Disclaimer : TO kuadrat
Warning : OC! Bakalan eksis ampe tamat (bukan tokoh utama)! Alur cerita yang aneh
.
Happy Reading
.
.
Chapter 1 : Awal
.
.
Mello's POV
Aku berdiri di bawah pohon besar satu–satunya di halaman belakang Wammy's House. Hampir satu jam aku berdiri disini. Diam. Tanpa melakukan apapun. Semua sumpah serapah, makian, dan semua hal untuk melampiaskan emosiku sudah kulakukan. Aku capek. Lelah… tapi, semua ini terus berlanjut.
Ya… aku kalah lagi. Dari Near.
Aku mencoba dan mencoba. Lalu aku kalah dan kalah.
Hahh… apa aku tidak bisa menang darinya?
Kenyataan bahwa dia lebih kecil dan lebih rapuh dariku membuat harga diriku terluka. Buuk! Tanganku memukul pohon itu. Tidak sakit. Karena aku sudah biasa memukul, baik benda hidup maupun mati.
Hah… jika ingat memukul, jadi ingat dengan sahabatku, Matt. Dia pasti sedang mencariku sekarang. Entah kenapa, terkadang aku heran dengannya. Berapa kalipun aku memaki, memukul atau mengusirnya, dia pasti akan kembali ke sisiku. Walaupun aku lega dengan semua itu. Itu artinya dia tidak akan meninggalkanku yang tempramental ini. Aku sadar kalau aku tempramental, aku tak ingin mengubahnya, justru aku bangga dengan hal itu.
Pernah aku bertanya pada Matt, mengapa dia begitu setia padaku, sampai–sampai dia dijuluki anjingku oleh semua anak Wammy's House.
"Kenapa sih, kau itu selalu mengekoriku, Matt? Kau tidak capek apa selalu bersamaku?" tanyaku disuatu hari.
Matt hanya tersenyum. "Kau itu bodoh sekali, Mello. Masa hal seperti itu saja tidak tahu."
Cuma itu yang dikatakan Matt, karena aku keburu menempeleng kepalanya lantaran kesal. Kenapa sih? Ditanya baik–baik, malah dibilang bodoh. Bilang saja kenapa sih?
"Meeeelllo!" seru seseorang yang sudah aku hapal suaranya. Matt. Dia berlari kearahku dengan sesuatu ditangannya. Sebuah tas plastik warna hitam. Apa ya, isinya?
"Yo, Matt. Kau bawa apa?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah duduk bersandar dibawah pohon. Dia tersenyum melihatku dan menepuk–nepuk tempat disampingnya, menyuruhku duduk didekatnya. Senyumnya manis sekali. Padahal dia lebih muda satu tahun dariku, tapi dalam pandanganku dia seperti anak berumur 10 tahun. Sering tersenyum, suka main game, dan selalu mengekorku seolah–olah aku induk ayam saja.
"Isinya apa Matt?" tanyaku sekali lagi. Kalo dia berani menyuruhku mengulang pertanyaanku sampai tiga kali, kupastikan dia akan menyesal.
Matt memberikan bungkusan itu padaku, dan aku membukanya. "Coklat. Tadi aku beli. Aku tau kau sedang kesal, Mells, jadi aku membelikanmu cokelat. Makanlah! Semuanya milikmu."
Aku sedikit terharu. Entah sudah berapa kali Matt memberiku cokelat (sebenarnya setiap hari sih). Yah, kenyataan kalau dia melakukan untukku, yah… tapi sayang, kata terima kasih tak ada dalam kamusku, jadi…
"Baguslah kalau kau sadar, Matt!" Aku pun memakan semua cokelatku tanpa memperhatikan keberadaan orang yang memberiku cokelat. Oke, memang mudah sekali bagiku untuk membuat orang kesal atau kecewa padaku. Aku tak peduli. Aku tak butuh siapapun disisiku. Lagipula, apapun yang aku lakukan, Matt akan tetap di sisiku, jadi, untuk apa aku bersikap lembut kepadanya?
Kami terdiam sesaat. Matt memainkan PSP-nya lagi. Aku hanya mendengus melihatnya. Mainan tak penting. Cih! Aku jadi kesal lagi. Ingat mainan, ingat Near. Suatu saat aku PASTI akan mengalahkannya. Liat saja, Albino sialan!
Matt memasukkan PSP-nya. "Mells?"
"Hng?"
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Kau keliatan kesal."
Aku kaget. Bukannya dari tadi dia sibuk dengan PSP-nya? Bagaimana dia bisa tau? "Berisik kau Matt. Diamlah."
Matt mengangkat alisnya, "Oke. Lagipula kau sudah tidak kesal lagi."
Aku menatap Matt yang memainkan PSP-nya lagi. Bagaimana dia tahu kalau aku sudah tak kesal lagi? Apa dia juga tahu, aku sudah tak kesal lagi karena… uhuk! Perhatiannya? Oke, aku merinding memikirkan kata–kata itu.
.
mmmoooonnn
.
Badanku sakit semua. Terutama persendian dan daerah sekitar perut. Aku tidak mengerti keadaan tubuhku. Dan hal ini mencapai puncak dengan meledak–ledaknya emosiku. Aku yang temperamental ini, menjadi lebih hyper lagi. Biasanya aku tak pernah marah–marah tanpa alasan. Tapi sekarang, entah kenapa aku seperti bom yang siap meledak kapan saja.
Aku merasa marah pada semua orang. Tanpa tahu alasannya. Itu membuatku tambah senewen dan uring–uringan. Jadi, selama seminggu ini tidak ada yang berani mendekatiku. Bahkan Roger pun angkat tangan. Semuanya takut padaku. Semuanya… kecuali Matt.
Tentu saja itu berarti Cuma dia satu–satunya orang yang merasakan amukanku. Seperti sekarang ini.
"MATT!"
Matt berbalik dari posisinya yang membelakangiku. Dia sedang memainkan PSP sialannya itu. "Ya, Mells?"
"Mana cokelatku? Mana?" tanyaku galak. Oke, aku lapar, perutku sakit luar biasa. Dan saat aku membuka kotak penyimpanan cokelatku, yang kulihat hanya kosong melompong. Aku kesal. Biasanya selalu penuh diisi cokelat oleh Matt. Tapi sekarang?
"Oh, sudah habis ya?"
"Tentu saja! Kalo begitu, untuk apa aku bertanya padamu! Kenapa bisa sampai habis, Matt!"
"Sory, Mels, aku gak tau-"
"GAK TAU? Kau itu lupa atau gak tau?" jeritku. Pasti terdengar sampai ruang makan. Perasaanku saja, atau suaraku lebih cempreng ya?
"Maaf, Mels," jawab Matt dengan kepala tertunduk. Biasanya aku pasti selesai marah–marah saat dia seperti itu. Tapi, ini berbeda. Aku belum puas marah–marah.
"CHE! KAU BETUL–BETUL TIDAK BERGUNA, MATT!" teriakku seraya keluar dan membanting pintu dengan keras.
"Mello!" Matt berusaha mengejarku. Che! Dasar orang itu!
"Jangan mengikutiku, Matt! Kubunuh kau, kalau berani mengikutiku!" teriakku. "Aku muak padamu!"
Aku terus berlari tanpa mempedulikan Matt. Lebih baik aku menyendiri daripada marah–marah padanya.
"Sudah jangan dikejar. Saya rasa dia perlu menyendiri sementara waktu," ujar seseorang dibelakang Matt.
"Near..." Matt terdiam. "Mungkin kau benar."
"Tidak biasanya Mello seperti itu," kata Near.
Matt hanya bisa mengiyakan dalam hati.
.
mmmoooonnn
.
Normal POV
Mello menghela nafas. Lagi. Entah yang keberapa kali. Kenapa dia bisa seperti ini?
"Che. Menyebalkan. Mudah–mudahan Matt tidak marah padaku."
Mello terdiam. Lalu dia merebahkan tubuhnya di bawan pohon besar itu. Nyaman sekali rasanya. Sudah lama dia tidak tenang seperti ini. Tanpa terasa, dia pun tertidur lelap, sampai–sampai dia tidak menyadari ada seseorang yang memperhatikannya dari tadi.
Orang itu berjalan dengan anggun sambil membawa sebuah boneka beruang hitam kelam yang berisi pita dilehernya dengan nada serupa. Cara berpakaiannya mirip seperti Mello. Gothic. Semuanya serba hitam. Bahkan rambutnya yang panjang berwarna hitam. Kecuali warna kulit dan matanya.
Gadis yang sangat cantik dan elegan. Walau agak menakutkan.
Dia duduk disamping mello yang tertidur lelap. Gadis itu membelai rambut Mello. Satu helai rambut didapatkannya dan disimpan. Entah apa yang dia pikirkan.
Gadis itu tersenyum sambil memandangi Mello, "Cantik sekali."
Mello terbangun mendengar suara. Saat dia membuka mata, ada seorang gadis aneh berpakaian hitam yang tersenyum padanya.
"Halo. Sudah bangun?"
Mello terdiam. Dia memikirkan kata yang mengakibatkan dia terbangun. Apa tadi dia bilang? Cantik?
"Apa maumu, hah?" tanya Mello kesal.
Gadis itu tersenyum lagi. "Hanya ingin berkenalan. Lagi pula seorang dokter harus akrab dengan pasiennya kan?"
Hah?
Mello bingung.
.
mmmoooonnn
.
Prahara itu datang dengan perlahan. Mello sama sekali tidak mengetahui bahwa gadis itu membawa perubahan yang cukup besar dalam hidupnya. Membawakan pilihan yang sulit baginya. Hingga mungkin dia akan kehilangan jati dirinya.
.
.
T*B*C
.
Hah... chapter satu selese. Luna gak tau apa ini menarik atau enggak. Riview please. Kasi kritik juga gak apa – apa kok! Biar author baru ini ngeh ama kesalahannya. Oh,iya, Luna nampilin OC. Dan yang jelas dia bakalan eksis ampe tamat. Tapi dia bukan tokoh utama koook... yah, mungkin?
The last, riview plisssssssssss!
