Cinta itu seperti perang
Menunggu seseorang menyerang duluan
Ataupun keduanya menyerang secara bersamaan

Cinta itu seperti senapan
Meletus bila pelatuknya ditarik
Dan pelurunya bias tepat pada sasaran
Atau mungkin melenceng jauh

Cinta itu seperti kau dan aku
Bertemu tanpa berani mengatakan
Dan berpisah tanpa mengetahui jawaban

Title : Shot With My Rifle
Part : 1 of dunno XDD
Author : Reika 'El Enma' Rozen
Rating : T
Genre : Action, Drama, Romance
Fandom : Naruto

Pairing : SasuSaku

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning : Violence, Thriller Killing, Kissing, OC

another SasuSaku fict ^^

Hening.

Suara letusan senapan terdengar samar-samar dinaungi kesunyian yang membeku di antara kami semua. Letusan itu mengaum pelan di balik pepohonan yang tinggi dan menaungi kami saat ini.

Hening lagi.

Kemudian terdengar rentetan peluru yang dimuntahkan oleh senapan-senapan yang ada di balik hutan ini. Semuanya saling beradu dengan cepat, muncul desingan-desingan yang ditimbulkan peluru tersebut ketika beradu dengan udara, dan suara jeritan-jeritan kesakitan ketika peluru tersebut berhasil mencapai sasaran : MUSUH.

Tapi, tidak ada satupun dari peluru-peluru yang dimuntahkan oleh senjata-senjata api itu mengenai dan melukai kami.

Kami aman di dalam hutan ini.

Aku mendesah panjang, lelah. Kutatap sosok yang berada di depanku dalam keremangan ini, sosok yang membuat jantungku berrdetak sepuluh kali lebih keras dari kecepatan awalnya. Seolah-olah aku sedang sakaw, di mana pembuluh-pembuluh darahku membutuhkan sesuatu yang dapat menenangkan jiwa ragaku.

Sasuke.

Pria yang sudah cukup lama mengisi hatiku, bahkan hingga ke sudut-sudutnya. Rambutnya berwarna hitam dan terlihat lembut sekali. Kulitnya putih, dan hal itu membuatnya semakin mempesona. Tingginya sekitar dua puluh senti lebih tinggi dariku. Senyumnya selalu menghiasi wajah tampannya, manis. Sasuke benar-benar seorang pria yang menarik. Kadang-kadang harus kulawan perasaanku yang ingin selalu memeluknya, memastikan bahwa ia akan selalu ada di sana. Tapi hal itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin memeluknya, apalagi memlikinya. Karena di antara kami terdapat dinding pembatas yang sangat tebal dan tinggi.

Ino.

Gadis yang setahun lebih tua dariku dan merupakan tunangan Sasuke. Walau lebih tua dariku, Ino berperawakan mungil. Putih. Manis. Cantik sekali. Ino seperti boneka lilin kecil berwajah malaikat yang hidup. Rambutnya pirang panjang dan lurus. Tutur katanya lemah lembut. Bola matanya bulat dan bening, dibingkai oleh sederet bulu mata yang lentik. Ino seperti putri saja, walaupun secara teknis dia memang seorang putri, putri walikota kota tempat kami tinggal.

Ino memang baik, terlalu baik malah. Ia selalu menolong siapa saja yang kesulitan, tidak hanya mau menolong tunangannya. Ia bahkan mau menolongku, yang sebenarnya merupakan saingannya. Kadang-kadang kupikir, Ino itu cuma berpura-pura, mungkin saja ia sebenarnya membenciku hingga ingin sekali mencabik-cabikku hingga tinggal tulang-belulang, tapi demi menarik simpati Sasuke, ia berpura-pura baik padaku. Apalagi ia adalah seorang putri. Sangat tidak mungkin rasanya seorang putrid rajin menolong orang lain.

Tapi, bila melihat sorot mata dan senyumnya saat menolongku, aku tahu bahwa ia tulus, dan langsung kutepiskan jauh-jauh semua prasangka burukku. Kadang-kadang pikiranku terlalu negatif.

Kulihat ino memeluk Sasuke dari belakang, pelukan manja yang disambut oleh sasuke dengan sebelah tangan, tentu saja karena sebelah tangannya sedang mencengkeram erat gagang senapan besar yang digunakannya untuk melindungi kami semua. Kudengar Naruto berdeham-deham.

"Sasuke, ehm… di saat perang begini pun kamu masih saja sempat bermesra-mesraan dengan Ino," goda Naruto, sepertinya ia mengedipkan sebelah matanya pada pasangan itu.

Dalam keremangan, samar kulihat wajah sasuke bersemu merah, sedangkan Ino tersenyum malu-malu. Hal yang membuat hatiku tertembak beribu-ribu peluru yang diletuskan oleh senapan-senapan itu.

Hening.

Letusan senapan terdengar lagi. Kali ini suaranya terdengar tepat di belakang kami. Sasuke, Naruto, dan Sasuke langsung waspada. Senapan mereka yang penuh terisi peluru tampak berjaga-jaga, bersiap menembak siapa saja yang lewat di depan mereka. Samar-samar tedengar derap langkah kaki, satu, mungkin dua orang. Ah, bukan. Terdengar seperti langkah tiga pasang kaki dan nafas yang terengah-engah. Tiga orang? Sepertinya hal ini tidak akan menguntungkan Sasuke dan yang lainnya. Mereka memang bertiga, tapi mereka kan harus melindungiku dan Ino?

Tanpa sadar aku melupakan sebuah pistol otomatis yang sedari tadi berada dalam genggaman tanganku. Ups, ternyata aku salah seorang yang harus melindungi Ino, walau aku juga seorang gadis. Ya, aku—Haruno Sakura—memang seorang gadis, tapi bukan tipe gadis yang harus dilindungi, aku malah harus melindungi.

Mungkin inilah sebabnya Sasuke tidak tertarik padaku. Aku tidak lembut.

Langkah-langkah itu semakin dekat. Kupasang telingaku dan kupaksa kedua mataku menerima kegelapan hutan dan memicingkan mata, berusaha melihat siapa yang datang begitu muncul siluet dari… entahlah, aku tidak tahu siapa itu. Kulihat lewat sudut mataku, punggung Sasukemenegang. Kutegakkan juga senapanku, waspada.

"Diam di tempat, Sakura." Kudengar suara Kenzo bergumam pelan ke arahku. "Aku akan melindungimu dan Ino."

Hanya dua patah kalimat pendek, tapi terasa menyelimutiku dengan perasaan bahagia, terutama tiga kata pertama dari kalimat kedua. Ia tidak menganggapku seperti gadis pelindung seperti halnya SNaruto sering mengolok-olokku.

"Jangan bercanda kau, Teme." Naruto sepertinya setengah tertawa, suaranya seperti mendesis. "Sakure bisa melindungi dirinya sendiri, bahkan ia juga bisa melindungi kita semua!"

Tuh kan...

Aku mendesis kesal mendengar kata-kata Naruto. Dasar menyebalkan!

"Sekuat apapun dia, Sakura tetaplah seorang gadis, dan aku mempunyai prinsip tidak akan membiarkan seorang gadis bertempur melindungiku." Aku terpana mendengar kata-kata Sasuke. Perasaan hangat menyelubungi hatiku. Ahh, Sasuke memang baik, teramat sangat baik.

"Ssssttt..." Shikamaru mendesis tepat saat aku akan menendang tulang kering Naruto. "Sekarang bukan saatnya bertengkar. Kita harus waspada pada orang di sana." Ibu jarinya menunjuk ke arah siluet yang masih melangkah pelan-pelan itu, walau pelan tapi tetap saja suara sepatu boot yang berat dan beradu dengan tanah itu terdengar. "Tarik kakimu, Sakura. Seorang gadis tidak boleh menendang sembarangan."

Aku cemberut. Kufokuskan seluruh perhatian pada indera pendengaranku. Jarak pendatang itu dan kami semakin kecil. Bagaimana kalau orang itu adalah tentara pihak musuh? Apakah aku akan siap untuk menembaknya secara cepat?

Kuperiksa selongsong pistolku. Pelurunya masih cukup banyak untuk menembak kalau-kalau para pendatang itu adalah musuh dan aku menembak melenceng dari sasaran dan membutuhkan banyak peluru ekstra untuk menembaknya secara akurat di dalam kegelapan.

Langkah-langkah itu semakin dekat dan akhirnya berhenti di depan kami. Sesosok pria yang rasanya kukenal, dan seekor... anjing? Anjing yang terlihat berwarna hitam besar yang di sekeliling pinggangnya terikat sebuah sabuk dengan beberapa kantong yang kurasa isinya amunisi.

"Kiba...?" Kami semua terperangah menatapnya. Kiba tersenyum pada kami sambil mengangkat topinya begitu melihatku dan Ino.

"Apa kabar?" tanya Kiba. Matanya dengan lincah mengamati keadaan kami, terutama pada senapan Sasuke, Naruto, dan shikamaru, Ino yang bersembunyi rapat di punggung Sasuke, dan pistol di tanganku. "Ahaha, kalian pasti mengira aku tentara Hanayamadachi kan?"

Hanayamadachi adalah sekelompok besar orang barbar yang berusaha merebut kota tempat kami tinggal, Yunazakurekamayouchi (wueehh, namax pnjg !! XP). Desas-desus mengatakan bahwa Hanayamadachi adalah salah satu bagian dari Yakuza. Kalian tahu sendirilah bagaimana tabiat para Yakuza itu. Seluruh penduduk Yunazakurekamayouchi harus bekerja sama melawan Hanayamadachi bila ingin mereka bebas. Para wanita dan anak-anak diungsikan ke kota sebelah, sedangkan para pria dan anak muda bahu-membahu melawan Hanayamadachi. Aku tidak rela bila Sasuke dan teman-teman yang lain terjun sendiri ke medan perang, oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk ikut membantu mereka bertempur. Walaupun perempuan, aku cukup mahir dalam penggunaan senjata api. Sasuke sebenarnya tidak setuju aku ikut, begitu pula Naruto dan Shikamaru. Mereka menganggap aku berada dalam kawasan berbahaya. Tapi karena Ino juga memaksa ingin ikut, dengan berat hati Sasuke mengizinkan. Sasuke tidak pernah mengatakannya secara langsung, tapi bisa kulihat dari pancaran sorot matanya, kurasa ia tidak senang dengan kehadiranku di sini.

Kualihkan pandanganku pada anjing besar yang ternyata berbulu putih itu itu, rasanya aku mengenalnya. Ia seperti...

"Akamaru?" Tanpa sadar bibirku bergetar saat menyebutkan nama itu. Anjing itu mendongak, lalu menyalak pelan. Kiba menyeringai saat menatapku.

"Kau masih ingat pada Akamaru?" katanya sambil membelai-belai kepala Akamaru. Aku mengangguk senang dan detik berikutnya Akamaru sudah melompat menerjang dan menjilati wajahku.

"Kukira dia hilang." Aku memeluk Akamaru.

Suasana tegang yang tadi sempat terbentuk di antara kami pun mencair. Setidaknya untuk saat ini. Aku sempat melirik Sasuke dari balik tubuh Akamaru. Ia menghembuskan nafas lega, ada sedikit raut bahagia di wajahnya yang telah tegang selama tiga kali dua puluh empat jam ini. Diam-diam aku pun tersenyum.

======================================== to be continued ~~

yaaaaaaaaaaaaa ~~

nyambung !!

gimana gimana gimana ??

*ditampol karna berisik*

sudikah readers memberi review ???

-reika rozen-