Title : Tangled

Cast : Kai, Sehun, Others

Warning : This is REMAKE

Disclaimer : Original story is belong to Tangled By Emma Chase

Yang ku punya hanya nama cast/? XD
GS, buat keperluan dan kenyambungan/? Cerita :3

.

.

Story Begin

.

.

.

Apakah kalian melihat orang yang belum mandi dan bercukur di atas sofa? Cowok yang memakai kaus abu-abu dekil dan celana robek?

Itulah aku, Kim Jongin.

Aku biasanya tidak seperti ini. Ini benar-benar bukanlah diriku. Dalam keseharian, aku biasanya berpakaian rapi, daguku dicukur bersih, dan rambut hitamku disisir ke belakang dengan cara yang menurut orang membuatku terlihat berbahaya tapi profesional. Jasku adalah buatan tangan. Aku memakai sepatu yang harganya lebih mahal dari biaya sewa rumahmu, haha. Apartemenku? Ya, tempatku berada sekarang. Tirainya ditutup, dan perabotannya berpendar oleh pantulan warna kebiruan dari televisi. Meja dan lantainya berserakan botol bir, kotak pizza, dan wadah es krim yang kosong.

Sebenarnya, apartemenku biasanya tidak berantakan seperti sekarang ini. Apartemen yang biasa aku tinggali adalah bersih, ada seorang gadis yang datang bersih-bersih dua kali seminggu. Dan semua kenyamanan modern ada didalamnya, segala mainan cowok dewasa yang dapat kalian pikirkan: surround sound, speaker satelit, dan plasma layar lebar yang akan membuat setiap pria berlutut dan memohon lebih banyak lagi. Dekorasinya modern, banyak nuansa warna hitam dan stainless steel dan siapa saja yang memasukinya akan tahu bahwa seorang pria tinggal di sana. Jadi, seperti yang kubilang, apa yang kalian lihat sekarang bukanlah diriku yang sebenarnya.

Aku sedang flu. Influenza.

Pernahkah kalian memperhatikan beberapa penyakit yang namanya terdengar bagus? Kata-kata seperti malaria, diare, kolera. Apa kalian pikir peneliti mereka memberi nama itu dengan sengaja? Untuk mengatakan dengan cara yang halus nama suatu penyakit padahal kalian merasa seakan tak bisa bernapas saat penyakit itu menyerang?

Influenza. Namanya terdengar menarik, dan itu membuatku sekacau ini. Aku yakin kalau ini influenza. Itulah kenapa aku bersembunyi di apartemenku selama tujuh hari terakhir. Itu sebabnya aku mematikan teleponku, dan aku hanya meninggalkan sofa untuk ke kamar mandi atau untuk membawa masuk makanan yang kupesan dari petugas delievery. Berapa lama sih flu dapat bertahan? Sepuluh hari? Sebulan? Aku sudah merasakannya seminggu yang lalu.

Alarmku berdering jam 05:00 pagi, seperti biasa. Tapi bukannya bangkit dari tempat tidur untuk pergi ke kantor, aku melemparkan jam itu ke seberang ruangan, hancur untuk selamanya. Jamnya menjengkelkan pula. Jam bodoh. Bersuara bip-bip-bip. Aku berguling dan kembali tidur. Kupaksakan menyeret tubuhku keluar dari tempat tidur, aku merasa lemah dan mual. Dadaku terasa nyeri, kepalaku sakit. Nah, benar kan ini flu? Aku tidak bisa tidur lagi, jadi aku duduk di sini, di sofa tersayangku. Terasa begitu nyaman sehingga aku memutuskan untuk duduk di sini. Sepanjang minggu. Menonton film komedi terbaik Will Ferrell's di plasma TV. Anchorman: The Legend of Ron Burgundy sedang kuputar sekarang. Aku telah menontonnya tiga kali hari ini, tapi aku belum tertawa. Tidak sekalipun. Mungkin keempat kalinya akan berhasil?

Sekarang ada gedoran di pintu apartemenku. Ck, ini pasti petugas penjaga pintu sialan. Untuk apa dia kemari? Dia akan menyesal mengetuk pintuku-menggangguku, aku tak akan memberikan bonus Natal tahun ini, tidak akan! Aku mengabaikan gedoran itu, meskipun muncul lagi. Dan lagi.

"Jongin! Jongin, aku tahu kau ada di dalam sana! Buka pintunya sialan!"

Oh tidak. Ini Si Menyebalkan. Atau dikenal sebagai kakakku, Yuri. Ketika aku mengatakan kata menyebalkan, aku menyebutnya dengan cara sesayang mungkin, aku bersumpah. Tapi begitulah Yuri. Menuntut, berpendirian keras, tak kenal lelah. Aku akan membunuh si penjaga pintuku karena membiarkan Yuri masuk.

"Jika kau tidak membuka pintu ini, Jongin, aku akan menelepon polisi untuk mendobraknya, Aku bersumpah demi Tuhan!" Paham kan apa maksudku kenapa aku memanggilnya Si Menyebalkan?

Aku menggenggam bantal yang berada di atas pangkuanku sejak flu terjadi. Aku menekan wajahku ke dalamnya dan menarik napas dalam-dalam. Baunya seperti vanili dan lavender. Segar dan bersih dan membuat ketagihan.

"Jongin! Kau dengar aku?"

Aku menarik bantal ke atas kepalaku. Bukan karena baunya seperti...'dia'...tapi untuk menghalangi suara gedoran yang terus terdengar di pintu apartemenku.

"Aku mengambil ponselku! Aku sedang menghubungi polisi!"

Suara Yuri merengek memperingatkan, dan aku tahu dia tidak main-main. Aku menghela napas dalam-dalam dan memaksa diri untuk bangkit dari sofa. Berjalan ke pintu membutuhkan waktu yang sangat lama, setiap langkah dari kakiku yang berat dan sakit merupakan upaya keras. Flu terkutuk.

Aku membuka pintu dan menguatkan diri menghadapi murka Si Menyebalkan. Dia menggenggam iPhone terbaru di telinganya dengan satu tangannya yang terawat sempurna. Rambut pirangnya ditarik kebelakang menjadi simpul sederhana namun elegan, dan tas hijau tua tergantung di bahunya, warna yang senada dengan roknya —segalanya tentang Yuri adalah kesepadanan. Di belakangnya, tampak pria berwajah menyesal dalam setelan jas biru yang kusut, adalah sahabat dan rekan kerjaku, Kim Moonkyu. Oh baiklah, aku memaafkanmu, Penjaga pintu. Ternyata si Moonkyu yang harus bersalah, dia harus mati.

"Ya Tuhan!" Yuri berteriak ngeri. "Apa yang terjadi padamu?" Sudah kukatakan pada kalian ini bukan aku yang sebenarnya, kan? Lihat saja Si Menyebalkan juga kaget melihatku.

Aku tidak menjawabnya. Aku tidak punya energi. Aku hanya meninggalkan pintu terbuka dan kembali ke sofa, jatuh dengan wajah terlebih dulu di atas sofaku. Sofaku lembut dan hangat, tapi kukuh. Aku mencintaimu, sofa. Pernahkah aku bilang begitu? Yah, kalau belum, aku memberitahumu sekarang, sofa sayang.

Meskipun mataku terbenam dalam bantal, aku bisa tahu Yuri dan Moonkyu berjalan perlahan ke dalam apartemen. Pasti mereka memasang wajah terkejut melihat kondisi apartemen ini.

"Jongin?" Aku mendengar kakakku bertanya, tapi kali ini ada nada kekhawatiran yang menyelimuti pertanyaannya. Lalu dia marah lagi. "Demi Tuhan, Moonkyu, kenapa kau tidak segera meneleponku? Bagaimana kau bisa membiarkan Jongin seperti ini?"

"Aku belum melihatnya, Yuri!" Kata Moonkyu cepat. Lihat, dia juga takut pada Si Menyebalkan. "Aku datang setiap hari. Dia tidak mau membukakan pintu."

Aku merasakan sofanya turun saat Yuri duduk di sampingku.

"Jongin?" Katanya pelan. Aku merasakan tangannya bergerak lembut sepanjang belakang rambutku. "Sayang?"

Suaranya begitu khawatir, dia mengingatkanku pada ibuku. Ketika aku masih anak-anak dan sakit di rumah, Ibu akan datang ke kamarku dengan membawa cokelat panas dan sup di atas nampan. Dia akan mencium keningku untuk memeriksa apakah masih panas karena demam. Ibu selalu membuatku merasa lebih baik. Memori dan tindakan serupa yang dilakukan Yuri menyebabkan mataku yang terpejam menjadi basah. Apakah aku sedang kacau atau apa sih?

"Aku baik-baik saja, Yuri." Jawabku, meskipun aku tidak yakin apakah dia mendengar suaraku. Suaraku hilang terhalang oleh bantal beraroma manis. "Aku sedang flu."

Aku mendengar suara kotak pizza yang dibuka disusul suara erangan Yuri karena bau keju dan sosis busuk menguar dari dalam kotak itu. "Bukan makanan yang tepat bagi seseorang yang terkena flu, adikku."

Aku kemudian mendengar suara ribut dari botol bir dan sampah, pasti Yuri mulai membereskan kekacauan ini. Aku bukan satu-satunya orang di keluargaku yang terobsesi dengan kerapian, Yuri lebih terobsesi lagi akan itu.

"Oh, apa ini!" Yuri menarik napas dengan tajam, dan menilai dari bau yang bergabung dengan aroma pizza busuk, kupikir dia baru saja membuka kontainer es krim berumur tiga hari yang ternyata masih ada isinya, sudah tiga hari-euh.

"Jongin." Yuri menggoyang bahuku dengan lembut. Aku menyerah dan duduk, menggosok mataku yang kelelahan. "Bicaralah padaku," Yuri memohon. "Ada apa? Apa yang terjadi?"

Saat aku melihat ekspresi sedih dari kakak perempuanku yang menyebalkan, aku teringat ke masa dua puluh dua tahun yang lalu saat aku berusia enam tahun dan hamsterku, Mr. Wuzzles, baru saja mati. Dan itu sangat amat menyedihkan, kebenaran yang menyakitkan mengoyak dari paru-paruku, sama seperti saat aku melihat wajah sedihnya Yuri saat ini.

"Ini akhirnya terjadi."

"Apa yang terjadi?"

"Apa yang telah kau harapkan padaku selama bertahun-tahun," bisikku. "Aku jatuh cinta."

Aku mendongak untuk melihat senyumnya. Jatuh cinta. Itulah yang selalu Yuri inginkan terjadi padaku. Dia sudah lama sekali menikah dengan Sunwoo, telah jatuh cinta dengan Sunwoo jauh lebih lama lagi. Jadi Yuri tidak pernah setuju dengan cara hidupku dan tidak sabar melihatku memiliki hubungan tetap dan berkomitmen. Untuk menemukan seseorang yang akan merawatku, seperti cara dia mengurus Sunwoo, juga seperti ibu masih mengurus ayah kami. Tapi aku bilang padanya itu takkan pernah terjadi, aku tak menginginkan hubungan seperti itu. Kenapa membawa buku ke perpustakaan? Kenapa membawa pasir ke pantai? Kenapa membeli sapi ketika kalian memperoleh susu secara gratis? Kenapa memilih hubungan tetap ketika bisa melakukan hubungan demi kesenangan pada banyak orang yang berbeda? Paham kan maksudku?

Aku melihat Yuri mulai tersenyum. Lalu dengan suara kecilku yang terdengar menyedihkan, yang bahkan tidak kukenali, aku mengatakan, "Dia akan menikah dengan orang lain. Dia tidak...dia tidak menginginkanku."

Simpati menyebar di wajah kakakku, seperti selai di atas roti. Dan kemudian terlihat pancaran tekad di matanya. Karena Yuri adalah tukang beres-beres, dia bisa membuka saluran air yang tersumbat, menambal dinding yang berlubang, dan menghilangkan noda dari karpet manapun. Aku sudah tahu apa yang sedang berputar di kepalanya saat ini: jika adiknya sedang kacau, dia akan segera meluruskan keadaannya lagi. Dan aku juga berharap dapat semudah itu. Tapi kupikir, semua Krazy Glue-Lem Super di dunia ini tidak akan mampu menyambungkan kepingan hatiku menjadi utuh lagi. Apakah aku sudah bilang kalau aku juga seorang yang puitis?

"Oke. Kita bisa memperbaiki ini, Jongin."

Kau tahu apa Yuri?

"Pergilah mandi air panas yang lama. Aku akan membersihkan kekacauan ini. Kemudian, kita akan keluar. Kita bertiga."

"Aku tidak bisa keluar." Apa dia tidak dengar? "Aku sedang flu."

Yuri tersenyum penuh kasih. "Kau perlu makanan panas yang enak. Kau membutuhkan mandi. Setelah itu kau akan merasa lebih baik."

Mungkin dia benar. Apa yang telah kulakukan selama tujuh hari terakhir tidak membuatku merasa lebih baik. Aku mengangkat bahu dan bangun untuk melakukan apa yang Yuri katakan. Seperti bocah empat tahun dengan bantal wooby-nya, aku juga membawa bantal berhargaku. Dalam perjalanan ke kamar mandi, aku aku berpikir keras, berpikir bagaimana semua ini terjadi. Aku punya kehidupan yang baik sekali sebelumnya, tidak pernah kacau seperti saat ini. Sebuah kehidupan yang sempurna. Dan kemudian semuanya berantakan.

Oh—kalian ingin tahu bagaimana? Kalian ingin mendengar kisah menyedihkanku? Baiklah, kalau begitu. Semuanya dimulai beberapa bulan yang lalu, pada malam Minggu yang normal.

Normal, menurutku.

.

.

.

Empat bulan sebelumnya...

.

"Persetan, ya. Bagus. Ya, seperti itu."

Lihat pria itu, yang memakai jas hitam dan sangat tampan? Ya, pria yang sedang endapatkan blowjob dari si seksi berambut merah di kamar mandi? Itulah aku. Aku yang sesungguhnya. MBF: Me Before Flu.

"Ya Tuhan, baby, aku akan keluar."

Bagi para wanita yang sedang membaca ini, izinkan aku memberi kalian suatu saran gratis: Pernahkah ada seorang pria yang baru saja kalian temui di sebuah klub memanggilmu baby, sweetheart, angel, atau panggilan sayang sejenisnya? Jangan salah mengartikan dengan berpikir bahwa dia begitu tertarik padamu, dia sudah memikirkan nama panggilan. Itu karena dia tidak bisa atau tidak peduli untuk mengingat nama kalian yang sebenarnya.

Dan tidak ada gadis yang mau dipanggil dengan nama yang salah ketika dia berlutut memberiku blowjob di toilet pria. Jadi, untuk amannya, aku memanggilnya baby. Nama aslinya? Apakah itu penting?

"Sial, baby, aku keluar."

Dia melepaskan mulutnya dengan suara 'pop' dan menangkap spermaku dengan tangannya seperti pemain football liga utama. Setelah itu, aku pergi ke wastafel untuk bersih-bersih dan menarik retsleting ke atas. Si rambut merah menatapku sambil tersenyum saat ia berkumur dengan sebotol mouthwash untuk bepergian dari tasnya. Menawan.

"Bagaimana kalau kita minum?" Ia bertanya, dengan yang kuyakin adalah suara seksi menurutnya.

Tapi inilah fakta untuk kalian, sekali aku sudah selesai berurusan dengan seseorang, aku benar-benar selesai dengannya, selesai. Aku bukan tipe orang yang naik rollercoaster yang sama dua kali. Setelah dirasa cukup, dan kemudian sensasi itu hilang, begitu pula ketertarikannya. Tapi, dia wanita dan aku harus menghargainya, ibuku membesarkanku menjadi seorang gentleman.

"Tentu, sayang. kau pergi mencari meja, aku akan membawakan kita sesuatu dari bar."

Bagaimanapun, si rambut merah telah berusaha dengan baik untuk mengisapku sampai klimaks. Dia pantas mendapatkan minuman.

Setelah meninggalkan kamar mandi, dia pergi mencari meja, dan aku pergi menuju bar yang oh, begitu ramai. Bukankah aku sudah bilang sekarang malam Minggu, kan? Dan bar bernama REM ini adalah klub terpopuler di Seoul. Setiap akhir pekan aku dan teman-temanku datang ke sini bersama-sama, namun begitu sampai di klub kami terpisah dan aku, tidak pernah sendirian. Tahu maksudku kan? Ya, wanita-wanita itu yang selalu menemaniku. Aku bukan orang jahat. Aku tidak berdusta, aku tidak memaksa wanita dengan kata berbunga-bunga tentang masa depan bersama dan cinta pada pandangan pertama.

Aku orang yang jujur dan terus terang. Aku mencari kesenangan untuk satu malam dan aku memberitahu para wanita itu juga akan kesenanganku itu. Itu lebih baik dibanding sembilan puluh persen pria lain di sini, percayalah. Dan sebagian besar gadis-gadis di sini mencari hal yang sama denganku. Oke, mungkin itu tidak sepenuhnya benar. Tapi aku tidak bisa mencegah jika mereka melihatku, bercinta denganku, dan tiba-tiba ingin punya anak dariku. Itu bukan masalahku, yang penting aku hanya menginginkan kesenangan satu malam dan mereka tahu itu, selebihnya bukan urusanku. Aku memberi mereka kesenangan dan kemudian membayari mereka ongkos taksi. Terima kasih, selamat malam. Jangan telpon aku, karena aku sangat yakin tidak akan meneleponmu. Itu saja.

Akhirnya dapat menerobos kerumunan menuju bar, aku memesan dua minuman. Aku meluangkan waktu sejenak untuk menonton tubuh menggeliat dan meliuk yang melebur satu sama lain di lantai dansa saat musik bergetar.

Dan kemudian aku melihat dia, lima meter dari tempatku berdiri, menunggu dengan sabar tapi terlihat agak gelisah di antara lengan yang terangkat, uang melambai, sekawanan orang yang haus alkohol berusaha untuk mendapatkan perhatian dari si bartender.

.

.

.

TBC...

Sedang tidak punya ide apapun T.T

Jadi aku putusin ngeremake novel ajadeh heheh x3 /ditabok/

Gimana? Lanjut?