Aku jadi bersyukur bisa berpasangan denganmu dalam hal tembak-menembak.

Namun, pergerakanku terhenti begitu mengingat ucapanmu padaku. Apresiasi yang seharusnya bisa membuatku senang itu justru menjadi beban bagiku untuk menerima uluran tanganmu. Pernah ada yang bilang padaku bahwa dunia penuh dengan kebohongan dan tipu-menipu. Bagaimana jika ucapan 'bersyukur'-nya itu dusta? Apa sebenarnya aku yang berada di bawahnya ini sesungguhnya menjadi beban untuknya? Apakah merepotkan?

"… Aku mungkin akan menjadi beban—"

Kau tiba-tiba saja langsung menyambar tangan kiriku. Menariknya pelan, dan menggenggam dengan erat oleh tangan kanan. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat dari sela ponimu yang tertiup angin semilir; mata merah kecoklatan tajam bagai mata elang. Dengan menyertai seulas senyum, kau berkata,

"Jadi beban juga tak apa. Karena dengan beban itu, aku jadi tidak perlu khawatir akan berputar kelewat batas. Oleh karena itu, tetaplah di sampingku. Aku membutuhkan dukunganmu."

Sekali lagi, mataku menerjap begitu mendengar serangkaian kalimat yang keluar dari mulutmu.

"Haya…mi?"

Begitu tersadar, tetesan air mata terus berjatuhan dariku. Dan kau terlihat kebingungan karenanya, "Ke-kenapa kau menangis?" Tak tahu mengapa, otakku terus mengintruksikan untuk melanjutkannya. Aku pun menggunakan tanganku yang satunya untuk menghapusnya.

'Tetaplah di sampingku.' Adalah kalimat yang tak pernah berani kuminta. Aku takut ditolak, makanya aku selalu menurut. Selalu membandingkan. Kupikir, dengan begitu aku tak akan dikhianati, dan ditinggalkan. Tapi, kini kau memutarkan hal itu menjadi hal yang tak boleh dilakukan. Karenanya…

"Terima kasih…"

Wajah cemasmu berganti menjadi senyuman. Tangan kirimu yang ragu bergerak sekarang mengelus lembut puncuk kepalaku. Tangan besarmu yang menyentuh tangan dan ubun-ubun membuatku merasa nyaman dan aman. Apa aku sudah menyentuhmu?

85 cm, kini aku bisa menggapainya. Meski masih dalam putaran yang melelahkan, akhirnya aku mendapatkan hal yang kuinginkan. Seseorang yang akan terus berada di sisiku, dan terus mendorongku agar tidak melompat keluar.

"Andaikan aku lelah dan memutuskan untuk menepi, tolong tetaplah bersamaku."

Double Lariat – Megurine Luka / Lon

Hai 'w')/

Kise K-na kembali lagi~

Setelah sekian lama gak bikin fanfic, jadi kangen www

Ini fanfic dibuat berdasarkan lagu-lagu utaite dan atau vocaloid~

Yang ini sih lagu vocaloid oleh Luka, tapi karena di PV-nya tertulis dan divocal utaite, jadi author tulis utaite Lon juga~

Coba deh cari terus dengerin

Yang mana aja bagus kok (tapi direkomendasikan yang Lon)

Fanfic ini akan dilanjut bila sedang bosan, jadi jangan berharap banyak dulu

Fanfic ini akan berbeda-beda pairnya, jadi jangan sungkan request OTPmu (No BL, no GL. Straight only)

Tapi jangan request lagu!

Biarkan author ini yang memutuskan lagu apa untuk pair favoritmu~