Avesthasian
Pairing: Kaname x Zero
Disclaimer: Sampai kapanpun Vampire Knight hanya milik Hino Matsuri.
Penulis hanya meminjam karakter yang ada dalam cerita Vampire Knight. Tidak ada keuntung yang diambil dari cerita ini.
Warning: Hanya akan tahu setelah membacanya. Yang pasti cerita ini adalah AU! Dan typo(s) bisa terjadi dimana saja, jadi waspadalah! Waspadalah!
Kuran Kingdom dan Cross Kingdom, dua kerajaan yang bersebelahan dengan kekuatan yang sama besarnya. Hanya sebuah hutan lebat yang membatasi kedua kerajaan tersebut. Kuran Kingdom merupakan sebuah kingdom asal bagi para Vampire. Sedangkan Cross Kingdom merupakan tempat bersemayamnya para Vampire Hunter. Tidak pernah ada kata damai bagi kedua kerajaan tersebut. Saling mangsa dan memangsa adalah kegiatan yang dilakukan keduanya, hingga terjadinya pergantian pemimpin.
Haruka Kuran dari Kuran Kingdom menyepakati perjanjian damai dari pemimpin Cross Kingdom, Kaien Cross. Simbol perdamaian itu adalah hutan lebat yang membatasi keduanya. Tak boleh ada yang menguasai hutan tersebut karena hutan itu adalah wilayah netral.
Namun legenda lain yang lebih dikenal dari hutan tersebut bukanlah karena kemampuannya membawa damai bagi kedua kingdom yang saling berperang sejak entah kapan, tapi tentang legenda yang mengatakan bahwa dijantung hutan tinggal sekelompok manusia burung—avesthasian—yang keindahannya menyaingi kemolekan paras para vampire. Tapi bagaimanapun hal tersebut hanyalah sebuah legenda, legenda yang tidak pernah terbukti kebenarannya.
.
.
Kaname menutup buku tebal yang dibacanya perlahan. Menghayati semua gerakan yang dilakukannya. Dia adalah seorang pureblood. Keanggunan mengalir deras pada darah murninya.
"Oni-sama," panggilan kecil nan halus berasal dari bibir tipis seorang gadis berambut coklat panjang sepinggang sanggup mengail atensi Kaname dari buku ditangannya.
Adiknya, Yuki Kuran merupakan pengalih dunia Kaname Kuran yang utama. Yuki bagaikan seekor kupu-kupu bersayap indah, bebas terbang namun rapuh.
"Ada apa Yuki?" tanya Kaname halus setelah menghadapkan wajah kepada adiknya. Tangannya yang kosong menepuk sebelah sofa yang didudukinya, meminta Yuki yang masih berada diambang pintu masuk untuk duduk didekatnya.
Senyum sumringah Yuki cetakkan dibibirnya. Kaki kecilnya berlari menuju ketempat kakaknya. Segera saja dirinya menyamankan diri duduk disebelah kakaknya, tak lupa kecupan singkat dipipi kanan dan kiri Yuki berikan untuk Kaname sebagai salam pertemuan. Hal biasa yang ibunya ajarkan sejak mereka kanak-kanak.
"Apa legenda itu benar?" mata coklatnya melebar polos.
Kaname mengangkat alisnya, "Legenda yang mana Yuki?"
"Tentang Avesthasian, manusia burung yang sangat indah. Apa itu semua benar?" kedua tangannya memegang lengan Kaname kuat, menggoyang-goyangkannya dengan antusias, tak sabar mendengar jawaban yang akan keluar dari mulut Kaname.
Kaname berpikir sejenak. Yuki terlihat sangat penasaran dengan legenda tersebut, namun sayang, antusiasme yang ditunjukkan Yuki bukan untuk hal yang lebih penting.
"Itu hanya legenda Yuki. Kamu tahu arti legenda kan?"
Yuki menggembungkan pipinya. Tangannya telah melepaskan lengan Kaname karena kecewa dengan jawaban yang diberikan Kaname. "Tentu saja aku tahu, Oni-sama. Apa kau meremehkanku?!"
Kaname tertawa, meski tak tertawa lepas. "Jika kamu mengetahui hal itu, berarti kamu juga sadar bahwa hal itu hanya sebuah tipuan untuk anak kecil kan?"
Yuki masih saja menggembungkan pipinya. "Tapi aku menginginkan itu Nii-sama!"
Semua penghuni Kuran Kingdom pasti tahu, bahwa putri bungsu Haruka Kuran merupakan putri manja. Apapun keinginannya harus terpenuhi dan jika tidak, maka sang putri akan melakukan mogok aktivitas selama berminggu-minggu. Itu bukan gossip, karena semuanya telah terbukti dengan akurat.
Semua juga tahu rahasia lain, jika sang putra pertama, Kaname Kuran, sangat menyayangi adiknya, bahkan akan mengabulkan semua permintaan Yuki Kuran, meskipun hal itu sangat sulit.
Kaname memandang Yuki dengan tatapan tak percaya, tangannya mengelus rambut panjang Yuki perlahan, "Yuki … hal itu mustahil," katanya pelan-pelan agar mudah dipahami adiknya. Bukan karena adiknya bodoh, tapi karena sifat keras kepala adiknya yang suka muncul tidak pandang waktu.
Sebelum Yuki sempat meluncurkan protesannya, Kaname melanjutkan ucapannya, "Tidak ada manusia burung yang tinggal dijantung hutan tak bernama Yuki. Jika ada, maka mahluk itu telah habis dimakan kejamnya kehidupan hutan."
"Tapi Nii-sama~ … aku menginginkannya," mata Yuki berair, siap menerjunkan beribu lelehan bening kepipinya, "Sebagai hadiah ulang tahunku."
Ah, ulang tahun. Kaname baru ingat jika sang adik akan berulang tahun sebentar lagi. Pantas saja jika sekarang Yuki menjadi tambah manja berkali-kali lipat. Setiap hari ulang tahunnya, Yuki selalu meminta hadiah yang lain dari yang lain. Pernah dia meminta seekor anak naga sebagai hadiah ulang tahunnya. Ada lagi ikan gurun pasir yang sangat susah dicari. Kemudian gaun dari bulu burung phoenix yang butuh keajaiban untuk menemukannya karena hanya ada lima diseluruh dunia yang ditinggalinya. Tapi manusia burung? Bahkan tak pernah ada mahluk yang menyaksikan mahluk tersebut. Manusia burung itu tidak pernah ada. Jadi bagaimana bisa Kaname menemukannya jika dari awal apa yang dicarinya memang tidak ada, dan tidak pernah ada.
"Tapi, Yuki … "
"Nii-sama coba saja dulu," mata Yuki berbinar indah, kedua tangannya ia tangkupkan didepan dadanya, memohon pada sang kakak yang sangat tidak kebal dengan pose yang ditunjukkan Yuki kepadanya. "Aku yakin, mahluk itu pasti ada, Nii-sama,"
"Aku heran, dari mana keyakinanmu itu berasal, Yuki," kata Kaname. Buku bacaan yang sedari tadi terbaring nyaman diatas pahanya, dia letakkan dimeja kristal yang berada di depan sofa yang dia dan adiknya duduki.
"Tentu saja dari ahlinya … Nii-sama," senyum sumringah terpoles nyata dimulut Yuki. Tak ada yang ditutupi. Apalagi setelah yakin permintaannya akan dipenuhi oleh Onii-sama tercintanya.
Kaname mendenguskan nafas. Bukan jengkel tapi hanya berusaha untuk memaklumi sifat adiknya.
"Baiklah, Yuki. Aku akan memberikan apapun yang kamu minta. Tapi aku harap kamu tidak terlalu berharap untuk hal yang ini"
Gumaman kecil keluar dari mulut kecil Yuki disertai anggukan kepala. Meski sulit, Kaname hanya berharap semoga adiknya tidak kehilangan senyum semangatnya ketika tahu apa yang diinginkannya tidak akan dia dapatkan. Kaname perlu mencari barang pengganti sebagai hadiah ulang tahun adiknya.
"Nii-sama terima kasih," Yuki langsung memeluk tubuh kakaknya dengan erat. Setelah puas memeluknya, Yuki segera melepaskan pelukannya kemudian berdiri.
"Ahh, sudah waktunya aku belajar, Nii-sama aku pergi dulu," Yuki mencium kedua pipi Kaname dan berlari pergi meninggalkan Kaname diruang bacanya.
Kaname memandang kepergian adiknya dengan tatapan penuh kasih. Dia telah bertekad untuk melingdungi adiknya dari segala kekerasan dunia. Tidak ada yang bisa mengubah kepolosan adiknya.
"Kamu menjanjikan sesuatu yang sulit, Kaname," sebuah suara mengisi keheningan yang ditinggalkan Yuki sejak kepergiannya.
"Takuma," sapa Kaname.
Takuma adalah sahabat sejak kecil Kaname sekaligus kaki tangan yang membantu urusannya disegala bidang.
Ichijio Takuma membalas sapaan Kaname dengan senyum lebar khasnya.
"Apa tidak apa-apa kau berjanji seperti itu?"
Kaname tidak menjawab pertanyaan Takuma, cukup mata yang berbicara maka Takuma sudah paham apa maksudnya. Memangnya apa yang bisa dilakukan Kaname? Kaname tentu saja tidak bisa menolak permintaan dari adik tersayangnya meskipun hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil.
"Kalau begitu, sebelum kamu pergi kamu harus menyelesaikan surat yang baru datang pagi ini," kata Takuma.
Surat yang dibawa ia serahkan ke Kaname.
"Dewan Vampire? Apalagi yang mereka inginkan?" gumam Kaname yang ditanggapi gelengan kepala dari Takuma.
Setelahnya ruangan itu hanya diisi keheningan dari penghuninya. Sang pureblood lebih terpaku pada surat yang ada ditangannya sedangkan Takuma telah menyamankan diri ditempat duduknya dengan sebuah manga yang ada didekat wajahnya.
.
.
.
Matahari belum juga menampakkan diri, tapi Kaname Kuran telah tegak berdiri ditepi hutan. Meski vampire tidaklah bersahabat dengan sinar matahari, bukan berarti kulit Kaname tidak dapat bersapa dengan sinar sang raja siang. Tak perlu lotion tabir surya, bagi Kaname sinar matahari yang menjamah kulit putihnya merupakan sesuatu yang menyenangkan jika tidak terlalu berlebihan.
Kodratnya sebagai mahluk malam tidak menyurutkan Kaname untuk mendatangi hutan tak bernama pagi buta. Bukan apa-apa tapi, mana ada burung yang berkeliaran dimalam hari selain burung hantu. Hati Kaname pun setuju jika mahluk burung yang dimaksud bukanlah kumpulan manusia bertubuh burung hantu. Membayangkannya saja sudah membuat hati Kaname ketar-ketir bukan karena takut, tapi karena tidak sanggup membayangkan saja.
Kaname melangkah dengan mantap memasuki wilayah tak terjamah tersebut. Tak ada yang ditakutinya dihutan. Yang ada mahluk hutan yang akan lari tunggang langgang melihat sang predator asli memasuki kawasannya.
Tak perlu membawa peta ataupun kompas. Intuisi yang akan menuntun Kaname menemui mangsa yang dicarinya. Langkahnya semakin membawa tubuhnya menjauhi cahaya matahari yang menerobos tanpa malu daun pohon. Bahkan saat ini, hanya sedikit cahaya yang bisa masuk. Keadaannya semakin gelap, bukan karena malam, tapi karena rimbunnya daun. Beruntung, mata malam Kaname sangat membantu disaat seperti ini.
Kaname menipiskan hawa keberadaan, tidak ingin menarik perhatian mahluk buas penghuni hutan. Tanah yang dia pijak juga sudah berubah lembab, tidak kering seperti diluar. Dengan pendengaran yang super, Kaname dapat menangkap suara gemericik air meski dari jarak yang bisa terhitung berkilo-kilo dari tempatnya berdiri saat ini.
Sumber air adalah salah satu tanda kehidupan. Karena itu, dengan kecepatan diatas rata-rata Kaname mencari sumber air yang dia dengar.
Betapa terkejutnya hati Kaname ketika menemukan sumber air. Pemandangan yang ada didepannya sungguh mampu menghentikan tarikan nafasnya. Sungai jernih yang mengalirkan air dengan sebuah air terjun tinggi membentang di depannya. Belum lagi, tanah berumput hijau menjadi pijakannya. Di sisi kanan dan kiri masih berdiri pepohonan, namun tak serimbun tadi. Tanaman perdu dan bunga-bunga kecil yang bermekaran bergoyang dibelai angin pagi yang nakal. Mungkin inilah yang bisa disebut surga.
Namun yang membuat Kaname sangat menikmatinya adalah suasananya yang hening. Hening yang menyamankan. Dia tidak dapat menemukan tempat setenang ini di mansionnya. Perhatian Kaname teralihkan pada rumput hijau yang bergoyang riang, meski diujung-ujungnya masih mengandung embun jernih yang siap memuai. Rumput hijau tersebut seakan-akan memanggil Kaname untuk datang kepelukannya dan menjamahnya. Menikmati semua apa yang ada dalam dirinya. Kaname terbuai. Dengan perlahan dia menjatuhkan tubuhnya pada pelukan sang rumput. Sensasi basah milih embun yang menembus kain yang dikenakannya seakan membawanya kesurga dunia. Tanpa dia sadari, kedua kelopak matanya menutup. Kesadarannya terbang terbawa nyanyian daun. Kaname tidur, ditempat terbuka. Satu tindakan ceroboh yang dilakukannya selama dia hidup.
Cerita kedua author. Terima kasih bagi para reviewer pada cerita pertama author. Nah, untuk cerita terbaru ini, kritik, saran, review tetap author buka lebar-lebar selebar jalan tol. Sssttt …. Tapi kalau mengkritik jangan pedes-pedes ya, habis author tidak suka makanan pedes. :p
