Title: Rollercoaster
Character: Kwon Soonyoung, Lee Jihoon
Disclaimer: I don't owned anything except the plot
Story Start!
[Mood]
"Ayo kencan." Soonyoung berkata tiba-tiba di antara keramaian kantin dan kesibukannya pada makanan di hadapannya kepada laki-laki yang sama-sama sedang makan dengannya, Lee Jihoon.
"Kapan?" tanya si lawan bicara setelah menelan makanannya.
"Nanti setelah pulang sekolah dan besok jam 10 pagi."
Jihoon terdiam mengingat agendanya hari ini dan besok. Tak lama dia menjawab, "Kalau pulang sekolah aku tidak bisa. Aku harus mengurus adikku. Orang tuaku sedang tidak di rumah. Untuk besok, aku rasa tak masalah."
Sebenarnya Jihoon bukannya mengurus seorang anak sekolah dasar ataupun balita. Adik Jihoon itu sudah kelas 2 sekolah menengah pertama. Tapi selama orang tuanya tidak di rumah, Jihoon punya kewajiban memasak untuk makan mereka berdua. Jangan tanya kenapa tidak pesan saja. Orang tuanya hanya menyiapkan bahan mentah untuk dimasak, bukan uang tambahan untuk membeli makanan. Jadi Jihoon harus memasak, meskipun dia tidak pandai. Tapi setidaknya makanannya tidak beracun.
"Usahakan hari ini bisa, hanya menemaniku mengerjakan tugas sekolah seperti biasa. Kalau hari ini selesai kan besok kita bisa jalan-jalan," Soonyoung masih berusaha membujuk Jihoon.
Jihoon kembali berpikir dan menjawab dengan terpaksa, "Tapi setelah makan malam."
Soonyoung mengangguk dengan antusias.
"Aku selesai. Aku kembali ke kelas dulu," pamit Jihoon yang meninggalkan Soonyoung menyelesaikan makan sendiri.
Setelah makan malam dan memberi peringatan untuk mengunci pintu dan tidak membukanya sembarangan kepada adiknya, Jihoon berangkat ke rumah Soonyoung. Sampai di sana, Jihoon bisa melihat Soonyoung sudah memegang pensil dengan beberapa buku berada di hadapannya. "Sudah sampai mana tugasmu?" tanya Jihoon basa-basi. Jihoon mengambil duduk di seberang Soonyoung dan mulai mengeluarkan bukunya, dia juga ada tugas.
"Nomor 2, aku baru mulai."
"Sebenarnya tugasmu apa?"
"Fisika. Halaman 117. Kelasmu sudah sampai itu belum?"
"Sudah. Baru dikumpulkan tadi."
"Kalau aku tidak bisa, ajari ya?" pinta Soonyoung dengan senyum lebar.
"Sudah kerjakan saja dulu," jawab Jihoon yang seolah enggan membantu, padahal itu hanya trik agar Soonyoung berusaha lebih dulu dan tidak bergantung padanya.
Dan mereka terlarut pada tugas masing-masing sebelum Jihoon menangkap pemandangan ganjil di depannya. "Kenapa berhenti? Sudah selesai?" tanya Jihoon yang melihat Soonyoung menutup bukunya.
Soonyoung menggeleng, lalu berkata, "Sulit."
"Sulit atau malas?" tanya Jihoon sangsi.
"Aku tidak mood mengerjakan tugas, Jihoon. Ayo jalan," Soonyoung berkata tanpa beban.
Jihoon membuang napas keras. "Aku tidak mau pergi denganmu kalau itu tidak selesai."
"Iya-iya." Dengan wajah cemberut Soonyoung menjawabnya. Dia kembali membuka bukunya dan berusaha mengerjakannya.
"Aku benci fisika!" teriak Soonyoung tiba-tiba.
Jihoon sempat tersentak tapi dengan cepat dia menjawab, "Jangan mengeluh terus."
"Aku benar-benar tidak ingin mengerjakan ini," Soonyoung mulai merengek.
"Aku akan membantumu," Jihoon berkata dengan lembut, berusaha sabar menghadapi Soonyoung.
"Tidak mau. Aku mau istirahat saja."
"Ya Tuhan. Kendalikan mood-mu! Jangan seperti ini terus. Kamu mau menyelesaikan tugasmu atau kutinggal pulang?" jawaban Soonyoung benar-benar menyebalkan. Mau tak mau Jihoon harus mengancam.
"Jangan tinggalkan aku."
Setelah berjam-jam berkutat dengan tugas sekolah, akhirnya semua terselesaikan.
"Tugasmu selesai. Tugasku juga selesai. Aku pulang dulu," kata Jihoon riang. Dalam bayangannya dia akan segera bertemu kasur empuknya dan terlelap dengan nyenyak.
"Kenapa tidak menginap di sini?" tanya Soonyoung yang sepertinya belum mau ditinggal.
"Adikku sendirian, aku tak tega meninggalkannya lama-lama."
"Sekarang sudah malam. Bukankah dia sudah tidur? Nanti malah kamu mengganggu tidurnya."
"Aku bawa kunci cadangan. Tenang saja."
"Aku antar, ya?" tawar Soonyoung
"Sampai halte saja."
"Tidak. Aku akan mengantarmu sampai rumah dengan motor."
"Oke."
"Tunggu saja di depan. Aku akan mengambil motor di garasi dulu."
Jihoon mengangguk dan berjalan keluar rumah Soonyoung.
"Mobil?" tanya Jihoon yang melihat Soonyoung mengendarai mobil. Dia terus saja menatap Soonyoung aneh dari luar mobil, tak berniat untuk masuk.
"Ya cepat masuk! Jangan meragukanku! Aku bisa menyetir, tapi belum cukup umur untuk punya SIM," kata Soonyoung sebal melihat ekspresi Jihoon.
Akhirnya Jihoon masuk mobil juga, dia lalu menanggapi perkataan Soonyoung barusan, "Siapa yang meragukanmu? Tadi kamu bilang mau pakai motor, kenapa sekarang jadi mobil? Kamu mau pamer?"
"Siapa bilang? Aku hanya berpikir kalau angin malam tidak baik untuk kesehatan. Bukankah mobil lebih baik?"
"Terserah saja."
Mobil itu pun mulai melaju membelah jalan yang mulai lengang karena hari semakin larut.
"Besok kamu ingin jalan-jalan ke mana?" tanya Soonyoung mengisi kesunyian perjalanan mereka.
"Tidak tahu, kan kamu yang mengajak."
"Aku ingin ke tempat yang ingin kamu kunjungi."
"Akan kupikirkan. Tapi, bagaimana kalau kita bertemu di kafe milik Jisoo hyung? Sudah lama aku tidak ke sana. Dan di sana kita bisa mendiskusikan ke mana tujuan kita besok."
"Baiklah. Jam 10, ya."
"Mingyu-ya, annyeong!" sapa Jihoon pada pemuda yang berdiri dibalik counter pemesanan.
"Whoa! Jihoon hyung! Lama tak berkunjung kemari," Mingyu menjawab dengan penuh ketertarikan.
"Beginilah keadaan siswa tingkat akhir. Sibuk."
"Semangat, hyung!" kata Mingyu memberi semangat, tak lupa dengan tangan mengepal yang diangkat sebatas dada.
"Tahun depan giliranmu. Jadi bersiaplah."
"Ya, hyung jangan menakutiku!" kata Mingyu sambil bergidik, entah apa yang dipikirkannya.
"Aku tidak."
Dan percakapan mereka berlanjut dengan Jihoon yang memesan ice blend coffee kepada Mingyu. Setelah mendapat pesanannya, Jihoon pergi mencari tempat duduk. Meskipun masih ingin bercakap-cakap dengan Mingyu, tapi Jihoon sadar diri kalau di sana Mingyu itu bekerja. Dan lagi, di belakangnya tadi sudah ada seorang gadis yang tentu ingin memesan sesuatu. Tak mungkin dia tetap berdiri di sana kan?
Soonyoung suka terlambat, tapi Jihoon memakluminya. Soonyoung itu anak tunggal, dan sekarang hari libur. Bisa saja Soonyoung harus membantu orang tuanya. Membersihkan rumah, misalnya. Itu pikiran Jihoon di tiga puluh menit pertama sejak dia mendudukkan diri di salah satu tempat duduk yang tersedia di kafe itu. Tapi sekarang, dia sudah punya pikiran untuk mencekik Soonyoung jika anak itu datang karena sudah satu jam berlalu, Soonyoung belum muncul juga. Jihoon melirik sekitarnya, kebanyakan dari mereka bisa dipastikan pasangan. Dia sendirian, dan itu membuatnya terlihat menyedihkan. Padahal kan dia punya kekasih.
Jihoon sudah mencoba menghubungi ponsel Soonyoung, tapi yang menjawab hanya operator. Ada beberapa pikiran negatif menghampiri Jihoon. Apa Soonyoung lupa? Atau ada masalah di jalan? Dan yang terburuk, Soonyoung tidak mood untuk datang. Jadi Jihoon memutuskan menghubungi telepon rumah keluarga Soonyoung, bertanya kepada ibu Soonyoung apa yang sedang dilakukan Soonyoung. Jawaban yang didapatkannya sangat menyebalkan, "Soonyoung masih tidur. Apa ada hal penting? Ibu bisa menyampaikan padanya setelah dia bangun."
Jihoon hanya bisa menekan kemarahannya agar tak mengumpat. Dia masih punya sopan santun. Lagi pula dia tak ingin membuat citranya di hadapan ibu Soonyoung jadi buruk. Jadi dia hanya menjawab, "Hanya memastikan Soonyoung di rumah. Aku ingin berkunjung." Dan keinginan Jihoon untuk mencekik Soonyoung semakin menjadi.
Setelah tersenyum manis di hadapan ibu Soonyoung ketika wanita itu menyambutnya, Jihoon segera menuju kamar kekasihnya. Membuka pintu sedikit kasar dan langsung menendang buntalan selimut di atas kasur hingga terjatuh dari ranjang.
"Ugh." Soonyoung meringis kesakitan. Tapi, Jihoon belum puas. Dia menduduki perut Soonyoung dan mulai mencekiknya hingga Soonyoung meminta berhenti karena kesulitan bernapas. "Ya, ada apa denganmu?" tanya Soonyoung setelah Jihoon bangkit dari atas tubuhnya.
"Aku yang harusnya bertanya begitu. Ada apa denganmu? Membatalkan janji tanpa bilang apa-apa, membuat orang lain menunggu tanpa kepastian, dan dengan santainya kamu tidur nyenyak di kasurmu?" teriak Jihoon marah, tak peduli jika ibu Soonyoung di lantai bawah akan mendengarnya, "Ke mana otakmu? Dimana perasaanmu? Sialan!"
Soonyoung hanya terdiam, bingung menanggapi. Tapi akhirnya ada yang keluar dari bibirnya, "Aku benar-benar lelah tadi dan jadi tidak mood un-."
"Itulah kenapa tidak ada orang yang dekat denganmu. Tidak ada yang memercayaimu. Sudah berapa kali aku mengatakan untuk mengendalikan mood-mu yang berantakan. Kurang dari satu tahun usiamu sudah 20 tahun, dan kamu harusnya bisa berpikir dewasa. Jangan semaumu sendiri!" ungkap Jihoon dengan kekesalan yang menumpuk. Soonyoung selalu membawa mood sebagai alasannya dan Jihoon muak dengan jawaban itu.
Soonyoung hanya bisa memalingkan wajah dan berkata, "Maaf."
End?
Huft.. sebenarnya ini menyebalkan untuk dikatakan, tapi sifat saya mirip Soonyoung di cerita ini. Saya tau kalau sifat itu sering merepotkan orang lain. Tapi tidak banyak yang bisa saya lakukan, dan saya merasa tidak berguna. Ini pesan terselubung, semoga paham.
Terima kasih sudah membaca. Kritik dan saran sangat dibutuhkan.
Thank you^^
Kalium Iodida
280117
