Suga tidak mengerti manusia. Jelas, dia kan kucing.
XXX
Suga in The House
Cast: BTS
Rate: T (hehehe(?))
Genre: General/Family
Note: Hybrid!AU dengan hybrid yang kuusahakan lebih condong ke sisi hewaninya. Domestic, mungkin.
Warn: Hati hati, Adik-adik (?)
XXX
Suga tidak mengerti manusia.
Setiap kata yang Master Namjoon ucapkan semalam, setiap buku yang Master Namjoon baca; Suga tidak mengerti.
Manusia itu suka memperumit sesuatu, ya?
Senin pagi, jam 08:13 Master berangkat kerja jam 08:30.
Suga bergulung di selimutnya yang hangat –tidur- sementara dari luar kamarnya mulai berisik. Master kalau sudah bangun pasti berisik, itu mengganggu tapi membuat Suga ingin keluar menghampirinya.
Dapur, sudah pasti. Suga bisa tahu sejak mencium bau sosis panggang.
"Pagi, Suga." panggil Master.
Suga cuma malas malasan menghampiri Masternya yang duduk di ujung meja makan sambil membaca.
Suga duduk di sampingnya. Telinganya yang turun karena tidak nyaman langsung naik begitu mencium bau makanan. Hidupnya itu simpel, hanya makan dan tidur saja sudah membuatnya bahagia.
Suga lapar, tapi dia harus menunggu orang yang sekarang sedang memasak –Pacarnya Master Namjoon- membawa makanannya ke meja makan sebelum dia bisa makan. Pacar Master bisa memasak tapi rasanya ya, so-so.
"Hai, Suga!" Sapa Pacar Master, "Kau lapar, ya, makanya kau bangun?" dia, namanya Seokjin, bertanya sambil meletakan piring di meja
Sudah tahu jawabannya itu, kenapa harus ditanyakan lagi? Suga malas, tapi dia cuma mengeong, "Meow."
"Iya, dia cuma bangun kalau lapar saja." kata Master, Master mengacak rambut Suga, dan
KRAUK!
"AW!"
Suga gigit saja dia. Pacarnya menertawakannya.
XXX
Suga masih tidak mengerti manusia.
Kenapa Master Namjoon mengerjakan pekerjaan yang tidak dia inginkan dan malah berakhir kerepotan sendiri; Suga tidak mengerti.
Manusia itu suka kalau kesusahan, ya?
Senin siang jam 12: 44, Suga –yang sedang tidur di ranjang Master, numpang– bangun karena pintu dibuka dengan keras –dibanting.
"Oh! Sorry, Suga! Aku buru buru."
Suga cuma memperhatikannya mengacak meja kerjanya di kamar.
"Tadi itu, Suga, masa atasanku-"
Blah blah blah, Suga tidak mengerti istilah kantor,
"Terus SPJ-nya belum-"
Blah blah blah, sesering apapun Suga mendengarkan Master mengoceh soal pekerjaannya, dia tetap tidak mengerti.
"Terus akhirnya honornya kan jadi tidak bisa turun."
Oh, tapi dia tahu honor itu maksudnya uang.
Master akhirnya menemukan berkas yang dia cari, masih mengoceh soal orang orang yang tidak bisa diajak bekerja di kantornya.
"Jadi penyelesaiannya bagaimana?" tanya Suga.
Master diam. Curhat pakai emosi boleh, tapi penyelesaian akhirnya harus tetap logis –apalagi soal masalah kantor.
Tangan Master bergerak memanggil Suga, jadi Suga turun dari ranjang dan Master menariknya duduk di pangkuan Master, memeluk Suga dan menyandarkan kepalanya di bahu Suga.
"Yang jelas butuh evaluasi. Kau tahu, Suga, di kantor begitu aku harus pintar pintar membiasakan diri, memilih sikap, ya, begitulah. Tapi yang tadi itu benar benar minta didepak saja, benar benar membuat satu bidang pusing." Kata Master –curhat. Dia memeluk Suga lebih erat.
Dan Suga tidak suka dipeluk terlalu erat –dia tidak suka dipeluk awalnya, tapi karena Master butuh jadi Suga membiasakan diri. Tapi Suga tetap meronta.
"Oh, oh, jangan banyak bergerak, Suga, nanti bangun."
Master tersenyum, senyum yang menyebalkan.
KRAUK!
Suga gigit saja dia.
XXX
Suga tetap tidak mengerti manusia.
Master sudah bicara berkali kali soal kehidupan di kantor dan masalah soal uang, tapi yang Suga mengerti cuma cara main piano dan menyetir; hal hal di luar itu Suga tetap tidak mengerti.
Hal lain yang dia mengerti adalah soal ketertarikan. Ada kucing oranye bantet –breed munchkin, pasti– punya tetangga sebelah yang menarik perhatian Suga, sama seperti pacar Master menarik perhatian Master.
Senin malam, jam 19:06, sehabis hujan, pacar Master datang –lagi, padahal rumah Master ini bukan rumahnya juga– dengan sweater salem dan sneaker pink, untung celananya warna lain, Suga bisa buta sementara mendadak kalau melihat terlalu banyak warna pink.
Master dan pacarnya itu saling sapa, berpandangan, merapat dan berpelukan. Suga paham betul kalau dua orang yang saling tertarik sudah saling mendekat percikan putih apa yang akan terjadi. Jadi, Suga sebagai hybrid piaraan yang baik dan peka pada Master tahu apa yang harus dia lakukan.
Suga keluar lewat pintu belakang, ke halaman belakang, sementara dari dalam rumah samar samar mulai berisik berisik, sebentar lagi pasti pacar Master jadi teriak teriak.
Suga bukan kucing yang punya semangat juang tinggi sampai mengejar kodok yang muncul tiap habis hujan, dia lebih suka diam memperhatikan kodok itu loncat kemana dia mau. Suga tidur di sofa yang ada di teras belakang, melakukan apa? Ya, tidak melakukan apa apa.
Sampai dia melihat ekor oranye di balik pagar sedang yang memisahkan halaman belakang rumah Master dan rumah tetangga.
Ekor itu bergerak melengkung lengkung dan Suga tahu itu siapa, si Bantet.
"Woi, Bantet! Ngapain!?" tanyanya, dengan keras.
Lalu kepala si Bantet muncul dari balik pagar, Suga tidak tahu bagaimana menjabarkannya seperti dalam surat cinta yang waktu itu Master tulis untuk pacarnya, tapi Suga tahu ada lebih dari duaribu dua –karena seribu satu itu terlalu sedikit- alasan untuk bilang kalau si Bantet ini menarik.
"Hyung, boleh aku ke situ?" tanyanya.
"Tidak." Jawab Suga.
"Oh, OK."
"Kenapa?"
"Master belum pulang dari pagi, aku sendirian."
Minta ditemani? Suga tidak bicara lagi, dia berpikir harusnya dia bicara apa.
Suhu sehabis hujan adalah yang terbaik, basahnya, dinginnya, dan efek akhir musim hujan pada kucing. Ditambah si Bantet maka semuanya akan jadi lebih baik daripada yang terbaik.
"Hyung mau menemani aku?" tanya si Bantet.
Suga tidak berpikir dan langsung melompati pagar. Bahkan kalau diajak mati, Suga pasti mau.
Hybrid kucing bantet –breed munchkin, pasti– itu langsung memeluk Suga begitu Suga turun dari pagar.
"Ayo main di kamarku, aku sendirian di rumah."
Suga cuma tersenyum.
"Hyung mau main apa?"
"Main bolamu, kalau boleh." Jawab Suga.
Dan kucing oranye ini langsung menariknya ke dalam rumah.
TING TONG! TING TONG!
Tiba tiba bel rumah berbunyi, diikuti seruan sebuah suara rendah –yang sangat-sangat rendah, "Chim Chim! Aku pulang!"
"Aih." Chim, kucing oranye bantet itu mendadak panik, "Hyung pulang saja ya, Master sudah pulang."
"Kenapa alien itu harus datang sekarang?"
TING TONG!
"Chim Chim!"
"Hyung, pulang saja ya, please!" mohon Chim.
"Aku bahkan belum main sama sekali. Kau hutang padaku tiga kali battle."
Satu battle = tiga ronde. Tiga battle = sembilan ronde.
Chim tersenyum, matanya sampai hilang ditelan pipinya yang chubby –minta Suga gigit-
"Tenang, bisa diatur."
TING TONG! TING TONG!
Bel rumah masih tetap dibunyikan.
Dan Suga pulang, misuh-misuh, merutuki alien yang jadi masternya Chim.
XXX
Note: tidak ada yang serius di fanfic ini, tidak ada riset soal kucing, yang ada cuma aku (alias 'anggur') dan kucingku yang paling sering di rumah tapi paling nggak mau dipegang, Abay si tukang jual mahal yang sukanya gigit gigit. (Sejarah nama Abay itu karena ibuku suka nonton Jodha Akbar, biasa ibu ibu, lalu Abay yang malang lahir di jaman itu dan akhirnya ibuku menamainya Akbar, kupanggil Abay.)
Note: Karena fic ini tidak serius, aku bisa bilang ini bakal ngalor ngidul, seperti aku yang ngalor ngidul juga. Ini bakal terasa hampa ditambah innuendo(s), yang adalah potret kehidupan 'anggur'-ku dimana aku tidur 16 jam perhari dan karena itu ibuku bilang aku itu kucing.
(Note: Bohong sih kalau aku bilang nganggur, aku bolak balik antara kelas dan florist(yang ada di Alien Honey))
((Curhat: Aku butuh mencari apa yang ingin aku lakukan dalam kehidupan ini.))
