Yo, semuanya! Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca fiction Akatsuki ini! Semoga kalian suka! XD

Disclaimer: I do not own Naruto.


Chapter 01 - Who Am I?

Siang yang cerah, di sebuah danau kecil dekat perbatasan desa Konohagakure. Biasanya, tempat ini selalu tenang dan sepi dari kehadiran orang. Namun, kali ini dua orang pria tampak sedang beristirahat di sana sambil bercakap-cakap ringan. Pria yang pertama tengah berkipas diri dengan sebuah daun kering. Jubah yang selalu ia kenakan kali ini ditanggalkannya—tampaknya benar-benar sedang kepanasan. Sedangkan pria yang satunya sedang menghitung uang.

"Demi para korban busuk Jashin, apa kau tidak kepanasan, Kakuzu?!" tanya si pria yang tengah berkipas.

"Tidak," jawabnya singkat, tetap fokus menghitung lembar demi lembar uang di tangannya.

"Hah?! Tubuhmu sudah rusak atau apa?!"

"Aku kedinginan. Kupikir badai akan turun sebentar lagi,"

"Hah?! Kau idiot, ya?! Jelas-jelas matahari sedang bersinar dengan teriknya!"

"Kau yang idiot, Hidan,"

Beberapa menit setelah Kakuzu berkata seperti itu, tiba-tiba saja langit berubah menjadi mendung. Angin yang semula tenang kemudian bertiup kencang—menerbangkan daun-daun kering ke semua arah. Jubah Akatsuki yang mereka kenakan juga ikut berkibar.

" Apa kataku,"

"Demi pantat Jashin! Ini tidak masuk akal!" wajah Hidan kini terlihat kesal, "apa yang harus kita lakukan, Kakuzu?!" Hidan menatap langit yang kini berwarna abu-abu pekat.

"Tentu saja melanjutkan misi kita, bodoh," jawab si pria bermasker hitam.

"Oi, Kakuzu, aku sudah muak dengan misi ini! Leader kita sebenarnya pengecut! Memangnya mencari Nibi itu mudah, hah?! Aku hampir saja tidak punya waktu untuk melakukan ritualku. Jika aku dipenuhi dengan dosa, dia-lah yang pantas menanggungnya!"

"Ritual bodohmu itu? Omong-omong, bisakah kau menyingkirkannya nya selama misi berlangsung? Aku juga sudah muak," jawab Kakuzu.

"EH? KAU BILANG APA, JAHANAM?! BERANI BERKATA SEPERTI ITU LAGI, JASHIN AKAN MENGHUKUMMU!" Hidan berteriak, menodongkan sabitnya ke depan wajah Kakuzu.

"Tuhanmu bodoh, Hidan," jawab Kakuzu, kemudian berdiri. "cepat, kita tak punya banyak waktu untuk misi ini,"

"Oi, oi, Kakuzu! Bajingan kau, berani sekali menghina Jashin?! Kau manusia tua penuh jahitan!"

"Setidaknya aku tak bodoh seperti kau,"

Hidan tampak marah. "J-JASHIN MENGUTUKMU!"

Kakuzu tampak tak memperdulikan Hidan yang terus mengumpati dirinya. Ia berjalan menuju utara tanpa menunggu rekannya itu menyusul dirinya.

"JANGAN TINGGALKAN AKU, OI!" Hidan berusaha menyusul Kakuzu dengan mempercepat langkah kakinya. Lalu...

BRUK!

"Argh!"

Secara tak sengaja, Hidan terpeleset ke sebuah genangan air. Sabitnya pun terlempar dan menghantam kepalanya dengan keras.

" B-bangsaaat! Tolong aku, Kakuzu!"

Kakuzu mendengar suara teriakan minta tolong Hidan dari arah belakang. Sejenak, ia berpikir untuk menghiraukanya, namun ia berubah pikiran saat Hidan tidak mengeluarkan ocehan memuakkan lagi seperti barusan. Bahkan, cukup lama, sampai Kakuzu menghentikan langkahnya.

"Jangan bercanda, Hidan. Badai sudah hampir datang. Kita tak punya banyak waktu lagi," geram Kakuzu.

Tidak ada jawaban. Kakuzu mengulang sekali lagi ucapannya dengan nada lebih keras, namun tetap tak ada jawaban juga.

Akhirnya, Kakuzu memutuskan untuk mendatangi Hidan.

Dari kejauhan, ia melihat Hidan terbaring di sana dan mata tiganya yang menancap di kepalanya. Darah pun mengucur cukup deras.

Itu seharusnya menjadi momen di mana seseorang akan berteriak, 'Ya Tuhan! Aku akan menolongmu dan membawamu ke ahli medis!'. Tetapi, tidak untuk Kakuzu. Ia malah menendang sebuah batu besar di samping kakinya ke arah Hidan.

"Sudah cukup main-mainnya. Kau tampak sehat," gumam Kakuzu, tak khawatir sama sekali, "kepalamu terinjak bijuu pun kau tak akan mati,"

Hidan hanya mengeluarkan suara rintihan kecil yang...miris.

"Apa kau sedang mengorbankan dirimu kepada Jashin idiot, Hidan?" Kakuzu mulai tak sabar. Tali-tali berwarna abu-abu di tangannya pun memanjang dengan cepat, lalu menarik sabitnya itu keluar dari kepala Hidan.

"Baik, jika kau sedang tak main-main, berarti kau betul-betul bodoh, Hidan, bisa-bisanya terpeleset di genangan air yang payah ini,"

Akhirnya, secara perlahan Hidan membuka matanya.

"Di-di mana ini...?"

"Neraka." Kakuzu berbalik membelakangi Hidan, "cepat, kita sedang buru-buru,"

Saat Kakuzu melangkah lagi, ia mendengar suara Hidan yang terisak-isak, "...jadi, aku masih hidup...,"

Kakuzu mengerutkan kening. Ia pun jadi menghentikan langkahnya.

"S-sakit sekali luka ini...hey, tuan? Bolehkan aku memohon pertolonganmu?" ucap Hidan lirih.

Tuan?

"Lawakanmu sama sekali tak lucu, brengsek,"

Hidan menatap Kakuzu dengan tatapan takut.

"M-maaf! Aku tak bermaksud merepotkan tuan, tapi aku benar-benar butuh pertolongan! Aku kesakitan, luka-luka ini menggangguku. Jadi—"

"Sudah kubilang jangan main-main!" Kakuzu menggeram, lalu menghentakkan kakinya dengan keras, sampai-sampai Hidan menatapnya dengan ketakutan, "brengsek, kuharap partnerku di Akatsuki itu bukan kau, Hidan. Aku akan sekali lagi meminta permohonan untuk mengganti partnerku kepada Leader,"

"Eh...?" Hidan mengerutkan dahi, "A-Akatsuki? Hidan? Leader?"

Hidan menatap sekelilingnya, lalu memandang Kakuzu dengan tatapan bingung.

"Sebenarnya, apa yang terjadi?"


"Danna, bisakah kau kemari sebentar, un?" seru Deidara kepada Sasori dari arah kamar mandi.

Sasori, yang sedang merakit boneka di ruangannya, mendongak saat Deidara menyerukan namanya. "Apa?"

"Cepat kemari!"

Sasori pun terpaksa meninggalkan proyeknya untuk menemui Deidara.

"Apa?" ucap Sasori dengan nada tak menyenangkan sesampainya di kamar mandi.

"Lihat ini, un," jari Deidara menunjuk ke arah lantai kamar mandi, "ini apa?"

Sebuah cairan berwarna merah tua tampak tersebar di hampir seluruh lantai kamar mandi. Refleks, Sasori menutup hidungnya saat angin berhembus membawa bau cairan itu.

"Tentu saja itu darah, bodoh! Dari mana ini berasal?!"

"Darah?!" Deidara tampak terkejut, "t-tapi, bagaimana bisa tiba-tiba ada darah di kamar mandi?!"

"Memang aku tahu?" Sasori menjauh dari darah itu, "cepat bersihkan, Deidara,"

"Eh?! Kenapa aku?!" seru Deidara, menolak, "ah, betul juga! Hidan-lah yang seharusnya membersihkan ini! Dia pasti melakukan ini untuk ritual bodohnya itu! Lihat, ada tanda lingkaran dan segitiga juga di situ, tidak salah lagi itu pasti dia, un!"

"Di mana dia sekarang?"

"Di kamarnya, kurasa, un,"

Lalu, Deidara dan Sasori berjalan dengan cepat menuju kamar Hidan. Pintunya sedikit terbuka, dan di dalam tampak gelap.

KRIET...

"Oi, Hidan! Apa kau ada di dalam, un?"

Deidara membuka pintu kamar Hidan perlahan, lalu menengok ke dalam.

"Danna, sepertinya dia tidak ada di si—"

Deidara menghentikan ucapannya saat ia merasa menginjak sesuatu. Ia melirik ke bawah kakinya.

"A-APA INI?!"

Sasori memutar matanya, "sepertinya mayat. Mungkin salah satu korban malang dari ritualnya itu,"

"Si-singkirkan benda menjijikkan ini dariku!" Deidara menendang-nendang mayat perempuan yang tampak sudah membiru itu dari kakinya.

"Baiklah, Deidara. Bersihkan darah di kamar mandi itu sekarang juga,"

"Kenapa harus aku, un?!" seru Deidara.

TEP...TEP...

Suara langkah kaki terdengar dari arah belakang, dan seseorang yang tampak mengenakan topeng mirip rumah siput pun muncul.

"Selamat siang, Deidara-senpai, Sasori-san!" Tobi menyapa mereka berdua dengan nada riang, "apa yang kalian lakukan di kamar Hidan-san?"

"Tobi, apa kau melihat Hidan?" tanya Sasori.

"Eh? Hidan-san? Um...sepertinya Tobi melihat dia di kamar mandi tadi pagi..."

"Apa yang dia lakukan, un?" tambah Deidara.

"Eh? Coba Tobi ingat...ah, Hidan-san pergi ke sana bersama seorang perempuan..."

"Lalu?"

"Yah...Hidan-san membunuh gadis itu di sana untuk ritualnya,"

"Lihat! Benar, kan, Danna?" Deidara berteriak.

"Biasa saja, Deidara." ucap Sasori, datar.

"Membunuh di dalam kamar mandi. Mengotor-ngotori saja, un!" ungkap Deidara bersungut-sungut.

"Sebenarnya, awalnya Tobi tidak yakin Hidan-san sedang melakukan ritualnya, karena sebelum dibunuh, gadis itu melakukan hal aneh! Ia sempat memeluk Hidan-san, lalu menyalakan shower, lalu menyentuh bibir Hidan-san, lalu mengelus-elus tangannya ke dada Hidan-san, lalu—"

"T-tunggu!" seru Deidara, "m-maksudmu!?"

"Yah, Tobi tidak begitu mengerti. Awalnya Tobi sedang ingin mencuci baju kotor di sana, lalu tidak sengaja melihat Hidan-san dan gadis itu berdiri di sana. Mereka tampak saling berdekatan dan berpelukan cukup lama. Lalu, Tobi melihat Hidan-san menciumi—"

"STOP!" seru Deidara lagi, "o-oi, Tobi! Ka-kau ini...?!"

"—kalung Jashinnya," Tobi meneruskan, "Ada apa, senpai? Wajahmu merah, kau sakit?"

"T-tidak, bodoh! Apa kau sadar apa yang baru saja kau ceritakan?!"

"Tentu sadar! Tentang Hidan-san!" sahut Tobi riang.

Deidara tampak tak tahu harus merespon apa, lalu dalam hitungan detik, wajahnya memerah. Ia pun menoleh ke arah Sasori.

"Da-danna, menurutmu apakah Hidan—"

Deidara menunda ucapannya saat melihat Sasori membuang muka dari Tobi dan Deidara, dan wajahnya memerah.

"A-apa kau baik-baik saja, Danna?!"

"Apa maksudmu, Deidara?"

"Tak usah sok tidak mengerti! Wajahmu, wajahmu merah, un!"

"Berani menuduh lagi, kau akan kubunuh!"

"Siapa yang menuduh?! Kenyataanya memang begitu, kok!"

Tobi memandang kedua orang itu dengan bingung. "Memangnya kenapa?"

"Oi, Tobi! Kau sungguhan melihat Hidan seperti itu?!" tanya Deidara, tak percaya.

"Um! Tobi sebenarnya bingung apa yang sedang mereka lakukan, sampai Hidan-san membunuhnya,"

Kemudian hening.

Dasar Tobi...dia terlalu bodoh sampai-sampai tak mengerti hal seperti ini, batin Deidara.

Anak ini begitu naïf, batin Sasori.

"N-nah, ja-jadi, apakah sekarang kau tahu di mana Hidan, un?"

Tobi memutar matanya, "Um...Tobi tidak tahu pasti. Karena setelah itu, Tobi melihat gadis itu membuka pakaian Hidan-san, lalu Hidan-san juga melakukan hal yang sama pada gadis itu, lalu ia menjilat-jilat—"

" SUDAH, CUKUP, TOBI!" teriak Deidara.

" —darah dari sabitnya," lanjut Tobi.,"Senpai? Apa kau baik-baik saja?"

Kemudian hening kembali. Wajah Deidara makin memerah. Sasori menatapnya dengan tatapan aneh. Dan Tobi...memasang wajah bingung.

"Ternyata kau mesum, Deidara," gumam Sasori.

"Ja-jangan ngawur! Aku tidak mesum! Aku yakin diam-diam Danna menyukai cerita Tobi, kan?! Un!"

"A-apa yang kau katakan?!"

"Ah, benar juga, umur Sasori no Danna sudah 35 tahun dan belum pernah melakukan 'itu'. Tetapi, Hidan masih 29 tahun dan sudah—"

"Berani berkata lagi, kau akan kubunuh!" Sasori tampak marah, namun wajahnya memerah. Mungkin ia benar-benar malu, walaupun tak mau mengakuinya.

BRUK!

Spontan, Deidara, Sasori, dan Tobi menoleh ke arah suara di belakang mereka. Di sana, Kakuzu tampak sedang membawa sabit mata tiga milik Hidan, lalu di dekat kakinya, Hidan tampak tak sadarkan diri .

"Kakuzu-san?" Tobi menyapa, namun ia menyadari ada sesuatu yang salah dengan dia dan Hidan.

"Di mana Zetsu, Tobi?" tanya Kakuzu cepat.

"Um...sepertinya sedang keluar. Memang ada apa, Kakuzu-san?"

Kakuzu mengabaikan pertanyaan Tobi. Ia melirik ke arah Hidan, lalu menendangnya.

"Bangun, brengsek. Kita sudah sampai,"

Deidara, Sasori, dan Tobi menatap Kakuzu dengan pandangan bingung.

"A-anu...," sebelum Tobi melanjutkan perkataannya, ia melihat mata Hidan akhirnya terbuka perlahan-lahan.

"Ah...kepalaku pusing sekali...eh?! I-ini di mana?!" seru Hidan.

"Kau tahu tidak, Hidan? Aku harus menggendongmu dari perbatasan Konohagakure sampai ke markas Akatsuki selama kau pingsan. Dasar brengsek." Kakuzu menatap Hidan sinis, "kau harus membayarnya dengan uang,"

"Eh?! Tu-tuan, ampuni aku! Aku tidak bermaksud...ber-bermaksud...urgh..."

Semua orang, kecuali Hidan, kini tampak syok. Pertama, dikarenakan ini adalah pertama kalinya mereka melihat si bajingan abadi yang kasar ini tiba-tiba memanggil Kakuzu dengan sebutan 'tuan'. Kedua, dia menangis. Menangis! Sangat terisak-isak, sampai-sampai wajahnya merah.

"Oi, oi, kau kenapa Hidan?! Menjijikan sekali, un!" Deidara mengerutkan dahinya.

"Kakuzu-san, apa yang sebenarnya terjadi?" Tobi bertanya dengan nada khawatir.

Kakuzu terdiam sejenak mendengar pertanyaan Tobi. Lalu, dengan nada kesal ia menjawab,

"Bajingan ini sepertinya hilang ingatan,"

Selama lima detik, keheningan terjadi setelah Kakuzu mengucapkan kalimat tersebut.

" EEEHHH?! HILANG INGATAN?!"


Sekali lagi, terima kasih! Ditunggu reviewnya! Chapter 02 akan segera menyusul! XD