Chapter 1 : Lost in My Mind
Lost in Love
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre(s) : Romance, drama, hurt.
Rated : T dulu.
Warning :
OOC, cerita pasaran,
agak menye-menye (tidak bermaksud menjatuhkan karakter tertentu),
typo(s), AU, a bit unpredictable ending.
(kalo udah bisa nebak berarti nggak jadi unpredictable, hakhakhak)
.
.
Present~
.
Lampu jalan kota yang nampak gemerlap dari segala arah membuat setiap pasang mata rela membuka lebar demi menyelami pesona malam, apalagi saat beberapa lampu mulai bergoyang-goyang tersapu angin, tak ketinggalan sorot lampu kendaraan yang simpang siur membelah jalanan ibukota. Tokyo memang istimewa, tiap langkah yang beradu dengan sepatu memunculkan irama bahagia, dan tiap desah napas yang keluar dari mulut mesin transportasi, membuat tak ada satu menitpun yang menciptakan sepi. Banyak hal yang bisa membuat malam ini begitu istimewa, seistimewa acara jalan-jalan pasangan muda-mudi pada setiap malam minggunya. Tapi mengapa tak ada satu halpun yang menarik matanya?
Apa ia sedang lupa caranya berbahagia?
Berdiam diri di sebuah kedai kopi nyatanya tak membuat perasaan gadis itu membaik.
Sudah seminggu lebih ia tersesat dalam pikirannya sendiri, kembali runtutan kronologi bergulir tentang betapa jahatnya ia berani menghiraukan beberapa lelaki malang yang datang padanya dengan membawa sebuket bunga. Benda favoritnya. Ia merasa gundah, terlalu kaku untuk menerima sebuah perasaan baru. Tak tahu harus berbuat apa ketika tiap kali mendapat pernyataan cinta, ia justru mengingat orang lain.
Orang yang entah siapa.
Orang yang sama sekali tak mengenalnya.
Dan dengan beraninya ia mempertaruhkan segalanya demi si dia.
Mengaduk-aduk kopi yang mulai dingin, gadis itu mulai mendendangkan lamunan yang sedari tadi tak putus urutannya.
Ketika kubuka mata, kulihat siluet mentari.
Dengan aroma lili yang mengelilingi.
Aku duduk di bangku taman, menyesapi secangkir the hangat.
Dan saat mulai memikirkanmu, bibirku mengulas senyum tanpa sadar.
Seolah aku telah tersesat dalam ketidak pastian.
Tersesat antara logika dan angan.
Namanya Hyuuga Hinata. Umurnya 19 tahun. Ia baru saja menapaki dunia perkuliahan, masih semester 1.
Tak dapat dipungkiri ia kini sedikit takut dengan kisah asmara yang agak sedikit lebih rumit ketimbang cerita cinta anak sma.
"Hinata!" Itu Ino, sahabat baiknya.
"Lama sekali, Ino-chan?"
Kedua sahabat yang belakangan mulai nampak murung setelah teman-teman sepermainan melewati tahap pacaran, sementara mereka belum.
Sama sekali.
Tolong digaris bawahi.
Namun Ino dengan seenak hati memaksa Hinata untuk segera menyatakan cinta pada si kakak tingkat, padahal belum tentu orang itu akan bersedia menerima dengan tangan terbuka.
Kita tak pernah bicara sebelumnya, mungkinkah kita bisa saling mencintai jika terus seperti ini?
Tapi sejujurya, siapa yang peduli? Terlalu banyak omong kosong juga hanya berisi kesia-siaan.
Aku hanya tak bisa menyembunyikan perasaan ini terlalu lama.
Memang benar adanya bila cinta dalam diam hanya akan melahirkan duka, tiap kali rongga dada bergetar karenanya, maka siluet itu akan semakin ingin menyingkirkan keberadaan cinta dalam satu kedipan mata. Dan mungkin saja definisi cinta yang gadis itu rangkai selama ini hanyalah dianggap tuntutan semata jika terburu-buru menyatakan.
Namun mencintai dalam diam terkadang tak salah juga, karena artinya ia telah berjuang,
... setidaknya dalam hati.
.
.
.
Menjadi seorang entrepreneur di usia yang masih belia bukan hal yang mudah, begitu pula saat harus berhadapan dengan laba dan rugi disaat menuntaskan tugas kuliah yang dosen berikan dengan semena-mena.
Meregangkan otot di depan laptop, gadis berponi pendek itu mengakui bahwa dirinya tengah kesulitan memahami sebuah bacaan panjang sastra inggris kuno karena terus menerus membalas pesan dari para pekerja yang sejak hari kemarin menagih upah padahal belum waktunya.
Hinata jadi tidak fokus.
Iya.
Hinata memang tidak fokus, karena setiap lima menit sekali pandangannya tertuju pada kelas si pemuda bernama Uzumaki Naruto yang ada di ujung lorong, ia ingin melihat wajah pemuda itu setidaknya satu kali saja dalam sehari.
Meski sedikit tidak mungkin karena perbedaan jurusan yang mereka ambil, Hinata paling hanya bisa melihatnya tiga kali saja dalam seminggu.
Tapi sungguh ia bersyukur karena kali ini keinginannya terkabul, si pemuda lewat dihadapannya.
Uzumaki yang seperti biasa, dengan tiga kumis yang masih menempel indah pada kedua pipi, cengiran khas balita, dan kulitnya yang akhir-akhir ini sering memerah terkena paparan sinar matahari.
Pemuda itu telah berhasil menawan hati Hinata. Sudut-sudut bibirnya juga tertarik keatas melengkungkan senyum, ia tak pernah tahu bahwa sebongkah cinta bisa membuatnya berani membawa tubuhnya mendekat pada seseorang meski ia belum pernah melakukan ini sebelumnya.
"Oh tidak!" Baru saja sadar dari rasa kagum, Hinata dikagetkan dengan bel masuk pertanda ujian pertamanya telah dimulai. Ia berlari kencang menuju lorong lain.
Tanpa ia tahu sepasang ekor mata seseorang memperhatikan laju larinya dari jauh.
Uzumaki Naruto.
Pemuda yang mulai menyadari motif si gadis penguntit.
.
.
.
Sibuk menghias kue-kue yang sebentar lagi diantar ke acara pernikahan temannya, Hinata tak mengindahkan bunyi lonceng toko beberapa menit lalu, sampai orang lain yang mempersilahkan si tamu untuk masuk.
"Paman Asuma, tolong cepat siapkan mobilnya, lima belas menit lagi kita berangkat." Hinata mengultimatum, ia langsung berlarian kesana kemari mencari kardus pembungkus cupcake yang harusnya selalu ada di ruang penyimpanan.
"Bibi Kurenai, dimana kardus-kardusnya? Cupcakenya sudah selesai kuberi whipped cream, kita sudah terlambat, belum lagi di sana masih harus menghias kue pernikahan yang besar." Hinata mengacak-acak surai panjangnya frustasi, mengomel pada salah satu koki yang sialnya tengah duduk santai di sudut dapur.
Menyusui bayi.
Ya Tuhan, kapan pekerjaan ini akan selesai?
"Ino-chan, apa kamu melihat kardusnya?" Hinata melangkah keluar dari dapur, menanyai Ino yang tengah menjilati lollipop di balik meja kasir.
"Aku tidak melihatnya Hinata, tapiā¦" Ino menghentikan kata-katanya, melirik ke kiri tepat dimana seorang pembeli berdiri.
Hinata mengikuti arah pandang si gadis Yamanaka, dan ia benar-benar terkejut begitu matanya menatap bola mata biru jernih di hadapannya. Hinata lantas membelalak dengan mulut setengah membuka.
Naruto?
Di dalam tokonya?
"Hai?"
Sapaan itu membuatnya berhenti melamun, dan dengan cepat menundukkan kepala, bermaksud memberi salam.
"Terima kasih sudah datang ke toko kami." Canggung, hanya itu yang Hinata rasakan saat ini, dalam diam ia tersenyum.
"Maaf nona pemilik toko, saya harus ke kamar mandi sebentar, bisakah anda menghitung total pembeliannya?" Ino mengerling pada si gadis Hyuuga sesaat sebelum benar-benar meninggalkan meja kasir tanpa ia setujui. Hinata menggaruk tengkuknya.
"Total pembelian an-"
"Bukankah kamu mahasiswa Universitas Keiyo?" Hinata mengalihkan tatapan matanya dari mesin kasir begitu Naruto bertanya.
"Iya, kamu juga kan? Aku sering melihatmu." Hinata menunduk lagi, semburat merah tipis muncul di kedua pipi.
Naruto mengangguk, menengok ke tiap sudut toko yang didekorasi warna ungu dengan ornament bunga-bungaan.
"Ini tokomu sendiri? Kamu benar-benar hebat!" Uzumaki mengacungkan jempolnya dengan semangat, memberi cengiran yang biasa Hinata lihat tiap berada di kampus, hanya saja yang ini berbeda karena langsung ditujukan untuknya.
Akhirnya Naruto berbicara padanya.
"Ngomong-ngomong, kamu ambil jurusan apa?"
"Sastra Inggris." Hinata kembali mengutak-atik mesin kasir, daripada kedapatan mencuri-curi pandang tiap lima detik sekali.
"Oh ya, namamu sia-"
"Hinata, kita sudah terlambat lima menit!" Paman Asuma berteriak dari luar toko, membuat Hinata langsung dilanda stress, meminta maaf berkali-kali pada Naruto karena harus pergi saat itu juga.
Uzumaki Naruto hanya bisa menatap bingung kepergian gadis Hyuuga dari depan meja kasir.
"Total pembelian anda lima puluh ribu yen, tuan." Seorang gadis mengagetkannya, menunggunya membuka dompet dan menyerahkan nominal yang disebutkan.
"Silahkan kuenya, jangan lupa kembali lagi ke toko kami!" Ino yang pada akhirnya harus berdiri lagi di balik meja kasir itu cengar-cengir sendiri mendapati Naruto yang berkali-kali melirik ke arah dapur, tempat Hinata menghilang tadi.
.
.
.
"Selamat pagi, penjual kue?" Sebuah sapaan mendarat tepat di samping telinga ketika langkah kaki hampir memasuki perpustakaan, Hinata langsung menoleh mendapati Naruto berjalan disampingnya.
Pipinya panas. Lagi.
"Se-sedang apa di sini?" Takut-takut ia bertanya sambil tetap berjalan ke arah rak-rak berisi deretan buku.
"Ah, besok ada presentasi mata kuliah antropologi seni, harus cari referensi."
Tampan dan cerdas, Hinata membatin senang.
"Memangnya kamu mengambil jurusan apa?"
"Seni rupa, eh aku hampir lupa, namaku Uzumaki Naruto, kemarin belum sempat berkenalan." Hinata menggaruk tengkuk sebelum menerima uluran tangan si pemuda.
Karena ia benar-benar sudah tahu nama si Uzumaki bahkan sejak sebelum Naruto menyadari kehadirannya.
"Hinata Hyuuga." Mereka berjabatan, menatap manik mata masing-masing tanpa terasa menghabiskan banyak waktu.
"Permisi, bisa aku lewat?" Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi, dengan gerakan cepat Hinata menjauhkan tautan tangannya, membiarkan seseorang tadi lewat, hanya saja ia kurang jeli untuk mendapati seseorang itu bertatapan tajam dengan Naruto sebelum benar-benar lewat.
Naruto lantas menghiraukan si laki-laki asing berambut merah tadi.
"Oh ya Hinata, ngomong-ngomong ibuku bilang kuemu enak sekali, dia ingin pesan banyak untuk acara reuni keluarga." Naruto lanjut menyusuri deretan rak yang menjulang, meninggalkan Hinata yang terpaku pada kata-kata yang baru saja terlontar. Ia menjerit tertahan dibalik punggung pemuda berambut kuning.
Ibunya,
Ibu Naruto menyukai kue buatan Hinata.
Apa ini hanya candaan?
Siapapun tolong tepuk bahunya!
Hinata langsung merasakan bahunya ditepuk seseorang dari belakang, belum sempat ia menoleh tapi seseorang itu sudah terlebih dahulu mengultimatum.
"Tolong geser sedikit, aku harus mengambil buku itu." Orang yang baru saja lewat, maunya apa sih?
Hinata bergeser beberapa langkah, dengan Naruto yang langsung mengikutinya bergeser.
"Nanti ibuku ke tokomu."
"Secepat itu?"
"Memangnya tidak bisa?"
"Te-tentu saja bisa, kami menerima pesanan. Berapapun jumlahnya."
"Kalau begitu, aku minta nomor ponselmu ya?"
Hinata merogoh saku hoodie-nya, mengambil ponsel untuk segera bertukar nomor dengan Naruto.
Kenapa bisa secepat ini?
Tidakkah ini lucu?
Rasanya seperti baru saja disambut dengan pelukan hangat.
"Tapi sayang sekali aku tidak bisa ikut memakan cupcake cantik buatanmu, rasanya terlalu manis karena gigiku berlubang."
Dan dalam sekejap juga terasa seperti ditolak di depan pintu rumah.
"Oh ya Hinata, apa kamu tidak jadi mencari bukumu?"
.
.
.
Pagi ini jalanan yang selalu Hinata lewati nampak tak biasa, daun-daun yang berguguran begitu merusak khidmatnya aktivitas para pengguna jalan, angin kencang ikut menerbangkan helai demi helai daun-daun kering, membuat orang-orang yang merayap dintara kekacauan sejenak ingin segera kembali bergelung dalam selimut yang nyaman. Mesin yang bersahut-sahutan dan pekikan sirine juga tak membantu meredakan keadaan yang membuat jengah para pengguna kendaraan maupun pejalan kaki.
Namun, ada yang lain dari ketidak nyamanan yang berlangsung. Seorang pemuda dengan aksen garis wajah tegas tengah fokus pada lensanya, membidik apa yang ada diantara daun-daun kering dan lalu-lalang manusia. Pemuda itu memakai kemeja merah bata, dari cara berpakaiannya Hinata langsung tahu bahwa si pemuda juga seorang mahasiswa. Surai merah yang nampaknya sengaja dipanjangkan sebatas telinga ikut bergoyang-goyang tersapu angin. Hinata tak berhenti menatap kehadiran si pemuda, apalagi saat dengan jelas orang itu membidik wajahnya beberapa kali, Hinata hanya bisa membelalak, adapun saat tatapan mereka terpaku untuk beberapa saat, seolah mata yang ada di balik titik fokus itu ingin menghanyutkannya ke dasar kubangan asmara.
Tak ayal membuat bunyi 'dug dug dug' bergerilya tanpa aba-aba dalam diri si gadis penggemar warna ungu.
Semerbak krisan merasuki rongga hidung si gadis, membuatnya selalu merasa tengah jatuh cinta tiap kali dikelilingi aroma bunga. Pemuda itu mendekat, membidik satu kali lagi untuk kemudian menyapa.
"Hai?" Hinata hanya tersenyum lamat-lamat, berulang kali melirik manik lebar si pemuda yang justru tengah menatapnya penuh tanya.
"Apa kamu merasa tidak enak karena aku mengambil fotomu tiba-tiba?" Si pemuda lantas menyunggingkan senyum tipis.
Hinata yang tak tahu harus berekspresi apa hanya menunduk.
"Maaf, tadi itu refleks."
"Tidak apa, tapi bisakah kamu menghapusnya?" Si pemuda mengangguk, tapi kameranya justru ia masukkan ke dalam tas.
"Tidak jadi menghapusnya?" Si pemuda hanya mengangkat bahu, tersenyum tipis lagi.
Kontur wajah yang tegas dan sebuah tato 'Ai' yang tersemat di dahi si pemuda, menjadi hal asing yang tak ingin Hinata lewatkan meski hanya satu kedipan mata saja.
Tanpa sadar ia melamun.
Menunggu mentari yang tak kunjung merangkak naik.
Hatiku lamat-lamat mengukir cerita, betapa hiruk-pikuk kota tak kukenali lagi.
Hanya ada wajah yang membuat anganku jadi kian melambung tinggi.
Melayang-layang tak terkendali.
Apakah takdir telah menentukan garis hidupku?
Gila?
Ya.
Hinata juga baru sadar, apakah dirinya ini begitu mudah untuk jatuh cinta?
Mengapa hanya sebuah tatapan mengantarkannya pada sebuah rasa baru, lalu bagaimana dengan pemuda Uzumaki?
Benar, Naruto.
Hinata tak seharusnya jatuh untuk orang lain.
Ia hanya ingin bersama Naruto.
"Hinata?"
Lamunannya berhenti, berganti realita. Realitas yang ia ragukan sendiri.
Pendengaran Hinata masih baik sepertinya untuk mendengar namanya disebut seorang pemuda asing yang baru saja menjadi objek fantasi.
"Apa baru saja kamu memanggil namaku?"
"Iyalah, siapa lagi?"
"Kita satu jurusan dan satu angkatan, Hinata." Pemuda itu nyatanya sudah lebih dahulu tanggap, memotong niatan si gadis Hyuuga untuk bertanya lebih jauh.
"Perkenalkan, namaku Sabaku No Gaara." Mengulurkan tangan mengajak berjabatan, pemuda yang telah diketahui namanya itu hanya geleng-geleng kepala memandang Hinata yang tak juga menyambut tangannya.
"Mungkin kamu kurang memperhatikan sekitar, jadi tidak menyadari kehadiran orang biasa sepertiku."
Hinata menggaruk tengkuknya, merasa asing dan malu disaat yang sama. Karena sejujurnya, perkataan si pemuda Sabaku terlampau menohok hati, perihal dirinya yang tak begitu mengenal teman-temannya sendiri, hanya fokus pada si Uzumaki.
"Panggil aku Gaara." Barulah Hinata mau menerima uluran tangan yang sedari tadi menggantung di udara.
Burung-burung yang bertengger di atas dahan cemara juga tahu, ada secercah bahagia yang terpancar dari dua pasang mata yang saling bersiborok. Mungkin sebuah pikiran telah kembali tersesat pada pesona yang memikat.
TBC
MasyaAllah, apa ini? $_$
Niatnya mau bikin romance mix sad tapi kayanya aneh. /gelundungan/ jadi nggak tahu ini tulisan apa.
Sebenernya ini nyolong-nyolong waktu nulis disela-sela tugas kuliah yang oh so-awesome-banget buat mahasiswa semester 3. *aku kuat kok* Tugasnya itu, nggak ada putusnya. Ampun deh.
Jadi maaf banget kalau fic ini kacau, sekacau muka mahasiswa mabok tugas.
Doain saya niat nulis multichap yang ini ya cyiiin, abisnya terakhir nulis multichap malah gak mood nerusin. :3
Btw ini fic gaje, abal-abal, OOC, karakter dibikin menyeh-menyeh, dan auk ah gelap, jadi tolong kritik dan sarannya biar bisa memperbaiki kehancuran tulisan ini. Ew.
Buat chap awal segini dulu ya gaiiss, semoga kedepannya bisa lebih panjang. Amiin.
At least, minta ripiuw boleh doms qaqaq. :)
Salam manis,
Waan Mew
