Disclaimer: hetalia axis powers (c) hidekaz himaruya. how I met you (c) faneda. coverpic belong to its owner.

Tidak ada keuntungan materi yang saya dapat dari benda 'ini'.

Warning: semi-ooc, au, misstypo, semi-flufy, kumpulan oneshot nethfemindo, alur maju mundur, minim deskrip.


HOW I MET YOU

.

Deel Een : Voorstellen

.

.

Wanita berkulit kuning langsat khas Asia itu menatap heran sekaligus terkejut pada seorang pria berkulit putih khas Eropa yang kini tengah berlutut—dengan bertumpu pada satu kaki—di hadapannya. Netra cokelat karamelnya terpaku pada netra hijau daun milik si pria. Ia gugup sekarang. Membuat wanita itu ingin sekali mengalihkan pandangannya ke arah hamparan bunga tulip berbagai warna yang terbentang luas di sekitar mereka. Tapi, sayangnya ia tak bisa. Tatapan pria berambut pirang itu terlalu memesona. Meskipun tak pernah diakuinya, tatapan seorang Willem Andersen—nama pria itu—sanggup melelehkannya.

"Biar kuberitahu tiga hal perubahan yang diinginkan oleh seorang pria dari wanitanya."

"Dan apakah itu berhubungan dengan kenapa kau mengajakku ke sini?"

Willem mengangguk, "Tiga hal tersebut adalah nama belakang, tempat tinggal, dan pandangannya pada sang pria."

"Jadi...?"

"Maukah kau membantuku untuk memenuhi tiga hal tersebut?"

"Tentu." Jawab wanita bernama Kirana Kusnapaharani dengan entengnya dan tatapan polos. Willem tersenyum hingga matanya hampir menyipit—merupakan hal yang sangat jarang dilakukannya—membuat Kirana terheran-heran.

...

Setelah menceritakan pada Bella apa yang dipinta Willem, adik Willem yang memiliki kitty-smile itu langsung berteriak heboh.

"Congrats! Akhirnya Broer melamarmu!"

Namun Kirana masih tak mengerti. Ia masih linglung rupanya.

"Melamar?"

Bella mengangguk antusias. Dan Kirana merasakan telinganya memerah.

.

.


Deel Twee : Lief

.

.

Kirana Andersen, begitulah nama seorang wanita berumur dua puluh tiga tahun yang pagi ini tengah menyiapkan sarapan untuk suaminya. Tepat seminggu yang lalu ia—Kirana Kusnapaharani—resmi mengubah nama belakangnya menjadi Andersen.

Tangannya bergerak lincah saat menaruh alat makan di atas meja. Tepat di atas dua atas piring di atas meja makan terdapat makanan khas Negara Indonesia, nasi goreng, buatan Kirana. Dari semua masakan khas negara asal istrinya yang pernah dicicipinya, nasi goreng adalah favoritnya.

Dan oleh sebab itu, Kirana senang memasakkan itu untuknya. Membuatnya mengacuhkan eksistensi nasi goreng yang masih hangat miliknya. Bibirnya melengkung ke atas sedikit, salah satu tangannya menumpu pipi, sedangkan manik chesnut-nya menatap gemas ke arah Willem. Ia sungguh tak bisa mengalihkan matanya dari Willem yang sedang melahap sarapannya dengan lahap.

Belepotan, tapi lucu, seperti anak kecil saja, batin Kirana.

Si pria Belanda yang mengetahui kelakuan istrinya berhenti makan sejenak untuk menatap Kirana dengan dahi berkerut.

"Kau tidak makan, Lieve?"

"Nanti saja."

Dan Willem melanjutkan makannya. Selesai menandaskan sarapannya, Kirana lekas mengelap pipi Willem dengan tisu membuat si empunya sedikit merona.

"Emm, Kir?"

"Jangan ge-er! Aku hanya tidak ingin orang lain melihatmu belepotan seperti anak kecil," ujarnya membuat Willem tersenyum miring. 'Setidaknya hanya aku yang boleh melihat wajah menggemaskan itu.' Tambah Kirana dalam hati.

Tersenyum tipis, Willem membalas, "Terima kasih."

BLUSH

.

.


Deel Drie: Tulip en Jasmijn

.

.

Semenjak menikah dengan Willem Andersen, Kirana berpindah ke Amsterdam, Belanda. Menetap di sebuah rumah bertingkat dua yang cukup besar dengan halaman depan dan belakang yang cukup luas. Tampak depan rumah itu dicat warna biru muda. Pagar besi setinggi dua meter pun berdiri tegak di depan rumah.

Awal kepindahan Kirana, wanita Asia Tenggara itu masih merasakan rindu yang mendalam akan keluarganya di Bandung, Indonesia.

"Bagaimana kalau kubuatkan sepetak khusus untuk bunga melati di halaman depan dan belakang? Di rumahmu dulu ada banyak bunga melati, bukan?" usul Willem yang tak tega melihat raut muka Kirana.

Wanita itu senang bukan main mendengarnya hingga ia langsung menghambur ke pelukan Willem. Willem yang tak menyangka respon Kirana hanya bisa memerah padam.

"Tapi rasanya tidak adil bila hanya melati. Kau juga harus menanam tulip warna-warni ya?"

Willem mengangguk.

..

Esoknya, mereka berdua menanam bunga tulip dan melati di halaman depan dan belakang rumah mereka. Psst, Willem tersenyum tipis melihat Kirana-nya ceria. Sedikit memerah melihatnya hanya memakai one piece dress berwarna putih tanpa lengan, dan sebatas lutut.

.

.


Deel Vier : Zoen, Wang of Lip?

.

.

Willem dan Kirana berjalan ke arah pintu depan. Pukul tujuh pagi dan itu adalah waktu bagi Willem untuk mulai mencari nafkah. Willem memegang kenop pintu namun belum berniat untuk membukanya. Pria bersurai pirang jabrik itu lalu menoleh ke arah sang isteri. Kirana memiringkan kepalanya dengan bingung, "Ada apa?"

"Kissbye-nya mana?"

Kirana merasakan pipinya memanas. Ia—atau mungkin juga Willem—tahu selama mereka berpacaran, Kirana jarang sekali memberi ciuman atau kecupan pada Willem. 'Tradisi orang Indonesia', katanya. Sekalipun dapat, itu pasti sebatas kecupan di pipi. Dan itu dulu saat mereka masih berpacaran. Sekarang mereka resmi suami isteri dua hari yang lalu. Apa ia beri kecupan di pipi saja?

Ia jadi bingung.

"Lieve?"

"Kau terlalu tinggi, bodoh."

Willem terkekeh kecil dalam hati. Ujung kepala Kirana hanya sebatas dada Willem. Setelah Willem menundukkan tubuhnya sedikit, Kirana mencium kedua pipi Willem. Willem mengerjap. Sedikit kecewa memang. Dalam hatinya berharap bukan di pipi.

"Bibir?"

"Hah? Cepat berangkat sana, nanti kau terlambat."

~O~

Kring... kring...

'Kediaman Andersen di sini.'

"Bella?"

'Kirana! Ada apa?'

"A-aku—"

'Dari caramu berbicara, biar kutebak, hal yang akan kau bicarakan pasti berkaitan dengan Broer, bukan?'

"I-iya..."

'Oke, aku mendengarkan.'

"Begini, sewaktu kita belum menikah, aku hanya menciumnya di pipi. Kau tahu kan budayaku berbeda denganmu."

Kirana yakin Bella di lain tempat sedang mengangguk.

"Sekarang, saat kita resmi menikah, tadi pagi ia memintaku m-me-menciumnya. Lalu—"

'Kau menciumnya di pipi. Padahal di dalam hati kau merasa tak enak."

"I-iya."

'Kalau begitu, bibir saja.'

"Hah? T-tapi—"

'Apa saat malam pertama kalian, kalian sama sekali tak berciuman di bibir?'

"I-itu... kondisinya berbeda, Bel."

'Oke, dengarkan aku. Mencium di pipi di sini itu wajar sebagai salam. Bahkan tidak harus sepasang kekasih. Ciuman di bibir tentu saja lebih intim dan lebih ke arah perasaan dua orang insan. Hanya sepasang kekasih yang melakukannya.'

"Jadi..."

'Buktikan hanya kau yang layak mendapatkan bibirnya.'

"...Terima kasih."

'Anytime, sis.'

~O~

"Aku pulang." Terdengar suara baritone milik seorang pria berperawakan tinggi tegap begitu menapakkan kakinya di lantai rumahnya. Mata hijaunya celingukan mencari seorang wanita berambut coklat sepunggung. "Kirana? Kau di mana?"

"Di tangga."

Willem melangkahkan kedua kaki berbalut celana panjangnya ke arah tangga. Alisnya terangkat satu begitu melihat Kirana bergeming di anak tangga ketiga. "Apa yang kau lakukan?"

"Mendekatlah."

"Oke."

Chu~

"Kirana? Kukira kau—"

"Jangan percaya diri, itu hanya untuk menebus apa yang belum kulakukan pagi tadi."

Seringai jahil, "Baiklah, anggap saja begitu."

..

Faktanya, kini, setiap pagi, sebelum Willem berangkat bekerja, Kirana akan memberi 'salam spesial' di bibir Willem.

.

.


Deel Vijf : Sorry

.

.

Suatu hari, saat burung-burung gereja berkicau dan sang mentari masih menyembul malu-malu di khatulistiwa, Willem dan Kirana bertengkar hebat karena suatu hal yang diinginkan Kirana. Bukan pertengkaran seperti biasanya yang biasa mereka lakukan dengan adu mulut. Hari ini, dua piring pecah, dan yang paling parah Willem sampai mendorong mendorong tubuh Kirana hingga menabrak dinding. Kirana jatuh terduduk dan bergeming beberapa detik karena syok. Willem lalu pergi meninggalkan Kirana membereskan pecahan piring sendirian.

Baru dapat beberapa langkah, ia menghentikan kedua kakinya. Menoleh, dipandanginya sebentar sekumpulan bunga tulip warna-warni yang berjejer rapi di sebelah sekumpulan bunga melati di halaman depan rumahnya. Sekelebat memori menyenangkan—saat dia dan Kirana menanam bunga bersama—terlintas di benaknya.

Sembari menggigit bibir bawah, Willem berjalan mendekati bunga-bunga itu lalu memetik lima tangkai tulip warna putih.

Tersenyum sendu, ia kembali masuk ke dalam, ke tempat isterinya berada. Kembali ke dapur ia melihat Kirana sedang berjongkok memunguti pecahan piring. Willem tahu dan yakin, meskipun tak mengeluarkannya, Kirana menangis dalam hatinya.

Willem melangkah perlahan. Hening menyelimuti ruangan tersebut. Hanya suara sepatu pantofelnya yang berciuman dengan lantai yang terdengar. Willem tak tahu, Kirana memang sengaja tak menghiraukannya atau karena ia sedang melamun.

Willem pun berjongkok di sebelah Kirana. Tanpa aba-aba, ia langsung merengkuh tubuh mungil Kirana. Tak ada penolakan, tak juga balasan.

"Kirana Andersen, maafkan aku."

Tangis Kirana pecah saat itu juga. Seolah sederet kalimat yang meluncur keluar dari sang suami memiliki kekuatan magis tersendiri.

Lima tangkai tulip yang semula di genggaman Willem kini berpindah ke genggaman Kirana. Kirana mencengkeram erat jaket Willem.

"Jangan tinggalkan aku lagi..."

"Tak akan."

"Aku tak mau kehilangan lagi."

"Aku janji."

Lagi. Willem tahu, Kirana tak ingin kehilangan dirinya sama seperti saat dia kehilangan pemuda asal Negari Sakura. Sayangnya, dia salah.

.

.


Deel Zes : Begeren

.

.

Penyebab kenapa Willem dan Kirana bertengkar hebat pagi itu adalah karena Kirana ingin ke Tokyo, Jepang bertemu dengan Kiku Honda. Hari itu juga!

"Ada keperluan apa kau denganya?"

"Entahlah."

"Entahlah?"

"Yah... aku sendiri tak tahu. Yang jelas aku hanya merasa harus bertemu dengannya."

"Itu saja?!"

Kirana mengangguk kalem. Willem menatap tajam, "Tidak."

"Ayolah, Will..."

"Tidak, Kir."

Beberapa menit ke depan Kirana habiskan dengan tetap merengek pada Willem. Willem yang tak tahan dan saat itu sedang dikuasai amarah langsung mendorong tubuh Kirana hingga menabrak dinding. Dua piring pecah saat Willem menghantam meja dengan kepalan tangannya. Pria itu lalu beranjak pergi meninggalkan Kirana.

Namun, tak berselang lama, Wilem kembali dengan lima tangkai tulip putih—yang berarti permohonan maaf—di genggaman tangannya. Dipeluknya erat tubuh sang isteri sembari membisikkan kata 'maaf' berulang kali. Hingga lima tangkai tulip yang baru dipetiknya dari halaman belakang berpindah ke genggaman tangan Kirana.

Pada akhrinya, Willem menuruti keinginan Kirana untuk bertemu dengan mantan kekasihnya di Jepang. Sedikit informasi, beberapa bulan setelah setelah keluarga Andersen kembali ke Belanda, Kiku Honda datang dan menjadi dekat dengan Kirana hingga akhirnya ia menyatakan perasaannya dua bulan setelah berteman. Ya, Kiku Honda adalah pacar pertamanya. Hubungan dua orang Asia itu hanya bertaman selama sepuluh bulan. Karena setahun setelah berada di Indonesia, Kiku harus kembal ke Jepang—masa pertukaran pelajar telah usai.

Dan Kirana tak yakin dengan hubungan jarak jauh, oleh karena itu hubungan mereka kandas saat mereka berdua mengucapkan 'sampai jumpa' di bandara.

~O~

"Jadi... ada angin apa yang membawa Kirana-chan dan Willem-san daatang kembari?"

"Emm, Kichan?"

Willem mendengus mendengar nama panggilan khusus untuk Kiku. Dalam hati ia misuh-misuh tak diberi panggilan sayang dari Kirana.

"H-ha'i?"

Willem mendecakkan lidah begitu melihat Kiku tampak seperti orang yang gugup-karena-bertemu-dengan-sang-mantan.

"Boleh aku memegang pipimu?"

"H-hai, d-do-dozou."

Kali ini Willem melotot tak suka begitu melihat jemari lentik isterinya mengelus pipi Kiku.

"Terima kasih, Kichan."

"Douitashimasu."

"Tunggu, kau berjanji akan memberitahuku alasanmu ingin bertemu Kiku."

Kirana terlihat gugup. Garis-garis rona merah muda menghiasi pipi ranumnya. "S-sebenarnya ini keinginan 'dia."

"'Dia'?"

"Calon buah hati kita."

Willem spontan memeluk tubuh Kirana erat sambil bergumam 'terima kasih'. Sementara pria Asia Timur di ruangan itu tersenyum segaris.

.

.


Deel Zeven : Voetbal

.

.

Kirana terduduk dengan memeluk kedua lututnya di pinggir lapangan. Menatap penuh rasa tidak suka dengan alis berkerut pada seorang remaja Belanda—bernama Wilem Andersen—yang dengan lincah menggiring bola. Bersama dua temannya dari Eropa; Antonio dan Lovino, mereka bertiga bermain sepak bola bersama sekumpulan remaja lelaki di tempat tinggal Kirana.

Awalnya, gadis remaja berusia empat belas tahun itu ikut bermain sebagai gelandang tengah. Teman-temannya pun mengakui kehebatannya memainkan permainan anak cowok itu meskipun ia sendiri adalah seorang perempuan.

Namun, semua berubah ketika Willem melihatnya di-tackling oleh pemain lawan. Tidak ada yang cedera memang. Tapi Willem langsung menggantikan dirinya dengan adik laki-lakinya yang kebetulan lewat; Abel.

Willem dan keluarga kecilnya menetap sementara di Indonesia karena pekerjaan ayahnya. Rumahnya dan Kirana bersebelahan, di salah satu perumahan elite di daerah Bandung, Jawa Barat. Hari pertama mereka pindah, keluarga Kirana menjamu mereka dengan berbagai masakan khas Indonesia.

Waktu tahu salah satu hobi Kirana adalah bermain bola, mereka berdua menjadi semakin dekat. Setiap sore, biasanya mereka habiskan waktu bersama di halaman rumah Willem sambil bermain bola.

Sedangkan Antonio F. Carriedo dan Lovino Vargas adalah teman dekat Willem di Negeri Kincir Angin. Mereka berdua sengaja datang jauh-jauh untuk menghabiskan liburan musim panas mereka bersama Willem sekaligus liburan di Indonesia, katanya.

"Kirana~"

Si empunya nama menoleh ke asal suara. Ke arah adik perempuan Willem bernama Bella yang tengah berlari ke arahnya. Bella kemudian menjatuhkan bokongnya di sebelah Kirana, di atas rerumputan. "Kau tidak ikut bermain?"

Kirana cemberut. Masih menatap tajam kakak Bella tanpa menoleh ke arah samping kirinya tempat gadis pirang berbandana hijau itu. "Kakakmu tak mengizinkanmu."

"Eh? Tak seperti biasanya. Memang apa yang terjadi?"

"Setelah aku di-tackling pemain lawan, aku terjatuh. Ia langsung menggantiku dengan Abel yang kebetulan lewat, padahal aku tidak cedera sama sekali."

"Ahaha, Broer menyayangimu."

"Hah? Kau bicara apa sih?"

Dan Bella memilih bungkam tak mau menjelaskannya.

Yang Kirana tak tahu—dan mungkin Bella tahu—Willem cemburu sekaligus khawatir. Sejak saat itu, Willem tak pernah mengizinkan Kirana ikut bermain sepak bola bersamanya kecuali hanya berdua di halaman rumahnya.

.

.


Deel Acht : Eerst Ontmoeten

.

.

Hari dimana keluarga Kirana menjamu keluarga Andersen, Kirana bersikap ramah pada anggota keluarga Andersen. Namun, tidak pada satu Andersen yang sepengetahuannya mencuri-curi pandang padanya. Begitu ia menangkap basah Willem sedang menatapnya, maka di detik itu pula Willem akan mengalihkan pandangan. Ia merasa ada yang aneh dengan pemuda berambut jabrik itu. Dan ia juga merasa kesal.

"Nah, Kirana, perkenalkan, ini Willem Andersen, umurnya kini 18 tahun." Ujar Ms. Andersen dengan bahasa Inggris pada Kirana. Senyum lebar menghiasi wajah cantiknya.

"Hai Willem." Balas Kirana tersenyum miring.

Kedua orang tua Kirana tersentak begitu putri mereka memanggil seorang yang jelas empat tahun lebih tua darinya tanpa sebutan 'Kak'. Mereka serta Kirana juga heran kenapa Willem biasa saja dengan sikapnya.

"Oh, hello Kirana." Balas Willem tersenyum.

Ah, mungkin keluarga Kirana lupa akan normalnya orang Barat memanggil saudara yang lebih tua tanpa sebutan 'Kak'. Meskipun tidak semua, sih...

Psst, hal aneh yang dirasakan Kirana begitu pertama kali bertemu Willem adalah adanya sinyal-sinyal pedo!

.

.

Deel Negen : Ambitie

.

.

Malam itu, saat beribu-ribu bintang bertabur di langit malam, Willem, Kirana, Bella, Abel, Antonio, dan Lovino berbaring di atas rerumputan di halaman belakang rumah keluarga Andersen yang beralaskan selimut. Mereka berbaring melingkar menatap ribuan bintang. Banyak hal yang mereka perbincangkan kala itu, misalnya saja cita-cita.

"Aku akan menjadi pembuat cokelat terenak di seluruh Belanda, Belgia, dan Luxemburg atau kalau bisa seluruh dunia!" (ini kata Bella, 14 tahun)

"Aku akan menjadi pengusaha tomat yang terkenal!" (ini kata Lovino, berumur sama dengan Bella dan Kirana)

"Aku akan menjadi pemain sepak bola yang hebat!" (ini kata Antonio, 18 tahun)

"Aku juga" (kalau ini kata Willem, 18 tahun)

"Kalau aku belum tahu, hehe." (sedangkan ini kata Abel, 13 tahun)

"Bagus!" ujar Kirana girang. Yang lainnya menatap heran pada dirinya.

"Kalau kamu apa, Kir?"

"Rahasia~"

~O~

Willem dan Antonio berhasil mencapai impian mereka sebagai pemain sepak bola. Begitu pula dengan Bella dan Lovino. Abel masih kuliah Universitas Leiden, Belanda, jurusan kedokteran. Sedangkan Kirana... tak ada yang tahu kabarnya diantara mereka berlima.

Yang pertama kali mengetahui kabar Kirana setelah bertahun-tahun tak bertemu adalah Willem. Saat itu, saat Willem bermain di klub sepak bola asal Rotterdam, Belanda yaitu Ajax, klubnya melawan klub sepak bola asal Bandung, Indonesia; yaitu Persib.

Saat para pemain dari kedua tim berjabat tangan di awal pertandingan, Willem merasa pernah bertemu dengan salah satu pemain lawan yang bernama Rangga. Yang membuatnya merasa tak asing adalah adalah karena wajahnya yang menyerupai Kirana tapi dalam versi laki-laki. Meskipun begitu, Willem tetap profesional dan bermain tanpa mempersalahkan kebingungannya itu.

Akhir laga persahabatan kedua klub itu berakhir seri, 1: 1. Selesai pertandingan Willem langsung mendatangi Rangga.

"Excuse me."

"Yes?"

"Are we ever meet before? I mean, before this match."

Jeda. "Maybe."

Jawaban ambigu.

"Did you know Kirana Kusnapaharani?"

"No, who is she?"

"She's my... bestfriend. Ok then, thank you."

"No problem."

Willem salah. Ia mengira Rangga adalah Kirana yang sedang menyamar, ternyata bukan.

Tapi keesokaannya...

Ia melihat di televisi hotel tempatnya menginap bahwa Rangga, salah satu pemain andalan Persib tiba-tiba mengundurkan diri. Bersamaan dengan itu, ia mendapatkan surat dari Rangga.

..

Hai, Willem

Apa kau masih ingat aku? Keterlaluan sekali bila kau tak mengingatku setelah kita bertanding kemarin. Ohya, jangan kaget bagaimana aku mengetahui alamat hotelmu.

Aku ingin menyampaikan beberapa hal—entah penting atau tidak—padamu. Yang pertama adalah alasan aku keluar dari klub. Aku sudah puas dapat bermain denganmu. Yah, meskipun skornya imbang sih. Yang kedua adalah aku berbohong padamu kemarin. Kita pernah bertemu sebelumnya, tentu saja. Dan aku juga tahu siapa itu Kirana.

Terakhir, aku adalah Kirana. Kutebak, kau sama sekali tak terkejut, bukan? Oh, tentu saja. Kalau iya, untuk kau mendatangiku dan bertanya macam-macam bak seorang wartawan. Kenapa aku menyamar? Kau pasti bertanya-tanya.

Kau masih ingat tidak saat pertama kalinya kau menyuruhku duduk di pinggir lapangan, sedangkan kau dengan asyiknya bermain sepak bola bersama teman-tema. Aku sangat kesal, tahu! Aku kan juga ingin ikut bermain dan sejak saat itu aku jadi berambisi untuk bertanding denganmu di lapangan hijau secara resmi. Dan untungnay, kau ingin menjadi seorang pemain sepak bola. Jika aku mengatakan ambisiku menjadi pemain sepak bola sama seperti kau dan Antonio, kalian semua pasti akan tertawa, bukan?

Dan, yeah, akhirnya, ambisiku terwujud. Butuh waktu lama untuk merengek pada orang tuaku dan meyakinkan mereka aku akan menyamar sebagai laki-laki. Tapi tenang, aku masih perempuan seutuhnya, hahaha.

Hahaha, aku kekanakan ya?

PS: ahya, if you forget about Indonesian, it's not my fault that you can't read this letter :p

Sign,

Kirana aka Rangga

..

Kau berambisi demi aku ya, hahaha.

Willem terkekeh dalam hati sedangkan bibirnya mengulum senyum selesai membaca surat dari Kirana. Setelah itu, Willem langsung menceritakan tentang Kirana pada kedua sahabat dan kedua adiknya. Ahya, untungnya Willem masih ingat bahasa Indonesia.

.

.


Deel Tien : Leer Mij!

.

.

Sehabis acara makan malam bersama keluarga Andersen dengan keluarga Kusnapaharani, Bella langsung meminta Kirana untuk mengajarkan bahasa Indonesia pada dirinya dan adik serta kakaknya. Kirana yang memang orang yang ramah tentu saja dengan senang hati menyetujuinya. Mereka bertiga belajar tiap hari di rumah Kirana. Tak hanya itu, Kirana juga meminta Bella mengajarkannya bahasa Belanda padanya.

Pada hari pertama, tentu saja Kirana mengajarkan kata-kata yang mudah dahulu. Mereka berepat belajar cepat rupanya. Hanya dalam tiga bulan, mereka langsung paham dan hapal. Mereke pun memutuskan untuk berhenti belajar bahasa bersama.

Tapi, pernah suatu malam, Kirana terkejut mendapati Willem berdiri di depan pintu depan rumahnya sambil menenteng sebuah buku.

"Apa yang kau lakukan?"

"Ajari aku bahasa Indonesia."

"Mana Bella dan Abel?"

"Hanya aku."

"Ah, kukira kau sudah bisa."

"Yeah, sedikit..."

Kirana tak tahu, bahwa apa yang dilakukan Willem hanyalah triknya agar dapat lebih lama—berduaan—dengan Kirana.

.

.

.


[Deutch—English]

Deel : Part

Een : One

Twee : Two

Drie : Three

Vier : Four

Vijf : Five

Zes : Six

Zeven : Seven

Acht : Eight

Negen : Nine

Tien : Ten

Voorstellen : Propose

Lief : Cute

Lieve : Dear

Tulip : Tulip

En : And

Jasmijn : Jasmine

Zoen : Kiss

Wang : Cheek

Of : Or

Lip : Lip

Sorry : Sorry

Begeren : Crave

Voetbal : Football

Eerst Ontmoeten : First Meet

Ambitie : Ambition

Leer Mij : Teach Me

[Correct Me If I Were Wrong ]

Terima kasih telah meluangkan waktunya beberapa menit untuk membaca.

Coment and Critism? Thanks :)

Sign,

Faneda

June 21th, 2014