magi (c) shinobu ohtaka.
buat solosheweek2016 day 5: beginnings.
Ini adalah bagaimana Solomon mengingat Sheba, dulu:
Mereka bertemu di antara warna-warni oranye, cokelat yang memudar, bau musim gugur yang mengambang di udara, dan jejak sepatu menimbulkan gemerisik. Sheba tidak berlari namun kakinya melangkah berisik. Seolah sengaja mencari tumpukan daun maple untuk diinjak, seolah siap lompat ke gunungan maple di sudut taman, seolah musim gugur sore ini terlalu indah untuk dilewatkan. Cukup ribut untuk membuat beberapa pejalan kaki menoleh, mengeryitkan alis seolah berujar, hei, nona, bisakah bunyi langkahmu kaupelankan sedikit?
Seharusnya begitu, seharusnya musim gugur ini memang menyenangkan, jika saja kepala Sheba tidak terus menunduk, jika saja jejak sembap tidak pernah ada di sepasang matanya. Syal yang menutupi mulut itu juga. Siapapun yang melihat sepintas tidak akan sadar, lagipula siapa pula yang teramat iseng untuk mengintip wajah orang asing yang kautemui di jalan, mengucap selamat sore lalu menyingkap syal?
Solomon juga tidak berencana demikian. Tapi semesta berpikiran lain.
Ada orang asing. Bermantel panjang, bertutup kepala, memakai kacamata cokelat nyaris gelap. Menepuk bahu Sheba yang masih menunduk. Kebetulan saja Solomon berjalan tepat di belakang Sheba. Kebetulan saja Solomon punya firasat bahwa orang asing itu bukan bermaksud baik. Kebetulan saja firasatnya benar. Kebetulan saja ... belum sampai satu jam lalu, Solomon barusan menolong seorang ibu paruh baya yang kecurian dompet.
Maka Solomon bergerak. Sigap. Menutup jarak tiga meter yang memisahkan dia dari si perempuan (dan si orang asing), ia mengulurkan tangan untuk menghalau bahu si orang asing. Bermaksud minimal menjauhkan. Waktu itu semua masih terlihat normal. Tapi Solomon gagal menyadari satu hal.
Belum sempat tangan si orang asing lepas dari bahu Sheba, Solomon melihat gerakan cepat dari Sheba, dan sebelum sempat menebak apa yang terjadi, satu kepalan tangan telak menghantam hidungnya.
Solomon merasakan sakit, nyeri, dan hampir mengumpat.
Dalam sepersekian detik tonjokan itu, Solomon bertukar pandang dengan si perempuan. Mata si perempuan membesar. Kentara sekali terkejut. Detik itu pula Solomon paham, bahwa itu tadi tonjokan salah sasaran; harusnya bukan untuk Solomon. Harusnya untuk si orang asing yang ambil langkah seribu seketika, terbirit-birit lari tanpa sempat Solomon lihat siapa.
Solomon mengerang. Solomon sudah bertekad berseru. Setengah berang setengah kaget dan setengah kikuk, karena siapa sangka perempuan ini punya refleks dan insting berkelit yang bagus, siapa sangka akan ada tinju melayang tanda si perempuan sesungguhnya tidak butuh pertolongan, dan siapa sangka hidungnya bakal berdenyut parah seperti ini karena, sumpah, tonjokan barusan bukan level amatir. Solomon menggumamkan doa agar tulang hidungnya tidak patah. Berdarah tidak masalah, tapi jangan patah.
Pertemuan pertama mereka, sungguh—sangat—sialan.
a/n:
(1) sedih gabisa partisipasi di semua hari tapi yah gapapalah saya nyumbang satu drebel walau telat juga ;;;_; ini spesial buat kak rani atas motivasi dan pm-pm kocak selama ini ehehe xD
(2) how to write properly idk kalo mereka ooc di sini orz
(3) IFA udah mulai lho. iya, Indonesian Fanfiction Awards 2016! intip aja di profil saya, ada link menuju info ifa selengkapnya ;)
(4) makasih udah baca
