Kuroko no basuke is owned by Fujimaki Tadatoshi. you may notice that this is influenced by hiroshi mori's works.
.
act 1: Shoutarou
.
Ia mengingat matanya yang membeku, polahan warnanya yang mengurut sepia dan memudar. Ketika dingin salju tidak pernah menyelusup ke dalam mimpinya. Wangi mesiu, berderet-deret metal yang mulai berembun ketika bergemerincing, bersepuh perak di antara cipratan darah yang membentur dinding dan tangkupan jemarinya mengerat untuk menutup telinganya. Akashi menutup matahatinya.
.
Sebelum matahari pagi muncul, di tengah kamar yang melumer oleh uap penghangat dan pelayan telah menata seragamnya di atas kasur untuk segera Akashi kenakan sehabis mandi air panas. Musim dingin selalu membuat segala sesuatunya melambat, hingga ke cara kerja otak yang seperti dibekukan, lalu sampai ke roda-roda van yang tergelincir di teras basement. Lebih awal dari ini, ia telah memerintahkan kamar di lantai kedua itu dibersihkan, meski baru seminggu tak berpenghuni, semua harus dirapikan sampai seperti keadaan semula, ketika kamar itu selalu kosong.
Akashi bangkit dari kursi duduknya, menghampiri kaca jendelanya yang telah ia usap dulu untuk menatap van itu hampir selesai didorong, kini masuk ke dalam garasi. Mengikuti gerak letnan pindahan baru ini muncul dari bawah atap garasi, sementara ia menghitung di luar kepala berapa detik yang dibutuhkan untuk mencapai ruangan ini sembari ia mencerna rutinitas familier ini yang berefek pada tangannya meraih botol wine di atas meja kerja, menenggaknya sampai rasa manisnya tidak berbekas di lidahnya.
Ketukan teratur di pintu. Tiga puluh sembilan detik, bahkan ketika musim dingin memperlambat gerak bumi. Akashi menaruh gelasnya, puas.
"Masuk."
Efek anggur tidak pernah mendikte cara pupil matanya bekerja, namun mungkin sepuhan alkohol pada dirinya membuatnya sedikit blur, ketika Akashi berputar untuk menghadapi tamunya ini, matanya bergerak dari ujung ke ujung, membiarkan detail seperti cara mata tamu ini melebar ketika menangkap warna mata miliknya yang berlainan. Begitulah selalu reaksi yang ia dapat, bukan hal baru. Akashi lebih fokus kepada gerakan tangan pria muda ini yang menggosok spasi di antara mata sebagai usaha menutupi keterkejutannya. Dan menelan semua ini dengan pengalaman.
Kali ini. "Siapa namamu?"
"Hisuiiro Shoutarou. Dari batalyon 407, dipindah tugaskan mulai hari ini."
Di bawah kungkungan salju yang mengikir semua panas di luar, hingga ke celah bebatuan di sungai yang memunggungi rumput membeku, paling tidak sampai matahari siang lamat-lamat mengikisinya, dan tatapan Shoutarou tidak beranjak dari sasarannya saat Akashi tersenyum oleh kebijaksanaannya sendiri, yang terasa sunyi seperti rahasia. "Hisuiiro...hijau lumut, heh, cocok sekali."
._.
._.
Shoutarou berdiri pada pintu nomor empat puluh tujuh, di lantai kedua, tidak terlalu jauh dari tangga yang berjarak tiga kamar dari kamarnya sendiri. Kusen pintu ia putar dengan tidak banyak pikiran, mengingat ekspektasinya selalu gagal sedari tadi pagi. Keriat kecil pada besi pemapah itu, dan ia sudah berada di dalam.
Di dalam, wallpaper seruni cokelat sederhana melapisi seluruh dindingnya, hingga mencapai langit-langit. Paling ujung, mencapai jendela, kasur yang terlalu sempit untuk dua orang, namun terlalu lapang untuk satu orang. Hanya ada satu lemari, di samping dipan dan satu meja yang jelas sekali lolos dari kebiasaan digunakan. Shoutarou mencapai jendela dan membuka gerendel besinya, menikmati getar ketika kaca anti peluru itu terdorong keluar. Kepalanya ia julurkan keluar.
Cuaca menjelang siang hari tidak terasa seperti matahari akan merangkak naik dan awan tebal selalu menyelimuti basement ini. Dari perspektif ini, ia bisa melihat garasi tempat vannya berada dan di sampingnya, menjorok jauh ke dalam tanah orang-orang lalu lalang dari dan menuju gudang tempat senjata mereka disimpan. Tebal selimut salju tidak menghalangi mereka untuk bercengkrama satu sama lain, di antara senapan panjang yang dipikul dan bubuk mesiu yang ditutup erat, sesekali tertawa. Shoutarou membiarkan angin menabrak kulit wajahnya dan membayangkan apakah ia akan seperti mereka juga, terkekeh kekeh begitu lepas seakan kematian tidak berati apapun.
Ia bergerak ke kiri, menyenderkan pipinya ke dinding luar yang berlapis salju, menikmati efek beku yang mulai merambat dan berharap mampu membekukan otaknya sekalian. Di titik dekat van itu ia melihat seorang seperti Akashi, dari postur tubuhnya yang membuat sekelilingnya blur, oleh kebijaksanaan dan ketegasan tipikal militer bertahun-tahun yang ditempakan pada punggungnya.
Pada posisi Shoutarou sekarang, ia tidak melewatkan cara Akashi mengedikkan kepalanya dan ayunan jemarinya mendikte para pekerja keras di bawah sana. Sesekali ia berbungkuk, di antara kerikil dan serbuk salju yang mengeras(mungkin oleh suhu minimum, mungkin hanya karena presensi Akashi) dan Shoutarou memikirkan kemungkinan matanya yang membekas dan berubah sepersekain spektrum lebih gelap, tajam di antara udara yang berkabut.
._.
._.
Siang hari dimulai dengan atap yang berlapis salju tipis dan membuat jalannya sedikit berbahaya. Shoutarou mengikuti pilihan Akashi di antara jejak-jejak yang sudah terlebih dulu ada, mengingat basement tempat ia ditugaskan ini memang berada pada daerah yang selalu mendapat salju yang tebal setiap tahun. Perbatasan. Shoutarou tidak meluputkan suara komandannya yang tenang di antara angin bercampur salju ini, memanggil, dan membuat gerakan seperti perintah mendekat dengan tangannya.
Butuh satu menit penuh hingga seorang pria muncul di depan mereka, mengangguk singkat sebagai salam. Ada sesuatu dari cara Akashi yang kemudian memulai arahannya untuk pria ini memandu Shoutarou, monoton dan seperti film yang disetel berulang-ulang, dan memberi konkrit seperti pria ini akan menjadi rekan khususnya mulai sekarang. Seorang spotter.
"Saya bisa bekerja sendiri," ujar Shoutarou, menyampaikan keberatannya untuk berbagi tugas dengan seorang lain.
"Kalian memang bekerja sendiri, letnan. Ryouta akan mencari target, dan kau menembaknya."
Sesuatu dalam reflek tegas Akashi membuat Shoutarou mencegah dirinya untuk lanjut menawar. Pria Ryouta ini merapat di sampingnya sembari mereka berdua melihat punggung Akashi menjauh, dan sosoknya yang tidak lebih hangat dibanding salju mengecil, lambat laun tertimbun fatamorgana musim dingin. Ketika Shoutarou berbalik, Ryouta telah mengamatinya terlebih dulu dan Shoutarou sedikit tertegun oleh matanya yang tajam meskipun bulu matanya yang panjang sarat akan kelenturan.
Ia menjulurkan tangannya ramah.
"Ryouta. Kise Ryouta."
Shoutarou mengamati tangan tersebut, sebelum reluktan mengambilnya dalam sebuah jabatan singkat.
"Hisuiiro Shoutarou."
Dengan sedikit membuat Shoutarou risih, Ryouta memiringkan kepalanya kebawah, menilai wajah Shoutarou lebih jelas. Matanya mengendur dalam renungannya dan kabut musim dingin, dan kemudian, ketika ia kembali dan mengalihkan pandangannya ke petak putih beratus meter di kejauhan. Ia mengerling sekilas.
"Hijau lumut? huh? Kupikir namamu midorijima atau semacamnya," ucapnya tanpa ditutup-tutupi, dan menambahkan ketika Shoutarou menaikkan alisnya,"kalau menilai kepalamu yang hijau." Ia tersenyum, dan entah apakah efek cuaca dingin membuat matanya melihat senyum itu terlihat sedikit sedih. "Tidakkah orang-orang pernah mengatakannya padamu?"
Shoutarou terdiam. Mengerjap sedikit seolah ia mengikuti pikiran Ryouta. "Tidak pernah. Aku tidak ingat."
._.
._.
Di antara waktu makan dan gigil angin menerobos lewat celah jendela, Ryouta menggelar celotehnya sementara mereka merapat kembali masuk ke dalam basement. Di luar, hujan badai salju meringkik. Mereka kini sampai ke ruang pertemuan utama yang kini kosong, dan di tengah ruangan itu, meja besar yang memanjang hingga ke ujung, dari atas situ Ryouta mengambil apel, dua, dan melemparkan ke arah Shoutarou, dan menggigiti sisanya.
Ketika ia berhenti mengunyah, seolah anastesi memudar dan mengembalikan apapun yang berefek pada matanya yang hampa, Ryouta kembali berbicara. Shoutarou menyimpulkan ini semua bagian dari personality Ryouta, dan bila ia mengamati semenjak kakinya menyentuh tanah bersalju ini, orang-orang di sini memang cenderung bermuka surut seperti itu, walau tidak sekentara Ryouta. Perang telah membuat orang-orang menyingkir dan meminimalisir emosi dan hal-hal sederhana seperti tertawa dan semacamnya.
"Dua hari lagi kita langsung mulai. Kau sudah tahu?"
Dehaman mengetahui. Shoutarou mengangguk singkat. "Dari mana?"
Ryouta tidak langsung menjawab, ia bergulat dengan kantung mantelnya yang bergemerincing dan terseok-seok mencari ke dalam. Setelah sedikit cekatan dan berhasil lalu mengeluarkan bungkus lusuh rokok dan menyentik api dari pemantik di tangan lain. "Kali ini utara. Pasukan oposisi dari balik dinding pembatas."
Dari balik asap yang membumbungi dan membuat Shoutarou mengernyit karena matanya terasa pedas, ia menangkap Ryouta, kini sepenuhnya menghadap kepadanya lagi, matanya penasaran. Ia membuat gerakan menunjuk dengan jarinya. "Kau butuh kacamata? Untuk besok?"
"Tidak. Tidak, aku bisa melihat dengan cukup jelas."
Shoutarou memetakan keraguan di mata Ryouta sebagai salah satu personality-nya yang lain juga, dan menunggu ia mulai dengan alasannya. Ryouta memperoleh pemahaman ini efisien, seperti bersahabat dengan cara labirin kepala Shoutarou bekerja, kemudian, dengan sedikit kekehan jenaka pertamanya hari itu.
"Pendahulumu─partnerku sebelum kau, mereka selalu memakai kacamata. Jadi kupikir kau membutuhkannya juga."
"Berapa partnermu sebelumnya? Mereka selalu memakai kacamata?"
Tawa Ryouta tidak mengendur sembari ia kini menyangga dahi dengan tangannya, menopang seperti orang mabuk. "Ada tiga," pandangannya maju ke depan, meninggalkan mereka berdua untuk berbaur bersama salju yang turun, "ya, mereka selalu memakainya."
Suara langkah tenang namun bersisian sampai kepada mereka. Dari balik tangga, lampu ruang rapat yang temaram menyembunyikan wajah sosok itu, namun mereka bisa melihat kepalanya yang sebiru langit, dan sekilas dari pantulan samudera di matanya yang juga biru, dengan langkah teratur mencapai mereka. Shoutarou mengenali sosok ini sebagai orang yang menyambutnya di pintu utama. Kuroko Tetsuya, ahli taktis mereka. Sampai pada jarak sejengkal, ia mengangguk singkat pada Shoutarou, yang ia balas, dan menuju Ryouta.
"Kise-kun. Ikutlah denganku sebentar."
Ryouta terdengar pasif, namun Shoutarou menangkap matanya yang bergelimang anomali tidak pernah lepas dari Kuroko, dan membuat deruman seperti aku tidak mau sementara ia akhirnya bangkit dan menghianati dirinya sendiri dengan mengikuti Kuroko. Shoutarou hanya menatap punggung Ryouta yang sedikit bungkuk melingkupi Kuroko di depannya, dan mereka kemudian menghilang ke balik dinding.
._.
._.
Akashi menunggu di ruangannya. Ia hampir selesai memikirkan apa-apa yang dibutuhkan lusa nanti, dan kini sambil beralih ke daftar amunisi baru ia menikmati gemerisik senapan yang ditarik dan tembakan yang melesat di luar, sniper-sniper andalnya kini tengah berlatih. Akashi tidak beranjak dari lembaran profil ketika ketukan pada pintu, sudah diprediksinya, dan menyuruhnya masuk.
Shoutarou menyipitkan matanya pada pilihan redup lampu ruangan Akashi, tidak terbiasa. Wangi ringan limau dan dinding sewarna papirus menambah kesan murungnya. Akashi sepertinya mengerti ini, ia menyetel lampu mejanya sehingga cahaya membuat ruangan itu sedikit lebih terang dan memantulkan matanya yang berlainan, dan meneliti Shoutarou dari titik itu. Mengumbar tata krama seperti dengan inilah cara komandan itu membuat bawahannya terdesak. Ia menyuruh Shoutarou duduk.
Shoutarou menerima perintah itu, dan dengan sedikit tidak kerasan duduk di kursi tamu itu, menimbang-nimbang apa kesalahan yang telah dilakukannya padahal baru kemarin ia datang. Namun Shoutarou tidak gampang merasa terpojok, ia hanya tak menyukai sesuatu tentang senja yang menggelayut di belakang Akashi dan cara tangannya mengetuk-ngetuk meja berpelitur itu. Mungkin juga dari cara matanya yang kembali pada profil dan mengacuhkan Shoutarou.
"Bagaimana dengan matamu?"
"Baik-baik saja."
Shoutarou merekatkan kedua tangannya pelan, mencoba tidak terganggu dengan orang-orang yang entah kenapa seharian ini menanyakan kondisi matanya. Ia merasa baik-baik saja, terima kasih. Shoutarou merasakan Akashi sedikit beralih dari kertas di tangannya, dan menuju ke spasi antara meja dan Shoutarou, menimbang. "Begitu. Baiklah. Kau boleh tidak ikut lusa nanti, dan biasakan dulu dengan udara sini."
"Saya siap maju lusa nanti, Komandan."
Sesuatu, dan mungkin banyak dari nada Akashi menawarkan keramahtamahan itu menelisik rusuk Shoutarou. Ia hanya tidak memprediksikan sesuatu yang non rigid dan tegas bisa menjadi suatu bagian dari Komandan yang sudah terlebih dahulu terkenal berhati dingin dari kabar yang menyertai Shoutarou ketika ditugaskan di basement ini. Ia melihat Akashi mengangguk, menerima pilihannya. Ketika ia bangkit, untuk hengkang dari ruangan yang terasa begitu panas di antara salju-salju yang menghambur di luar.
._.
._.
Shoutarou menekuni lorong panjang tanpa banyak pikir.
Di bawah kaki langit yang menderu di luar dan gerimis salju yang mencair menjadi tetes-tetes yang berkecipak berisik menyentuh bumi. Undangan makan malam yang disampaikan lewat ketukan di pintu kamar telah berdering di kepala Shoutarou, bergaung-gaung seakan inilah makan malam terakhirnya. Euforia sehabis tidur tanpa mimpi selalu membentuk emosi tak jelas berdasar pada cara Shoutarou berpikir, dan memberitahu Shoutarou kesimpulan mungkin inilah secuil dari sisa-sisa terakhir emosi manusia di jaman abu-abu ini.
Sejarah, yang melahirkan nama-nama lebih banyak di atas nisan dan lebih banyak lagi yang tidak terlalu utuh untuk dikuburkan, mampu mengikis efek dramatis dari perang. Orang-orang menutup matanya akan darah, darah, dan mata-mata tak bernyawa yang menjadi asal mereka, dan menggenggam semua ini sebagai putaran ulang kaset yang terus disetel, sampai mereka bosan.
Seyogyanya, telah jelas bagaimana esok akan datang dan dari situ atap basement sudah selesai dipersiapkan, dua puluh tanker dan lubang-lubang yang menyatu dengan ruang bawah tanah. Shoutarou akan berada di sudut tertentu atap, yang sudah ia persiapkan bersama Ryouta namun tidak mengurangi kemungkinan mereka akan dinamis, berpindah-pindah mengikuti pergerakan musuh di kejauhan. Menjelang subuh, ketika matahari belum merayap ke bagian bumi mereka dan warna langit belum tertepikan. Esok hari nanti.
Sekarang Shoutarou sudah menautkan semua kancing kemejanya dan menggaruk kepalanya agar lebih presentable dan hengkang dari kamarnya, menuju lantai dasar. Ia sampai dengan tidak membuat keributan seperti Kise yang terburu-buru beranjak dari meja untuk desakan apapun yang menunggunya, dan sempat berujar untuk menyisakan baconnya. Shoutarou merasakan tatapan Akashi jatuh kepadanya, sebelum ia menarik kursi untuk duduk.
Pukul sebelas malam, sirine berbunyi dan kursi-kursi ditarik menyampaikan prajurit-prajurit itu untuk kembali ke kamar masing-masing, setelah sejam waktu makan malam telah usai dan besok mereka akan mengangkat senjata. Shoutarou menelusuri labirin manusia itu, ia tidak pernah merasa lapar ketika perang menunggu dan memilih kembali ke kamarnya saja, kini, ketika sudah lumayan sepi. Ketika ia tinggal selangkah pada undakan tangga tertinggi menuju lantai kamarnya, ia melihat Ryouta, di antara dinding pembatas di pojok yang tersembunyi, tergesa-gesa seperti putus asa dari caranya berbicara dengan seseorang.
Shoutarou mengenal suara satunya, karena sudah beberapa kali mereka berbicara dan meskipun sedikit aneh pada perutnya mendengar semua ini, ia tidak bisa menyingkirkan kepalanya ketika Ryouta, menarik ahli taktis itu lekat, dalam seribu gumaman yang tidak sampai pada Shoutarou, menciuminya putus asa.
Shoutarou belajar hal baru lagi hari ini, dan dengan tendensinya yang memang tidak suka mengurusi orang lain ia berkesimpulan ini bukan urusannya, dan menyingkirkan segala asumsi dari kepalanya sebelum ia bergegas masuk ke dalam kamar.
._.
