BITTER PILL (INDONESIA)
oOo
Translated by ©ybbaek cbsky
Original Story
Bitter Pill by Huaner
www asianfanfics com/story/view/1060526/bitter-pill-angst-drama-exo-baekyeol-chanbaek-baekyeon
(spasi diganti dengan titik)
Copyright © 2015 Huaner
All Rights Reserved
.
.
Chanbaek Sky
Presents
Pairing(s):
CHANBAEK, BAEKYEON
Summary:
Byun Baekhyun akan melakukan apapun untuk tunangannya, sekalipun itu berati ia harus tidur bersama bosnya, Park Chanyeol.
Genre: Cooperate AU, Angst, Drama, SMUT
Rate : NC -17
WARNING:
Dubcon, rough sex, barebacking, orgasm denial, breath play, infidelity, violence, unrealistic depictions of cooperate life and night life in general
.
.
-Enjoy-
Saat itu hari mendekati tengah malam, dan ruangan itu diselimuti atmosfir gelap yang pekat. Seorang penyanyi berdiri di tengah panggung, memikat semua pandangan mata. Byun Baekhyun menikmati suasana di bawah lampu sorot, suara lembutnya meluncur melalui tenggorokannya dan menyebar ke seluruh ruangan yang dipenuhi udara sensual itu. Akhir dari lagunya itu meninggalkan audiensnya—pria bisnis yang overwork, dan mahasiswa-mahasiswa yang mabuk—terdiam, sebelum sebuah auman tepuk tangan (bersama dengan beberapa olokan) memecah keheningan. Menyeringai, Baekhyun hormat ke audiens sebelum menuruni panggung dan membuat jalan ke arah bar, memberi jalan untuk penampil selanjutnya.
Tepat saat ia duduk, Baekhyun merasakan tangan di bahunya. Berputar, Baekhyun berhadapan dengan teman lamanya yang juga pemilik tempat itu, Kim Junmyeon.
"Suho!" Baekhyun berseru. "Syukurlah kau datang. Ke mana saja kau semalaman?"
Suho tertawa kecil. "My bad, ada beberapa hal yang harus kuurus. Big wig hadir untuk check-up tahunan dan pekerjaan pun membanjiriku. Anyway, aku berhasil datang tepat saat kau tampil. Fantastis seperti biasanya, Byun."
Baekhyun menyeringai atas pujian itu. "Tadi itu salah satu pertunjukkan terbaikku. Aku tak tahu; aku hanya benar-benar menikmati malam ini."
"Well, aku bukanlah satu-satunya yang menyadari itu," kata Suho, sebelum mengisyaratkan ke arah melewati bahunya. "Ingat 'Big Wig' yang kubilang tadi?" Baekhyun mengikuti isyarat Suho, berusaha mendapati sosok figur yang duduk di area VIP yang gelap. "Namanya Park Chanyeol. Dia adalah investor utama tempat ini dan sangat jarang datang. Dia baru saja mendengarmu bernyanyi dan ia memesanmu for the entire night."
Baekhyun menaikkan alisnya "Semalam penuh?"
Suho menatap Baekhyun dengan tatapan bersalah. "Yep, yang juga berarti tak ada lagi pertunjukan untukmu malam ini. Aku sudah menetapkan Sooyoung untuk mengambil jatahmu. Maaf, Baek. Aku tak bisa menolaknya karna dialah yang mendanai tempat ini."
"Yeah, whatever." Baekhyun menurut, menghiraukan kekecawaannya akan pertunjukkan yang tak bisa ia tampilkan. Penyanyi-penyanyi di tempat itu memiliki jumlah audiens yang sama, dan Suho paham untuk mengkapitalisasi ini dengan memperbolehkan pelanggannya menghabiskan waktu one-on-one bersama penampil favoritnya;tentu dengan pungutan biaya. Baekhyun tidak begitu mempermasalahkan hal itu, karena waktu "one-on-one" hanya berarti minum-minum dan berbicara, dan beberapa pelanggannya memiliki cerita kehidupan yang menarik. Tarif per jamnya juga bukan sesuatu yang dapat dicemooh, dan semakin banyak alkohol ditenggak ke tenggorokan pelanggannya, semakin banyak tip yang ia terima; hanya pelanggan langka yang memiliki ketertarikan dan uang yang begitu banyak untuk memonopoli seorang penyanyi sepanjang malam. Sayangnya, pelanggan-pelanggan ini juga cenderung sulit ditangani—baik karena itu memang timbal balik seharga dengan jumlah uang yang mereka bayarkan, dari alkohol yang mereka telan, ataupun dari campuran keduanya.
Baekhyun segera mengecek makeup smokey-eye nya di cermin samping sebelum berjalan ke arah pelanggannya malam itu. Penyanyi itu terperangah kaget ketika ia melihat pria itu dari dekat. Tak seperti pelanggannya biasanya, pria paruh baya yang mulai membotak, pria ini tinggi dan ramping, dengan wajah yang tampak bagai diukir para dewa. Posturnya yang tegas, rambut hitamnya teratur rapi, dan setelan jas membuatnya lebih menarik. Seluruh sikap pria ini bagai berteriak "high class"—ia tampak tak pantas di sini.
"Apa ada sesuatu di wajahku?" Tanya pria itu—Park Chanyeol dengan seringai, mata besarnya berkilauan di bawah cahaya.
"Err—tidak." Baekhyun terbatuk, dikejutkan dengan suara bass yang dilantunkan dari pria berwajah baby face penuh tipuan. "Kau tidak seperti yang kuharapkan, itu saja."
Bibir Chanyeol bergerak sambil ia merentangkan tangannya di sepanjang area leher di sofa itu, ke arah Baekhyun. "Tak seperti yang kau harapkan? Apa maksudmu?"
"Well," Baekhyun duduk, menatap Chanyeol intens. "Kau tak terlihat seperti pelangganku biasanya. Jauh lebih tampan."
"Itu melegakan!" Chanyeol tertawa dengan suara boomboxnya. "Kalau begitu aku tidak memiliki pesaing yang cukup berarti."
Baekhyun merona atas godaan yang begitu jelas. Ia seharusnya tidak meminum minuman tadi dalam sekali teguk. Itu membuat kepalanya berputar.
"Namamu...Baekhyun, seperti yang Suho bilang. Benar? Jadi berapa lama kau telah bekerja di sini, Baekhyun? Aku tak ingat pernah melihatmu di sini sebelumnya." Tanya Chanyeol, mengisyaratkan ke pelayan terdekat untuk membawakan alkohol lagi.
"Beberapa bulan.. kontrakku sebelumnya baru saja berakhir, dan Suho adalah temanku dari dulu, jadi ia menerimaku ketika salah satu penyanyinya cuti hamil. Awalnya pekerjaan ini hanya untuk sementara, tapi Suho memutuskan untuk menahanku karna tampaknya banyak orang menyukai nyanyianku." Kata Baekhyun, menyesap minuman yang terletak di depannya.
"Begitukah? Sayang sekali," kata Chanyeol, menghiraukan minummannya untuk menyusut tangannya perlahan ke atas lutut Baekhyun. "Dengan suaramu, aku tergiur untuk merampasmu dan menjadikanmu salah satu dari kekuasaanku."
"Entah bagaimana, aku pikir bukanlah suaraku yang kau inginkan," goda Baekhyun, membentangkan kakinya sedikit. Kepalanya terasa ringan dan pusing, bagai tersumpal permen kapas. Keduanya benar-benar dekat sekarang, tenggelam di dunianya sendiri.
"Hmm," seringai Chanyeol terbelah menjadi senyuman Chesire, tangannya yang besar merangkak ke atas perlahan dan meremas bagian dalam paha Baekhyun. "Daripada berbicara buruk pada pelangganmu, aku harus menggunakan mulutmu untuk hal lain, yang jauh lebih baik."
Bel alarm seolah meledak di belakang kepala Baekhyun, mendesaknya untuk meletakkan minumannya dan menyadarkan diri. "Maaf," kata Baekhyun, yang dengan tegas menggenggam tangan Chanyeol dan meletakkannya jauh-jauh sebelum remasan kecil itu merambat menjadi perabaan. "Jika kau ingin, kita bisa melanjutkan ini di tempat lain, tapi tidak di sini. Tempat ini bukan daerah untuk seperti itu."
Chanyeol nampak tertegun sejenak, sebelum ia tertawa dengan keriangan. "Kau benar, ini bukan tempat seperti itu." Kata Chanyeol lagi sebelum menjauh dari Baekhyun dan mengambil dompetnya. "Ini tipmu malam ini—dan kartu bisnisku. Hubungi aku jika kau tertarik untuk melanjutkan ini." Chanyeol mengedipkan mata sebelum bangkit.
"Kau mau pergi?" Baekhyun tersandung. "Tapi kau memesanku sepanjang malam!"
"Ah, aku ingin tinggal di sini, tapi rekan kerjaku menunggu. Lihat di sana?" Chanyeol menunjuk ke arah pintu, di mana beberapa pria dengan jas rapi berdiri. "Keadaan darurat, sayangnya. Tak bisa membuat mereka menunggu. Dengan itu, pesananku masih terus berlaku. Nikmatilah sisa malammu." Kata Chanyeol lagi, menampilkan senyuman rupawannya terakhir kali.
"O—okay." Ucap Baekhyun, mencengkeram kartu Chanyeol dengan lemah. Mata Chanyeol tertuju pada minuman Baekhyun untuk sedetik sebelum ia berjalan meninggalkan pojok itu. Baekhyun menatapi punggung Chanyeol yang perlahan pergi sebelum mencaci maki dirinya karena melepaskan semacam spesimen yang menarik.
'Story of my pathetic, non-existent love life. I could've gotten laid so hard,' ratap Baekhyun sebelum menenggak semua sisa minumannya dengan penyesalan.
.
.
.
"Hey. Hey!"
Pandangan Baekhyun tak bisa terfokus. Kedua kakinya terasa berat dan kepalanya seperti terbagi dua. What the hell was happening?
"Hey, kau bisa mendengarku? Ayo, bangun. Ini sudah pukul tujuh pagi."
Baekhyun mencoba menjawan, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah rintihan yang terdengar seperti kuakan kodok sekarat.
Figur misterius itu menghela napas sebelum Baekhyun merasa dirinya diangkat oleh bahu-bahu langsing, dan seseorang menggerakkan lengannya untuk menopang tubuhnya. Baekhyun merasakan dirinya terdesak ke figur itu.
"Oh, jangan kau coba-coba memuntahiku."
"Air... air..." rintih Baekhyun.
"Baik, kemarilah..." Baekhyun merasa kakinya sembari figur itu mengangkatnya terseret menyebrangi ruangan itu dan menjatuhkannya di permukaan yang keras. Cahaya seolah menampar kelopak mata Baekhyun, dan angin sepoi-sepoi terhembus ke wajahnya, membangunkannya sedikit. Apa dia... di luar?
"Ini," figur itu kembali setelah beberapa saat, mengangkat secangkir air ke bibir Baekhyun. Baekhyun meneguk air itu dengan haus, rasa pusingnya membuat sebagian cairan itu terpecik ke bajunya.
"Geez, berapa banyak kau minum semalam? Aku sudah lama tak melihat orang semabuk ini."
Baekhyun berkedip dengan muram ke arah figur di hadapannya. Wajah seorang wanita muda tertangkap kedua matanya. Rambut pirangnya diikat menjadi gumpalan yang berantakan dan matanya bengkak karena kurang tidur, dan make up glitternya. Baekhyun samar-samar mengingat wajah itu; salah satu penyanyi di tempat itu.
"Aku tak ingat," akunya. "Yang kuminum hanya segelas Jack dan beberapa teguk minuman yang pelangganku berikan—fuck kepalaku sakit."
"Ini, minumlah." Kata wanita itu lagi, menawarkan dua tablet Advil ke Baekhyun. "Minumlah lagi. Dan ini ember jika kau ingin muntah."
Baekhyun mengambil tablet itu dengan sigap.
"Thanks," katanya dengan suara parau beberapa saat kemudian, setelah sakit kepalanya mulai mereda.
"No worries. Aku memang sudah menduga situasi seperti ini ketika aku mendapat closing duty."
Baekhyun tertawa pelan, mengingat pengalamannya sendiri menyeret pemabuk-pemabuk keluar dari tempat itu di pagi hari.
"Come on, aku antar kau pulang, karna sudah jelas kau tak bisa melakukan apapun sendiri saat ini." Tawar wanita itu lagi.
"Thanks. A lot," kata Baekhyun penuh syukur. "Erm..."
"Namaku Taeyeon. Kim Taeyeon." Kata wanita itu, menjabat tangan Baekhyun yang masih lemah. "Nice to officially meet you, Byun Baekhyun."
.
.
.
"Aku beberapa kali melihatmu di lounge beberapa kali, bahkan sebelum aku bekerja di sini, kau tahu. Terkadang teman-temanku membawaku ke sana." Kata Taeyeon, memegangi cangkir yang penuh dengan kopi yang masih menguap-uap di tangannya. "Pertama kali aku melihatmu perform, nyanyianmu sangat mengesankanku, aku langsung membandingkannya dengan nyanyianku. Falsetto yang kau hentak sungguh luar biasa. Meskipun kau masih bisa berkembang, aku akui aku berusaha belajar darimu—agak berubah menjadi semacam persaingan, sebenarnya. Dan seolah takdir merestuinya, aku dikontrak di tempat Suho, merawatmu ketika kau mabuk, dan sekarang kita di sini, di kencan kopi kita ke sekian kali. Tidakkah hidup ini lucu?" Taeyeon tertawa dengan segar.
Biasanya, Baekhyun akan luluh karena tawa itu; tapi sekarang, itu hanya memberinya kegugupan dan perutnya terasa seperti teraduk-aduk.
"Baekhyun? Ada apa denganmu?" Taeyeon merengut. Kekasihnya nampak gelisah semenjak mereka bangun tadi pagi.
"Taeyeon.." Baekhyun terbata, tertatih di rentetan kalimat yang telah dipersiapkkannya berhari-hari. Ah, fuck it. Baekhyun bangkit dari kursinya, berlutut di hadapan Taeyeon, dan meraih kotak beludru kecil dari kantongnya.
"Taeyeon, kita sudah mengenal satu sama lain berbulan-bulan. Mungkin itu bukan waktu yang lama untuk beberapa orang, tapi dalam waktu itu kita telah jatuh cinta dan tinggal bersama di flat kecil." Di titik ini, mulut Taeyeon menganga, kesadaran menyingsing di matanya.
"Semenjak kau merawatku di lounge, aku tahu aku sudah menemukan orang yang tepat. Kau perhatian, cantik, pandai, bertanggung jawab, dan memukau di semua aspek. Setiap pagi, aku bangun dengan candu ingin melihat wajahmu dan mendengar suaramu. Di titik ini, aku tak bisa membayangkan diriku bersama orang lain selain dirimu. Yang ingin kukatakan adalah..." Baekhyun terbata lagi; ia tak akan pernah mahir di hal-hal seperti ini. "Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, untuk menua bersamamu. Will you let me, Taeyeon?" Baekhyun meraih cincin dari dalam kotak tersebut dan menyajikannya di hadapan Taeyeon. "Will you marry me?"
Seluruh penjuru kedai kopi itu terdiam, suara ramai yang biasanya terhenti sembari semua customer dan pekerja di tempat itu menonton scene yang tak terduga itu. Taeyeon masih terus menganga ke arah Baekhyun, terkejut dan rasa tak percaya seakan mencuri suaranya. Jari Baekhyun bergetar dan ia mulai berkeringat dingin di setiap detik yang berlalu. Akhirnya, tangis Taeyeon meledak, mencoba dan gagal untuk menahan emosi yang membanjirinya.
"Yes!" Tangisnya. "Yes, oh my gosh, yes.."
Baekhyun merasakan hembusan kelegaan menamparnya sembari ia bergerak maju, memasangkan cincin itu di jari tunangannya. Ciuman yang mereka bagi setelahnya begitu singkat, namun dalam. Kemudian mereka berpelukan di tengah-tengah auman tepuk tangan dari orang di sekitar mereka.
.
.
.
"Baek, bisakah kau ke sini sebentar?" Panggil Taeyeon dengan suara letih dari ruang tamu. Merengut, Baekhyun mematikan kompor dan duduk di samping tunangannya, di atas sofa yang digigiti ngengat. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan pasangan itu sedang makan malam sebelum akan berangkat ke lounge.
Baekhyun memandangi surat-surat yang tercecer di atas meja dan rengutannya makin dalam. "Sudah mulai kerja lagi? Kau baru saja pulang dari double shift, babe. Kau harus istirahat," hibur Baekhyun.
"Jika aku tak membaca mereka, siapa lagi?" bentak Taeyeon. "Kita sudah terlambat membayar tagihan listrik, kau tahu? Seminggu lagi dan mereka akan memutus listrik kita! Dan biaya sewa! Pemilik tanah membekukku di tangga dan mengatakan bahwa kita sudah terlambat membayar 3 hari. Kukira kau akan membayar bulan ini?"
"Aku sudah memberitahunya aku akan membayarnya di weekend, saat paycheck ku tiba." Kata Baekhyun, tertegun atas mood tunangannya yang tidak biasa. "Begitu juga dengan tagihan listrik. Babe, kita telah melewati situasi seperti ini sebelumnya, dan kita akan melewati ini lagi. Ini bukanlah hal baru."
"Benar, kau benar." Taeyeon tertawa pahit. "Kita selalu hidup seperti ini, dari paycheck yang satu ke selanjutnya..."
"Tae?" tanya Baekhyun, akhirnya merasakan sesuatu yang salah dengan tunangannya. "What's wrong?"
"Aku diberhentikan, Baekkie." Taeyeon mengaku. "Bar itu terancam tutup jadi mereka melepaskan semua penyanyinya."
"Apa?" tanya Baekhyun kaget. Bahkan belum dua bulan semenjak Suho melepas Taeyeon dikarenakan kesulitan keuangan. Tunangannya bekerja keras untuk mendapat pekerjaan baru, dan sekarang ia diberhentikan lagi...
"Aku pikir aku tidak akan pernah dikontrak lagi, Baekkie. Selalu sama belakangan ini. Aku harus menjawab pekerjaanku sebagai pelayan; satu-satunya pemasukan kita sekarang." Kata Taeyeon dengan gontai. Nampaknya ia akan menangis. Meskipun bayaran sebagai penyanyi berkontrak bukanlah sesuatu untuk dipertimbangkan, itu tetap lebih baik dari pekerjaan berupah minimum, khususnya untuk orang-orang seperti Taeyeon dan Baekhyun yang tidak memiliki pendidikan sekunder. Semata-mata mengandalkan pekerjaan berupah minimum sebagai pemasukan utama juga akan mendatangkan tekanan mental dan fisik bagi pasangan itu, karena mereka harus menjalankan banyak pekerjaan sekaligus untuk membiayai kehidupan mereka.
"It'll be okay, it'll be alright.."Ucap Baekhyun sambil memeluk Taeyon erat dan mengelus punggungnya, berusaha menenangkan. Baekhyun mendapati hatinya hancur melihat Taeyeon, salah satu wanita terkuat yang ia tahu, gemetar dalam pelukannya. Di momen itu, Baekhyun memutuskan bahwa ia akan melakukan apapun untuk mencukupi kebutuhan calon istrinya, meskipun ia harus mengambil banyak pekerjaan dan work himself to the bones.
.
.
.
"Kau...memecatku?"
"Maafkan aku, Baekhyun. Aku benar-benar tidak ingin melakukan ini." Kata Suho jujur. "Resesi yang terakhir benar-benar membawa bencana bagi area ini. Kita harus melepaskan setengah dari semua pekerja hanya untuk terus bertahan."
"Tapi... tapi..." Baekhyun menganga seperti ikan. "Kenapa aku? Aku salah satu dari pekerjamu yang stabil. Aku datang ke tiap-tiap shift, dan kita juga telah berteman sejak SMA—"
"Itulah masalahnya, Byun." Kata Suho bersungguh-sungguh. "Kau datang ke setiap shift, tapi kau terlambat hampir tiap kalinya. Aku bisa saja melihat itu sebagai keterlambatan sedikit, tapi akhir-akhir ini kau selalu hampa dan tak fokus! Bahkan pelangganmu mulai menyadari ini, dan keluhan membanjiri kami. Maafkan aku, Baekhyun, tapi bisnis adalah bisnis. Aku telah memberikanmu sangat banyak peringatan, aku tak bisa lagi mengabaikan etika bekerjamu yang buruk."
"Please, Suho. Aku bisa berubah," pinta Baekhyun. "Hanya beri aku satu kesempatan lagi, aku berjanji aku akan membuat lebih banyak uang malam ini—"
"Dengarlah dirimu, Byun. Kapan terakhir kali kau tidur? Yang kau butuhkan bukan kesempatan kedua, tapi istirahat."
"Suho, please jangan pecat aku. Aku butuh pekerjaan ini. Tae diberhentikan dari pekerjaannya juga, dan kami berdua terus bekerja tak kenal waktu. Bisakah kau ijinkan aku bertahan di sini sedikit lebih lama? Hanya sampai aku dapat pekerjaan baru? Aku mohon, Suho."
Suho menghela napas. Hatinya hancur melihat teman lamanya seperti ini. "Kita berdia sama-sama tahu itu tak akan terjadi, Baek. Bahkan aku sekalipun memberhentikan pekerja; tak ada club di daerah ini yang akan merekrut." Suho meletakkan tangannya di atas bahu Baekhyun. "Hey, aku tak hanya ke sini untuk menjatuhkanmu, oke? Aku punya beberapa berita baik."
Di situ, Baekhyun mendongak tertarik.
"Ingat Park Chanyeol? Investor yang mendanai tempat ini? Ia datang ke sini tahun lalu saat kau perform."
Baekhyun mengangguk, samar-samar mengingat pria itu.
"Jabatan sesungguhnya ialah CEO dari Park Enterprises & Holdings. Asisten pribadinya baru saja berhenti dan ia sedang mencari pengganti. Jam kerjanya tak selama di sini dan bayarannya juga cukup untuk meringankan badai yang kau alami. Posisi ini sulit untuk didapat, itulah mengapa aku bersedia personally mengajukanmu; tentu jika kau tertarik."
Mata Baekhyun membelalak kaget. "Park Enterprises & Holdings? Bukankah itu perusahaan yang sangat besar?" Baekhyun bahkan kesulitan melewati bangku SMA, ia tak berpikir bahkwa ia bahkan dapat diterima sebagai pembersih gedung di sana. Park Enterprises ada di seluruh penjuru Korea, logo itu terpampang di smartphone, satelit, dan komputer di Korea. Dengan perluasan brand itu ke China dan Jepang baru-baru ini, perusaan itu benar-benar telah mengokohkan diri sebagai perusahaan terbesar di bidang teknologi dan komunikasi di Asia.
"Technically, yes," kata Suho setuju. "Chanyeol hanya mencari asisten junior saat ini. "Terus terang, asisten junior hanyalah pekerjaan nenek yang dimuliakan. Kau akan mengantar kopinya, mengambil catatannya, menggantung mantelnya, dan semacamnya. Asisten pribadi lah yang mengurusi hal-hal kompleks." Suho mendekat, menurunkan suaranya hingga menjadi sebuah bisikan. "Sejujurnya, asisten pribadi Chanyeol yang sebelumnya tidak mengundurkan diri—dia dipecat karena mencoba menggelapkan uang. Tim PR menutupi itu untuk melindungi image perusahaan, tapi Chanyeol sangat geram. Kali ini, dia mencari seseorang yang bisa ia percayai, ia mengutamakan ini di atas semuanya. Chanyeol dan aku adalah partner bisnis sejak lama, jadi dia akan percaya orang-orang yang aku percaya. Aku tahu kau tidak menguasai ini, tapi pikirkanlah, Byun. Kau tak harus memperbudak dirimu lagi, dan kau bisa mulai merencanakan pernikahanmu yang telah lama kau tunda—Ini adalah untukmu dan Taeyeon."
Baekhyun menatap mata Suho, pikirannya melaju cepat. Pada akhirnya, apa lagi yang perlu dipikirkan? Ambil kesempatan ini dan berenang, atau berjalan pergi dan tenggelam—dan Suho benar. Sebesar apapun cintanya untuk bernyanyi, atau seberapa besar ia membenci pekerjaan di kantor, Baekhyun tak bisa memutuskan hanya untuk dirinya sendiri. Mulai sekarang, Baekhyun harus mempertimbangkan untuk Taeyeon juga—untuk keluarganya.
.
.
.
"—dan inilah mengapa aku akan menjadi tambahan yang baik untuk perusahaan ini." Ucap Baekhyun, mengakhiri pidatonya, dan meluruskan jasnya. Tiga hari setelah Suho memberhentikannya, Baekhyun menerima telepon dari Park Enterprises memintanya untuk datang melakukan interview. Setelah persiapan yang berlibahan dan memastikan penampilannya tak bercela, Baekhyun datang ke kantor untuk menghadapi rentetan pertanyaan, kontennya menguji baik ketahanan fisik dan mentalnya. Baekhyun memiliki teori samar-samar bahwa sang pewawancara, Do Kyungsoo mungkin memang terlahir dengan wajah yang begitu intens, seorang korban dengan sindrom resting bitch face. Di sisi lain, Baekhyun ragu-ragu di bawah pengamatan Kyungsoo, mungkin pria itu memang benar-benar men-judge dirinya dengan perilaku seolah dengki.
Kyungsoo terus mengamati Baekhyun beberapa saat sebelum matanya tertuju kembali ke papan di tangannya. Dengan rengutan halus, Kyungsoo bergumam sesuatu.
"Apa?" tanya Baekhyun.
"Kau diterima."
"...apa?"
"Kubilang kau diterima. Selamat."
Baekhyun tak berkutik atas berita tak terduga itu. "Begitu saja? Tidakkah kau harus merundingkannya dulu dengan seseorang?"
Kyungsoo memandang Baekhyun dengan wajah tanpa ekspresi. "CEO telah melimpahkan tanggung jawab atas perekrutan perusahaan ke asisten pribadinya, yaitu aku. Dengan nama Kim Junmyeon di belakangmu, wawancara ini hanyalah formalitas—bukan untuk menilai apakah kau pantas untuk pekerjaan ini, tuan Byun, kau hanya akan melakukan pekerjaan sehari-hari."
Baekhyun merasa tersinggung dengan kata-kata Kyungsoo. Ia merasa dicibir.
Dengan itu, Kyungsoo bangkit dari kursinya dan menyodorkan map tebal ke arah Baekhyun. "Pelatihanmu untuk menjadi asisten junior akan dimulai Senin depan. Kau akan dilatih di bawahku, karena aku adalah panjabat posisi itu sebelumnya. Aku akan mengirimkan email berisi jadwal penuh untuk minggu depan. Tolong senggangkan waktumu untuk membaca dokumen-dokumen itu, mereka intisari dari langkah masukmu ke firma ini."
"Got it," kata Baekhyun, melangkah maju untuk menjabat tangan Kyungsoo.
"Welcome to the company, Mr. Byun. Oh, dan yang terakhir," tambahnya, mengamati jas biru laut Baekhyun dengan tatapan jijik yang dengan mahir ia tutupi. "Tolong upgrade gaya berpakaianmu. Ketika kau berjalan melalui pintu itu, kau mencerminkan perusahaan ini, dan wardrobe mu dibutuhkan untuk merefkleksikan itu. Untukmu, sesuatu di bawah ribuan dollar sudah cukup."
Baekhyun meninggalkan gedung itu dengan rasa masam.
.
.
.
Senin selanjutnya, Baekhyun terbangun ketika langit masih gelap (dengan Taeyeon yang masih mengantuk di sebelahnya, mengeluh menyuruhnya mematikan alarm) dan melakukan perjalanan selama satu jam untuk tiba di kantor pusat pukul setengah enam pagi, satu setengah jam lebih cepat dari yang diintstruksikan jadwal yang di-email Kyungsoo. Surprisingly, beberapa pekerja sudah hadir ketika Baekhyun sampai di gedung raksasa, memaksanya berlari menuju ruangannya dengan gugup. Baekhyun menghela napas lega ketika ia mendapati ialah satu-satunya yang ada di lantai itu—pintu utama ruangan-ruangan itu bahkan masih terkunci rapat.
Beberapa menit kemudian, Kyungsoo melangkah keluar dari lift, membawa baki penuh kopi panas di satu tangannya, dan sebuah mantel serta koper kerja di yang satunya. Mata pria itu sejenak membesar ketika ia melihat Baekhyun.
"Kau datang lebih awal," Kyungsoo mengamatinya sembari menempatkan kopernya di lantai untuk membuka pintu kaca raksasa yang menuju ke ruangan kerja.
"Iya," tegas Baekhyun. Sesungguhnya, ia salah memperkirakan waktu perjalanan dan nyaris memilih untuk tidur tiga puluh menit lebih lama, tapi Kyungsoo tak perlu tahu itu.
"Ini adalah awal yang menjanjikan. Dedikasi adalah karakter berharga di firma ini." Kata Kyungsoo, menahan pintu kaca itu terbuka untuk Baekhyun. Baekhyun membawakan koper Kyungsoo sembari jalan, mendapatinya sebuah ucapan 'thank you' kecil dari pria itu.
"Karena kita berdua sudah di sini, aku akan memberimu tur singkat di lantai ini," kata Kyungsoo, gerakan lampu-lampu sensor berkedip otomatis sembari mereka berjalan.
"Seperti yang bisa kau lihat, ini adalah salah satu dari lantai paling luas di gedung ini. Lihat ruangan-ruangan ini?" Kyungsoo mengisyaratkan ke arah kiri mereka, yang dipenuhi oleh jajaran pintu dengan pelat nama individu. "Ini adalah ruang kerja untuk pekerja senior. Area ini akan menjadi sangat sibuk seiring dengan pekerjaan mereka yang mengharuskan mereka mondar-mandir. Ada lebih banyak lagi ruangan-ruangan di bawah kita, dan pekerja junior mendapat ruangan kecil di lantai 30 ke bawah." Keduanya berbalik sekali lagi dan berjalan menuruni ruang masuk yang pendek namun luas. "Dan ini," kata Kyungsoo sambil sekali lagi membalik badannya, menatap area terbuka yang lebar. "Inilah tempat kerja kita."
Dua ruangan menduduki setengah dari area itu, yang satu jauh lebih besar dari yang satunya. Dinding-dinding kaca yang memisahkan ruangan-ruangan itu dari area utama sama sekali tidak menutupi isi ruangan tersebut. Ruangan yang lebih besar tampak seperti ruang tamu mewah dibandingkan sebuah ruang kerja, dengan sofa kulit dan meja mahogani mengagumkan di tengah ruangan. Beberapa lemari buku setinggi dinding pun memenuhi ruangan, dan dinding di belakang meja terbuat dari kaca murni, memberi pemandangan langit yang sempurna.
"Itu adalah kantor tuan Park. Biasanya beliau akan datang setidaknya sekali sehari. Ia akan datang tengah hari atau malam hari untuk menyelesaikan paperwork." Baekhyun menganga mengagumi kemegahan ruangan Park Chanyeol. Benar-benar pantas untuk seorang CEO perusahaan terdepan.
"Dan itu," Kyungsoo mengisyaratkan ke ruangan yang lebih kecil di samping milik Chanyeol. "Adalah ruanganku, langsung terhubung dengan ruangan tuan Park, karena aku adalah asisten pribadinya. Ini," Kyungsoo mengarahkan ke ruangan kecil di luar ruangannya. "Adalah tempat kerjamu. Cukup tertutup untuk memberimu privasi, dan cukup terbuka untuk memberimu akses ke seluruh tempat di lantai ini." Area itu memiliki meja bergelombang dengan beberapa rak di belakangnya. Kyungsoo benar; area itu terbuka—tertata sehingga Baekhyun dapat memandang ke seluruh ruangan, dan meja itu cukup besar untuk dikualifikasi sebagai meja resepsionis. Meskipun area itu lebih kecil dibandingkan ruangan Kyungsoo, tetap saja terhitung lapang bagi Baekhyun.
Kyungsoo meletakkan tiga cangkir kopi untuk Baekhyun, Chanyeol, dan mejanya sendiri secara berturut-turut.
"Tuan Park menyukai a grande triple shot espresso di mejanya sebelum ia tiba di pagi hari. Terkadang ia akan datang lebih awal, dan terkadang ia akan sangat sibuk dengan rapat dan tak akan datang sama sekali. Aku akan memberimu salinan jadwalnya di tiap awal bulan. Jadwal Tn. Park memang dapat berubah, tapi setidaknya salinan itu akan memberimu garis besar acara-acara besar. Hafalkanlah."
"Yes, sir," kata Baekhyun, memproses semua informasi itu dengan cepat.
"Kyungsoo mengamati Baekhyun beberapa saat sebelum berkata. "Kau tampak letih."
"Yeah, well," Baekhyun tertawa lifelessly. "Aku terjaga sampai pukul satu pagi membaca dokumen yang kau berikan dan terbangun pukul empat pagi intik berangkat kerja." Bahasa yang terdapat di dokumen itu begitu kabur dan dipenuhi bahasa rumit sehingga Baekhyun harus terus menggenggam kamus melewati setiap halamannya.
"Sejujurnya, memang terlalu berat untuk menyerap informasi itu hanya dalam beberapa hari." Kyungsoo bersimpati. "Kurang dari setengah jam lagi Tn. Park akan tiba. Ia menginginkan pengenalan resmi karena ini hari pertamamu. Minumlah kopimu."
Baekhyun meneguk espressonya dalam diam sambil terus mendengarkan dan mencatat seiring Kyungsoo terus menjelaskan detail tugasnya. Waktu berjalan begitu cepat dan segera, langkah kaki terdengar. Kyungsoo dan Baekhyun seolah mengerti itu panggilan mereka, dan langsung berdiri di depan ruang kerja itu, menanti Chanyeol.
Ketika Chanyeol akhirnya tiba, Baekhyun menarik napas tajam. Ingatan Baekhyun yang kabur dari setahun lalu terlontar ke puncak pikirannya. Chanyeol sama persis dengan pria menawan di memorinya, mengenakan jas Armani dengan mantel hitam panjang, rambut hitam tertata rapi ke belakang dari wajahnya yang tampan.
Jadi itulah mengapa nama Chanyeol begitu familiar. Chanyeol adalah pelanggannya yang meninggalkannya di malam sebelum ia bertemu Taeyeon. Baekhyun tidak tahu harus bagaimana dengan fakta bahwa bos barunya pernah sekali merabanya di lounge lusuh.
"Tn. Park," kata Kyungsoo. "Ia adalah asisten juniormu yang baru, Byun Baekhyun."
Mata Chanyeol tertuju pada Baekhyun, sekokoh mata Baekhyun pada Chanyeol, nampaknya terpikat oleh pria kecil itu. "Byun Baekhyun... yang direkomendasikan Suho, ya?"
"Benar." Jawab Kyungsoo.
"Mengapa diam saja? Kau bisu?" canda Chanyeol sembari ia mulai menyeringai.
"Ti—tidak, aku tidak—" Baekhyun terbata-bata.
"A-ha!" seru Chanyeol. "Aku sudah tahu! Itu kau! Penyanyi dari lounge Suho! Aku pasti akan mengenali suara itu di mana pun juga."
"Itu—itu aku," jawab Baekhyun canggung. Sial, sudah takdirnya Chanyeol mengenalinya juga.
"Dan dia merekomendasikanmu sebagai asistenku, huh?" Chanyeol menunjukkan senyum Chesirenya, mengingatkannya pada malam itu di lounge. "Menarik. Sangat menarik."
.
.
To be continued...
.
.
Hai hai haiii~~~
Ybbaek kembali setelah sekian lama fufufu~
Perijinan sudah aku sertakan di media ya (wattpad). Biasanya aku translate ff yang singkat-singkat, tapi kali ini aku pilih yang chaptered:") meskipun (jujur aja) agak malas dan sulit membagi waktu but I think this one will worth it! Dan seperti yang kalian bisa tebak, yup! Aku lagi-lagi translate ff angst I cant help it angst chanbaek is life
Aku pribadi jauh lebih aktif di wattpad dibandingkan di ffn, dan aku akan membalas semua komen dan message yang masuk, termasuk promosi-promosi ff. Keep it coming, guys! Aku akan dengan senang hati membaca karya kalian :3
Yhaaa lagi-lagi t/n nya kepanjangan ya :p ((t/n itu translator note)) hahaha gegara ga kesampean a/n wkwk Read on, fellas!
Jangan lupa meninggal kan Review supaya aku semangat untuk update Chapter selanjutnya
P.S. Dari Author aslinya, ini FF masih On-going
-ybbaek-
