"Kau berdarah."

Jimin mengerling, ia berada di depan pintu rumahnya. Hujan deras menghempas seperti gila. Napasnya yang memburu tidak lagi terdengar, terbawa oleh embusan angin dingin. Sesekali, ia rasakan sesak, rasakan sebuah desakan hatinya ang bilangbahwa suatu hal ini tidak benar.

"Hyung, apa yang mereka lakukan padamu?"

Yoongi berdiri di depan rumah Jimin. Napasnya tidak teratur, seolah ia tidak tahu bagaimana seharusnya ia bernapas dengan normal. Namun sebelah bibirnya tersenyum, sinis, dan kelihatan tidak keberatan dengan tubuhnya yang luruh oleh sayat dan memar, oleh darah yang tersapukan oleh air hujan. Ia tergelak kecil.

"Kau tidak mau membawaku masuk?"

Jimin mengerutkan alis.

Membuka pintunya.

Tidak bicara apa-apa.

Tidak tersenyum, seolah ia seharusnya tidak membukakan pintu. Seolah seharusnya ia diam saja, menatap dari kejauhan bagaimana Min Yoongi terluka. Namun gerak-geriknya itu tiadalah memiliki keharusan. Ia tidak harus membiarkan Yoongi di luar. Ia tidak harus menutup pintunya lagi.

Jadi biarkan saja, Min Yoongi memasuki rumahnya kembali, seperti yang dulu-dulu terjadi. Ketika Min Yoongi memasuki kehidupannya.

.

.

.

.

.

The Way We Choose

Yoongi. Jimin. YoonMin

©Soochan

.

.

.

.

.

Di tempatku hujan menyebalkan terjadi terus.

.

.

.

.

.

Jimin tidak pernah tahu mengenai Yoongi. Ia tidak pernah benar-benar mau tahu. Sosok itu jugalah tidak pernah menjelas-jelaskannya. Jadi biarlah ia tenggelam bersama rasa penasarannya, biarkan dirinya sendiri untuk menjauh dari sosok itu.

"Kau tinggal dengan siapa?"

Yoongi duduk selagi Jimin mengambil kotak p3k. Jauh di dalam matanya, menelusuri tiap jengkal tubuh Park Jimin, apakah ada yang berubah, apakah telah ada yang terlewatkan oleh matanya.

"Jungkook, dia kadang menginap di sini."

"Siapa Jungkook?"

"Temanku, Hyung. Sekolahnya dekat sini, jadi kupikir tidak apa-apa kalau dia sering menginap."

"Teman?"

Jimin memutar mata. Sofa yang tempatnya biasa berselonjoran hari Minggu itu basah oleh baju yang tersimbahi air hujan, yang menyatu bersama darah Yoongi. Ia menarik air di dekatnya, merendam setengah dari handuk yang tangannya ambilkan dari lemari. "Aku bertemu Jungkook setahun lalu, dia anak manis, dia juniorku di komunitas tari. Jadi ya, begitulah."

"Setahun yang lalu ya," Yoongi termenung sebentar, kemudian merengut kecil ketika handuk dingin menyentuh kelopak matanya. "Hati-hati bodoh."

Tersenyum Jimin mendengarnya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak pernah mendengar kata yang sekasar itu, dengan nada marahnya itu. Ia rindu sekali. Sehingga tiada tersadarkan bahwa bibirnya telah sunggingkan senyum kecil.

"Iya, setahun yang lalu," tepat ketika Min Yoongi meminta putus. Jimin ingat sekali. Yoongi yang kelewatan kebingungan dulu, ia tidak bisa menyalahkan lagi pria itu, Jimin tidak menolak ketika yang lebih tua meminta, sehingga ia hanya mengangguk. "Apa kabarmu, Hyung?"

Mereka sudah tidak bertemu selama setahun, astaga. Lama sekali. Seutuhnya Jimin berpikiran bahwa Min Yoongi sudah benar-benar lupa akan eksistensinya. Bahwa mungkin saja Min Yoongi sudah menemukan cara untuk hidup lebih baik dan melupakan Jimin.

Ketika Jimin memikirkan itu, ia tiba-tiba berhenti mengusapkan handuk di wajah Yoongi, terdiam dalam uluran waktu yang lama. Dalam dekapan waktu yang berdesakan bersama bunyi dadanya yang berdentum-dentum, Jimin bertanya hati-hati;

"Kau sudah dapat pacar baru, Hyung?"

"Tidak, di sana tidak ada yang lebih manis darimu."

"Kau pergi ke mana?"

"Kau ingin tahu?"

Jimin terdiam lagi. Kemudian mengambil obat merah. Ia melihat ketika matanya kembali meniti pada memar di wajah Yoongi, laki-laki itu tersenyum lembut, hampir seolah ada kerinduan yang terbuncah dalam arus matanya, arus yang berombak jengah, namun berhempas dan tenang. Min Yoongi adalah orang yang seperti itu.

Angin mendesah di telinga keduanya, seolah ikut menyesapi kecanggungan setelah lewat setahun mata itu tidak bersitatap lagi. Jarak mereka sudah ditarik untuk mendekat kembali, hingga Jimin bisa merasakan embusan napas yang lebih tua, mendekam di telinganya.

Jimin tidak mengerti, Jimin tidak tahu siapa sebenarnya, dan seperti apa sosok Min Yoongi itu sebenarnya.

Tapi Min Yoongi yang ia temui adalah Yoonginya yang selalu lembut, yang kata-kata kasarnya tidak pernah menyakiti hatinya. Jimin tahu, laki-laki terlibatkan, mungkin oleh sesuatu yang benar jahat, namun itu sama sekali tidak berlaku di saat Jimin menatap mata itu sekarang, yang damai dan tenang.

Hujan menghempaskan diri, menyalurkan tiap bah air yang menyulutkan dingin. Penghangat ruangan di sana berderak kecil, sementara Jimin tersenyum lagi saat ia sudah selesai membenahi luka di wajah Yoongi.

"Sebenarnya aku tidak datang untuk diobati."

"Aku tahu, aku kesal setiap kali melihatmu berdarah, Hyung."

"Kau tidak pernah berubah ya."

Jimin tersenyum, ia menarik tangan Yoongi, membersihkan sisa pasir yang masih menjamahi kulit pucat itu, kemudian mengambil handuk. "Kau juga, Hyung."

"Aku berubah," Yoongi terdiam, matanya menatap tangannya Park Jimin yang bergelayut di kulitnya, tangan yang mungil itu, seperti pemiliknya, jari manis lengan itu disematkan cincin perak polos. Dan saat itu pula Yoongi terkesiap. "Min."

Jimin mengangkat kepalanya. Min Yoongi menatapnya dengan sebuah pilu, ketika matanya hendak bersitatap dengan yang lebih muda, Yoongi membuka mulutnya, hampir berkatakan sesuatu. Laki-laki itu gelisah, setahun, waktu yang lama.

"Min."

"Ya?"

Yoongi mengusap tangan itu pelan. Rana matanya menyusupkan sebuah pedih, kesakitan oleh keadaan, bukan oleh luka-lukanya. Oleh Park Jimin, yang menatap matanya sambil diam, seolah sedang mencari tahu, mengapa ada air yang tumpah dari mata Min Yoongi.

Hujan berderak di luar. Menghempaskan kerutan-kerutan alam, menghempaskan dahan yang lemah, menghempaskan perasaan mereka berdua. Berdiam kalut. Menyampaikan perasaan masing-masing dalam sunyi.

Jimin merindukan orang ini, ia rindukan setiap jejak langkahnya yang menyusup di telinganya. Ia rindu Min Yoongi yang memeluknya, yang mendekapnya lembut. Dadanya sesak. Hujan menyentak. Tenggorokannya sakit, seolah rasa sakit di dadanya naik pelan-pelan menuju kepalanya, sehingga tiba-tiba saja, kering kerongkongannya.

Matanya panas. Rerimbunan hatinya yang teduh memanggil nama Min Yoongi berkali-kali. Namun tubuh Jimin tidak bergerak sama sekali. Hanya diam saja, hanya termangu saja. Ada batu berat yang menghentamkan dada, sakit dan rasa sesak itu ingin pecah. Ia juga ingin menangis, ia ingin menangis untuk Min Yoongi.

"Aku merindukanmu."

Yoongi memeluk Jimin, membawa kepala itu sampai menyentuh dadanya. Dan isak tangis Yoongi terdengar menjelajah. Dada pemuda itu naik turun di pipi Jimin. Min Yoongi tidak pernah menangis. Sampai saat ini.

"Aku merindukanmu," ulang si pucat, mendesahkan napas dinginnya, matanya sembab, menatap langit-langit rumahnya. "Aku merindukanmu sampai mau mati."

Jimin masih termangu. Hujan bersidekap di luar sana, airnya terdengar jatuh, deras dan deras. Tidak membiarkan celah cahaya malam datang.

Ia meremas kaus biru kusam itu, kemudian menenggelamkan wajahnya semakin dalam pada dada Min Yoongi, mendengarkan dentuman keras yang menyentak di dalam sana.

"Kalau begitu jangan pernah pergi lagi."

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

Well, FF ini sudah ditulis sampai beberapa chapter ke depan

Sehingga mungkin saat ini, masalah update enggak perlu dikhawatirkan.

.

.

.

.

.

.

.

.

Update dilakukan kalau review memungkinkan.

Aku cinta kalian semua.

.

.

.

.

.

.

See u!