Love, Between Us

BLEACH © TITE KUBO

.

.

.

.

.

.

.

Warning : OOC, Typo(s), AU! DLDR! Re-publish, Dont like Dont Read, I warn you!

.

.

.

.

.

Inspired story from Robert and Elizabeth Barrett Browning.

Summary : Puisi - puisi inilah yang mendekatkan kita. Kau dan aku. Bagaikan kata- kata indah yang ada di dalam sebuah puisi, aku berharap kisah cinta kita akan seperti itu. Indah, mengaumkan dan penuh cinta/ Inspired story from Robert and Elizabeth Barrett Browning/DLDR!


Musim semi telah tiba. Bunga sakura mulai menghiasi berbagai penjuru di Jepang. Kuchiki Rukia menggerakkan kepalanya ke arah jendela yang terletak di sebelah kanan tempat tidurnya saat ini. Bola matanya membola melihat pemandangan di hadapannya yang begitu indah, bunga sakura yang mulai menampilkan warna kelopaknya yang cantik. Dengan perlahan Rukia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan perlahan menuju jendela yang menjadi pembatas sederhana antara dunia luar dan dirinya saat ini. Angin yang berhembus sepoi – sepoi menerbangkan sebagian kecil kelopak bunga sakura – menuju tempat Rukia saat ini. Diambilnya kelopak bunga mungil itu, mengagumi keindahan warna merah muda dari bunga yang akan bermekaran setahun sekali itu.

Rukia beranjak dari tempatnya sekarang, menuju nakas kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Diambilnya botol kaca kecil yang ada di atas nakas tersebut. Memasukkan kelopak bunga sakura yang sedari tadi ia bawa, ke dalam botol kaca kecil tersebut. Senyum manis terpatri di wajah mungil Rukia, setelah kelopak bunga sakura yang ia kagumi ada di dalam botol kaca. Pandangannya kembali mengarah pada pemandangan mengagumkan yang masih terus berlangsung tersebut.

Sayangnya, momen indah Rukia bermanja–manja dengan bunga sakura, harus berhenti saat seseorang datang memasuki kamarnya. Sesosok wanita cantik dengan rambut berwarna pirang yang terurai panjang datang menghampiri Rukia, memberikan kecupan sayang pada Rukia yang ternyata memiliki postur tubuh lebih kecil dari wanita yang baru datang tersebut.

Rangiku Matsumoto, tercetak pada name tag yang ia kenakan pada bajunya . Perempuan itu datang dengan membawa setumpuk benda berwarna–warni yang terbuat dari kertas tersebut kepada Rukia.

Amplop. Dengan berbagai ukuran dan hiasan, benda tersebut tampak lebih menarik dan mengagumkan. Berbagai macam tulisan tangan tertera di amplop–amplop yang Rukia pegang saat ini.

"Itu surat penggemarmu yang ada di kantor pagi ini. Kira-kira sekitar lima belas sampai dua puluh surat yang harus kau baca. Ah- dan jangan lupa untuk segera menyelesaikan puisimu di bab lima besok, Rukia. Ukitake-san sudah menunggu kita untuk peluncuran bukumu bulan depan."

"Arigatou, Rangiku."

Rukia merupakan seorang penulis sebuah buku kumpulan puisi yang sangat digemari oleh para remaja Jepang. Kalimatnya yang mudah dipahami dan sesuai dengan realita kehidupan remaja saat ini, membuat hampir tujuh puluh persen remaja Jepang memiliki buku Rukia tersebut. Hal itu terbukti dari survey yang dilakukan pihak kantor maupun pihak publisher yang bertanggung jawab atas karya-karya gadis berusia dua puluh empat tahun itu. Sampai saat ini Kuchiki Rukia sudah menerbitkan lima buku utama dan dua buku pendamping.

Gadis bermata violet tersebut segera membuka satu-persatu amplop dengan tampilan cantik yang ternyata sebagian besar berisi ungkapan kekaguman dari penggemarnya. Sebuah surat dengan amplop berwarna biru dongker dalam genggamannya.

Rangiku meletakkan tas kecilnya di atas meja yang ada di kamar itu. Dilihatnya Rukia kembali menghampiri jendela besar di kamar tersebut dan berdiri di depannya. "Apa yang kau lakukan di situ? Bukankah dokter melarangmu untuk tidak terlalu banyak terkena udara dingin dari luar?"

Kening Rukia mengerut mencoba memahami perkataan sahabatnya yang sekaligus merangkap menjadi manajernya saat ini. Raut wajahnya berubah. Cemberut. Tatapan mata yang awalnya berbinar–binar mengagumi keindahan sakura berubah menjadi tatapan tidak suka.

"Jangan memulainya, Rangiku." Nadanya sedikit dingin berbeda dari sebelumnya. "Aku tidak ingin berdebat sekarang Rangiku-san. Lagipula dokter tidak mengatakan bahwa aku tidak boleh melihat bunga sakura bermekaran, bukan?" senyum puas tercetak di wajah tirus itu. "Dan sepertinya udara yang ada sekarang terasa lebih sejuk bukan dingin?"

"Oke–oke, kali ini aku akan menurutimu, Rukia." Rangiku tak melanjutkan. Senyum kemenangan menghiasi paras gadis berambut hitam kelam tersebut.

"Tapi sebaiknya kau menjaga tubuhmu karena minggu depan kau diperbolehkan untuk pulang jika kondisi tubuhmu sudah stabil kembali." Rangiku berdiri di samping Rukia, larut dalam pemandangan indah bunga sakura yang sedang tersaji di hadapan mereka berdua saat ini.

"Aku tidak akan apa-apa, Rangiku. Kau terlalu berlebihan." Rukia menyamankan kembali posisinya. Amplop berwarna biru dongker yang sebelumnya ia pegang, secara perlahan ia buka. Membaca isi surat penggemar yang Rukia duga fans fanatiknya. Black Sun.

Black Sun, penggemarnya yang rutin mengiriminya surat sejak satu setengah tahun terakhir. Bermula dengan isi surat yang menurut Rukia berisi perkenalan semata antara penggemar dan idolanya. Namun, lambat laun surat yang dikirimkan oleh Black Sun ini berkembang menjadi surat–surat romantis yang berisi kalimat sanjungan, rasa kagum yang berlebihan dan pernyataan cinta secara tak lagsung.

Hei, bagaimana dia tahu bahwa Rukia adalah seorang perempuan? Apa Black Sun hanya asal menebak saja bahwa nama samaran White Moon adalah seorang perempuan? Apakah nantinya dia tidak menyesal atau lebih tepatnya malu jika penerima suratnya selama ini adalah sosok laki-laki? Pemikiran itu terus berkecamuk dalam otak kecil seorang Kuchiki Rukia. Konyol, geli dan lucu saat memikirkan hal tersebut.

Ribuan surat yang Rukia terima sejak ia debut dua tahun yang lalu, tak satupun dari penggemarnya tahu identitas idola mereka. Banyak dari mereka menanyakan sosok White Moon, namun seperti yang sudah diduga, mereka tak menemukan informasi apapun. Mereka harus menerima jika Rukia tak berniat untuk menunjukkan identitas dia sebenarnya. Memang terkesan jahat, namun gadis cantik itu merahasiakan sosoknya karena ia ingin para penggemarnya dapat menikmati karyanya tanpa memandang siapa pembuatnya. Setidaknya, itulah pemikiran kuchiki Rukia sebelum munculnya sosok Black Sun.

Ya, sosok Black Sun yang datang di kehidupannya meskipun hanya melalui sebuah surat membuat pemikiran Rukia berubah total. Ia ingin sosoknya diketahui, bahwa dirinya adalah White Moon. Namun anehnya, hanya kepada Black Sun saja ia ingin menunjukkan jati diri yang sebenarnya, tidak untuk yang lain.

"Lagi–lagi kau melamun, Rukia. Percuma aku datang ke sini jika pada akhirnya kau mengacuhkanku." Lamunan Rukia terinterupsi karena kalimat pengaduan yang diucapkan sahabatnya tersebut. Kekehan kecil terdengar dari mulut Rukia. Oh, kami-sama betapa jahatnya Rukia mengabaikan sahabatnya sendiri karena melamunkan penggemarnya Black Sun.

"Aku tidak bermaksud seperti itu, Rangiku. Dia mengirimkan surat lagi untukku." Rukia menyerahkan surat berberhiaskan kupu-kupu pada Rangiku, yang gadis berambut orange panjang itu tahu merupakan surat dari sosok Black Sun sang penggemar sahabatnya. "Aku penasaran dengan sosok Black Sun ini. Heran, kenapa dia tidak lelah mengirimiku surat penggemar ini padaku?"

"Surat cinta lebih tepatnya, Rukia sayang. Kau penasaran dengan sosoknya? Apa aku harus menyuruh agensi untuk membuat daftar hadir para penggemarmu yang mengirimkan suratnya agar kau tahu siapa itu Black Sun, namanya aneh sekali, Rukia. . . . "

"Hentikan, kau tidak perlu melakukan hal konyol itu. Yang ada nanti penggemarku merasa terusik dengan tingkah laku agensi yang seperti itu."

Rangiku menepuk pelan puncak kepala Rukia. Menurutnya, gadis Kuchiki itu terlihat antusias saat membicarakan sosok penggemar istimewanya.

"Rangiku-san . ."

"Lihatlah cermin ini, wajahmu memerah setiap kali kita membahas hal ini." Ucap Rangiku.

"Ini bukan malu, tapi karena sinar matahari." – bantah Rukia tidak terima dengan perkataan sahabatnya itu.

"Kau bohong, Rukia."

"Baka."

"Hei, jangan mengataiku baka, Rukia. Aku tak terima itu." Rangiku menyilangkan kedua tangannya di depan dada, berdiri membelakangi gadis Kuchiki itu.

"Ups, aku tak sengaja, Rangiku. Maafkan ya? Hehehe." Rukia mengusap perlahan kedua pipinya.

Rangiku tersenyum samar saat melirik dengan ekor matanya, tingkah sang sahabat. "Kau terlalu malu untuk mengakuinya nona Kuchiki."

"Aku. . . "

"Apa kau sudah membalas suratnya yang datang dua hari yang lalu?"

"Ah, sesuai saranmu, aku sudah melakukannya. Dan mungkin saat ini Black Sun sudah menerimanya" Ucap Rukia sembari mengarahkan perhatiannya pada surat yang berada di genggamannya saat ini.

"Bagus–bagus. Ah, kau menyertakan nomer ponsel-mu juga kan?"

Rukia secepat mungkin menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Tidak. Aku tidak mencantumkannya."

"Kenapa? Bukankah kau penasaran dengan sosoknya?"

"Aku penasaran tetapi aku masih ragu melakukannya, jika ia berpikir bahwa aku adalah sosok yang agresif?"

Agresif? Rangiku heran dengan tingkah sahabatnya tersebut. Baru kali ini Rukia mengucapkan kata–kata yang bukan dirinya. "Dasar. Padahal itu kesempatanmu, Rukia. Ini yang terbaru?" ucap Rangiku sembari membuka amplop yang ia pegang.

"Ya. Itu yang terbaru dan yang paling membuatku terkesan. Bacalah, Rangiku."

Dibukanya surat dari Black Sun tersebut. Tulisan yang sangat tertata rapi.

.

.

.

"Bagaimana aku mencintaimu? Izinkan aku menghitung caranya

Aku mencintaimu hingga kedalaman, isi, dan tinggi

Jiwaku bisa meraih, ketika perasaan menghilang dari pandangan"

(Elizabeth Barrett Browning – How Do I Love Thee? Bagaimana Aku Mencintaimu?)

.

.

.

"Rukia, bukankah isi surat ini. ."

"Ya, itu adalah sepenggal bait puisi yang ada di buku sastra milikku. Buku pertama yang aku terbitkan."

Rangiku mengangguk–anggukan kepalanya. Sedikit berpikir tentang maksud surat itu. "Dia sudah mengagumimu selama itu, dan bukankah buku pertemamu itu tentang seorang pria yang begitu tulus mencintai wanitanya?"

"Ya. Dan aku yakin dia sudah mempunyai semua koleksi bukuku. Tema yang ia bawa dalam isi suratnya ini yang juga sedang aku pikirkan, Rangiku."

"Kau mungkin benar." Rangiku tersenyum lebar kali ini. Ia bersyukur ada seseorang yang mencintai sosok gadis itu sekarang. "Aku harap kalian bisa bertemu. Dan kaau harus membalas suratnya kali ini dan menyertakan nomor ponsel-mu di sana. Tidak ada kata tidak! Kau mengerti?"

Rukia menghela nafas pasrah. Sahabatnya ini terlalu menyeramkan untuk dilawan. "Baiklah, aku sertakan. Semoga saja dan ia tidak kecewa setelah tahu diriku." Namun, meskipun menyeramkan, Rangiku adalah sosok sahabat idaman yang mungkin sukar ditemukan saat ini. Rukia bersyukur bersama sang sahabat yang selalu memberinya motivasi itu.

Rangiku menatap sahabatnya sejenak, memeluk sayang sahabat yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. "Sebentar lagi dokter akan memeriksa keadaanmu. Sebaiknya kau segera membersihkan dirimu, Rukia. Aku akan ke bawah, ke kantin rumah sakit untuk sekedar mengisi perut." Rangiko melepaskan pelukannya.

"Baiklah. Jangan lupa untuk segera kemari jika kau sudah selesai dengan sarapanmu." Ucap Rukia sambil melihat kepergian sahabatnya tersebut.

"Ha'i."

-0-

Sebuah mobil sport mewah berwarna hitam terparkir rapi di halaman Rumah Sakit Karakura. Seorang pemuda dengan tinggi sekitar seratus sembilan puluh lima sentimeter turun dari mobil tersebut, menarik perhatian setiap orang yang berada di sana. Rambut berwarna orange mencolok menambah kesan glamour dari sosok itu. Pemuda itu berjalan menuju pintu masuk Rumah Sakit. Berbalut dengan kemeja berwarna hitam dan celana panjang hitam – bermerk membuat penampilan pemuda tersebut semakin menambah kesan mewah yang sudah dari tadi melekat pada dirinya.

Kurosaki Ichigo, nama pemuda tersebut. Dapat dikenali saat salah seorang perawat yang bekerja di rumah sakit menyapa dirinya dan dijawab dengan sapaan serupa oleh sang pemuda. Ichigo melangkahkan kedua kakinya menuju ruang kerjanya saat ini. Aroma mint menyebar saat ia membuka salah satu ruangan yang ada di rumah sakit tersebut, yang tak lain dan tak bukan merupakan ruang kerja pemuda bermanik coklat madu itu.

Dengan segera ia meletakkan tasnya dan mengambil jas putih- yang merupakan jas kebanggaan para dokter- kemudian memakainya. Dilihatnya jam dinding yang ada di ruang tersebut. Jam delapan lebih empat puluh lima menit, masih ada waktu lima belas menit untuk bersantai sejenak sebelum ia harus melakukan vicite (kunjungan) kepada pasiennya hari ini.

Ichigo mengambil setumpuk - yang ada di atas mejanya saat ini. Beberapa amplop yang pastinya berisi surat yang ditujukan untuk dirinya. Pandangannya tertuju pada salah satu amplop yang menarik perhatiannya. Berwarna putih bersih dengan hiasan berupa gambar kelinci di setiap sudutnya. Senyum menawan bak seorang pangeran muncul di sana- di wajah yang sebelumnya selalu menampilkan kesan dingin dan tidak ingin di dekati kecuali oleh pasien–pasiennya.

White Moon. Nama dari si pengirim yang mampu membuat sang pemilik surai orange tersebut tersenyum tulus. Surat yang diharapkan datang padanya tiga hari yang lalu akhirnya tiba juga.White Moon adalah idolanya. Seorang penulis karya sastra klasik Jepang yang disesuaikan dengan keadaan realita percintaan saat ini. Ichigo menyukai semua buku kumpulan puisi yang di buat oleh White Moon dan kegiatannya tersebut sudah ia lakukan hampir dua tahun.

Bermula dari keisengan teman seangkatannya, yang mengajak dirinya untuk memasuki sebuah toko buku untuk sekedar menghabiskan jam kuliah siang mereka. Meskipun awalnya ia tidak berniat untuk membeli buku di sana, namun hati kecilnya tergoda untuk membawa pulang salah satu buku yang menjadi koleksi di toko itu. Sebuah buku berwarna violet – tanpa sinopsis- hanya sebuah judul dari buku – yang ternyata buku kumpulan sastra klasik yang ditulis dengan menggunakan huruf kanji jaman dahulu yang memiliki arti sederhana 'Bagaimana aku mencintaimu?' – dan dengan sampul buku yang dihiasi dengan ukiran kupu - kupu cantik berwarna hitam, menarik perhatian seorang Kurosaki Ichigo. Ya, itulah buku pertama yang Ichigo beli seumur hidupnya.

Dan sejak saat itu, Ichigo selalu menunggu kehadiran buku lainnya dari seorang White Moon dan berganti status penggemar setianya. Seperti tingkah laku para penggemar kepada sosok idolanya – pada umumnya, Ichigo ingin mengenal lebih jauh tentang White Moon. Namun, harapan Ichigo hampir kandas saat mengetahui ternyata di halaman terakhir dari buku tersebut- yang biasanya berisi profil dari si penulis- tidak ada keterangan lebih lanjut tentang siapa itu White Moon. Setitik harapan muncul saat di buku itu menyertakan alamat redaksi penerbitan buku tersebut. Berawal dari sanalah Ichigo mulai mengirimkan surat kekagumannya akan sosok White Moon. Tulisan yang berkarakter, rapi, dan sesuai dengan kehidupan nyata saat ini, membuat Ichigo selalu mengidolakan penulis itu.

Dengan hanya sebuah keterangan singkat bahwa sang penulis adalah seorang 'kupu – kupu cantik yang senang berpetualang di negara lebah' – yang tertera di awal- menyakinkan Ichigo bahwa sosok yang dipujanya selama ini adalah seorang perempuan.

Kegiatannya harus terputus saat tanpa sengaja ia melihat jam tangan yang menggantung di pergelangannya. Astaga, sudah hampir tiga puluh menit Ichigo bernostalgia, melupakan pasien–pasiennya yang sudah menunggu kehadiran dokter muda itu.

Beranjak dari tempatnya berdiri, ia segera menuju ke tempat kamar pasien yang akan ia kunjungi hari ini. Lantai dua, ruang VVIP menjadi daerah operasinya.

-0-

Ichigo melangkahkan kakinya menuju kamar pasien bernomer 1514. Dibukanya pintu tersebut, menampilkan seorang pasien perempuan yang berdiri di depan jendela yang berada di sisi sebelah kanan tempat tidurnya. Ichigo tertegun akan sosok itu. Rambut hitamnya bergerak perlahan karena tertiup angin, menampilkan sesosok wajah cantik yang terlihat dari samping.

Merasa ada seseorang yang memasuki kamarnya, Rukia menolehkan kepalanya ke kiri - ke arah pintu kamar yang terletak lurus dengan dirinya berdiri saat ini. Seorang pemuda berjas putih berdiri menatap dirinya. Rukia terhenyak saat bola mata coklat madu milik pemuda itu menatap lurus ke arahnya. Manik violet yang jernih milik Rukia seakan ingin menatap kembali pancaran warna terang – coklat madu tersebut. Mereka saling memandang, seakan mereka sudah mengenal satu sama lain.

"Kau..." ucap mereka bersamaan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC


A/N :

Yui datang dengan karya lama yang di re-publish kembali. Sedikit mengalami perombakan dibeberapa bagian. Bagaiman menurut minna-san? Kritik dan saran ditunggu.

See you,