Sakura mengaduk-aduk mochazelberry coffee-nya, sambil sesekali menyuapkan es yang ada di dalam minuman tersebut ke dalam mulutnya. Ia memandang daun-daun yang berguguran di luar—menandai Musim Gugur telah tiba.

Ah, Musim Gugur. Musim Gugur yang penuh kenangan—

Sakura cepat-cepat mengalihkan manik zamrudnya ke teman-teman satu kampusnya—Ino, Tenten, Naruto, dan Rock Lee.

"Jadi," Sakura membuka suara; memotong pembicaraan semangat Naruto dan Rock Lee tentang pertandingan tinju semalam. "Apa rencana kalian sehabis ini?"

Mereka berempat berpandangan sejenak.

Tenten membuka suara, "Um, sepertinya kami akan menonton bioskop, Sakura. Tugas yang diberikan Kaka-sensei membutuhkan pengamatan yang ekstra akurat—dan dimana lagi kita bisa mendapatkan visualisasi tentang acting secara menyeluruh dari suatu aktris selain di bioskop?"

"Eh … kan di DVD Player bisa?"

Naruto mendengus. "Aduuuh, Sakura-chan! Sama-sama menonton sih, iya. Tapi kalau di bioskop itu suasananya berbeda—sound effectnya lebih keras, visualisasinya lebih tergambar, dan—bioskop hanya berjarak tiga lantai di atas!"

Sakura meringis. "Yah, sayang sekali."

Lee mengangkat alisnya yang tebal. "Memangnya kenapa, Sakura-chan?"

"Ng—aku tidak suka menonton bioskop, jadi sepertinya aku tak bisa ikut."

Seruan protes dan sorakan langsung terucap dari bibir teman-temannya, kecuali Ino. Gadis berambut pirang yang merupakan sahabat Sakura sejak SD itu malah memutar bola matanya dan mendiamkan teman-temannya.

"Sudahlah, kalian ini! Sakura, kan, punya passion-nya sendiri. Lagipula, kalian masih bisa menonton bioskop bertiga, kan?" Ino menyesap chamomile teanya, lalu melanjutkan kata-katanya ketika ia melihat Naruto menghitung jarinya. "Bertiga, karena aku juga tidak ikut. Aku akan menemani Sakura di rumahnya, kami sekelompok."

"Ino tidak asyik!"

.

.

Beatrixmalf presents

For Event A Lifetime of Memories II

[Tema: Clock Things dan Season]

.

.

..::o0::..~Cinememories~..::0o::..

Part One

.

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I never take any profits from making this fanfiction.

.

.

Warning: AU, maybe OOC. 21!Sakura, 25!Sasori. Latar masa depan: sekitar tahun 2007. Latar masa lalu: 1996. Sesi italic untuk kilas balik ke masa lalu. Normal untuk masa kini. Agak aneh, dan fic ini panjang lho :))

..::o0::..~...::0o::..

Sakura melangkah ke arah lemari DVDnya, lalu mengambil salah satu tempat DVD berwarna kuning—yang ia yakini berisi film-film bisu.

Haruno Sakura adalah mahasiswi KAA—Konoha Art Academy, dan mengambil kelas teater dan bermain peran. Saat ini, dosen mereka tengah menugaskan suatu tugas yang akan mengantarkan mereka dalam pembuatan skripsi—yaitu mengamati ciri khas suatu gerak-gerik aktris dari suatu tipe film, lalu menuangkan bermacam ciri itu ke dalam proyek teater mereka, dengan mempresentasikan tugas itu seminggu lagi.

Naruto dan Tenten mendapatkan film dokumenter yang aktrisnya mengandalkan spontanitas, sementara Lee mendapatkan film modern yang aktrisnya mengandalkan film effect. Sakura dalam hal ini mendapatkan tipe film yang sama dengan Ino—film bisu, yang aktrisnya harus memeragakan gerak tubuh.

Ah! Ini dia, Charlie Chaplin: The Tramp.

Dengan semangat, Sakura menyeret langkahnya ke depan DVD Player, menyalakannya, lalu memasukkan piringan film itu ke dalamnya.

Sakura menunggu.

-No disc in drive-

A—apa!

Sakura mencoba lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.

Hingga kelima kalinya, tulisan di layar TV masih tetap sama. No disc in drive.

"Kuso!" umpat Sakura kesal. "Bagaimana jadinya, ini?!"

Menghela napas sejenak, gadis bersurai merah muda itu segera merayap ke ujung ranjangnya, lalu ia mengambil ponsel miliknya dan menelepon Ino.

"Halo, Ino?" Sakura berkata sambil memelintir rambutnya gelisah.

"Ya, ada apa, Jidat?"

Sakura menggigit bibir. "Ino, aku baru mencoba CD Charlie Chaplinku beberapa menit yang lalu. Tapi ada yang error dengan CDnya. DVD Playerku tidak mampu untuk membacanya."

Hening sesaat.

"Sudah kau putar ulang? Coba lap piringannya, barangkali kotor. Atau mungkin pemutar DVDmu yang rusak?"

Sakura meremas pakaiannya. "Tak mungkin, Ino. Kemarin aku baru memutar The Proposal, kok. Masa hari ini sudah rusak …"

Ino terdiam di ujung sana.

"Ino, apa kau memiliki alternatif?"

Terdengar desahan. "Tentu saja punya, Sakura. Tapi kurasa, alternatif ini juga sudah terpikirkan olehmu, namun ditolak mentah-mentah oleh traumamu."

Hening lagi.

"Tidak. Jangan alternatif yang itu, Pig…" gumam Sakura letih.

"Mau bagaimana lagi? Teater mana yang akan memutar film-film lama pada musim gugur selain Teater Sunabuki?"

"Tapi kau tahu persis aku bertemu dia itu di sana, Pig!"

"Lalu?" suara Ino terdengar sinis. "Apakah mungkin kau bertemu DIA ketika untuk pertama kalinya selama 9 tahun kau mengunjungi teater itu, hah? Berpikirlah rasional, Sakura. Mungkin DIA itu telah pindah ke negara lain!"

Sakura menggigit bibirnya, perasaan sesak yang familier kembali menguasai hatinya. Kenangan lama itu menyeruak, apalagi ketika udara musim gugur berhembus melalui jendela kamarnya yang terbuka.

Sahabatnya menghela napas di seberang sana. "Maaf, Sakura. Tapi, tak ada gunanya terjebak nostalgia. Kau harus move on, apalagi kenanganmu itu menghambat segala hal yang berkaitan dengan cita-citamu, dan malah menjadi traumatik bagi dirimu. Kalau kau setuju, aku akan menjemputmu jam 6. Kita ke Suna naik mobilku."

Sakura menarik napas berat, lalu membanting tubuh di atas ranjangnya.

"Bagaimana, Sakura?"

Sakura memejamkan matanya. "…Oke. Jemput aku nanti, ya, Ino."

Kemudian pusaran kenangan menyakitkan itu kembali memenuhi memorinya.

.

.

Musim Gugur, 11 tahun yang lalu

Sakura mengendap-endap keluar dari kamarnya yang bernuansa merah muda, lalu menuruni tangga dengan langkah sepelan mungkin. Gadis itu mengambil jaket malam berwarna biru tua miliknya lalu keluar melalui pintu depan.

Sesampainya di luar, Sakura segera menghirup udara dengan kelegaan yang luar biasa. Nyaman rasanya dapat menghirup udara Suna yang beraroma pasir dan bercampur dengan dedaunan musim gugur.

Setelah menoleh kesana-sini, Sakura berlari-lari kecil mengikuti jalan batu yang akan mengarahkannya ke Teater Sunabuki di dekat Kantor Kazekage.

Sebenarnya, karena hal itulah Sakura memutuskan untuk kabur dari rumahnya selama sesaat. Malam ini adalah puncak pemutaran film di Teater Sunabuki—walaupun Sakura tidak tahu jenis film apa yang akan diputar. Dan di depan Teater Sunabuki yang berarsitektur seperti kuil, penjual-penjual makanan dan beraneka mainan sudah berjejer—ramai sekali!

Untung saja Sakura membawa uang. Ia menyerahkan beberapa yen untuk membeli Gulali, Dango, dan tiket untuk masuk ke dalam. Namun sebelum Sakura sempat menginjakkan kakinya di pintu masuk teater, seorang penjaga keamanan berjanggut mencegat langkahnya.

"Berapa umurmu, Dik?" tanya penjaga keamanan berjanggut itu, menatap Sakura dengan pandangannya yang tajam.

Jantung Sakura serasa berhenti. Loh, memang butuh verifikasi umur, ya?

"Se—sepuluh tahun, Pak."

"Kau datang bersama siapa?" tanya penjaga itu lagi.

Sakura menggigit bibir. Bodohnya ia, tahu begitu Sakura akan memaksa Ino membawa Deidara—kakaknya untuk menemani mereka ke teater ini.

"Aku—"

"—Dia bersamaku, Pak," terdengar suara pemuda yang dalam, dan begitu Sakura menoleh, seorang remaja laki-laki tanggung berambut merah gelap tengah berdiri di belakangnya. "Ia adikku."

He?!

"Ah," penjaga keamanan itu mengangguk-angguk. "Baiklah, kalian boleh masuk. Maaf mengganggu kalian tadi, namun saya hanya menunaikan tugas saya. Di bawah 13 tahun harus masuk bersama orangtua."

"Baik, Pak, kami mengerti," remaja itu kembali berujar, sambil melirik Sakura dengan mata hazelnya seakan mengingatkan. "Terima kasih."

Pemuda itu menggiring Sakura untuk masuk ke dalam salah satu pintu, lalu pintu tersebut membawa mereka ke suatu tribun—yang biasa disebut amphiteater yang di tengah-tengahnya terdapat layar besar berwarna putih.

Sakura diam saja ketika pemuda itu menarik tangannya untuk duduk di deretan bangku agak ke depan, tempat yang strategis untuk melihat layar.

"Gomen, kak. Tapi apa kau mengenalku?" Sakura bertanya ragu.

Pemuda itu mengerlingnya sekilas, mengeluarkan sebuah permen dam memasukkannya ke dalam mulutnya. "Tidak."

Nah, loh. "Lalu mengapa kakak menolongku?"

"Habis kau kelihatan bodoh."

GUBRAK!

Sakura sudah hendak marah, namun lelaki di sebelahnya menoleh ke arahnya, lalu tertawa. Tawa pemuda itu membuat keseluruhan wajahnya terlihat bersinar, dan dengan gugup Sakura menyadari bahwa siapapun pemuda ini, ia terlihat manis dengan wajah polos dan lesung pipinya.

"Memangnya tidak boleh menolong orang yang tidak kita kenal?" tanyanya jenaka. "Aku menolong siapa saja yang berniat menonton di Teater Sunabuki, selama mereka kelihatan antusias."

Sakura bersemu merah. Ternyata lelaki ini baik juga. "A- ah. Maaf sudah berprasangka, kalau begitu."

"Tak masalah," ujar lelaki itu ringan. "Jadi, siapa namamu?"

"Sakura. Sakura Haruno," jawab Sakura. Sungguh aneh berada di tempat yang asing di sini, bersama pemuda asing yang juga baru dikenalnya—namun, entah mengapa, Sakura merasa nyaman. "Dan kakak?"

"Jangan memanggilku kakak, umurku baru 14 tahun," sergah pemuda itu. "Aku Sasori. Sasori Ak—"

Sakura mengangkat alisnya.

"Pokoknya aku pengunjung tetap teater ini," lanjut Sasori, wajahnya kelihatan muram sesaat. "Kau datang dari jauh?"

"Tidak," Sakura mendesah. "Aku tinggal di dekat sini—dekat sekali, malah. Tapi, ya itu—aku baru tiga kali ke teater ini."

"Tiga kali?" Sasori kelihatan sangat kaget. "Kami-sama … bahkan aku yang bolak-balik Konoha-Suna saja sudah tujuh kali ke teater ini, Sakura."

Sakura mengeluarkan dangonya, lalu menawarkan Sasori yang menolak dengan halus. Sakura mendesah sebelum menggigit dangonya. "Orangtuaku itu sangat protektif, Sasori-kun. Aku anak tunggal, dan kau tahu sendiri kecenderungan menjadi anak tunggal itu seperti apa."

"Lalu kau memutuskan untuk melawan orangtuamu?"

"Tidak melawan," Sakura berkata menggerutu. "Aku hanya ingin mereka sadar, bahwa aku bisa membuktikan, aku bisa pergi ke mana-mana tanpa dikawal. Bahkan aku agak sedikit berharap aku terpergok orangtuaku, jadi mereka tahu aku telah kabur—tapi tidak apa-apa. Berarti aku punya bukti, kan?"

Sasori tetap diam.

Sakura mengalihkan pembicaraan, "Sebenarnya aku agak bingung. Pertama dan kedua kali aku ke sini, yang ada di tengah-tengah amphiteater bukan layar, tapi panggung. Waktu itu aku menonton pementasan Yuki-onna dan Seribu Bangau. Mengapa sekarang malah layar?

Sasori tersenyum geli. "Ternyata memang jarang ke sini, ya. Waktu itu, kau ke sini pada musim apa, Sakura?"

"Um … musim dingin atau musim semi, mungkin."

"Nah, satu alasan aku menyukai Teater Sunabuki adalah keistimewaan pementasannya pada setiap musim," kata Sasori lirih. "Pada musim semi dan musim dingin, Teater Sunabuki mengadakan pementasan drama. Musim panas, ia menampilkan tari-tarian penyambut mentari. Dan musim gugur adalah saat yang paling kusuka. Teater Sunabuki akan memutar film—"

"Yeh, yang itu aku juga tahu, Sasori-kun!"

Sasori menukas kesal. "Aku belum selesai berbicara, Sakura."

"Eh, maaf."

"Nah, singkatnya, musim gugur di Teater Sunabuki adalah saat yang paling asyik. Film yang diputar bukan film kacangan, tapi film-film yang menurutku sangat tidak biasa dan langka. Misalnya, dua musim yang lalu aku menonton film Cirque de Soleil, film drama tentang sirkus. Lalu musim gugur yang lalu aku menonton film Trip to The Moon, film fiktif pertama di seluruh dunia. Dan tahun ini kau juga beruntung—mereka akan memutar film bisu terhebat sepanjang masa—Charlie Chaplin!"

Sakura tidak merespon; dahinya berkerut kebingungan. "Itu nama tempat?"

Hening.

Lalu Sasori tertawa terbahak-bahak. "Dasar bodoh. Tentu saja bukan—"

Tiba-tiba, lampu di dalam amphiteater meredup menjadi setengah gelap, dan projector di depan layar menembakkan cahaya ke kanvas putih di depannya.

"Lihat saja, kau akan terpukau."

.

.

" …Ra. Sakura? Hei," terdengar suara yang menelusup indra pendengaran Sakura, dan gadis itu langsung membuka matanya. "Kita sudah sampai di Suna."

Sakura mengerjapkan mata hijau beningnya. Ia berdeham sejenak, menyingkirkan suara parau khas orang yang baru saja bangun tidur. "Bagaimana penampilanku?"

Ino tertawa kecil, lalu mengangsurkan sisir. "Ini. Rambutmu kayak harimau."

Setelah Sakura merapikan rambutnya dan merapikan cardigan putih dan rompi jeansnya, Ino dan Sakura turun dari mobil dan menatap keramaian di sekitarnya.

Sakura menghirup udara Suna dalam-dalam sambil menatap sendu lingkungan yang pernah ia tinggali untuk menetap selama empat tahun.

Jalan berbatu ke Kantor Kazekage tidak berubah sama sekali. Demikian pula aroma Suna yang berbau pasir dan dedaunan—untuk saat ini. Yang berubah adalah perumahan dan apartemen yang kini mulai memenuhi kedua sisi jalan berbatu, dan kepadatan pengunjung yang jauh lebih sedikit daripada masa lalu.

Sesepi hatiku, seloroh Sakura dalam hati.

"Ingat, tidak, Jidat? Waktu itu, perumahan tersebut masih kebun buah." Ino menunjuk sebuah perumahan minimalis sambil tersenyum. "Dan kita sering memetik apel dari sana. Hihihi."

Sakura mendengus pelan. "Kronologinya tidak seperti itu, Pig. Kau yang memaksaku untuk memetik—sementara kau sibuk merapikan gaun norakmu."

"Ap—hei!" Ino memukul Sakura main-main, tapi pandangannya kembali menerawang. "Banyak sekali yang berubah, ya, Sakura—dulu aku masih sangat girly dan manja; kau masih antisosial dan pengecut. Sulit mengira kita akan menjadi remaja yang menetap di Konoha sendiri, dengan orangtua yang tinggal jauh dari kita."

Memang benar.

Saat ini, Mebuki dan Kizashi—kedua orangtua Sakura memang tinggal di Konoha, tetapi jarak rumah mereka cukup jauh dari kos Sakura, demikian juga Ino. Setelah beberapa tahun, kedua orangtua Sakura telah mencerna bahwa anak gadisnya sudah berkembang menjadi wanita cerdas dan mandiri; sudah saatnya mereka melepasnya.

Dan ia mandiri karena—

Sakura mulai merasakan kenangan itu datang. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Kalau begitu, ayo kita cepat-cepat ke Teater Sunabuki, Ino."

Ino menatapnya sesaat.

Lalu gadis itu menghembuskan napas. "Sesuka hatimu, Madam."

Mereka melanjutkan perjalanan. Walaupun kentara sekali telapak tangan Sakura bergetar dan kepalanya berdenyut-denyut, Sakura mencoba menguatkan dirinya. Memang terasa sesak di hati ketika ia menginjakkan kakinya di area ini—apalagi dengan harum musim gugur di sekitarnya, tapi seperti kata Ino—ia harus mulai belajar untuk mengatasi trauma itu.

Mereka berdua berjalan beriringan sambil sesekali bernostalgia (tentu saja tanpa kenangan Sakura yang itu), ketika tiba-tiba, Ino tersentak dan berhenti.

Sakura menatap sahabatnya dengan bingung dan heran, lalu ketika ia melihat direksi sahabatnya tertuju pada pemuda pucat berambut hitam, seketika Sakura mengerti. Ah.

Pemuda itu terlihat kaget. "Ino?"

"Sai?!" Ino nyaris menjerit, membuat beberapa pasang mata menoleh menatap mereka. "Shimura Sai, kan?"

Sakura mengerang pelan. Mengapa mantan pacar Ino ketika SMP harus muncul pada saat-saat seperti ini, sih?

"Tentu saja," Sai tersenyum palsu—atau memang wajahnya telah dirancang seperti itu. "Kau tambah langsing, ya, Ino."

Ino merona merah. "Kau juga tambah t- tinggi, maksudku. Hehehehehe."

Sakura terlihat tak sabar. "Pig, 15 menit lagi kita harus masuk teater …"

"Oh, kau bersekolah di Sunagakure Art University, Sai? Hebat!"

Sakura merasa kesal. Malah dicuekkin! Dasar Ino Babi Sialaaaan!

Dipukulnya bahu Ino cukup keras, membuat gadis bersurai pirang itu meringis kesakitan. Sakura mendesis, "Proyek kita! Tugas kita!"

"Aduh, Sakura," gerutu Ino. "Begini saja, deh. Kau masuk amphiteater satu, yang mulai jam 7 dan memutar The Tramp. Nanti aku masuk amphiteater dua, yang juga memutar Charlie Chaplin—tapi mulainya jam 8, oke?"

Sakura hanya menatap Ino sinis.

"Maaf ya Sakura," Ino mengerjap-ngerjap memberi kode, lalu berbisik lebih rendah ke telinganya. "Nanti kau kutraktir youghurt stroberi. Sumpah. Kau tahu ini kesempatan emas, Sakura, tolong, tolong."

Sakura merutuk sebal. Namun apa daya—ia tak bisa jahat pada Ino. Sahabatnya masih berharap kepada si Sai itu—mantannya yang terlama; hubungan mereka berjalan selama 3 tahun, tetapi kandas karena LDRdan wajar saja jika Ino menganggap pertemuan mereka adalah suatu kesempatan emas.

"Hhh … ya sudah. Kita bertemu di Kedai Dango Paman Chuuriki!"

Setelah memastikan Ino mengangguk, Sakura segera melangkahkan tungkainya ke konter tiket, lalu berjalan ke arah teater Sunabuki sambil mengeluarkan catatan dan pena. Ia, kan, harus mencatat gerak-gerik sang aktris.

Baru saja menginjakkan kaki menuju pintu masuk teater, seseorang berbadan besar dan berseragam biru tua mencegatnya.

Ketika Sakura menengadah menatap siapa yang mencegatnya, ia malah terpana.

Seperti déjà vu.

"Darimana, ya, Nona?" tanya penjaga keamanan yang—syukurlah, tidak berjanggut itu, dan oh—leganya, lebih sopan dan tidak garang.

"Ah, saya pengunjung dari Konoha, Pak." Sakura tersenyum, bertanya-tanya apa yang salah pada dirinya. "Ada apa, ya, Pak?"

"Begini, Nona …" penjaga itu menggaruk pelipisnya. "Teater Sunabuki tidak mengizinkan adanya benda-benda yang bisa merekam segala kegiatan di dalam, seperti type recorder, kamera, video, alat tulis, bahkan di dalam pun, si pemilik berusaha mengatur agar tidak ada sinyal bagi ponsel. Jadi, kalau Nona membawa alat tulis, mungkin alat tulis bisa dititipkan di konter penitipan dan Anda baru boleh masuk."

Sakura terdiam sambil mengumpat dalam hati. Sakura paling lemah dalam hal mengingat. Apa yang diberikan dosen saja harus ia catat dan rekam—namun kalau situasinya seperti ini, bagaimana?

"Bagaimana, Nona?"

Sedetik. Dua detik. Aduh, bagaimana nih!

"Ah, aku—"

"Biarkan saja, Pak Shirota. Gadis ini sudah meminta izin pada pihak pemiliknya, dan gadis ini berada di bawah pengawasanku," sebuah suara menginterupsi ucapan Sakura, dan gadis itu langsung membeku.

Suara ini—

Sakura menoleh. Hatinya begitu tercekat ketika melihat pemuda dengan rambut merah dan mata hazel, balas menatapnya dengan intens.

.

.

Film The Tramp bagus sekali!

Sakura ikut bertepuk tangan bersama orang-orang dewasa yang memenuhi teater lainnya dan ikut tertawa ketika Charlie Chaplin menampilkan adegan-adegan yang mengocok perut.

Jadi The Tramp adalah film yang menceritakan Charlie Chaplin—yang berperan sebagai seorang lelaki gelandangan, yang menyelamatkan seorang gadis dari tiga orang pencuri. Tingkah Chaplin yang mengusir penjahat dengan sebatang batu bata itu mampu membuat orang terpingkal-pingkal.

"Brillian sekali, kan, film itu," Sasori menggigit dango yang Sakura berikan dengan paksa sambil berkata kagum. "Walau film bisu, film tersebut berhasil menampilkan sisi lucu dari Chaplin, dan efek ketika Chaplin jatuh berguling dan bokongnya terhempas itu—hahaha!"

Sakura ikut tertawa. "Tapi pandanganku berbeda denganmu, Sasori-kun. Yang brilian itu kan Charlie Chaplinnya. Ia berhasil menciptakan gerakan yang dapat ditangkap penonton dan membuat penonton tertawa."

Sasori tersenyum. Kini mereka telah sampai di luar Teater Sunabuki.

"Kutebak, kau suka teater, ya, Sakura?" Sasori bertanya lembut.

Sakura menatap Sasori dengan maniknya yang melebar. "Ya. Aku ikut berpastisipasi dalam drama musim dingin di sekolahku, dan sudah berkali-kali mendapatkan peran yang lumayan bagus. Aku sebenarnya lebih suka ke sini untuk menonton pementasan…"

"Ah."

"Kalau kau, pasti sangat menyukai film, ya? Kau pasti bercita-cita menjadi sutradara, kan, Sasori-kun?"

Sasori mengacak rambut Sakura, dan entah mengapa, Sakura merasakan hatinya menghangat. "Kau mudah menganalisa orang, ya? Kau betul. Aku bermimpi untuk sekolah di Amerika nanti—Amerika terkenal dengan Hollywoodnya."

"Ganbatte!" Sakura mengacungkan tangannya ke atas. "Semoga kita bisa meraih cita-cita, ya, Sasori-kun."

Sasori tersenyum lebar, membuat lesung pipi yang manis itu muncul lagi—membuat Sakura merona.

"Ng … sekarang jam berapa, ya, Sasori?" tanya Sakura salah tingkah, karena ia tidak tahu apalagi yang harus dilakukan.

"Jam 12.30."

"Oh, baru jam dua bel—APA?!" Sakura langsung melotot. Ini sudah lewat tengah malam?! Ia tak salah dengar, kan?

Sakura kelabakan. Sasori hanya menatap gadis itu sambil tertawa geli.

"Pulanglah, Sakura. Biar kuantar," kata Sasori menenangkan.

"Tidak, tidak," Sakura menggeleng cepat. "Kaa-san dan Tou-san akan marah besar kalau aku membawa seorang lelaki pulang, sudah malam lagi."

Sakura sudah akan berjalan meninggalkan Sasori, sebelum ia mengingat sesuatu. Gadis itu berbalik dan menatap Sasori sejenak. "Kau ada di sini esok malam, kan, Sasori-kun?"

Sasori mengangguk, dan serta merta Sakura tersenyum.

"Kalau begitu sampai besok, Sasori-kun!" seru Sakura, lalu gadis itu menghilang di antara keramaian yang belum padam.

"Sampai esok juga, Sakura," gumam Sasori sambil tersenyum—lembut namun sendu.

.

.

Sakura mencengkram dadanya ketika ia berjalan masuk ke dalam amphiteater, dan duduk di salah satu bangku yang memiliki spot strategis. Batinnya terus meyakinkan dirinya bahwa sosok itu bukan Sasori dari masa lalunya.

Tapi, tak ada yang dapat membohongi intuisi Sakura. Pemuda bersurai merah memang banyak, namun mata hazel yang menenangkan itu—

Tak ada duanya, kan?

Sakura tergugu ketika 'Sasori' mengambil tempat duduk di sebelahnya, sambil bersiul-siul santai dan sesekali mengerlingnya. Jantungnya serasa berdebar lebih kencang, namun sensasinya sangat menyakitkan. Ia merasa sesak.

"Dengar, Sa—Tuan," Sakura berkata lirih, mati-matian menyingkirkan getaran dari suaranya. "Aku sangat menghargai pertolonganmu di pintu masuk tadi, tetapi aku ingin sendiri saat ini. Maaf karena aku tidak sopan, tetapi ini tugas untuk skripsi, dan aku butuh konsentrasi penuh."

'Sasori' tersenyum, dan Sakura hampir terjungkal ke belakang.

Lesung pipi itu—pemuda ini memang Sasori-nya!

"Kalau begitu, aku takkan mengganggu, Nona," kata Sasori tenang. "Atau mungkin aku bisa membantumu. Aku sudah puluhan kali menonton serial Charlie Chaplin sampai hafal seluruh plotnya, dan aku sudah lulus akademi."

Ya, dan salah satu dari puluhan kali itu—kau menonton bersamaku, Sasori-kun.

Sakura menelan ludah dengan pahit, menyadari bahwa Sasori tidak mengingat gadis pra-remaja yang mengganggunya selama seminggu 11 tahun yang lalu.

"Tidak, terima kasih. Aku bukan mahasiswa perfilman, aku mahasiswi seni peran."

"Aku tetap bisa membantu."

.

.

Sakura mencuri-curi kesempatan untuk menemui Sasori di Teater Sunabuki setiap malamnya, dan malam ini adalah malam kelima ia kabur dari rumahnya. Mebuki dan Kizashi tidak pernah mengetahui anak mereka menyelinap keluar, karena Sakura mengatur kasurnya sedemikian rupa sehingga terlihat menyerupai Sakura yang tengah tertidur.

Acara mereka bukan hanya menonton film. Kadang Sakura bermain tangkap-ikan atau makan dango di kedai dango milik Paman Chuuriki—bahkan ia pernah nekat mengajak Ino untuk pergi bersamanya, tetapi Ino hanya sempat melihat Sasori sesaat karena gadis itu langsung ditarik pergi Deidara (karena ketahuan kabur).

Dan malam ini, Sasori berniat untuk membawa Sakura ke toko es krim Baskin Robbins, yang katanya sangat mahal namun sangat enak.

Sakura terdiam sejenak, atensi hijaunya mencari sosok familier yang akan pergi bersamanya. Begitu melihat pemuda berambut merah yang memakai kemeja abu-abu dan celana jeans kelabu gelap—yang merupakan ciri khas Sasori, Sakura segera menghampiri Sasori.

"Hai, Sasori-kun!"

"Halo," Sasori tersenyum seperti biasa. "Heboh sekali bajunya, orang cuma mau makan es krim saja, kok."

Sakura merenggut. "Tidak heboh, kok. Aku lagi ingin pakai gaun saja."

Sakura memang memakai gaun selutut berwarna hijau tua yang kontras dengan matanya malam ini—namun gadis itu tetap memakai jaket berwarna putih.

Banyak hal yang berubah selama lima hari ia bersama Sasori. Sakura menjadi lebih berani, lebih kritis, dan lebih riang. Namun yang terparah—Sakura merasa bahagia ketika mengobrol bersama lelaki yang lebih tua empat tahun darinya itu, dan Sakura selalu merona ketika Sasori menatapnya lebih dari beberapa detik, atau tanpa sadar memuji dirinya.

Sasori menarik tangan Sakura agar gadis itu tidak tersasar (pada hari kedua, Sakura tersasar hingga ke ujung perbatasan) lagi, dan hal itu membuat jantung Sakura serasa berdetak lebih kencang dan wajahnya memerah.

Mereka sampai di depan toko kecil bernuansa biru tua-pink-kuning, dan banyak gambar es krim yang menggiurkan di dindingnya.

Sakura dan Sasori melipir ke tepi toko es krim itu, mengambil meja yang dekat dengan keramaian di luar, lalu Sasori berdiri.

"Kau mau pesan apa, Sakura?"

Sakura meremas tangannya salah tingkah, lalu berbisik pelan, "Aku tidak pernah makan es krim Baskin Robbins, Sasori. Pilihkan saja yang enak."

Sasori menyeringai sambil mengangguk, lalu menghilang. Tak berapa lama kemudian, pemuda itu telah kembali sambil menenteng dua cup es krim yang masing-masing berisi 3 scoop berbeda rasa.

"Ini strawberry, hazelnut, dan mocha. Enak sekali kombinasinya, sungguh. Coba saja cicipi," saran Sasori.

Sakura mengangguk, lalu menyuap es krim yang berbeda-beda rasa ke dalam mulutnya. Asam-manis strawberry bercampur dengan renyahnya hazelnut dan pahit legitnya mocha—manik Sakura langsung terbuka lebar.

"E—enag bangedh," Sakura berkata dengan wajah mupeng dan dengan noda-noda krim di dekat bibirnya, membuat Sasori tertawa terbahak-bahak ketika melihat gadis di depannya itu.

Mereka mengobrol selama beberapa saat, lalu tiba-tiba Sasori terdiam dan mukanya terlihat muram.

"Ada apa, Sasori?"

Sasori tak menjawab. Remaja itu hanya mengaduk-ngaduk es krimnya asal, lalu memandang Sakura serius.

"Sakura, kau baru saja menonton Beauty and The Beast, kan, kemarin?"

"Ya."

"Apa yang bisa kau pelajari dari film itu?"

Sakura menghentikan kegiatannya, sembari menatap Sasori heran. "Mengapa, Sasori-kun?"

"Tolong jawab saja, Sakura."

Sakura melap bibirnya dengan serbet. "Apa, ya? Aku mempelajari jika cinta sudah terjadi, maka umur, berat, tinggi, rupa, dan status orang yang kita cintai sudah tidak bermakna lagi—yang ada hanya cinta dan pengorbanan kita untuk orang itu."

Sunyi. Sasori menunduk—tepatnya menatap cup es krim yang telah tandas di hadapannya, membuat Sakura semakin heran.

"Ada apa, Sasori?"

Sasori mendesah. "Sakura, kalau kau belum mengenalku—kau harus tahu bahwa tempat yang paling kusukai adalah Teater Sunabuki dan Baskin Robbins, jadi kau akan tahu di mana kau akan menemuiku, kan?"

Sakura mengangguk lamat-lamat; belum menangkap maksudnya. "Lalu?"

"Tak apa," Sasori menjawab cepat, senyum kembali menghias wajahnya. "Kau mau tambah es krim?"

.

.

Sakura terus menerus bergerak-gerak gelisah dalam duduknya. Direksinya memang tertuju ke depan—tapi tidak demikian dengan atensinya. Ia mati-matian berusaha untuk tidak melirik ke arah pemuda di sampingnya.

Gadis itu menelan ludah.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengalah, dan Sakura menoleh pelan untuk melihat sosok yang telah hilang selama 11 tahun di hidupnya. Sosok yang merupakan cinta pertamanya—dan cinta yang belum dilupakannya sejak dulu.

Pertemuan terakhir Sakura dengan Sasori adalah di kedai Baskin Robbins.

Pada malam berikutnya, Sakura menunggu di Teater Sunabuki hingga tertidur, tetapi Sasori tidak kunjung menemuinya.

Seorang penjual yang iba melihatnya malah membangunkannya dan Sakura pulang ke rumah dengan perasaan bingung.

Ke mana Sasori-kun?

Demikian juga pada malam-malam berikutnya; selama dua tahun, Sakura terus pergi ke Teater Sunabuki, menunggu pemuda berambut merah yang selalu memakai kemeja dan memiliki senyum yang menawan.

Sang Pemuda tak pernah datang.

Hingga kini—

—Tak ada yang berubah dari diri Sasori. Ketika Sakura menatapnya diam-diam, Sakura hanya menyadari bentuk rahang Sasori yang lebih kuat, tulang pipi yang lebih tinggi, kulit yang menggelap—namun keseluruhan dirinya masih sama.

Sasori masih memakai kemeja—kali ini kemejanya berwarna hijau toska. Surai merahnya masih gelap seperti dahulu; sebagian jatuh ke pelipisnya. Mata hazel itu masih indah dan menenangkan, dan sikapnya masih sangat baik.

Tapi ia tidak mengingat diriku.

Tiba-tiba, Sasori menoleh, dan Sakura langsung memalingkan wajahnya.

"Apa yang kau lihat, Nona?" tanya Sasori—nadanya tak lebih dari bisikan.

Dirimu. "Aku …" Sakura mencari-cari alasan. "Tidak. Aku hanya menyadari pengunjung teater ini—sudah jauh berkurang."

"Darimana kau bisa menyimpulkan hal itu?"

"A- aku … pernah ke sini sebelumnya," Sakura berkata dengan nada yang agak bergetar di ujungnya.

Ada yang berubah dari ekspresi Sasori. Ia menjadi lebih muram, dan pemuda itu menghela napas, walaupun tatapannya tetap lurus ke depan.

"Memang. Teater ini kalah pamor dengan bioskop," ujar Sasori pahit.

Sakura seharusnya bersimpati, tetapi detail bahwa Sasori sama sekali tidak memperhatikan kalimat 'Aku pernah datang ke sini' membuat zamrud Sakura tersengat, dan matanya memburam karena air mata.

Ia merasa batinnya terkoyak.

Pemuda itu—sama sekali tak mengingatnya. Bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda déjà vu yang sedang menghinggapi gadis di sampingnya.

"Oh … ya?" Sakura masih berusaha merespon, walau tetes-tetes likuid telah berjatuhan ke notebook yang sama sekali kosong; tak ada tulisan. Jangankan menulis, rasanya duduk saja Sakura nyaris tak mampu—karena pemuda itu.

"Ya. Selain itu, bayaknya larangan di teater ini membuat penonton hijrah ke bioskop yang lebih bebas peraturan," jawab Sasori. "Maka dari itu aku berusaha agar kau bisa masuk, apalagi ini untuk tugasmu."

Hahaha. Ternyata itu tujuannya. Tak mungkin, kan, kau mengharapkan dia menolongmu karena dia mengingatmu?

Sakura tak menjawab. Ia sudah tak mampu bersuara lagi—takut isakan akan menyeruak keluar dan pemuda di sampingnya akan tahu ia menangis tanpa suara.

Adegan di depan menampilkan Chaplin yang tengah menusuk-nusuk seorang gembala temannya—dengan garpu jerami. Sakura tersenyum pahit. Ia nyaris bisa mendengar kekehan Sasori yang melihat aksi lucu Sang Aktor Kesayangan.

Entah darimana Sakura mendapatkan keberanian, tetapi kata-kata itu menyembur keluar. "Dahulu aku punya teman. Ia sangat menyukai Chaplin, dan ia adalah orang pertama yang mengetahui cita-citaku, yaitu sebagai pemain teater."

Sakura merasa Sasori menatapnya, tapi ia mengindahkan hal itu.

"Ia sendiri penyuka film—mungkin sama sepertimu. Ia yang mengajakku membuka mata untuk melihat hal-hal aneh dan langka seperti film-film seperti ini, dan ia yang mengajarkanku untuk melihat sisi keindahan yang tak dapat dianalisa orang lain."

Sakura menghela napas. "Lalu ia menghilang. Benar-benar menghilang. Aku hanya diberikan waktu beberapa hari untuk mengenalnya, tapi ia memberikan beberapa hal yang sampai saat ini susah untuk kulupakan."

Gadis itu mulai merapikan barang-barangnya, tak menyadari perubahan ekspresi Sasori yang terlihat kontras dengan ekspresi datar Sakura.

"Percaya atau tidak, ia hanya meninggalkanku CD yang berisi film tentang Chaplin, hal sederhana yang membuatku mempertahankan diriku dan cita-citaku," Sakura tersenyum; air mata itu masih menuruni wajahnya. "Maafkan aku karena terlalu banyak bicara. Sampai jumpa."

Sakura berdiri—walaupun film masih berada pada pertengahan cerita. Ia tidak mau berada cukup lama dalam teater ini, seharusnya Sakura menuruti traumanya tadi!

"Tidak—" Sasori ikut berdiri ketika Sakura berdiri dan melewatinya. "S—"

Apa yang hendak dikatakannya? Sakura sudah terlalu lelah untuk berharap. Gadis itu melangkah lebih cepat, hanya dapat menggumamkan kata maaf ketika kakinya menginjak kaki penonton lain.

Ayo, ayo. Pintu masuk hampir dapat dicapainya.

"Tunggu!"

Aku sudah menunggu selama 11 tahun.

"Sakura!"

Sakura berhenti. Apakah ini bagian ilusi, atau—

Gadis itu menoleh, dan selama sesaat, Sakura bisa melihat Sasori yang berdiri dilatarbelakangi layar, tatapannya mengenali.

Air mata itu jatuh.

Tidak. Aku hanya berkhayal.

Sakura kembali berlari, sampai ia menubruk seorang gadis dengan harum searoma dengan mawar. Begitu mengangkat wajahnya, sepasang manik aquamarine langsung bersirobok dengan matanya.

Ino terlihat kaget ketika Sakura menyeretnya, tetapi ia tak protes.

Bahkan Ino tak protes ketika Sakura memeluk dirinya di mobil, dan air mata kembali tumpah di gaun indah miliknya.

Jangan sampai Sakura kehilangan orang yang menjadi tumpuannya, untuk yang kedua kalinya.

.

.

.

Tsudzuku

.

.

Cuap-cuap Author:

Ha- halo./.

AKU GATAU MIKIR APA PAS BUAT INI (TAT) udah SasoSaku pertama, langsung diikutin ke event ALM, cacat pula hihhh.

Ada yang tahu fic uhukalayuhuk aku ini berkaitan dengan apa di tema cerita? Jadi Sakura itu selalu inget pertemuannya dengan Sasori di musim gugur, dan ia trauma bertandang ke bioskop karena mengingatkannya dengan waktu-waktu yang dilewatinya bersama Sasori di Teater Sunabuki. Logis kan? Logis dong T_T

Maaf kalo ini abal. Sekali. Hiksu.

Dan salam kenal semuanyaaa! XD semoga SasoSaku-ku cukup dapat meramaikan event ALM ini, ya ;w;

Btw, ini kubuat twoshot. Chap duanya telah terketik dan akan kuupload lusa.

.

.

Dan terakhir, bisa minta review? Review akan membuatku bersemangat dan karya yang telah kubuat ini bisa dikategorikan lumayan(?)

Akoira Numoz Bysantia,

Bea.