Chapter 1: Yellow Carnation.

Disclaimer: Hiro Mashima

Warning: AU, OOC, and typo(s)

Pair: Gray Fullbuster and Juvia Locksar

Genre: Romance/Drama

Rate: T

.

.

.

Yellow Carnation

~ Awal dari penolakan.

.

Pagi ini, jalan masih terlihat basah oleh air hujan. Helai demi helai daun menari-nari pelan sebelum akhirnya menghempaskan diri mereka diatas aspal yang kaku. Membiarkan diri mereka terinjak-injak oleh ramainya pejalan kaki yang sudah memenuhi kota sejak lebih dari satu jam yang lalu.

Seorang gadis tengah menyembunyikan lensanya dibalik kelopak mata pucat miliknya, membiarkan angin musim gugur di akhir bulan September itu menyapanya. Membelai lembut sebagian pipi mulusnya yang tak tertutup oleh syal biru muda yang ia gunakan.

" Ohayou~!" Sebuah panggilan lembut menembus masuk ke dalam indra pendengarannya. Dibuka kedua kelopak matanya secara perlahan, hingga kini ditatapnya seorang gadis berambut pirang tengah berdiri sambil tersenyum kepadanya.

" Sudah menunggu lama?" Tanya gadis itu kemudian.

Ia masih terdiam, menatap gadis itu dalam.

" Tidak.." Suaranya terasa bergetar akibat syal yang menutupi sebagian mulutnya, " Baru 15 menit.." Lanjutnya jujur.

" Arra~ berarti sudah lama!" Gadis dihadapannya sedikit terkejut. Kini dilihatnya gadis itu tengah mengempaskan tubuh langsingnya di atas bangku halte yang masih kosong, tepat di sebelahnya.

Ia kembali terdiam, dilihatnya gadis bermata caramel yang ada disebelahnya kini tengah menghembuskan nafas.

Ia membuka sedikit bibirnya, hendak bertanya namun ragu menghampiri benaknya. Ditutupnya kembali kedua bibir ranum miliknya, kontras dengan kulit wajahnya yang terlihat kelewat pucat. Perlahan, dialihkannya kembali pandangannya ke jalan raya yang berada tepat di depan mereka.

" Menyebalkan! " Si gadis caramel mendadak mengeluh. " Kalau kau tanya kenapa aku terlambat... Adalah karna Natsu-"

' Bertengkar dengan..'

" Bertengkar dengan-"

' Gray-sama..'

" Gray!"

' Hanya karna masalah kecil..'

" Hanya karna masalah kecil! Demi Tuhan!"

' Ah~ aku lupa bagian yang itu.' Benaknya.

" Kenapa lagi? " Tanyanya basa-basi. Setidaknya gadis itu telah menjawab pertanyaan yang sesungguhnya ingin ia lontarkan.

" Seperti biasa, Natsu tidak sengaja menyenggol lengan Gray... Lalu Gray berfikir bahwa Natsu ingin mengajaknya bertengkar dan.. Blaa.. Blaa.. Blaa.."

' Seperti biasa..' Benaknya lagi. Permata sapphirenya masih menatap fokus pada gadis cantik yang masih sibuk menceritakan kedua temannya, selagi pikirannya tengah terbang jauh entah kemana.

" Oi! Luce! " Suara baraton seorang pemuda mengejutkan mereka berdua. Kini dilihatnya dua orang pemuda tengah berjalan mendekat. Salah seorang yang berambut merah muda kini tengah tersenyum lebar kepada mereka, selagi pemuda berambut hitam dibelakangnya hanya terdiam sambil memasang tatapan bosan di wajahnya.

Seketika hatinya berdegup. Ribuan kupu-kupu seakan melayang disekitarnya. Membiarkan waktu berhenti berputar untuk sesaat.

Permata lautnya berbinar.

Menatap kagum pada sosok yang telah ribuan kali muncul dihadapannya. Membuat hatinya berdegup lepas kendali. Bahkan hingga pertemuan kali ini, debaran itu tak pernah berkurang.

" Oh! Ohayou Juvia~!" Suara pemuda berambut merah muda _Natsu_ menyadarkannya dari lamunan.

" A-o.. Ohayou, Natsu-kun!" Jawabnya terbata. Diturunkannya sedikit syal yang menutupi bibir ranumnya. Hingga sekarang Natsu _dan Gray tentunya_ dapat melihat senyum yang terbingkai di kedua bibir mungilnya.

" Sudah selesai?" Sindir Lucy kemudian. Ditatapnya Natsu yang masih saja menunjukkan senyum innoncentnya.

" Apa?" Tanya Natsu polos

" Bertengkarnya.." Lanjut Lucy kesal.

" Oh? Ah! Sudah~" Jawab pemuda bodoh itu dengan semangat. Tawa ceria sesaat terdengar keluar dari mulutnya. Membuat Lucy yang sedari tadi cemberut kembali menampakan senyum lembutnya.

" Dasar!" Cibir Lucy kemudian, " Kalau besok kalian bertengkar lagi-"

" Oi, Juvia..." Suara dingin seorang pemuda mengalihkan pandangannya dari Lucy yang kini tengah sibuk menceramahi Natsu. Kini dilihatnya seorang pemuda tengah tersenyum hangat kearahnya. Berbeda jauh dengan suaranya yang terkesan dingin dan menusuk. Tapi entah kenapa, ia tetap menyukainya.

Gray kini tengah duduk di atas kursi kosong _tepat di sebelah kirinya_ sambil memasang earphone bewarna biru tua ke telinganya. Senyuman kecil terus membingkai di bibir pemuda itu. Cukup untuk membuat jantungnya berdetak makin dan makin cepat.

" H-hai... Gray-sama." Jawabnya. Pandangannya tengah menatap lurus tepat kearah sepatunya. Terlalu malu untuk menunjukkan rona merah yang ada di kedua pipinya.

Tidak ada jawaban. Dan ia yakin bahwa sekarang Gray sudah sibuk dengan earphone dan ponselnya.

.

.

.

" Tadaima~" Sapanya pelan begitu kaki jenjangnya memasuki sebuah pintu kayu beraksen modern.

Dilangkahkan kakinya secara perlahan. Berharap agar langkah yang ia hempaskan tidak menimbulkan suara sedikitpun, sehingga wanita paruh baya yang kini tengah berada di dalam kamar tidak mendengar kedatangannya.

Namun sepertinya, dewi fortuna tak sedang berpihak padanya.

" Dari mana saja kau jalang?" Suara dingin seorang wanita kini menyapanya.

Ditatapnya ragu wanita yang biasa ia panggil dengan sebutan 'Okaa-san' itu, kini tengah berdiri angkuh tepat disamping meja makan.

Takut.

Sedesir perasaan khawatir yang berlebihan datang menyelimutinya.

" Kutanya darimana saja kau?!" Suara ibunya meninggi, membuat dirinya makin ketakutan.

" Da-dari sekolah 'Kaa-san... Tadi ada rapat organisasi sekolah, jadi-"

" Alasan!" Ibunya memotong kalimat yang ingin ia ucapkan dengan cepat. " Dari mana saja hah!? Habis menjual tubuhmu ke paman-paman mesum?! Huh?!" Lanjut wanita itu sarkartis.

DEG!

Permata lautnya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang barusan ibunya katakan.

" Ju-Juvia tidak bohong 'kaa-san.."

Praang!

Sebuah vas bunga bewarna putih terhempas tepat di samping kirinya, membiarkan serpihan-serpihan tajam menggoreskan luka-luka kecil di kulit pucatnya. Meninggalkan garis-garis yang kini mulai mengeluarkan cairan bewarna merah yang biasa kita sebut dengan darah.

" Tidak usah mengelak! Dari awal kamu memang berbeda dengan Levy!" Bentak ibunya.

Kini dirasakannya cairan panas mulai memenuhi kelopak matanya. Memburamkan pandangan matanya yang memang sudah terlihat lelah.

" Daripada Levy, lebih baik kau yang mati!"

.

Tes..

.

' Ohayou~..'

Seperti biasa.. Masih seprti biasa...

' Sudah menunggu lama?'

' Tidak, baru 15 menit..'

Entah mengapa kali ini aku merasa begitu muak.

' Itu sih sudah lama..'

Selalu sama...

Selalu saja sama...

' Ohayou~..'

Kudengar lagi hal yang sama. Membuatku merasa benar-benar muak dan ingin melemparkan segalanya yang ada di hadapanku.

' Heh-'

Kudengar suara Lucy yang terdengar berbeda. Permata coklatnya menatap sinis kearahku yang terasa diasingkan. ' Tidak berguna..'

Siapa?

' Dasar pembawa sial..' Sambung Natsu kemudian.

Siapa?

Kualihkan pandanganku. Kini kulihat Gray-sama berseringai, namun dapat kurasakan sebuah kebencian yang tersirat di permata dark blue miliknya.

' Lebih baik kau yang mati..'

Kriiiinggg~!

.

" Hosh.. Hosh.. Hosh.. Hosh.." Nafasnya berderu. Saling memburu dengan keringat dingin yang mengalir dari kedua pelipisnya.

Mimpi yang sama lagi... Sama dan terus sama sejak lebih dari dua bulan yang lalu. Selalu sama... Bahkan hampir tiap malamnya.

Kriiinggg~!

Suara jam weker biru miliknya menyadarkannya dari lamunan. Dengan mata yang masih menatap kosong, disambarnya jam weker tersebut.

Klik.

Pukul 6 pagi.

.

.

.

Ditatapnya lapangan sekolah yang kini telah basah oleh air hujan. Embun pagi sedikit menyelimuti jendela kaca yang berada tepat disampingnya. Memburamkan pandangannya yang masih asik menikmati keadaan diluar.

Hujan angin semalam sukses membuat rumput-rumput yang ada dilapangan basah, menyisakan cibiran kesal dari para murid.

" Tumben tidak menunggu di halte biasa.." Suara Lucy tiba-tiba membuyarkan lamunanya. Ditatapnya Lucy dengan mata terbelalak dan balasan yang ia terima adalah tatapan bingung dari gadis cantik itu.

" Kau kenapa? Dari tadi aku memanggilmu dari depan kelas, tapi kau tetap tidak dengar.." Tanya Lucy kemudian.

Senyum ragu membingkai kedua birbirnya.

" A- ada apa kok kesini?" Tanyanya. Mencoba mengganti topik pembicaraan. Bahkan ia sama sekali tidak dengar kalau sedari tadi Lucy memanggilnya.

" Umm~... Sudah mengerjakan PR ipa? " Tanya Lucy kemudian.

" Sudah.. Kenapa?"

" Ada dua soal yang tidak kumengerti.. Bisa tolong ajarkan?" Tanya Lucy ramah.

" Tidak masalah.. " Balasnya sambil tersenyum.

.

.

.

Kakiku melangkah pelan melewati lorong sekolah yang kini terlihat sepi. Kulirik jam tanganku yang kini menunjukkan pukul 11.30 am, bertanda bahwa jam istirahat belum berakhir _harusnya begitu_.

Baru saja aku keluar dari ruang guru. Membiacarakan perihal Universitas yang akan kumasuki setelah lulus nanti.

Mataku menatap lurus ke depan. Entah kenapa lorong lantai satu yang menghubungkan ruang guru dengan taman ini selalu terlihat sepi saat jam istirahat pertama.

Kini kulihat segerombolan gadis yang terdiri dari empat orang berjalan mendekat kearahku.

Menatap sinis seakan ingin segera melahapku.

Jangan pedulikan.

Mereka selalu begitu.

Jangan pedulikan.

Duk!

Kurasakan salah seorang dari mereka menabrak bahuku dengan kasar. Membuat lembar-demi lembar kertas yang sedari tadi kugenggam berterbangan, jatuh mendarat tepat di atas lantai keramik putih yang terasa dingin siang ini.

" Huh? Ada orang ternyata?"

Tidak usah dengar.

" Maaf, ya... " Mereka tertawa.

Tidak usah dengar.

" Kami sulit melihat gadis rendah sepertimu.."

Tidak usah dengar!

Sedetik kemudian, kulihat sebuah lengan menyambar kertas-kertas milikku yang berserakan di atas lantai.

" Universitas Tokyo? " Dengan nada mengejek, kudengar ia berbicara " mentang-mentang wakil ketua osis dan anggota kedisiplinan.." Ia menggantungkan kalimatnya.

" Memangnya kau pikir kau siapa?!" Bentaknya.

Jangan didengar..

" Kembalikan..." Bentakku pelan. Kutundukkan kepalaku. Mencoba menahan airmata yang bisa keluar kapan saja dari kelopak mataku.

" Memangnya kau pikir kau bisa masuk kesana?! Hah?!"

Jangan dengar..

" Kembalikan!" Geramku.

" Kau menyuruhku? " Tanyanya sarkartis. " Memangnya kau punya hak apa~?" Lanjutnya disusul olah tawa gadis yang lain.

" Itu milikku! " Kubangkitkan tubuhku yang sedari tadi tertunduk. Perlahan kutatap mereka dengan penuh benci. Kurasakan pipiku yang mulai memanas. Entah karna marah atau malu. Mungkin keduanya.

" Hahahaha~ lihat wajahnya!" Ejek mereka. " Kalau aku tidak mau~ ?" Lanjutnya lagi sambil mengibas-ngibaskan kertas yang ia genggam tepat di depan wajahku.

Kucoba meraihnya, tapi yang kurasakan malah mereka yang seakan-akan mempermainkanku.

Aku benci mereka...

Benar-benar benci...

" Ayo tangkap~..." Ejeknya lagi. Kugerakkan kembali tubuhku. Kesal sekali rasanya. Ingin sekali ku tampar wajah gadis yang kini tengah tersenyum sinis sambil melihat tingkah bodohku. Tapi apadaya.. Aku terlalu takut.

" Kenapa? Tidak bisa? Dasar ren-"

Grep!

" Lepaskan.." Suara dingin yang terasa begitu menusuk menggema di lorong sepi ini. Begitu familiar masuk kedalam indra pendengaranku.

Aku kenal suara ini...

Kuangkat sedikit kepalaku yang tadinya menunduk,

" G-gray-kun..." Lirih gadis itu.

Dan kini kulihat Gray-sama tengah menggenggam erat pergelangan tangan gadis itu. Menatap tajam seakan ia siap utnuk melemparkan tubuh gadis itu kapan saja _dalam khayalanku tentunya_.

" Le-lepaskan Gray-kun.." Gadis itu tersenyum ragu. Ingin sekali kutertawakan ekspresi yang gadis itu ciptakan saat ini, namun rasanya tersendat tepat di tenggorokanku.

" Kau yang lepaskan..."

" A-apa?"

" Kembalikan kertas itu padanya..." Lanjut Gray-sama

" Ke-kenapa?"

" Karna tangan kotormu tidak pantas menyentuh barang miliknya, sialan!"

Dengan gerakan cepat, kulihat Gray-sama mengambil kertas milikku. Kemudian tubuhnya tertunduk, dan dengan segera tangannya bergerak memungut kertas-kertas lain yang masih berserakan di atas lantai, sementara diriku hanya terdiam. Mencoba memproses apa yang sedang terjadi.

Grep.

Semenit kemudian kurasakan telapak tangan besarnya menggenggam lenganku erat. Menarikku pergi. Meninggalkan ke empat gadis yang masih terlihat shock ditempatnya.

.

.

.

" Kenapa tidak kau lawan?" Suara Gray memecah keheningan diantara mereka berdua. Ditatapnya Juvia yang kini masih menundukkan kepalanya.

" Sudah.." Jawab Juvia pelan, tapi sudah cukup untuk didengarnya.

" Lalu? " Tanyanya lagi.

" Aku kalah.." Jawab Juvia datar. Kejadian tadi benar-benar membuat mood gadis itu memburuk. Kini dilihatnya Juvia yang semakin mengeratkan genggaman tangan pada rok yang ia gunakan.

Sudut bibirnya sedikit terangkat, entah karna khawatir atau lega, yang jelas kini tanpa ia sadari bahwa tangannya tengah bergerak sendiri, membelai kepala gadis bermata sapphire yang berjalan disebelahnya.

Dengan terkejut gadis itu menengok kearahnya. Menatap bingung seakan-akan bertanya apa yang tengah ia lakukan.

" G-Gray-sama..."

" Ah!" Sadarnya. " Go-gomenasai...". Diangkat kembali tangan miliknya, mencoba memberi jarak antara mereka berdua. Dengan salah tingkah, bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan tanpa arah.

Sambil berusaha menghentikan kecanggungan antara mereka berdua, diliriknya lagi Juvia yang kini makin menundukan kepalanya. Namun dapat ia lihat dengan jelas seulas senyuman dan semburat merah yang kini menghiasi pipi pucat gadis itu.

Dan tanpa Gray sadari lagi, bibirnya membingkai sebuah senyuman yang semakin lebar.

' Dalam diam... Mereka bicara... '

.

.

.

Langit terlihat mendung, sinar-sinar emas membentang dari balik horizontal langit, terbiaskan membingkai lukisan langit diatas awan-awan yang berjalan menuju barat.

Lembar demi lembar daun ginko bewarna kuning berlarian didalam angin, diikuti oleh dahan pohon tua sebagai pengiringnya, bergerak mengikuti arah angin.

Senja telah tiba.

Seorang gadis bersurai biru tengah menelungkupkan kedua tangannya didepan dada, bibirnya bergerak sunyi, mengucap doa yang hanya Tuhan dan ia yang tau.

Kedua matanya ia pejamkan, tubuhnya yang agak mungil berdiri tegap menghadap sebuah nisan putih. Seikat bunga hyacinth putih tergeletak rapi tepat didepan nisan bertulisan 'Levy Mcgarden' itu.

" Semoga nee-chan tenang disana. Juvia sangat merindukan nee-chan.." Ucapnya sedetik sebelum ia membuka kelopak matanya. Menampakkan permata sapphire blue yang menatap nisan tersebut tanpa arti. Entah pikiran apa yang sedang melayang dibenakknya.

Diraihnya tas bewarna biru susu yang ia letakkan di samping nisan itu, disertai usapan terakhir ia segera melangkah keluar dari pemakaman yang mulai menggelap.

.

Langit terus menampakkan sisi gelapnya di pertengahan november itu. Membuat setiap orang enggan berlama-lama berada di luar dan lebih memilih untuk menghindari angin kencang yang kapan saja bisa tertiup.

Sama halnya dengan gadis berambut biru yang tengah menapaki langkahnya di zona pedestrian di distrik akihabara itu. Berharap agar sang ratu siang tak cepat-cepat bersembunyi sehingga ia dapat pulang tanpa menerima makian dari orang yang biasa ia sebut sebagai ibu.

Manik birunya menatap jalan perempatan yang terus dipenuhi oleh lautan manusia itu. Hingga permata sapphirenya menangkap sebesit _bukan_ dua siluet familiar dimatanya. Dengan gerakan cepat dan kelopak mata yang menyipit, dipercepat langkahnya mendekati kedua orang itu. Berharap agar dapat menyusul mereka dalam keramaian ini.

Tangan kanannya yg mungil terangkat. Berusaha mencapai jarak pandang dua orang yang berada tak jauh didepannya.

" Lu-chan!" Teriaknya. Tapi tak cukup untuk membuat kedua orang yang ia panggil menengok. " Lucy !"

" Lu-chan!" Kedua kaki jenjang yang berselimut stocking putih miliknya melangkah lebih cepat. " Lu-chan! Lucy!" Teriaknya lagi " Lu-chan! Lu-ch-"

Panggilannya mendadak terhenti. Dirasakannya sebuah lengan kekar menarik bahunya kasar. Ditengokkan kepalanya dengan kesal, hingga kini di hadapannya telah berdiri sosok pemuda pujaan hatinya tengah mengatur nafas sambil terus menggenggam bahunya, menahannya untuk berhenti.

" Jangan- jangan dipanggil..." Perintah pemuda itu kemudian, " Biar saja.."

' Kenapa? ' Benaknya.

Dengan tatapan bingung, diliriknya kembali dua orang teman yang saat ini tengah berdiri di depan sebuah toko sambil tertawa... Dan...

" Me-mereka kencan?" Reflek bibirnya berucap begitu dilihatnya sepasang sejoli tengah bergandengan tangan.

Tin! Tin! Tin!

Suara klakson mobil menyadarkan mereka yang berdiri mematung di tengah zebra cross, menarik perhatian puluhan pasang mata di pinggir jalan. Tanpa aba-aba lagi, pemuda itu segera menarik tangan pucatnya. Membawanya kesisi jalan yang berlawanan dari sepasang 'kekasih' itu.

Nafas mereka terengah. Dengan masih berusaha mengumpulkan keping-keping kesadaran dalam otaknya, ia menatap tak percaya kearah pemuda yang kini berdiri sambil terdiam di hadapannya.

Sesaat setelah kesadarannya terkumpul, permata birunya mendadak berbinar. Disertai dengan sebuah senyuman yang membingkai di bibir ranumnya.

" Mereka kencan.." Dan kali ini sebuah pernyataan terlontar keluar dari mulutnya. " Mereka kencan 'kan?!"

" Ya.." Jawab pemuda itu singkat.

Senyumannya seketika pudar. Ia kembali terdiam. Matanya menatap ragu. Sebesit perasaan takut seketika menyelimutinya, menggerayangi pikirannya, membuat otaknya menyimpulkan beberapa point-point buruk jika pembicaraan ini terus berlanjut.

Tapi ia harus tau...

Kini dilihatnya pemuda itu tengah menatap kesal kearah objek yang ada di hadapannya.

" Kenapa?" Tanyanya kemudian.

" Apa?" Tanya pemuda itu balik.

" Maksudku... Ada apa?" Jelasnya.

" Aku tak mengerti maksudmu.."

" Me-mereka pacaran... Kenapa?" Tanyanya lagi. Entah apa yang ada di pikirannya hingga ia sendiri bingung dengan kalimat apa yang ingin ia lontarkan. "Ke-"

" Kenapa?" Potong pemuda itu, " Tentu saja karna mereka saling menyukai!" Pemuda itu menaikkan satu oktaf suaranya. Membuatnya bergidik takut. "Apa lagi?!"

.

Senja kuning telah berubah menjadi malam hitam. Angin dingin bertiup kencang melewati artmosphere hening diantara keduanya.

Ia membeku di tempatnya, sambil terus menatap kosong pemuda berambut raven dihadapannya.

Perasaannya berkata bahwa ini bukanlah pertanda baik.. Bukan..

Tanpa berfikir dua kali, digenggamnya pergelangan tangan pemuda itu. Setidaknya itu cukup untk menarik perhatian pemuda yang akan ia layangkan sebuah pertanyaan.

" Apa-.." Ia ragu. Bibirnya terasa kelu. Takut untuk menerima jawaban yang kemungkinan besar akan membuatnya terpuruk. " Apa.. Gray-sama.. Ce-cemburu?" Ucapnya kemudian.

Pemuda dihadapannya kini membelalakkan matanya.

" A-aku?" Tanya pemuda itu balik. " Su-sudahlah! Pulang sana!" Jawab pemuda itu. Mencoba menghindari pertanyaan dan melepaskan genggaman tangannya.

" Jawab aku.." Pintanya.

Pemuda itu menatapnya dengan penuh perasaan terganggu. Seakan jijik dengan objek yang ada di hadapannya.

Tidak..

Tidak semudah itu ia lepaskan..

Dirasakannya pergelangan tangan pemuda itu yang terlepas dari genggamannya. Langkah kaki mulai tercipta begitu ia meninggalkannya.

Tidak..

Ia harus tau...

Harus tau apa yang pemuda itu rasakan...

" Gray-sama!" Pemuda itu tak menengok, tetap mengabaikannya. Dengan tekad kuat dan perasaan takut yang ia pendam, dibuka kembali kedua bibirnya dan mengucapkan apa yang harus ia tanyakan.

Ia harus tau...

Walaupun menyakitkan..

" Kau menyukai Lucy 'kan! " Bukan pertanyaan.. Tapi penyataan.

Pemuda di depannya terhenti. Dengan perlahan pemuda itu menengok kearahnya. Menatapnya ragu, seakan tengah menyusun kata yang akan ia ucapkan.

Karna ia tau ini menyakitkan..

Pemuda itu berbalik seutuhnya sambil tersenyum kecut. Ditatapnya gadis yang kini masih menunggu jawabannya.

" Sepertinya... Iya.."

Makannya ia harus tau..

Seketika gadis itu merasa bongkahan-bongkahan batu tengah menibani tubuhnya hingga remuk.

.

.

.

Kriet...

Pintu kayu itu terbuka, disertai dengan siluet mungil yang masuk setelahnya. Dengan langkah lunglai, dilepaskannya highheels coklatnya dan ia letakkan sepasang sepatu itu di rak sepatu yang tepat berada di sampingnya.

Dengan langkah yang terseret, dibawa tubuhnya melewati ruang tamu yang terlihat gelap.

Tangannya yang terasa lemas berusaha menggapai tiang tangga bewarna coklat itu.

Praanggg!

Suara pecahan beling mengejutkannya. Dilihatnya kini seorang wanita tengah berdiri murka tak jauh di hadapannya.

Tes..

Setetes cairan merah mengalir pelan dari pelipisnya. Otaknya yang tergolong cerdas bahkan belum bisa mencerna apa yang terjadi.

Dengan perasaan takut yang amat sangat, ditatapnya wanita paruh baya itu.

Beberapa saat kemudian, dirasakannya sebuah tangan yang menarik ribuan helai rambutnya dengan kasar.

" Akh-" Rintihnya tertahan. Membuatnya tersadar bahwa kini ibunya tengah menjambak rambutnya kasar dan cairan darah yang mengalir di pipinya akibat lemparan keramik tadi.

" Sudah kuperingatkan berapa kali soal pulang malam.. HAH?! Wanita Jalang?!" Ibunya berteriak tepat di depan wajahnya.

Menambah rasa takut yang kini kian mencekiknya.

" Go-gomenasai.. 'Kaa-san.." Rintihnya. Berharap agar wanita itu segera melepaskannya.

" Aku tidak butuh permohonan maafmu! " Teriak ibunya lagi.

Air mata tak dapat ia bendung lagi. Cairan itu menerobos keluar, mengalir kencang melalui pipinya yang terlihat semakin memucat.

" Ingat..." Suara wanita itu tertahan, " Sekali lagi kau pulang terlambat... Aku tak segan-segan menendangmu keluar dari rumah ini!" Lanjut wanita itu disertai dengan dorongan kencang yang cukup membuat tubuh lemahnya jatuh tersungkur diatas lantai.

Tanpa berkata apa-apa lagi wanita itu pergi. Meninggalkan dirinya yang terdiam dalam ketakutan.

.

Kenapa?

.

" Ohayou, Juvia-chan!"

Untuk kesekian kalinya suara lembut gadis caramel itu menyapanya. Permata birunya yang terlihat pucat bergerak pelan ke sisi kiri, hingga kini dilihatnya gadis itu tengah tersenyum lebar.

" Ohayou.. " Jawabnya lemah. Ingin rasanya ia tersenyum, tapi bibirnya terasa kelu untuk mengukir sebuah senyuman. " Berangkat bersama Natsu-kun? " Tanyanya kemudian begitu matanya menatap sosok pemuda berambut merah muda tengah berdiri tidak jauh dari mereka.

" Ohayou, Juvia.." Sapa pemuda itu kemudian. Senyum lebar membingkai wajahnya diiringi dengan langkah kakinya yang semakin mendekat.

Hanya mereka berdua. Tidak ada pemuda bermata dark blue yang biasanya selalu datang bersama Natsu.

" Kau terlihat lebih manis menggunakan topi itu..." Gadis di sebelahnya membuka pembicaraan. " Tapi, tumben... Ada apa?" Suara tawa gadis itu terdengar menyusul setelahnya.

" Haaa~... " Gadis itu menggantung kalimatnya. " Gray, 'ya? " Lanjutnya menggoda.

' Bukan. ' benaknya.

Bukan! Gadis itu tak mengerti! Dia terlalu bodoh! Terlalu bodoh untuk mengerti!

Tapi kenapa semua orang selalu memperhatikannya?

Tidak bisakah sebentar saja ia lenyap?

" Bukan.." Jawabnya datar. Dieratkannya genggaman tangan pada rok seifuku miliknya.

" Lalu?" Tanya gadis itu lagi.

Benci.. Ia benci dengan gadis itu!

Benci karna ia hanyalah bayangan yg selalu mengikuti sosoknya yang begitu bercahaya.

Benci karna tak sekalipun ia dapat menjadi sosok gadis itu yang begitu bersinar.

Benci karna ia telah 'merebut' perhatian orang yang begitu ia sukai _ralat_ cintai.

Ia benar-benar benci.

Benci karna ia memiliki begitu banyak alasan untuk membenci gadis itu. Sahabatnya sendiri.

" Hahahaha ..." Gadis itu kembali tertawa. " Siapapun orangnya, aku senang kalau Juvia bisa punya orang yang ia sukai.." Lanjutnya sambil tersenyum manis.

Tapi ia tidak bisa..

Mencoba sebenci apapun, ia tetap tidak bisa.

" Aku bahagia kalau Juvia-chan bahagia!"

Karna gadis itu terlalu baik untuk dia benci.

" Ya... Aku juga..." Ia menggigit bibir bawahnya. Berharap agar gadis itu tidak melihat kesedihan di balik syal putih yang menutupi leher dan bibirnya.

Lagipula... Bukan salah gadis itu kalau cintanya tak terbalas...

" Aku senang punya sahabat seperti Lu-chan... Senang sekali... " Lanjutnya tanpa sadar.

Gadis bermata caramel di sebelahnya menengok. Menatap bingung akan tingkah temannya yang terlihat begitu berbeda.

" Oi! Ice prince! Darimana saja kau?" Suara ceria Natsu memecah obrolan mereka berdua.

Kini mereka lihat seorang pemuda berambut raven tengah berjalan mendekat. Ekspresi dingin_bahkan lebih dingin dari biasanya_ tertampang jelas di wajah tampannya. Tanpa membalas sapaan Natsu seperti biasa, ia memposisikan tubuhnya diatas bangku halte yang kosong. Tidak jauh dari tempat Juvia berada.

" Hee~? Tumben.." Gumam Lucy, tapi cukup untuk didengar Juvia yang duduk tepat disampingnya.

Saat ini, pemuda bernama Gray itu tengah sibuk dengan earphone biru kesayangannya.

Mengabaikan tatapan penuh tanya dari Natsu dan Lucy.

" Dia kenapa?" Tanya Natsu entah pada siapa.

Juvia hanya terdiam. Matanya kembali menatap fokus pada jalan raya di depannya. Kedua alisnya tertekuk. Mencoba menahan rasa panas yang tiba-tiba membakar hatinya. Bicara saat inipun takkan ada gunanya.

" Juvia... Kenapa?" Tanya Lucy khawatir.

Dengan bibir yang sudah memucat, Juvia mencoba untuk tersenyum. Lalu dengan gerakan cepat, digelengkan kepalanya.

" Ayo! Bisnya sudah datang!" Sekali lagi, suara Natsu menghentikan pembicaraan mereka berdua.

Dengan senyum lebar, Lucy bangkit dari kursinya. Menyusul Natsu yang tersenyum lebar melihatnya.

Tanpa sepasang kekasih itu sadari, dua pasang mata tengah menatap intens kearah mereka. Menyiratkan perasaan sakit yang bercampur aduk.

Juvia menghentikan lamunannya, tanpa berfikir lebih lama lagi ia segera bangkit dan menyusul sepasang remaja yang kini terlihat duduk bersebelahan sambil tertawa di dalam bis.

Grep.

Tepat ketika kaki jenjangnya akan melangkah menaiki bis, sebuah tangan dingin menahan lengannya.

Dan sekali lagi, ia tau siapa pemilik tangan itu.

Dengan lemah, dilihatnya pemuda yang kini menatap datar kearahnya. Tatapannya begitu tenang dan menusuk.

" Bersikaplah seperti biasa... " Pinta _ralat_ suruh pemuda itu singkat.

Sesaat setelahnya, pemuda itu melangkah mendahuluinya. Memasuki bis bewarna putih yang akan segera berangkat.

Meninggalkannya dirinya yang masih menahan rasa perih dalam dadanya.

' Bukankah ia yang seharusnya mengucapkan hal itu?'

.

.

.

" Aku akan segera menentukan waktu yang tepat begitu kau setuju untuk menjalankan operasi ini.. Juvia, kau tidak bisa menunda lebih lama lagi..."

Untuk kesekian kalinya, suara tenang pria ini menasihatinya. Ia pandangi sekali lagi wajah pria yang terlihat khawatir itu.

Jas putih yang pria itu gunakan benar-benar cocok untuknya yang memang berprofesi sebagai dokter.

" Aku tak punya biaya... " Jawabnya mencoba mengelak.

" Sudah kubilang kau tidak perlu memikirkan soal biaya operasi ini.." Jawab pria itu. Membuatnya merasa semakin terpojok.

" Biar aku yang berbicara pada obaa-san.." Lanjut pria itu.

" Jangan! " Sanggahnya setengah berteriak.

" Kenapa?"

" Ju-Juvia... Pokoknya jangan bicara pada Kaa-san!" Suruhnya. Egois memang, padahal pria itu sudah begitu banyak membantunya.

Ia tundukkan kembali kepalanya. Menatap selembar kertas beratas namakan rumah sakit ternama di Tokyo ini.

" Obaa-san sudah tau kalau kau sakit 'kan, Juvia?" Tanya pria itu lagi dengan penekanan disetiap kata yang ia ucapkan.

Dan Juvia tidak tau harus menjawab apa.

" Kaa-san.. Ta-tau kok.." Jawabnya bohong. Dirasakannya kini sebuah senyuman tengah membingkai bibirnya. Senyuman yang terlihat begitu bodoh.

Pria itu hanya mengerutkan alisnya, menghembuskan nafas kesal. Sekali lagi Juvia menundukkan kepalanya.

" Kau tau... Kami hanya ingin kau sembuh..." Ucap pria didepannya pelan. Membuatnya merasa semakin bersalah. " Aku sudah janji pada Levy untuk menjagamu... Maka dari itu aku ingin kau sembuh.."

Air mata kembali menggenangi kelopak mata Juvia.

" Putuskanlah... Kau bahkan sudah menunda pembicaraan ini sejak dua bulan yang lalu. Kau harus sembuh Juvia.."

Tubuhnya bergetar. Perasaan bingung dan sedih juga ingin marah berkecamuk dalam dadanya. Menerobos keluar hingga membuatnya sesak.

" Lalu... " Akhirnya ia membuka mulut, " Kalau Juvia sembuh... Dia harus bagaimana? " Tanyanya tertahan.

"..." Tetapi pria itu tak menjawab.

" Jawab, Gajeel-kun..." Perintahnya lirih.

" Aku tidak tau..." Jawab pria itu lembut, " Tapi kau harus sembuh.."

"..."

" Kau tau? Kau harus tetap hidup untuk orang yang menyayangimu... Orang yang membutuhkan keberadaanmu.."

" Siapa?" Potongnya cepat. Suaranya terdengar bergetar.

" Levy menyayangimu Juvia.."

" Hanya Levy-nee..." Geramnya, " Hanya nee-chan yang sayang pada Juvia!" Lanjutnya. " Tapi kau harusnya sudah tau 'kan Gajeel-kun? " Senyumnya pahit.

" Kau sudah tau 'kan? Levy-nee sudah mati! Mati!"

Dirasakannya cairan panas itu kembali membelai pelan pipi pualamnya.

Pria yang ia panggil anggap kakak itu menatap tanpa bisa berkata apa-apa dan hanya memejamkan kedua mata.

Birbirnya kembali tergerak, meluncurkan kata-kata pada pria yang ada didepannya.

" Gajeel-kun juga tidak bisa menjawabku 'kan?" Pertanyaan retoris terdengar dari mulutnya, " Karna Gajeel-kun memang tidak mengerti! Yang Juvia butuhkan hanya Levy-nee! Juvia tidak butuh sembuh kalau tidak ada dia! " Cercahnya. Emosinya meluap-luap.

" Juvia! Apa maksudmu?!" Tanya Gajeel setengah berteriak.

" Tuhan tidak adil... " Ia bergumam " Dia tega mengambil satu-satunya orang yang mencintai Juvia! Membiarkan Juvia yang kini sendirian! Tidak tau arah! Semuanya terlalu semu untuk Juvia mengerti! " Teriaknya lagi. Air mata mengalir semakin deras melalui ujung kelopak matanya.

" Juvia tidak perlu pengobatan ini! Ju-Juvia akan membiarkan Tuhan membunuhnya perlahan-lahan hingga dia dapat menyusul Levy-nee!" Amuknya.

Tanpa berkata apa-apa, dilangkahkan kakinya keluar dari ruangan dokter muda tersebut sambul mengahapus jejak-jejak air mata yang membekas dikedua pipinya. Meninggalkan Gajeel yang terdiam menatap kepergiannya.

Blaam.

.

" Maaf, Levy... Rasanya sulit sekali memenuhi janjiku padamu..."

.

.

Seorang gadis bertubuh mungil menatap kosong kesebuah pohon ginko tua. Kakinya menapaki batu jalan yang bertebaran di taman Yoyogi sore itu. Daun-daun pohon ginko itu rontok termakan oleh waktu, terbawa angin entah kemana.

Kembali ia menghembuskan nafas berat. Syal putih yang selalu setia menemaninya berterbangan tertiup angin. Satu-satunya eksistensi yang dapat ia rasakan kini.

Setelah bentakkan-bentakkan panjang yang ia ucapkan di rumah sakit tadi, ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata. Tidak sopan memang. Oleh karna itu, setelah tetes air mata terakhirnya lenyap, ia segera menghubungi dokter muda yang usianya berbeda enam tahun darinya itu untuk meminta maaf. Awalnya ia berfikir bahwa pria itu akan marah dan membentaknya atas perlakuan tak sopan yang ia lakukan. Namun ternyata pria itu malah mengucapkan kalimat lembut yang memintanya untuk berhati-hati di jalan.

' Kakaknya memang tidak salah memilih pria ini. ' Benaknya lirih.

Suara langkah kaki yang terhenti tepat di sebelahnya, mengambil perhatian yang sempat ia tunjukkan pada pohon ginko yang ada dihadapannya.

Matanya menangkap sosok familiar yang sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu ia kenal. Tatapan datar muncul di kedua sosok remaja itu. Mengantarkan setiap pertanyaan yang tak mau mereka ucapkan.

Ia tak mau seperti ini. Ia tak mau hubungannya dengan pemuda yang ia cintai ini rusak hanya karna masalah yang sesungguhnya tidak ada hubungannya sama sekali.

Makanya... Ia harus bicara,

" Konnichiwa... " Sapanya ramah. Bibirnya mecoba membingkai sebuah senyuman. Muak rasanya, memang.. Tapi ia harus tetap tersenyum.

Tapi pemuda itu tak segera menjawab. Masih saja menatapnya datar tanpa ada tanda-tanda ingin membalas sapaannya. Dan ia hanya terus tersenyum kaku. Dialihkannya lagi kepalanya, kembali menatap pohon ginko yang ada didepannya. Kulit pohonnya berkerut, tua dimakan waktu.

" Apa yang kau lakukan disini? " Tanya pemuda itu memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka selama beberapa detik.

Ia tak menengok, tapi bibirnya terlihat membuka dan hendak menjawab.

" Hanya melihat-lihat..." Ia menatapnya kemudian " Gray-sama?"

" Sama.." Jawab pemuda itu.

Mereka kembali terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Juvia menelungkupkan kedua telapak tanganya. Angin dingin bertiup menyelimuti tangan telanjangnya. Salahkan dirinya yang lupa menggunakan sarung tangan pagi tadi.

" Mau pergi ke kedai takoyaki? "

Seketika jantungnya berdegup. Suara tenang pemuda itu kembali ia dengar. Kontras dengan ucapan-ucapan yang sering keluar dari mulutnya beberapa hari belakangan.

Tentu saja setelah kejadian itu.

Dengan gerakan perlahan, ia tatap pemuda yang kini tersenyum kearahnya. Membuat hatinya serasa dipancari oleh sinar mentari. Dan tanpa sadar, senyum bahagia terbingkai di kedua bibirnya.

" Yaa... Terimakasih!"

.

.

.

" Terimakasih sudah mau mengajakku..." Ucap seorang gadis berambut ocean. Sambil membungkukkan sedikit tubuhnya, ia tersenyum pada pemuda yang ada dihadapannya.

" Ya.. Tak masalah " Balas pemuda di hadapannya sambil tersenyum.

" Mau kuantar pulang?"

" Tidak perlu!" Potongnya cepat. " Nan-nanti merepotkan..."

" Tidak masalah ... Ayo.. " Balas pemuda itu. Tanpa menunggu penolakannya lagi, pemuda itu telah melangkah mendahuluinya.

Bingung dengan apa yang harus ia lakukan, ia hanya melangkahkan kakinya menyusul pemuda yang berada tak jauh di didepannya.

" Te-terimakasih..." Ucapnya begitu kakinya dapat menyusul langkah pemuda yang ada di hadapannya.

Dan pemuda raven itu hanya tersenyum.

" Kemarin ulang tahun Natsu..." Gray membuka pembicaraan. Menarik perhatian Juvia yang sedari tadi hanya menatap jalan di depan mereka.

Gadis itu mendongakkan kepalanya, menghadap Gray yang tak balas menatapnya.

Begitu tau bahwa Juvia tidak akan memberikan respon apa-apa selain mendengarkannya, ia melanjutkan-

" Aku melihatmu juga datang kerumahnya bersama Lucy 'kan?" Tanyanya retoris " Kau lihat apa yang kuberikan padanya?"

Juvia menggeleng. Ia memang datang ke rumah Natsu saat ulang tahun pemuda kemarin. Tapi tak sedikitpun ia melihat kehadiran Gray, bahkan hingga ia pulang dan meninggalkan pesta sederhana itu.

" Mungkin aku sudah pulang... Jadi tidak tau.." Tebak Juvia..

" Mungkin... " Balas Gray. Bibirnya terangkat, membentuk sebuah seringai tipis yang dapat Juvia lihat dengan jelas.

" Gray-sama... Memberinya apa? " Tanya gadis itu ragu. Pemuda disebelahnya terdiam sejenak, sebelum-

" Mawar hitam.."

Langkah gadis itu terhenti. Matanya menatap dengan penuh terkejutan.

Mawar hitam? Benaknya bingung.

Pemuda itu memberikan mawar hitam... Bahkan di hari ulang tahun sahabatnya sendiri?

" Ke-kenapa?" Tanya Juvia penasaran.

Pemuda di depannya ikut terhenti dan membalikkan tubuhnya. Menatap datar ke arahnya. Tatapan yang entah mengapa begitu ia benci.

" Hanya itu yang terpikirkan di benakku.." Jawabnya santai.

Juvia meringis. Ia mengerti betul alasan mengapa pemuda itu memilih mawar hitam untuk dijadikan hadiah.

" La-lalu... Apa yang diucapkan oleh Natsu-kun?" Tanyanya lagi.

" Entahlah.. Aku langsung pergi begitu saja setelah memberikan bunga itu." Jawab pemuda itu lagi. Seakan tak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang ia perbuat kemarin.

Juvia menundukkan kepalanya. Hatinya terasa tertusuk.

Sebegitu bencinya kah dia?

Sebegitu bencinya kah dia pada sahabatnya?

Bukan salah Natsu 'kan kalau ia menyukai Lucy... Begitu juga sebaliknya. Iya 'kan?

Memangnya seberapa besar perasaan nya hingga ia buta bahkan dengan apa yang ia perbuat? Sebegitu besarnya 'kah?

Tuhan memang tidak adil.

" Kau tidak seharusnya berbuat seperti itu Gray-sama... " Ucapnya tanpa berpikir panjang. Kepalanya tertunduk penuh penyesalan. Bahkan atas apa yang ia tidak perbuat.

" Bukan urusanmu. " Suara dingin nan sarkartis itu menusuk indra pendengarannya. Ia memang sudah tau apa yang akan pemuda itu katakan. Tapi rasa sakit tetap saja menusuk perasaanya.

" Memang bukan..." Jawabnya lemah. Diangkatnya kepalanya. Menatap lirih pemuda bermata samudra yang ada dihadapannya.

" Sebegitu besarnya 'kah perasaanmu terhadap Lucy? "

Mereka terdiam.

Tak ada sedikitpun yang terdengar dari keduanya.

Permata dark blue menatap intens kearah biru sapphire.

Dengan hembusan nafas berat. Pemuda berambut raven itu memejamkan kelopak matanya. Mencoba memikirkan pertanyaan yang baru saja gadis itu lontarkan.

" Entahlah... " Jawabnya kemudian. " Aku tak mengerti..." Lanjutnya.

Juvia terdiam. Malas untuk berucap. Semua kenyataan tentang pemuda itu dan sahabatnya sendiri sudah cukup untuk membuat hatinya terasa begitu sakit. Sesungguhnya ia malas untuk membahas soal masalah ini. Tapi mulutnya seakan begitu penasaran hingga kata kata yang sebenarnya tidak ingin ia ucapkan keluar begitu saja.

" Orang-orang bilang cinta itu buta.." Juvia berucap, " Dulu aku masih tak mengerti kenapa orang-orang menangis bahkan hampir gila karna cinta.."

Gray terdiam. Ekspresinya menunjukkan ketertarikan atas apa yg akan ia ucapkan.

" Kupikir mereka bodoh.. Memang. Tapi baru sekarang aku mengerti alasanya. Cinta itu buta. Bukan membutakan mata sehingga kita tak dapat melihat. Tapi... Membutakan hati yang membuat kita tak dapat memilih mana yang benar dan mana yang salah.." Ia menarik nafas berat. " Dan hal yang paling kubenci adalah kenapa ... Aku yang dulu tak pernah ingin merasakan rumitnya cinta.. Mengabaikannya.. Dan berkata semua hal yang berhubungan tentang cinta begitu bodoh... Malah, Dengan cerobohnya jatuh ketempat terdalam yang dinamakan cinta.." Ceritanya panjang lebar.

Gray tetap terdiam. Tak tau harus membalas apa. Matanya menatap lirih kearah gadis yang kini menundukkan kepalanya.

" Siapa?" Tanya Gray kemudian, " Siapa orangnya?"

Tanpa perlu bertanya dua kali. Juvia sudah dapat mengerti apa yang sebenarnya pemuda itu maksudkan.

.

Angin sore berhembus kencang. Hawa-hawa dingin bertiup diakhir bulan november itu. Menandakan musim yang sebentar lagi akan berganti.

Juvia menatap kosong jalan dibawahnya. Ragu untuk menjawab pertanyaan Gray.

Apa yang akan dikatakan pemuda itu bila pemuda itu tau bahwa sesungguhnya orang yang ia cintai adalah dirinya?

Apa yang akan pemuda itu perbuat bila ia tau tentang perasaannya yang sesungguhnya?

Apakah ia akan marah dan pergi begitu saja?

Membiarkan dia sendirian lagi?

Atau..

Atau sebaliknya?

Tidak ada salahnya 'kan berharap?

Tidak ada salahnya 'kan kalau kali ini ia berharap lebih?

Bukanya tidak ada hal yang tidak mungkin?

Kembali ia tarik nafas dalam.

Kemudian Ia memberanikan diri untuk membuat permata sapphirenya menatap langsung kearah permata dark blue pemuda berambut raven itu.

Bibir ranumnya yang mulai terlihat pucat membuka dengan perlahan. Suara yang begitu kecil mulai terdengar.

Untuk kali ini, tidak apa kan berharap?

Sekalipun hanya sebuah harapan palsu...

Tidak ada salahnya 'kan berharap?

" Kau... Orangnya adalah kau..."

.

.

.

TBC

.

Anyone ask who am I? Well, iam new in this fandom. Previously I was a silent reader which had already visiting since 2 years ago *uh*. After reading much of fanfics, now I'm getting curious and planning to make a new one! And taraaaa... Here iam. Since Juvia is my favorite chara, and Gruvia is the best pair I've ever known... So I decided to use this pair as the main chara of my fanfic.

And I think that's all.

Mind to review? Thankyou!