1. Cerita ini menggunakan licentia puitica dan akan terus digunakan.

2. Bahasa Indonesia is not my native language—I am still learning, so please bear with me. Writing fanfiction is one of my 'exercises' to improve my skill.

3. Rating might go high up


merry go around

oh sehun/kim jongin (hunkai); pg-13; multichaptered; 1701 words.

arranged married au; romance; domestic; male pregnancy.


Ada sebuah tradisi dikatakan menikah muda—tidak lebih dari usia 21 tahun—akan membuatmu menuju pintu ajal dengan tempo lambat. Hal ini tertanam erat pada keluarganya dan seorang keluarga lagi; Kim Jongin harus menikah dengan pemuda lebih muda 4 tahun darinya, Oh Sehun.

Jangan salahkan jika dirinya pun terkejut mengetahui calon suaminya itu masih duduk di sekolah menengah atas.


"Ibu, aku sudah berada di depan rumah," tuturnya sambil melihat seksama rumah masa kecilnya—terlalu hiperbolis, baru dua tahun terakhir ia pindah dari rumah itu dan sekarang tinggal di apartement pribadinya. Lagi pula, setiap akhir pekan ibunya meminta untuk berkunjung.

Baiklah, ibu akan bukakanmu pintu garasi, sahut ibunya dari ujung sana.

Ia mengangguk, meskiipun tahu lawan bicaranya tidak dapat melihat. Melihat pintu garasi, dengan segera ia memutuskan hubungan dengan ibunya. Dengan perlahan ia menginjakkan pedal gas, memarkirkan mobilnya tepat di belakang mobil probadi ayahnya.

Setelah mengambil barang yang ia bawa untuk perlengkapannya selama menginap di rumah orang tuanya (hanya peralatan kantornya, ia tidak ingin menyia-nyikan waktu walau sedang berlibut), ia beranjak keluar dan melihat rumah itu dengan seksama sekali lagi. Entah mengapa ada perasaan aneh menyelimuti hati sekarang; apa karena sudah tiga akhir pekan ia tidak sempat pulang? Ia tidak dapat menemukan jawaban pastinya.

Dua hari lalu ibunya menghubunginya untuk segera pulang, ada keperluan yang sangat penting yang beliau ingin dibicarakan, bahkan sang ibu memintanya untuk cuti beberapa hari hingga akhir pekan. Awalnya ia berpikir hal yang ingin dibicarakan sang ibu menyangkut kesehatan ayah atau sang kakek yang kini kondisinya memang semakin menurun. Namun, mendengar intonasi anaforis dari suara ibunya, ia pikir bukan itu. Ibunya terdengar terlalu ceria dan santai saat berbicara dengannya.

Ia menggeleng kepalanya, menerka-nerka hanya membuatnya kepalanya terasa berat. Ia sudah tiba di rumah, tidak perlu memusingkan itu lagi, sebentar lagi ibunya akan memberitahunya. Dengan perlahan ia menuju pintu utama, memencet beberapa kode seri sebelum masuk ke dalam rumah. Tercium aroma masakan, ibunya pasti sedang memasak saat ini. Ia memejamkan mata sejenak, dapat dirasakan aura yang sudah sangat ia rindukan namun begitu ia hafal.

"Aku pulang!" serunya dan disambut hangat oleh keluarganya sektika ia membuka mata. Ibu yang berjalan menghampirinya dan memberikan sebuah kecupan saat beliau merangkul tubuh anaknya yang kini lebih besar dan tinggi dibandingkan dirinya.

"Ibu, aku pulang," bisiknya masih dalam dekapan erat sang ibu. Ia melirik pada dua orang yang masih beridiri di tengah-tengah lorong pintu masuk. Ayah dan kakek.

"Selamat datang, Jongin," sambut seluruh keluarganya.

Oh, entah mengapa ini terasa seperti ia baru pulang dari perjalanan bertahun-tahun dan akhirnya kini ia bisa melihat dan bertemu dengan keluarganya.

"Sudah, jangan terlalu lama berdiri di sana. Apa kalian tidak merasa bersalah membuatku berdiri lama di sini? Kakiku sudah tidak kuat," celetuk khas kakeknya membuat Jongin dengan tergesa melepas pelukan sang ibu dan berlari kecil menuju sang kakek. Ia peluk dengan erat orang tua itu.

"Tetap seperti ini, aku ingin peluk kakek lebih lama," lirihnya, namun ia dapat merasakan senyuman usil tergurat di bibirnya. "Tenang saja, malam ini Jonginie akan pijat kaki kakek."

Suara tawa pria tua itu terdengar degan jelas. "Kau ini memang cucuku yang paling manja." Ia menepuk punggung Jongin perlahan, membuat Jongin menutup matanya, ia begitu mengenal belaian itu. Saat ia masih kecil, tangan itu selalu membuatnya tenang dan merasa aman. Kakek adalah sahabat terbaiknya.

"Sudah, sudah. Bukankah Ayah mengatakan kaki Ayah sudah merasa kesakitan berdiri lama? Ayo, sekarang ke ruang makan. Makan siang akan aku siapkan," perintah ibu yang sudah hilang dari hadapannya.

Jongin melepas rangkulannya dari tubuh sang kakek yang bergumam ia akan kembali menonton acara memancing yang ia gemari. Jongin mengangguk dan segera menoleh ke belakang. Ayahnya masih berdiri tenang di sana, senyuman lembut masih setia menghiasi bibirnya. Ayah selalu menjadi orang terakhir yang ia sambut, itu ada alasan khusus.

"Tidak memberiku salam atau pelukan, Jonginah?"

Tanpa aba-aba Jongin memberikan sebuah 'Pelukan Jonginie'; pelukan secara harfiah ia lemparkan tubuhnya menempel pada sang ayah. Kedua kakinya bergelut pada pinggang sang ayah yang sudah tak ramping lagi. Kedua tangannya terikat lekat pada pundak, Jongin dengan tenang merebahkan kepalanya di pundak sang ayah. Pelukan ini sudah ia lakukan sejak balita, saat masih kecil ia hanya bisa menggapai kaki jenjang sang ayah; bergelayutan dan terkadang ia meminta ayah untuk berjalan dengan dirinya yang masih melingkar seperti bayi orang utan. Tradisi ini terus berlanjut, walaupun ia sudah dewasa seperti ini karena bagi sang ayah Jongin tetaplah Jongin kecilnya.

"Jongin pulang, Ayah."

Pria baruh baya itu tidak menjawabnya secara verbal, ia mengusap kepala Jongin dengan sayang. Jongin merasakan tubuhnya mulai bergerak, kini ayah sedang berjalan dengan Jongin tetap merangkulnya erat.

Aroma masakan tercium lebih kuat sekarang. Mereka sudah berada di ruang makan ternyata, singkat sekali. Waktu kecil perjalanan dari pintu masuk menuju tempat ini terasa lama, gerutunya.

"Di mana menemukan bayi orang utan sebesar itu?" suara ibunya memasuki indra pendengarannya. Nada candaan terdengar dengan jelas, itu makin membuatnya tidak ingin turun dari tubuh ayahnya.

"Sepertinya ia mengira diriku sebagai induknya, ia berlari dan melembar tubuhnya yang tak ringan ini padaku. Aku tidak tega meninggalkan anak malang ini," timpal ayahnya dengan bercanda. Jongin hanya tertawa geli mendengar gurauan ini. Setiap pulang ke rumah ini, sandiwara kecil ini terus terjadi, ia tidak bosan, melainkan ia begitu menikmatinya.

Saat seperti ini membuatnya sisi manjanya semakin menjadi; ketika keluarga memanggilnya bayi beruang, koala kecil atau bayi orang utan yang manja. Dengan itu semua, ia paham keluarganya sangat menyayanginya. Menjadi anak bungsu memang memiliki kadar keberuntungan tersendiri.

"Jonginah, sudah, turun dari tubuh ayahmu. Lihat, wajahnya kini memerah," ucap sang ibu. Jongin mengangkat kepalanya dan melihat wajah sang ayah, dan memang benar wajah yang kini dipenuhi keruput itu mulai memerah, namun kerutan pada alisnya terlihat lebih jelas. Jongin menaikkan alisnya, walaupun sudah tua begini, sifat seseorang tidak berubah mengikuti usia; ayahnya sangat tidak suka orang meremehkan kekuatan fisiknya. "cepat panggil kakekmu, ia tidak boleh melewatkan makan siang sebagai alasan untuk bolos minum obatnya lagi," perintah ibunya lagi.

Jongin segera berdiri di atas kakinya dan berjalan menuju ruang keluarga, sang kakek masih duduk di sofa khusus miliknya, mata sayunya dengan serius menyaksikan pada layar kaca itu.

"Kakek, waktunya makan siang."

"Katakan pada ibumu sebentar lagi," jawab sang kakek tapa beranjak sedikitpun dari sofanya.

Jongin menghela nafas, kakeknya sudah tidak sesehat dulu, namun begitu keras kepala untuk mengonsumsi obatnya. "Ibu mengatakan kakek sering melewatkan jadwal makan siang. Apa kakek tidak ingin makan siang bersamaku?" Tanya Jongin dengan nada sedih; senjata jitu yang selalu berhasil ia gunakan untuk merayu kakek keras kepala ini.

Jongin melihat tatapan bersalah dari mata sayu itu. Dalam benaknya ia menari dengan gembira, kakeknya sangat tunduk pada tatapan dan suara sedihnya ketika merajuk.

"Baik—baiklah, Jongin. Kakek akan makan bersamamu sekarang." Pria tua itu beranjak dari sofanya. "Tentunya tidak ingin melewatkan makan bersama cucu kecilku ini, hmm?"

Sebuah senyuman lebar adalah jawaban yang ia berikan atas perkataan sang kakek.


Beberapa jam setelah makan siang, Jongin hanya terbaring bosan di atas tempat tidurnya. Tidak ada kegiatan apapun yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Semua perlengkapan yang ia bawa sudah tertata rapi di atas meja kerjanya. Memang ia mengatakan pada dirinya akan melanjutkan sisa pekerjaannya, namun setelah meletakkan barang-barang kantornya membuat dirinya malas. Sejujurnya ia bosan dengan rutinitas kantornya.

Ia menghela nafas panjang, mungkin kejenuhan ini menyeruak saat makan siang tadi. Ia sempat menanyakan kepada sang ibu perhal yang ingin beliau sampaikan padanya. Bukan jawaban verbal yang ia terima, hanya senyuman bahagia dan belaian lembut di kedua pipinya.

Tenang, serahkan semua pada ibu dan ayah dahulu. Jongin jangan mencemaskan itu, semua akan diselesaikan dengan cepat, begitu yang dikatakan ibu.

Bagaimana ia bisa tenang dengan perkataan itu? Ia begitu penasaran dengan apa yang dikerjakan kedua orang tuanya hingga dapat mengatakan semua akan segera diselesaikan dan menyuruhnya untuk tidak cemas? Tentu saja itu membuatnya cemas. Ia pusing, ia gundah.

Pikiran terburuknya tertuju pada kakaknya, Kim Joonmyun. Kakaknya itu sudah 5 tahun lalu lari dengan kekasihnya untuk menetap di Cina. Ia sempat bertemu dengan kekasih kakaknya, namun itu hanya sekali dan begitu singkat; kejadian di mana saat malam subuh Kim Joonmyun masuk ke dalam kamarnya dan berkata ia akan kabur dari rumah dan menikah dengan kekasihnya itu. Jongin sempat mengumpat bertanya apakah kakaknya sudah kehilangan nalar, itu bukan seperti kakak yang ia idolakan sejak kecil; Kim Joonmyun yang begitu penurut dan santun.

Itu cinta, begitulah kata yang terucap untuk terakhir kalinya dari mulut sang kakak.

Jongin berpikir lebih dalam lagi, tidak mungkin ini mengenai sang kakak karena sebelum ibu pergi, beliau sempat mengatakan perihal ini berkaitan dengan dirinya. Secara ekspilit sudah jelas ini bukan tentang Kim Joonmyun, walaupun Jongin dalam hatinya berharap ini mengenai sang kakak. Ia rindu pada laki-laki itu.

Jongin menggelamkan wajahnya semakin dalam ke bantalnya. Ia bear-benar dibuat lelah akan rasa penerasannya ini. Mengapa ibu dan ayah lama sekali pergi? Mereka berkata akan pergi menemui sahabat lama untuk bersua, melepas rindu, begitu kata mereka.

Beberapa menit kemudian kesadarannya mulai buyar, Kim Jongin kini terbuai dalam dunia mimpi.


Pukul sepuluh malam Jongin menyadari kedua orang tuanya kini sudah tiba di rumah. Merengangkan tubuhnya yang kini sudah terasa kaku dan pegal, Jongin menyudahi pekerjaannya merevisi laporan anak buahnya. Ia menuju lantai bawah untuk menyambut orang tuanya dan menagih penejalasan yang ingin mereka sampaikan padanya.

"Ibu," panggil Jongin di tengah kesunyian malam. Ia memerhatikan kedua orang tuanya masih asyik berbicara santai di ruang keluarga, secangkir teh masing-masing berada di genggaman mereka.

Ibunya melemparkan senyuman dan mengintruksikan dirinya duduk di antara mereka, Jongin menurut tanpa kata.

Tanpa basa-basi Jongin menanyakan perihal yang membuatnya penasaran, "Jadi, apa yang ingin ibu sampaikan padaku?"

Senyuman di bibir berhiaskan lipstick itu tidak pudar, justru semakin tertarik dalam guratan senyum bahagia, seakan-akan semua beban kini terlapas. "Jongin, semua sudah terselesaikan. Jangan khawatir," sahut ibunya. Kedua tangan mungil itu menggenggam halus tangannya, tindakan dan ucapannya membuat Jongin sedikit tenang, namun rasa penasaran itu ada. Mengapa orang tuanya seperti menutupi sesuatu darinya? Mengapa tidak ke intinya saja memberi tahunya?

Jongin memberi tatapan memelas pada sang ibu, ia mulai merengek, "Ibu, kenapa selalu berkata demikian? Sebenarnya apa yang ingin ibu bicarakan? Aku tidak akan tenang jika rasa penasaran ini terus menyebar."

Tangan ibunya yang masih menggenggamnya memberi remasan lembut, "Jonginah," panggil ibunya perlahan.

Jongin hanya menatap mata sang ibu, menanti ucapan yang akan dikatakan beliau. Itu akan terkesan bohong, namun Jongin merasa was-was, dadanya bergemuruh gundah tak pasti.

"Jongin kecilku, apa pendapatmu mengenai pernikahan?"


.

.

A prologue so far.

Kinda boring, it is. But hopefully you enjoy this one.

Gonna update this real soon, if anybody is interested of course.

As for anyone who read my other story: fellatio and chanlu in the same sentence is porn. Tunggu sebentar, karena ada kerusakan teknis pada laptop terdahulu, saya harus mengetik ulang sisa bab hingga akhir (it had ended to be honest, had an epilogue, but alas my old laptop had died before I could save everything). Chapter 6 akan diunggah sebentar lagi, masih dalam proses menulisan.