TAP TAP TAP

Harue han beonman geudaen tteoollyeojwoyo ..

Miss you…
Harue han beonman naneun ijeobolgeyo..

Hentakan sepatu hak merah menggemakan suara ketika sepasang kaki jenjang menekannya ke lantai kayu yang sedikit berdecit.

"Fyuh…"

Suara langkah itu berhenti ketika sang empunya memutuskan untuk duduk di pinggir meja kayu dan menghembuskan nafasnya yang berupa gempulan asap nikotin.

Geugeotdo andwaeyo..

Geugeotdo andwaeyo..

Kaki-kaki langsingnya mengalun ke depan, satu tangannya berada di belakang guna menompa tubuh di atas meja, sedang satu tangannya lagi mengapit sepuntung rokok yang baru saja dinyalakan.

Geugeotdo andoemyeon..

Geureom nan eotteokhanayo..

Ia menghirup, lalu kembali menghembuskan gempulan asap rokok. Begitu tenang hembusannya meskipun kini ia tidak berada di bawah pengaruh ganja.

Pemilik asap rokok itu melirikkan matanya ke samping kiri, ke arah targetnya yang kini sedang terikat. Sekarat juga, mungkin.

Targetnya, beberapa jam lalu merupakan orang yang mengajaknya ke tempat tersebut dengan senyum tersungging penuh.

Tersenyum kemarin, meringis kini. Orang tersebut sedang menunggu nasib tidak pasti –hidup atau mati-. Kedua tangan terikat tali tambang ke belakang kursi. Sepasang kakinya pun terikat, keduanya lumpuh akibat tusukan pisau yang dalam. Matanya ditutupi kain putih dengan noda merah tebal di bagian pelipis. Mulut tersumbal penuh oleh kain lalu diplester hitam kuat-kuat. Tubuh besar nan tegapnya resmi lemas tidak berdaya.

Ia sudah tidak melawan lagi sekarang. Namun, pemilik sepatu merah yang kini duduk dengan tenang tidak jauh dari si target masih yakin bahwa manusia menyedihkan di sana masih bernafas walaupun mungkin tinggal menghitung detik. Bagaimana tidak? Luka yang terlihat dari celana panjangnya sudah terlalu banyak mengalirkan darah segar dan mulai mengering sekarang. Tidak salah lagi bahwa sosok tersebut sudah pasti tengah menunggu ajal.

Geudae han madie naneun useoyo..

Pemilik sepatu merah itu menatap si targetnya dengan tatapan dingin. Tangannya yang tadi mengapit rokok kini mematikan rokok tersebut.

Geoulcheoreom maeil sarayo..

"Tiga…dua…satu…"

Naui haruneun geudaeui geosijyo..

Target yang masih bernafas lemah kini semakin menundukkan kepala. Tidak lama kemudian, berhembuslah nafas terakhir dari hidungnya.

PIP.

Tergema suara pendek ketika satu telunjuk runcing berhiaskan kuteks merah menekan salah satu tombol di radio. Dengan itu, berakhir sudah alunan nada yang terngiang sedari tadi.

Sepi…

Yang ada saat itu hanya suara hembusan nafas sang empunya sepatu merah. Dari tengah ruangan, bau amis menyeruak masuk ke saraf-saraf penciumannya dan -entah mengapa- membuatnya merasa sangat muak. Tatapannya hampa ke arah noda darah yang menggumpal di bawah si jenazah baru. Seperti puding yang baru saja masak, aroma amis segar menguap dari gumpalan tersebut. Dan dari situlah sumber wewangian alami khas manusia itu berasal. Walaupun ia sudah hafal dan mati saraf-sarafnya dengan aroma tersebut, tetap saja ia masih dapat mencium sensasi menjijikkan yang menggelitik diafragma sehingga mungkin saja lasagna jamur yang semalam disantapnya memaksa keluar melalui mulut.

Sungguh bukan akhir yang menyenangkan jika itu terjadi.

Sedetik kemudian -ketika si pemilik sepatu merah masih berusaha menahan rasa muak-, satu-satunya pintu yang ada di sana terbuka dan menimbulkan suara decitan kayu yang khas. Rasanya seperti hanya ia yang ada di gedung itu sekarang karena suara itu terdengar begitu keras. Si pemilik sepatu merah mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang kini terbuka lebar dan ia mendapati seseorang muncul dari balik pintu kayu tua tersebut.

"Hai, bagaimana?"

Tanpa menjawab, si pemilik sepatu merah hanya menggerakkan dagunya ke arah pria mengenaskan yang terikat di kursi -menginstruksikan agar si penanya mendapatkan jawabannya sendiri.

Si penanya mengalihkan pandangan ke arah jenazah yang ada di sana sembari menutup erat pintu kayu di belakangnya. "Hmmm… baik, kurasa. Kau mau makan?" tanya si penanya lagi.

"Kau tidak berharap aku akan berkata 'ya' kan, Killu?"

Yang dipanggil Killu tersenyum kecil. "Ya, aku tahu kau tidak akan mau."

Killu mengangkat dagu mayat pria yang ada di sana dan memperhatikan sosoknya selama beberapa detik.

"Kau melakukan semuanya yang ia pinta dengan begitu baik, huh? Aku sampai kasihan melihat pria ini."

Si pemilik sepatu merah tidak menjawab atau apapun. Ia mengambil botol wine yang tidak jauh ada di sana dan menenggak isinya beberapa kali.

"Kita hanya perlu membawa rekamannya pada Kuroro siang ini. Untuk 'pembersihannya', kita bisa mengandalkan mereka, murid-murid baru." Killua melepas tangannya dari dagu jenazah di sana dan berjalan menuju recorder yang berdiri tepat di depan mayat tersebut. Dengan cekatan, tangannya mengulik recorder untuk mengambil sekeping CD rekaman. Begitu ia mendapatkannya, Killu segera membereskan recorder tersebut dengan membongkar dan memasukkannya ke dalam tas.

"Kita pergi sekarang agar mereka bisa segera melakukan pembersihan. Kau mau ganti baju dulu atau tidak? Resepsionis malam dan pagi berbeda setahuku."

"Kurasa aku akan ganti baju terlebih dulu saja."

"Keberatan kalau aku menonton?" Killu tersenyum nakal.

Sang pemilik sepatu merah mendelik, mencoba memberi peringatan.

Sosok bernama Killu memasang senyum enteng. "Baiklah.. baiklah… aku tunggu di luar."

Dengan santai, Killu membuka pintu ruangan tersebut dan melangkahkan kakinya ke luar. Setelah menutup pintu ruang itu, Kilu bersandar pada tembok sembari bersabar menunggu perempuan di dalam ruangan untuk mengganti pakaiannya dengan jenis yang lebih simple.

Sekitar dua menit kemudian, perempuan di dalam beres mengganti pakaiannya dengan kaus hitam model turtle neck berlengan panjang dan celana jeans sebagai pasangannya. Tanpa basa-basi, perempuan itu bergegas ke luar kamar dengan membawa semua peralatan yang dibutuhkan.

"Kita pergi sekarang?" tanya perempuan itu pada Killu setelah ia keluar dari kamar.

"Yup."


Udara Soul masih terasa cukup dingin pagi itu walaupun kesibukan sudah dimulai sejak sejam yang lalu. Setelah keluar dari motel berlantai kayu, Killu dan perempuan yang bersamanya berjalan sekitar empat setengah kilometer menuju subway dan menunggu kereta di sana. Perhentian mereka selanjutnya adalah stasiun terakhir di mana setelah itu mereka akan menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer dengan menggunakan motor. Setelah perjalanan dengan menggunakan motor ditempuh, barulah mereka sampai di tempat tujuan. Tempat itu adalah tempat di mana bos besar mereka sudah menunggu untuk hasil misi kali ini.

"Selamat pagi, Kuroro?" sapa Killu dengan senyum menawannya pada pria berjas hitam yang duduk di kursi besar di tengah ruangan.

"Pagi, Killua, Vesper?" sapa Kuroro kembali dengan ramah. "Bagaimana dengan misinya?"

Killua menyerahkan satu keping CD yang beberapa saat lalu ia pungut dari recorder pada Kuroro.

"Empat puluh lima pukulan di diafragma hingga pembekuan darah internal, dua tusukan pisau di masing-masing betis, dan satu kali hantaman asbak di pelipis. Semuanya sesuai dengan pesanan klien, kecuali hantaman di pelipis. Itu untuk bela diri." Perempuan yang ternyata bernama Vesper mengeluarkan suaranya.

Kuroro tersenyum, dengan kepuasan di masing-masing sudut bibirnya. "Tuan Park akan senang mendengarnya kalau begitu. Ia akan datang siang ini untuk melihat hasil kerja kalian. Tentu saja kalian harus ada di sana. Lokasinya dapat kalian temukan seperti biasa."

Killua dan Vesper membungkuk lalu mohon diri dari hadapan Kuroro.

Beberapa menit kemudian Killua dan Vesper berada di pusat keramaian. Dengan cepat mereka berjalan sambil melirikkan mata ke setiap sisi jalan untuk menemukan satu minimarket atau penjual majalah pinggiran 'langganan'. Begitu mereka menemukannya, Killu dan Vesper segera menghampiri salah satu penjual majalah di pinggir jalan dan membeli satu buah majalah. Setelah mendapatkan majalah yang diinginkan, mereka berjalan kembali untuk mencari taman dan menyantap sarapan.

"Di mana?" tanya Vesper sembari membuka mulutnya untuk mendapat satu gigitan burger yang besar.

Killua masih membolak-balik halaman majalah yang ada. Setelah menghabiskan waktu beberapa menit untuk mencari sesuatu, tiba-tiba…

"Hmmm… ah, ini dia…"

Bersama, Vesper dan Killua memperhatikan halaman yang terlampir dengan seksama. Di halaman itu mata mereka menangkap beberapa 'kode perusahaan' yang akan memberikan informasi mengenai lokasi selanjutnya yang harus didatangi.

"Claudince Tower jam 2 siang."


PUUUUK

"Hoi, Leo Rio!" teriak kecil seorang pria berambut pirang dalam rangka membangunkan pria berpostur lebih tinggi darinya.

"A…ADUUUH…! Ahhh~.. Kau rupanyaa!" balas Leo Rio saat mendapati Kurapika yang telah membangunkannya. Si pirang berlagak dengan menyimpan kedua tangan di pinggang sembari memasang raut wajah kesal seperti bos-. Ya, memang Kurapika adalah bosnya saat ini.

"Berani sekali kau tidur di saat jam kerja seperti sekarang! Bagaimana dengan kasus pencurian di Lowson kemarin? Sudah kau dapatkan sesuatu yang baru, hah?!"

"Ahhh… pencurian susu kotak itu? Sudahlah… lagipula hanya susu kotak. Ganti saja kerugiannya. Tidak akan semahal soju."

"Grrr… susu kotak dari mana?! Ini masalah mengenai pencurian uang di ATM Lowson yang menelan 500.000 Zeny! Kau ini dari mana saja, hah?!"

"Berisik, Kurapika. Kau ini.. baru saja jadi bos selama lima bulan sudah sebegini galaknya. Padahal beberapa bulan yang lalu kita masih partner dan kasus yang kita tangani lebih asyik dari yang sekarang."

"Sheesh, Leo Rio, itulah yang membedakan aku dengan dirimu. Aku selalu menerima kasus apapun yang diberikan padaku. Kau? Selalu pilih-pilih. Kita ini kan detektif yang berkewajiban untuk bekerja semaksimal mungkin dalam menuntaskan semua kasus yang terjadi dan dilaporkan. Bagaimana bisa kau pilih-pilih tugas yang diberikan kepadamu?!"

"Sudahlah. Lagipula masalah pencurian di ATM itu sudah kuserahkan sepenuhnya pada Takao. Aku yakin dia dapat membereskannya. Toh ia juga mengerti IT. Apa gunanya kita merekrut orang-orang baru jika mereka menganggur, kan?" Leo Rio menyalakan rokok untuk dihisapnya.

Kali ini Kurapika menghembuskan nafas. Antara masih mencoba untuk sabar atau sudah bosan bersikap sabar. "Jadi, memangnya kau ingin kasus seperti apa?"

"Kriminal kompleks. Pembunuhan berencana, mungkin? Atau kasus hilangnya benda bernilai tinggi? Kasus sabotase? Ayolah, Kurapika?! Kau pasti tahu maksudku! Kita ini kan sudah berpartner lebih dari 3,5 tahun?! Aku ingin kasus dengan teka-teki berlevel tinggi."

Kurapika berpikir sejenak.

"Hmm… baiklah. Kurasa aku tahu apa kasus yang kau maksud. Ikut aku?"

"Hee? Ke mana?"

"Menemui seseorang dengan tugas teka-teki level tinggi," jawab Kurapika.


Butuh beberapa langkah yang ditempuh Leo Rio dan Kurapika untuk sampai di depan pintu Divisi A.

"Di…Divisi A? Kau memperbolehkanku naik jabatan, Kurapika?!" seru Leo Rio kegirangan.

PLUKK!

Kurapika kembali memukul Leo Rio dengan gulungan kertas di tangannya.

"Ssst! Enak saja! Kau kan yang bilang ingin menyelesaikan kasus level tinggi dan menolak kasus-kasus biasa?! Karena tidak ada pilihan lain, aku akan menjadikanmu asisten untuk salah satu temanku di divisi ini. Dulu saat pertama kali kau datang, Ketua Netero memintamu untuk menjadi asistenku, kan? Anggap saja sekarang aku melakukan apa yang beliau lakukan dulu."

"Jadi, aku jadi asisten lagi? Yah… payah….," keluh Leo Rio.

"Duuuhh! Kau ini maunya apa, huh?! Aku jadikan kau detektif 'longgar' yang punya banyak waktu luang dengan tugas yang mudah, kau mengeluh. Sekarang aku jadikan kau asisten di Divisi A, kau mengeluh juga, mau dipecat saja apa?! Seumur-umur aku bekerja sebagai detektif, hanya kau saja bawahan yang banyak maunya!" Kurapika kini benar-benar kesal.

"Hhh~… Bukan begitu, Kurapika. Menjadi detektif itu memang cita-citaku, tapi maaf saja karena aku bukan bercita-cita menjadi seorang detektif biasa. Yang aku cita-citakan adalah menjadi detektif dari divisi teratas, yaitu DIvisi A. Untuk apa aku bersusah payah mendapatkan nilai sesempuna mungkin saat sekolah dulu kalau pada akhirnya aku tetap berakhir di divisi yang biasa saja? Divisi C membuatku bosan."

"Hhh…. Baiklah… baiklah… Tuan narsis percaya diri, ayo silakan masuk?" Kurapika membukakan pintu untuk Leo Rio.

Saat masuk, Kurapika dan Leo Rio disambut oleh seorang perempuan yang duduk tidak jauh dari sana.

"Selamat pagi, Kurapika-san," sapa perempuan tersebut saat melihat Kurapika berdiri di ruangannya.

"Pagi, Shizuku. Apa Gon ada di sini?" tanya Kurapika pada sosok berkacamata di ruangan kecil itu. Ruangan itu sebenarnya hanyalah ruang di mana Shizuku, sekretaris dari Divisi A berada. Para detektif dari divisi tersebut memiliki ruangan sendiri-sendiri yang letaknya lebih dalam lagi.

"G-Gon…?!" seru Leo Rio kaget.

"Ada. Perlu saya hubungi beliau untuk anda?"

"Tentu. Katakan padanya aku ingin bicara padanya sekarang kalau bisa. Di ruangannya saja."

"Baik."

Tanpa menunggu, Shizuku segera menghubungi Gon untuk menyampaikan amanat Kurapika dan Leo Rio agar dapat datang bicara padanya. Setelah beberapa detik berlalu, Shizuku mengembalikan gagang teleponnya ke tempat asal dan melaporkan hasilnya pada Kurapika dan Leo Rio di sana.

"Kurapika-san, Leo Rio-san, Gon-san bicara pada saya bahwa ia bersedia menerima anda berdua di kantornya sekarang."

"Baiklah. Terima kasih, Shizuku."

"Sama-sama, Kurapika-san."

Kurapika dan Leo Rio melanjutkan perjalanan mereka ke tempat yang lebih dalam. Setelah melewati lorong yang dikelilingi beberapa bilik –atau kantor para detektif Divisi A, tepatnya-, mereka berdua sampai di depan pintu kantor yang mereka tuju.

TOK TOK

Kurapika mengetuk pintu terlebih dulu.

"Kurapika dan Leo Rio, ya? Masuk saja…," balas Gon dari dalam ruangannya dengan ramah.

Begitu mendengar izin dari Gon, Kurapika dan Leo Rio memutar kenop pintu dan masuk ke dalam ruangan. Di sana mereka melihat Gon tersenyum ramah dari balik laptop.

"Hai, Kurapika? Leo Rio?"

"Hai juga, Gon," balas mereka berdua yang segera mengambil duduk di kursi tamu. Gon pun ikut duduk di kursi tamu dalam rangka menemani mereka.

"Ah, sudah lama sekali ya rasanya?" Gon membuka pembicaraan.

"Ya. Agak hectic akhir-akhir ini, ya? Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bisa bersama seperti ini?" balas Kurapika.

Setelah basa-basi untuk beberapa menit, Kurapika segera menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke kantor Gon saat itu.

"Begini, Gon. Aku langsung saja terus terang padamu mengenai maksud dan tujuanku kemari. Kasus Black Dragon, sudah sejauh mana?" Kurapika mulai bertanya dengan mimik serius.

"Black Dragon? Ehm… kurasa, masih sangat jauh…," jawab Gon yang dibarengi dengan ekspresi lebih berat.

"Hhh~… masih masalah bukti, ya?"

Gon mengangguk.

"Hei, kasus Black Dragon? Go-Gon, kau bertugas untuk masalah Black Dragon, huh?!" mendadak Leo Rio antusias.

Gon mengarahkan tatapannya pada Leo Rio dan mengangguk lemah. "Iya. Kau tahu kasus itu, Leo Rio?"

"Ah, aku hanya tahu kalau kasus itu merupakan awal dari kehancuran salah satu brand narkoba terkenal di dunia, Black Dragon. Aku tidak tahu detailnya sih, hanya saja sangat 'lucu' kalau merek narkoba nomor satu dapat dengan mudahnya hancur karena satu kasus."

"Kasus ini seharusnya sudah ditutup dua tahun yang lalu karena sudah lima tahun tidak ada perkembangan. Hanya saja, salah satu detektif terkemuka dari tempat lain melihat bahwa ada kebetulan dari adanya kasus Black Dragon dengan sejumlah pembunuhan rapi yang terjadi belakangan ini," ujar Kurapika sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Memangnya kronologis kasus Black Dragon sendiri itu bagaimana?" tanya Leo Rio pada dua temannya di sana.

"Seperti yang kau tahu, Black Dragon merupakan salah satu brand narkoba yang terkenal di seluruh dunia. Laba penjualannya pun terbilang fantastis, hingga mencapai tiga kali laba penjualan perusahaan minyak dan tambang di setiap bulannya. Wolfgang Fremeundeus, pendiri sekaligus pemilik dari Black Dragon sendiri merupakan satu dari lima orang yang menjual narkoba di wilayah Trados, salah satu kota yang menghalalkan penggunaan narkotika. Hanya dalam waktu kurang dari tiga setengah tahun, ia sudah berhasil menguasai pasar dunia. Cepatnya ia dalam mengambil perhatian dunia konon karena ia selalu berhasil membuat narkoba jenis baru setiap 6 hingga 8 bulan sekali. Kejeniusan Wolfgang dalam meracik obat memang patut diakui. Semua produk Black Dragon yang ia luncurkan selalu berhasil menjadi produk pilihan favorit. Pelanggannya juga ada dari berbagai macam kalangan : muda-tua, kaya-miskin, pengemis-mafia, semuanya. Ia merupakan satu-satunya bandar yang mampu menjual narkoba dengan harga relatif murah namun kualitas produknya mengandung kemurnian hingga mencapai 98%.

Suatu hari, tepatnya tanggal 6 Oktober, kurang lebih 10 tahun yang lalu, Everest in Sea, sebuah kapal pesiar mewah yang berlayar dari Branilla ke Schuiz dinyatakan hilang tanpa jejak. Kapal itu mulai mengarungi samudra pada tanggal 1 Oktober dan dipastikan sampai di pelabuhan Schuiz pada 4 Oktober pukul 18 : 50 untuk waktu tercepat hingga 5 Oktober pukul 00 : 05 untuk waktu terlambat. Namun, kapal itu tidak pernah sampai di pelabuhan Schuiz hingga saat ini. Pihak pelabuhan mencoba menghubungi kapal tersebut, namun tidak pernah ada jawaban. Radio dikabarkan masih menyala hingga 5 Oktober jam 1 dini hari, tapi tidak ada yang menjawab radio tersebut.

Setelah diselidiki, kapal tersebut berlayar tanpa izin resmi dari manapun. Tidak ada catatan dari biro perjalanan bahkan dinas kelautan atas kapal tersebut. Di kapal itu sendiri disebutkan ada 120 orang yang menjadi penumpangnya. Mereka terdiri dari banyak sekali orang kaya. Jumlah itu belum dihitung dengan kru yang juga tidak tercatat akan melakukan perjalanan saat itu. Beruntungnya, ada beberapa keluarga yang melaporkan bahwa sanak saudara atau salah satu anggota keluarga mereka menghilang tanpa jejak beberapa hari setelah isu pelayaran Everest muncul. Polisi dari masing-masing wilayah, terutama Branilla akhirnya mulai melakukan penyelidikan atas hilangnya kapal pesiar tersebut. Awalnya tentu saja tidak ada yang peduli soal hilangnya kapal tersebut karena tidak ada catatan resmi dari manapun dan hanya pihak pelabuhan Branilla dan Schuiz saja yang sibuk dengan kasus Everest in Sea.

Setelah diselidiki, Everest in Sea saat itu berlayar untuk keperluan pribadi dengan maksud tidak ada satu pun yang tahu. Hanya beberapa orang saja yang mengetahui soal pelayaran tersebut, yaitu para penumpang, kru, dan pihak pelabuhan masing-masing negara. Everest in Sea sendiri ternyata disewa secara diam-diam oleh seseorang bernama Edward yang kini masih tidak diketahui keberadaannya." Gon bercerita sembari mengambil beberapa bola coklat dari toples di atas meja tamu.

"Lalu?" Leo Rio bertanya dengan raut wajah serius, menunjukkan bahwa ia tertarik dengan kasus ini.

"Setelah kasus kehilangan ini semakin menarik media dunia, tidak sedikit bantuan yang diturunkan dari masing-masing negara untuk mencari keberadaan Everest in Sea. Pencarian dilakukan berbulan-bulan hingga setahun, tidak ditemukan apapun mengenai Everest in Sea. Sekitar setahun kemudian, Everest in Sea ditemukan telah karam di perairan bebas. Masalahnya, perairan bebas di mana Everest ditemukan jaraknya sejauh 60 km dari jalur seharusnya. Artinya, kapal itu telah karam di luar jalur yang seharusnya ditempuh untuk mencapai Schuiz. Saat kapal ditemukan, tim menemukan sebuah jurnal yang ditulis oleh kapten kapal. Dalam jurnal tersebut, tertulis bahwa semua penumpang kapal mengalami keracunan sekitar pukul 21.00 pada 3 Oktober. Selain jurnal, tim juga menemukan lima boks brankas besi dengan logo Black Dragon tertempel di sana."

"Ja..jadi… mereka…"

Gon mengangguk. "Ya. Diduga brankas besi itu berisi sejumlah kilogram narkoba milik Black Dragon. Semua penumpang di sana, tidak ada catatan mengenai pelayaran, pertemuan rahasia, semuanya dapat mengarah pada pesta narkoba. Mungkin saja Black Dragon baru saja meluncurkan produk terbaru dan pertemuan itu merupakan selebrasinya."

"Lalu.. bagaimana dengan masalah keracunan?" tanya Leo Rio.

"Masih belum diketahui. Dugaan sementara yang kita pegang adalah formula dari narkoba tersebut. Kami berkesimpulan bahwa keracunan itu disebabkan oleh zat yang terkandung dalam narkoba, bukan dari makanan dan minuman. Karena jika makanan dan minuman saja, berarti ada pihak yang sengaja mencampurkan racun ke dalam pangan, bukan? Jika begitu, seharusnya ada sebagian pihak yang masih hidup dan kapal tersebut mungkin tidak akan karam di perairan bebas yang berbahaya. Ingat, kawasan perairan bebas di sana digunakan untuk cagar alami hewan-hewan buas. Memang ada kemungkinan juga bahwa telah terjadi sabotase atau perampokan oleh sebagian orang di dalam kapal. Namun, hasil investigasi menyebutkan bahwa ada banyak sekali properti berharga yang tenggelam di sana. Selain itu, hingga kini tidak ada satupun kabar mengenai mereka yang diduga ikut dalam pelayaran tersebut secara rinci dan selamat. Masing-masing negara telah menyebar pamflet, brosur, foto-foto mereka yang diduga naik ke kapal tersebut, tapi tidak pernah ada yang melaporkan bahwa mereka melihat satu pun orang yang disebar di pamphlet dalam keadaan hidup. Jadi, hingga kini kami berkesimpulan kalau semua orang yang ada di sana tewas."

"Mayat-mayat mereka yang keracunan pun tidak mungkin ditemukan karena sudah terlalu lama, ya? Jika saja kapal itu ditemukan beberapa hari setelah karam, bisa diketahui darimana sumber racun yang mereka dapatkan," ujar Kurapika.

"Yap, itu benar."

"Lalu, kasus ini masih belum ada penyelesaian? Apa karena pelaku dari kejahatan ini adalah mafia yang kuat?"

Gon menggeleng. "Pelaku dari kejahatan ini masih belum dapat dipastikan siapa. Wolfgang sendiri kini masih tidak jelas di mana keberadaannya. Jika kita menuduh Wolfgang sebagai dalang dari kasus ini, kita memerlukan bukti mengenai motif dan siapa target yang dituju oleh Wolfgang. Dari hasil penyelidikan, diperoleh informasi bahwa ada tiga orang mafia narkoba di kapal tersebut. Hanya saja, tiga mafia itu merupakan mafia yang bahkan tidak bisa disejajarkan dengan Wolfgang. Apa gunanya Wolfgang membunuh mafia yang bahkan bukan saingan dari dirinya? Produk mereka lebih buruk dari Wolfgang dengan harga jual jauh lebih mahal. Selain itu, bukankah aneh untuk menghancurkan produk sendiri dan melibatkan mafia di dalamnya? Jika pun Wolfgang berniat untuk membunuh, bukankah lebih baik untuk menghilangkan barang bukti berupa brankas berlogo produk tersebut? Jadi, sulitnya untuk menuduh Wolfgang adalah di bagian ini. Jika kita berpikir bahwa ini merupakan sabotase, lalu siapa yang menjadi pelaku sebenarnya dari kasus ini dan mengapa ia harus melibatkan banyak orang serta Black Dragon? Jika ia adalah saingan dari Black Dragon, bukankah lebih efektif untuk menghancurkan Black Dragon saja dan membiarkan para penumpang Everest tetap hidup dan menjadikan mereka sebagai target pasar? Atau, apakah mungkin ada target pembunuhan di kapal tersebut dan pelaku sebenarnya bukan dari dunia narkoba? Di kapal itu ada juga pengusaha-pengusaha sukses lainnya."

"Jadi, satu-satunya masalah di kasus ini adalah bukti nyata, ya?" Leo Rio bicara sembari membenarkan posisi kacamatanya.

"Tepat sekali," jawab Gon singkat.

"Lalu.. kasus ini sudah lewat dari 5 tahun. Bukankah kasus ini seharusnya ditutup? Apa hubungannya dengan pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini?"

"Kasus ini tidak akan pernah ditutup, Leo Rio." Kurapika angkat bicara.

"Hnn? Kenapa?"

"Setelah kasus Black Dragon terjadi, banyak sekali pembunuhan terjadi di kalangan orang-orang dengan kedudukan tinggi. Hal ini dibarengi dengan percetakan uang dalam jumlah besar di setiap negara."

"Maksudnya?"

Gon dan Kurapika diam sejenak.

"Kau percaya kalau ada perusahaan di luar sana yang memberikan jasa membunuh, Leo Rio?" tanya Kurapika.

"Ya, itu selalu ada, bukan?"

"Memang, tapi apa pernah terpikir olehmu kalau perusahaan ini bukanlah perusahaan biasa. Bagaimana jika instansi pembunuh ini sebesar instansi mafia Black Dragon yang diakui oleh seluruh dunia?"

Leo Rio tercengang.

"Percetakan uang besar-besaran, penukaran cek yang lebih intens dari biasanya di saat semua orang seharusnya menyimpan uang di bank, kematian massal para pengusaha sukses, hilangnya pemilik Black Dragon. Setelah itu terjadi banyak pembunuhan yang dibarengi oleh transaksi bank dengan nilai yang hampir sama. Bukankah mungkin juga bahwa kasus ini melibatkan organisasi pembunuh yang cerdas? Pelaku tidak terdeteksi hingga sekarang, begitu pun kasus-kasus pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak ada satu pun pelaku yang terdeteksi untuk hampir 400 kasus pembunuhan di seluruh dunia." Kurapika bicara sembari menyeruput kopi yang baru saja dituangkan oleh Gon.

"Ya. Bayangkan organisasi pembunuh yang begitu rapi dalam menjalankan tugas. Pada akhirnya, kasus Black Dragon tidak akan ditutup karena kasus ini melibatkan orang di balik 90% kasus pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Membongkar kasus Black Dragon, sama saja membongkar siapa yang ada di balik kasus-kasus pembunuhan sekarang. Begitu pun sebaliknya." Gon ikut menyeruput kopi.

"Jadi, inikah teka-teki yang kau tawarkan padaku, Kurapika?" tanya Leo Rio dengan seringai lebar.

Kurapika mengangguk. "Hm. Bagaimana Leo Rio? Kau tertarik?"

Pria dengan kacamata hitam kecil di sana tertawa renyah. "Ya, tentu saja. Gon, mulai detik ini, aku adalah partnermu." Leo Rio menatap Gon dengan tatapan penuh percaya diri sembari tersenyum lebar.

"Baiklah. Mohon bantuanmu, Leo Rio." Gon tersenyum dan kembali menyeruput kopinya.


"Ini rekaman yang anda minta, Tn Park." Kuroro menyerahkan satu keping CD rekaman ke tangan seorang pria tua bertubuh kecil.

"Ah, terima kasih. Tuan Soon, putar rekaman ini." Pria bernama Park menyerahkan CD yang ia pegang pada salah satu orang di belakangnya.

Tidak berapa lama kemudian, suatu rekaman sadis bagaimana seorang pria disiksa selama beberapa jam ditayangkan. Suara teriakan, rintihan, pukulan hebat bergema di salah satu kamar hotel tersebut. Selain itu, suara tawa yang begitu puas dan sirupan kencang sesisip wine dari gelas terbaik menambah kengerian di sana. Mungkin, bagi mereka yang belum terbiasa melihat darah dan kesakitan dari siapa yang tersiksa dibalik sana. Bagi mereka, para bodyguard dari Park sendiri, mungkin telah lebih terbiasa dari sebelumnya.

Ada sekitar enam bodyguard di kamar itu, Park sendiri, Kuroro, Killua, dan Vesper. Mata mereka semua tertuju pada layar televisi, menonton detik-detik bagaimana pria di layar itu mati secara perlahan selama kurang lebih setengah jam –setelah dipercepat beberapa kali-.

"Ahahahaha… bagus, saya suka sekali. Jadi, siapa yang bertanggungjawab atas rekaman ini? Mungkin untuk selanjutnya, saya akan memilih eksekutor ini." Park memandangi Kuroro yang duduk di sampingnya.

Dengan ramah, Kuroro menjawab. "Orang yang mengeksekusi Tuan Joon berdiri di belakang saya. Perkenalkan, namanya Vesper." Kuroro bicara sembari mengarahkan tangannya dengan berkelas ke arah Vesper. Vesper yang berdiri di samping-belakang Kuroro menunduk memperkenalkan diri sambil berusaha tersenyum sebaik mungkin.

Park terdiam sejenak. Ada segaris raut terkejut di wajahnya. "Dia? Perempuan?"

"Ya. Walaupun dia perempuan, dia merupakan salah satu yang terbaik di bidang ini."

Park masih terdiam selama beberapa detik hingga akhirnya ia tertawa cukup keras. "Ahahahahahahahahahaha! Astaga, jadi selama ini perempuan itu berdiri di belakangmu sebagai anak buah? Aku kira… dia perempuan 'kucing' pada umumnya. Tadinya aku berniat untuk meminjamnya darimu, tapi… ah, sudahlah."

Kuroro tersenyum dengan raut wajah netral. "Maaf sekali, Tuan. Vesper tidak disediakan untuk melakukan tugas lain seperti itu."

"Yah, yah, aku mengerti. Baiklah. Kim, berikan itu." Park masih tertawa dan menitah satu orang pesuruhnya untuk menyerahkan satu lembar amplop pada Kuroro. "Ini untuk pekerjaanmu. Oh iya, lalu bagaimana dengan mayatnya? Kau menjamin bahwa tidak ada hal lain yang dapat terendus polisi?"

Kuroro menerima amplop yang disodorkan padanya dan bicara dengan tenang. "Itu perkara mudah. Anak buahku sudah membereskannya. Kebetulan binatang peliharaanku lupa kuberi makan sejak tadi malam."

Park menyeringai lebar, iblis sebagaimana klien-klien Kuroro yang lain. "Hnn, baiklah kalau begitu. Senang berbisnis denganmu, Tuan Kuroro." Park menyodorkan tangan kanannya pada Kuroro untuk berjabat tangan.

"Saya juga, Tuan Park."

Beberapa menit kemudian, di lorong hotel…

"Vesper?"

Yang dipanggil melirik pada sosok di belakangnya yang baru saja memanggil. "Ada apa, Killu?"

Sosok laki-laki berambut putih di sana memperlihatkan raut wajah khawatir sembari berjalan mendekat. "Kau tidak apa-apa?"

Vesper hanya terdiam, tidak menjawab. Bahkan tidak melihat sedetik pun ke arah Killu yang bersandar ke jendela di sampingnya.

"Kau bisa cerita apapun padaku. Kita punya banyak waktu setelah ini. Kuroro membebaskan kita untuk sementara, ingat?"

Vesper tersenyum, sedikit terpaksa. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa tidak enak. Kau tahu? Aku belum tidur sejak kemarin."

"Kau yakin?" Killua berusaha memastikan.

Yang ditanya mengangguk. "Ya, aku yakin." Senyum dari perempuan di sana kembali tersungging.

"Baiklah kalau begitu. Mau aku pesankan kamar di sini agar kau bisa tidur?"

"Kita punya rumah di Soul, untuk apa kita pesan kamar di sini?"

Killua tertawa sendiri. "Ya, baiklah. Ayo kita pulang kalau begitu?"

Vesper mengangguk mantap sembari tersenyum.