BENIH
Author: Konohafled
Ditulis untuk menjawab tantangan Infantrum: Black and White
Set: Romance/White
Fandom: His Hark Materials
Pairing: Marisa Coulter/Lord Asriel
disclaimer: Phillip Pullman
Bab 1 ini memakai POV Lord Asriel
Chapter 1
Tema: Blossom
Bidadariku, Malaikatku
Wanita terindah adalah bidadari
Wanita terindah adalah malaikat
Suci, putih seperti kapas
Lembut seperti merpati
Anggun seperi angsa
Tapi wanita terindah bagiku adalah … monyet
Lagi-lagi pesta. Lagi-lagi kata-kata manis dan senyum palsu. Gemerincing gelang, kilauan permata dan sedikit gesutan jas mahal. Bau alkohol, parfum mewah dan jilatan di bokong bercampur jadi satu. Membosankan. Tapi itu perlu.
Apalagi kalau ada wanita seperti dia. Sosoknya yang langsing dan semampai saja sudah cukup membuatnya berbeda. Belum lagi rambut ikal keemasan yang mengalahkan kilauan anting, kalung dan gelang wanita-wanita lain. Tapi yang terutama adalah suaranya. Merdu bukan kata yang tepat. Menghipnotis juga bukan kata yang tepat, meskipun semua pendengarnya seperti terbawa ke alam lain ketika dia bicara.
Stelmaria pun tahu itu. Dia menggesekkan kepalanya ke kakiku. Kucing besar langsung tahu apa yang diinginkan tubuhnya. Dan tubuhku. Tidak, wanita ini butuh lebih dari tubuhku saja. Dia butuh… astaga, Stelmaria! Dia kini menggesekkan tubuhnya ke kedua kakiku, menggeram lirih namun manja. Dia membiarkan kepalanya bersandar ke kaki depan, pantatnya menungging dan ekornya menari-nari. Memalukan!
Aku berjongkok. Kubelai kepala daemonku itu lembut.
"Jaga kelakuanmu, Stelmaria!" bisikku di telinganya.
"Kau dari tadi berdiri saja di sini. Kapan kau akan mendekatinya?" Stelmaria ganti berbisik padaku.
"Ada apa dengan kau? Tak percaya diri? Lord Asriel yang terhormat, tiba-tiba kikuk di depan ---"
Kutampar mulutnya. Dia menggeram. Jariku sempat menggores ujung taringnya. Tetes darah pertama menyentuh lantai bersamaan dengan akhir suara geram daemonku itu.
Aku berjalan ke arah si rambut emas itu. Stelmaria bersenandung pelan.
"Ehem."
Kepala-kepala menoleh ke arah wajahku. Kecuali satu kepala. Kepala cantiknya.
Yang pertama dilihatnya adalah tetes darah yang siap jatuh dari jariku. Yang pertama kulihat setelah itu adalah senyumnya. Bukan padaku, tapi pada tetesan darah itu ketika ia turun dan pecah di lantai.
Dia mungkin saja adalah malaikatku.
Teman-temanku bilang, wanita terindah adalah malaikat. Lembut dan hangat. Dia akan menyiram hatimu yang panas. Dia akan meniupkan angin sejuk ke jiwamu yang resah. Meneduhkan. Dia akan merengkuh tubuhmu saat kau merasa kehilangan. Dia akan membenamkan wajahmu ke dadanya, dan membiarkan kau tertidur mendengar detak jantungnya. Menenangkan.
Tapi malaikatku tersenyum melihat darahku. Malaikatku tidak iba pada rasa sakitku. Malaikatku suka pada cairan merah pembawa gen sekaligus derajatku di pesta penuh kepalsuan ini.
"Anda peneliti juga?" tanyaku.
Dia sedikit tersentak. Kedua mata indahnya cepat-cepat dialihkan ke mataku.
"Oh, bukan. Saya hanya… pengamat," jawabnya. Sepasang bibir ranumnya membentuk senyum.
"Pengamat apa? Banyak bidang yang bisa diamati. Sedikit yang menarik. Jujur saja…"
"Saya mengamati," dia mencondongkan kepalanya padaku dan merendahkan suaranya, "Debu."
Kata yang tepat, nona cantik.
"Pilihan yang menarik," sahutku. "Dan pilihan yang menarik selalu lepas dari perhatian."
"Maksud Anda?" salah satu alisnya terangkat.
"Saya berani bertaruh, dari semua orang yang ada di ruangan ini," kataku, menebarkan pandang ke tamu-tamu lain. Dia berbuat sama, "hanya sedikit yang tertarik pada Debu. Bisa dihitung dengan jari."
"Tidak tertarik bukan kata yang tepat, Tuan…"
"Asriel," jawabku sambil mengulurkan tangan. Dia menyambutnya. "Dan Anda Nona…?" tanyaku
"Marisa," jawabnya.
"Coulter," sahut seseorang dari balik punggungku. Aku menoleh padanya. Lelaki yang tidak lebih tinggi dari Marisa, tapi umurnya mungkin belasan tahun lebih tua darinya. Seekor kambing hutan betina berdiri di sampingnya. Edward Coulter dan daemonnya.
"Anda sudah bertemu istri saya rupanya," kata Edward Coulter sambil menggamit lengan Marisa. Wanita itu tersenyum. Tapi tak semanis senyumnya tadi, kurasa.
"Begitulah," jawabku berbasa-basi. Jadi ini suamimu? Politisi tua bangka yang daemonnya kambing hutan jelek ini suamimu? Cantik memang, tapi seleramu rendahan. Apakah darah birunya begitu manis sampai kau rela merendahkan diri?
"Maaf memotong obrolan Anda berdua, Lord Asriel…" kata si tua bangka itu.
"Anda seorang Lord?" potong Marisa.
"Jangan bilang kau belum tahu, Marisa!" sahut Edward pada istrinya.
Marisa menunduk. Ah, jadi kau pura-pura bodoh di depan dia. Untuk apa? Untuk memuaskan ego politisi serakah itu?
"Ah, sudahlah Edward. Apalah arti sebuah gelar," kataku berseloroh.
Tepat saat itu, mata Edward Coulter menangkap bayangan seseorang yang nampaknya menarik baginya. Dia kembali menarik lengan istrinya.
"Oh, maafkan kami, Lord Asriel. Kami masih ingin mengobrol banyak dengan Anda, tapi… yah, ada seseorang yang harus kami temui," kata Edward.
Bokong siapa lagi yang mau kau jilati, Edward?
"Sayang sekali," kataku. "Sampai jumpa lagi, nanti."
Edward Coulter tersenyum. Lalu dia cepat-cepat menarik istrinya pergi, takut buruannya menghilang dari pandangan. Istrinya mengerling padaku.
Terdengar suara Stelmaria merintih pelan.
Aku melihat monyet berbulu emas menggelayut di lehernya. Makhluk mungil itu menjilat-jilat belakang telinga Stelmaria dengan penuh kasih. Pantas saja daemonku itu menahan auman birahi.
Aku beralih ke wanita cantik bernama Marisa Coulter tadi. Dia tersenyum. Matanya dikedipkan padaku, memamerkan bulu mata lentik yang seolah melambai memanggilku.
Mata itu. Senyum itu. Daemonnya yang menggagahi Stelmaria.
Semua itu terjadi di depan mata tamu pesta. Godaan yang kelewat terang-terangan. Tapi mungkin juga tidak, karena semua orang sibuk mencari muka. Atau mungkin lebih tepat lagi, mencari bokong untuk dijilat. Kecuali sebagian kecil tukang gosip yang kelebihan waktu dan kekurangan potensi otak. Tapi mereka pasti lebih peduli pada bangsawan-bangsawan lain yang lebih flamboyan.
Tak lama kemudian, Marisa Coulter dan monyet emas itu lenyap dari pandangan, digantikan tamu-tamu pesta yang berseliweran dan berhaha-hihi. Tapi bagiku dan Stelmaria, mereka tidak ada. Yang ada di depanku kini adalah bunga-bunga mawar. Merah seperti darah dan membara oleh gairah. Kelopaknya adalah monyet emas itu, menggelitiki Stelmaria hingga mengaum nikmat. Putiknya adalah tangan Marisa yang menarik tangan dan tubuhku.
Dan aku pun masuk ke dalamnya.
---- akhir bagian pertama ----
makasih buat bloominpoppies yang sudah memberi panduan bagi 'kebinatangan' saya dan membebaskan saya dari judul sinetron^-^
A/N
Belum tahu daemon? Daemon berwujud binatang dan biasanya berbeda jenis kelamin dengan manusianya. Daemon adalah insting, akal, bawah sadar dan jiwa manusia. Jadi boleh dibilang, sifat-sifat asli manusia bisa dinilai dari wujud daemonnya. Karena tokoh-tokoh di fanfic ini adalah orang dewasa, maka bentuk daemonnya sudah tetap.
daemon Lord Asriel adalah macan tutul salju betina yang bernama Stelmaria.
daemon Marisa Coulter adalah monyet berbulu emas jantan, tidak mempunyai nama.
Kesan2 ttg fic saya? klik tombol di bawah dan tuliskan di sana. saya tunggu ^-^
spoiler: chapter selanjutnya adalah sudut pandang Marisa Coulter. temanya: Eyes. baca juga ya ;)
