cinnamon; (he said he thinks of me as home.) dan tiap amarah punya pemadamnya sendiri.
aph © hidekaz himaruya
cinnamon © ron pope (dari lirik ada yg gue edit, dikit... banget) (tapi ini bukan songfic serius)
hetalia gakuen au

yaa di samping kesibukan kelas sembilan, gue akhir-akhir ini sering nulis di hp jadi ya kenapa enggak? hmmm
dan.. uh somewhat setelah tulisan ini gue akan ngambil istirahat buat waktu yang cukup (cukup?) lama. writerblock ini membunuhku dan ide-ide sama sekali ga muncul di saat rusuh kayak begini. bisa nulis secacat ini aja udah hamdalah.


Arthur masuk ke dalam rumahnya dan menemukan cemilan sore hari tersaji di atas meja. Ia tak mengambil lirikan kedua dan melangkah langsung ke dalam kamarnya, alisnya berkedut sedikit dan langkahnya dihentak-hentak.

Ia tidak dalam mood yang bagus, (hampir?) segalanya membuatnya kesal. Ia seperti remaja perempuan yang sedang menstruasi. Dibantingnya pintu kamar sebelum melompat ke arah kasur dan menarik napas panjang.

Kemudian.

"Arthur," suara terselip dari balik pintu kamarnya, "ini Francis. Ayo kita minum teh bersama."

Anehnya, ia otomatis mengiakan.

#

"Sepertinya rapatmu tidak berjalan lancar, hm?" Francis menarik senyuman, lalu sendok di tangan kanannya mengantar sepotong puding ke mulutnya, "makanlah, aku tidak menaruh racun apapun di dalamnya."

Arthur mendesis, "Racun.. racun. Jangan menyindirku. Masakanku tidak seburuk itu."

Tawa meluncur dari tenggorokan Francis, "Jika aku bilang masakanmu enak, namanya bohong. Dan bohong itu tidak baik, bukan begitu, mon ami?" Francis lalu mengetuk-ngetuk kakinya ke lantai dengan tempo cepat, "lagi pula, jangan mengalihkan pembicaraan."

"Uh," Arthur tergelak.

Francis tersenyum lagi.

Begitu intens Francis memandanginya dan Arthur merasakan panas meluncur dari tenggorokannya, ia nyaris tersedak ketika melumat puding itu, "Oke.. oke, ini hanya... si dua raksasa itu. Mereka mengganggu rapat osis kami. Tamat."

"Raksasa?" Francis menaikkan alisnya, "maksudmu Alfred? Dan Ivan?"

Arthur mengangguk pelan, lalu melahap puding lagi, dan menjatuhkan pandangannya ke atas meja. Sore hari terasa begitu oranye dan menyesakkan, setidaknya begitu sebelum Francis mengetuk pintu kamarnya, jika ada Francis, ia bisa bernapas sedikit lega. Francis terasa seperti rumah: tempat untuk pulang.

Francis adalah sahabatnya sedari kecil, ia adalah pembuat onar, dan obsesinya pada wanita tidak menyenangkan. Tapi Francis punya suatu hal yang membuatmu menghela napas berat tatkala ia mengucapkan sampai besok atau sampai bertemu lagi.

Selagi hening, Francis memandangi Arthur, "Cahaya matahari terbias ketika mereka mendarat di rambutmu," Francis membuat kalimat, "itu cantik sekali." Ujarnya dengan tangan menumpu dagu, senyumnya merekah lagi, kali ini dengan sinar oranye di sebagian sisi wajahnya.

Ah iya, Arthur lupa, Francis juga punya obsesi atas semua yang cantik.

...cantik.

"...Terima... kasih." Arthur berbisik.

"Dasar gentleman, tata krama masih kauperhatikan. Bahkan saat bersamaku."

Arthur merasakan wajahnya panas, ia tidak berani menajamkan matanya pada safirnya Francis dan ia sudah tak dapat menghitung berapa kali jantungnya berdetak begini kencang ketika Francis memujinya. Oh, demi Ratu Inggris.

Persetan dengan Ivan dan Alfred, biarkan mereka memiliki kamar sendiri karena di sini—di balkon kamarnya—ada Francis dan teh kayu manis serta sinar oranye di sekelilingnya yang bisa dihitung sepersepuluh surga.