Kim Mingyu itu brengsek karena memanfaatkan Wonwoo untuk mendapatkan harta warisan dari orang tuanya, tetapi pepatah yang mengatakan bahwa terkadang cinta bisa membuat orang bodoh itu benar adanya. Wonwoo bodoh karena cintanya pada Mingyu sehingga memutuskan untuk bertahan dalam rasa sakitnya. Meskipun begitu, setiap orang memiliki batas kesabaran. Sampai dimanakah Wonwoo akan bertahan? Mungkinkah Mingyu akan berubah?

.

.

.

Kim Mingyu x Jeon Wonwoo

.

.

.

Suasana mencekam melingkupi ruang keluarga di mansion mewah tersebut. Meskipun dalam waktu dekat ini Kota Seoul akan memasuki musim dingin, namun ketegangan yang terjadi di ruang keluarga tersebut rasanya bisa membuat orang-orang yang ada di dalamnya kepanasan. Seorang pria berusia kurang lebih 50 tahunan sedang menatap putranya yang duduk di hadapannya. Pandangan matanya tajam mau tidak mau membuat putranya yang biasanya membangkang itu kini hanya bisa menundukan kepalanya meskipun raut wajah kesal masih tergambar dengan jelas di wajahnya yang rupawan itu. Disebelah sang pria paruh baya ada seorang wanita yang masih terlihat cantik nan anggun di usianya yang menginjak kepala 4. Rambutnya yang berwarna kecoklatan dipotong sebahu dan dia biarkan tergerai. Wanita itu hanya bisa menghela nafas melihat ketegangan diantara ayah dan anak itu.

"Appa tidak mau tahu, mau tidak mau, suka tidak suka, kamu harus tetap menikahi anak gadis dari keluarga Jeon," ucap Seungcheol – sang pria paruh baya sekaligus ayah dari Kim Mingyu. Mau tidak mau ucapan Seungcheol membuat Mingyu yang tadi menundukan kepalanya kini menatap sang ayah masih dengan ekspresi kesalnya.

"Appa, sudah aku bilang, aku mencintai orang lain! Kenapa appa tidak bisa mengerti dan malah memaksaku untuk terlibat perjanjian konyol antara appa dengan keluarga Jeon itu!" ucap Mingyu emosi.

"Kim Mingyu jaga ucapanmu! Aku tidak perduli dengan semua alasanmu. Pokoknya kamu harus tetap menikahi gadis dari tuan Jeon atau kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun harta warisan keluarga ini!" ucap Seungcheol final sebelum beranjak pergi meninggalkan ruang keluarga dan meninggalkan Mingyu yang hanya bisa mengangakan bibirnya mendengar ucapan ayahnya.

Selepas kepergian ayahnya Mingyu menatap wanita yang tadi duduk disebelah ayahnya dengan pandangan mata memelas, "Eomma, tolong aku! Eomma tahukan aku sangat mencintai Sejeong? Bukankah eomma juga menyukainya?"

Jeonghan, Seseorang yang dipanggil 'Eomma' oleh Mingyu hanya bisa menghela nafas, "Eomma tahu dan eomma juga menyukai Sejeong. Tapi Appamu juga tidak bisa begitu saja mengingkari janji yang telah Ia dan tuan Jeon buat. Mereka berdua adalah teman baik sedari kecil, Gyu. Untuk kali ini, Ibu benar-benar tidak bisa membantumu, Nak. Kecuali…."

"Kecuali apa?" Tanya Mingyu berharap kelanjutan kalimat Ibunya bisa membantunya keluar dari perjodohan konyol ini.

"Kecuali, kau mau kehilangan seluruh harta warisan Appamu," lanjut Jeonghan yang membuat Mingyu mengacak-ngacak surai keabuannya frustasi.

.

.

.

Pagi hari di kediaman keluarga Jeon yang tidak kalah megah dengan mansion milik keluarga Kim. Terdapat satu kamar yang dipenuhi dengan nuansa pink pastel. Disanalah berdiam seorang gadis dengan tubuh yang terbilang tinggi untuk ukuran wanita, kulitnya putih pucat, dan rambutnya hitam legam, wajahnya cukup emo untuk ukuran wanita Asia namun dia tetap terlihat cantik. Gadis itu sedari tadi mondar-mandir sambil sesekali meremas tangannya yang berkeringat dingin. Jeon Wonwoo, nama gadis itu, sejak dia bangun hingga selesai bersiap-siap dia tak henti-henti meremas tangannya yang berkeringat dingin dikarenakan rasa gugupnya. Hari ini adalah salah satu hari yang penting dalam hidupnya. Hari ini dia akan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi pendampingnya kelak.

Wonwoo menjadi was-was mengingat ini pertama kalinya mereka akan bertemu. Seperti apa wajah calon suaminya itu? Apakah dia tampan? Atau malah sebaliknya? Wonwoo menggelengkan kepalanya beberapa kali ketika memikirkan bahwa wajah calon suaminya itu—ekhm—buruk rupa. Bukannya apa-apa, gadis manasih yang akan terima apabila calon pendamping hidupnya itu berwajah dibawah standar? Katakan saja Wonwoo jahat, tapi mengingat Wonwoo adalah salah satu gadis yang menjadi primadona di kampusnya, dia tentu saja menginginkan pendamping hidupnya itu memiliki wajah paling tidak seperti Kwon Soonyoung, ketua klub dance di kampusnya. Meskipun Wonwoo tidak menyukai pria kelebihan stok humor itu. Lagipula dia sudah memiliki kekasih mungil yang terkenal galak seantero kampus dan juga merupakan teman dekat Wonwoo—Lee Jihoon alias Woozi.

Wonwoo terus sibuk dengan pikirannya sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Ibunya di dalam kamarnya.

"Wonwoo, kau sudah siap?" panggil Ibunya yang sukses membuat Wonwoo menjengit kaget.

"Ah, iya Eomma, aku sudah siap".

"Bagus, segeralah turun, keluarga Kim sudah ada dibawah," ucap Ibunya—tersenyum sekilas sebelum berlalu dari kamar Wonwoo.

Tepat saat pintu kamarnya tertutup, Wonwoo saat itu juga ingin menenggelamkan dirinya di kolam milik keluarganya.

Damn

Rutuk Wonwoo dalam hati. Bagaimana ini? Calon suami beserta keluarganya sudah ada dibawah, dan fakta tersebut semakin membuat Wonwoo gugup. Jantungnya semakin berdetak tidak karuan.

Wonwoo menghela nafas beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugupnya. Setelah berhasil mengatasi rasa gugupnya –meskipun hanya sedikit—gadis itu segera melangkah keluar dari kamarnya setelah sebelumnya mematut dirinya dicermin. Bagaimanapun Wonwoo tidak ingin kelihatan jelek dihadapan calon suami dan mertuanya.

.

.

Wonwoo melangkahkan kaki-kaki jenjangnya menuruni tangga. Ketika tiba di ruang keluarga ia segera mendudukan dirinya disebelah Ibunya. Ibunya tersenyum sekilas sebelum kembali menatap dua orang dihadapannya yang dia yakini adalah calon mertuanya. Di sebelah dua orang paruh baya itu ada seorang pria yang hanya menundukan kepalanya yang Wonwoo yakini adalah calon suaminya. Posisi pria itu membuat Wonwoo tak bisa melihat wajah calon suaminya dengan jelas. Entah sadar atau tidak Wonwoo mempoutkan bibirnya karena rasa kesalnya akibat tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.

Semua reaksi Wonwoo itu tertangkap oleh mata tuan Kim sehingga dia menyikut lengan putranya, seolah memberikan isyarat agar putra semata wayangnya itu mau mengangkat wajahnya. Mingyu mau tidak mau akhirnya mengangkat wajahnya.

'daripada Ayah mengancam tidak akan memberikan aku warisan lagi' batin Mingyu.

Perlahan Mingyu menangkat wajahnya, dan betapa terkejutnya dia saat dia mengenali seseorang yang duduk dihadapannya, begitupula dengan orang itu, dia tidak kalah terkejut melihat siapa yang akan menjadi calon suaminya itu.

"Jeon Wonwoo?"

"Kim Mingyu?"

Ucap keduanya hampir bersamaan.

"Kalian saling mengenal?" Tanya nyonya Jeon. Wonwoo mau tidak mau menarik sudut-sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Tentu saja dia mengenal pria ini! Pria yang menjadi pangeran kampusnya! Seseorang yang bisa membuat Jeon Wonwoo jatuh cinta pada pandangan pertama, orang itu—Kim Mingyu!

"Ya kami saling kenal," itu suara Mingyu. Wonwoo mengangguk sekilas sebelum menanggapi, "Aku dan Mingyu satu fakultas di kampus, dan juga dia adalah ketua klub basket di kampus kami sehingga dia cukup terkenal" ujar Wonwoo masih diiringi senyuman di wajahnya. Berbeda dengan Mingyu yang hanya menatapnya dengan pandangan flat.

"Ah baguslah kalau begitu, ternyata kalian sudah saling kenal," ujar Seungcheol.

Dan kemudian pertemuan itu dihabiskan untuk membahas tentang pernikahan keduanya. Dengan Wonwoo yang tak henti-hentinya tersenyum dan bersyukur dalam hati atas nasib baiknya serta Mingyu yang tak henti-henti pula merutuki nasibnya.

.

.

.

Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, hari yang ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga akhirnya tiba. Hari pernikahan antara Mingyu dan Wonwoo.

Wonwoo berjalan memasuki gereja—yang kini telah dihiasi oleh mawar putih dan pink favorite Wonwoo— dengan didampingi Ayahnya. Wonwoo terlihat sangat cantik dengan riasan seadanya dan juga gaun putih yang terlihat sederhana namun tetap cantik di tubuhnya. Rambut panjangnya yang sedikit dicurly pada bagian bawah dibiarkan tergerai rapi dengan mahkota yang menghiasi kepalanya. Persis seperti putri raja dalam dongeng-dongeng yang sering Wonwoo dengarkan dulu sewaktu ia kecil. Sementara di ujung sana Mingyu berdiri dengan setelan tuxedo berwarna hitam yang kontras dengan gaun yang dikenakannya. Wajahnya yang tegas itu hanya menatapnya datar, seolah-olah tak tertarik dengan kehadiran Wonwoo.

Wonwoo tahu itu. Mingyu tidak akan pernah tertarik dengan keberadaannya, karena Wonwoo tahu bahwa Mingyu hanya mencintai Sejeong. Semua orang di kampusnya juga tahu betapa Mingyu sangat mencintai gadis itu. Tapi Wonwoo tidak perduli. Selama Wonwoo bisa memiliki Mingyu dia tidak akan perduli. Entah Mingyu akan membencinya setelah ini, selama Mingyu menjadi miliknya, Wonwoo tidak akan perduli.

Tanpa Wonwoo sadari kini ia sudah berada di hadapan Mingyu. Tuan Jeon melepaskan kaitan tangan Wonwoo pada lengannya.

"Aku titip Wonwoo padamu, Nak. Jaga putriku baik-baik," ucap Tuan Jeon yang hanya dibalas Mingyu dengan senyuman terpaksa.

Setelahnya tuan Jeon kembali duduk di kursi undangan disebelah nyonya Jeon dan prosesi pernikahan tersebut berjalan dengan lancar.

Bagi Wonwoo hari itu adalah hari paling membahagiakan seumur hidupnya.

.

.

.

Seorang gadis berambut coklat sepinggang melangkahkan kakinya ke dalam kediaman keluarga Kim. Malam ini adalah malam resepsi kekasihnya—ah atau bisa dibilang mantan kekasihnya, karena pria itu kini sudah resmi menjadi milik orang lain. Seseorang yang menjadi primadona di kampusnya.

Sejeong tersenyum miris mengingat fakta tersebut. Ia sadar, dibandingkan dengan Wonwoo, Ia tak ada apa-apanya. Wonwoo adalah primadona di kampus, sementara dia? Dia hanyalah seorang gadis miskin yang beruntung karena bisa mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu kampus terbaik di Seoul.

Sebenarnya ia tidak ingin datang ke acara ini, namun bagaimanapun setidaknya dia harus memberikan ucapan selamat atas pernikahan mantan kekasihnya sekaligus pria yang masih sangat ia cintai. Selain itu dia juga ingin melihat reaksi Mingyu.

'Apakah Mingyu bahagia dengan semua ini?' pikirnya dalam hati.

Sejeong menggelengkan kepalanya sekilas dan memantapkan hatinya untuk kemudian melangkah kearah dua orang yang ia kenali. Kedua orang yang menjadi pusat dari acara ini. Semakin dekat, Sejeong bisa melihat wajah Mingyu semakin jelas. Wajah yang selalu menghiasi hari-harinya selama 2 tahun ini. Wajah yang selalu menemaninya disaat orang-orang di kampusnya tidak mau dekat dengannya dikarenakan dia dari keluarga miskin. Wajah yang selalu memberikannya semangat. Wajah itu. Pria itu. Pria yang sangat dicintainya, kini harus dimiliki orang lain.

Matanya kemudian memandang kearah gadis disebelah Mingyu, Jeon Wonwoo atau sekarang resmi menjadi Kim Wonwoo. Sejeong sedikit terpana meliat kecantikan Wonwoo. Wonwoo tampak sangat cantik dengan balutan gaun berwarna pink yang sangat pas di tubuhnya. Rambutnya hitam legamnya ia biarkan tergerai. Make up yang tidak terlalu tebal menambah kecantikan yang memang sudah dimilikinya sejak lahir.

Entah mengapa Sejeong tiba-tiba menjadi minder. Mereka berdua sangat cocok dan yang terpenting, keduanya berasal dari keluarga terpandang. Sekali lagi Sejeong hanya bisa tersenyum masam. Hatinya kembali serasa di remas dari dalam.

Gadis malang itu kembali menghembuskan nafas pelan, sebelum akhirnya kembali melangkah mendekati kedua pasangan itu.

Sejeong memaksakan senyumnya ketika Ia tiba dihadapan Mingyu dan Wonwoo. Dia bisa melihat Mingyu yang kini memandangnya dengan ekspresi terkejut.

Tiba-tiba Sejeong merasa ingin lari dari tempat ini dan menangis sejadi-jadinya. Tapi ia tidak bisa, tidak sampai dia mengucapkan selamat kepada mantan kekasihnya itu.

Sejeong kembali menghela nafas sebelum berujar, "Selamat atas pernikahan kalian".

Senyum itu. Mingyu tahu, senyum Sejeong itu bukanlah senyuman yang tulus. Gadis itu tidak mengucapkannya secara tulus. Mingyu tahu gadis itu juga merasakan sakit sama seperti dirinya. Mingyu hampir saja memeluk Sejeong bila tangan Wonwoo tidak menahannya untuk bergerak semakin dekat dengan gadis yang dicintainya itu.

Mingyu menatap Wonwoo dengan pandangan tajam. Wonwoo balas menatapnya, berani. Gadis yang kini resmi menjadi istrinya itu melirik kearah dimana orang tua mereka berada. Orang tua mereka sedang memperhatikan mereka saat ini. Mingyu mau tidak mau mengalah. Dia melepas kasar pegangan Wonwoo di tangannya dan kembali menatap kearah Sejeong.

Mata gadis itu sekarang berair. Tanda sebentar lagi ia akan menangis. Tapi Mingyu tahu, Sejeong adalah gadis yang kuat.

Keheningan terjadi diantara mereka bertiga. Sampai Wonwoo bersuara dan memecahkan keheningan yang terjadi.

"Terimakasih atas ucapannya, Sejeong-ssi. Apakah anda datang sendiri?"

Sejeong menatap Wonwoo dengan senyum yang sedikit dipaksa, sebelum mengangguk,"Ya aku datang sendiri".

Mingyu masih diam memperhatikan gadis yang dicintainya itu. Ingin rasanya Mingyu memeluk gadis itu, namun saat ini Ayahnya sedang memperhatikannya dengan tatapan tajam andalannya yang sukses membuat Mingyu tak bisa berkutik.

"Kalau begitu apa anda ingin saya antarkan untuk berkeliling sebentar? Aku sangat bosan berdiri disini selama hampir satu jam," ujar Wonwoo sambil memanyunkan bibirnya sedikit. Dia tidak bohong soal dia bosan hanya berdiri sambil menyambut orang-orang yang datang selama satu jam penuh.

Sejeong mau tidak mau dibuat tersenyum oleh tingkah Wonwoo, "Tidak usah, Wonwoo-ssi. Lagipula aku hanya sebentar disini. Aku harus pergi sebentar lagi. Ada urusan yang harus aku selesaikan".

Wonwoo mengangguk sekilas,"Ah, sayang sekali."

Sejeong melirik kearah Mingyu sekilas sebelum kembali menatap Wonwoo, "Nah Wonwoo-ssi. Aku harus pergi sekarang. Sekali lagi selamat atas pernikahan kalian berdua," dan setelah itu Sejeong berlalu dari hadapan keduanya. Air mata yang sedari tadi Ia tahan akhirnya jatuh juga. Dia sakit. Hatinya sakit. Benar-benar sakit. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mingyu-nya kini sudah menjadi milik orang lain. Orang lain yang lebih pantas untuknya.

.

.

.

Mingyu kini hanya bisa menatap punggung Sejeong yang semakin lama semakin mengecil hingga akhirnya menghilang dari pandangannya. Ingin sekali dia berlari dan memeluk gadis itu, tapi sekali lagi tatapan Ayahnya membuat dia mengurungkan niatnya. Salahkan Ayahnya yang mengancam tidak akan memberikan harta warisan kepadanya apabila dia sampai melanggar perintah Ayahnya.

Mingyu tersenyum masam. Ini tidak sepenuhnya salah Ayahnya, jika saja, jika saja Mingyu lebih berani, jika saja Mingyu tidak bergantung pada Ayahnya maka dia pasti bisa bersama Sejeong saat ini. Tapi Mingyu tetaplah Mingyu, dia hidup dibawah bantuan Ayahnya dan dia membenci fakta itu.

Sekarang karena semua itu, dia kehilangan seseorang yang sangat dia cintai. Dia kehilangan Sejeong.

Mingyu menatap Wonwoo yang ada disampingnya. Entah kenapa semua rasa marah dan kesal seketika menumpuk di dalam dadanya. Ini semua karena gadis ini. Andai saja dia tidak ada, Mingyu pasti sudah bisa bersama Sejeong saat ini. Harusnya dia memusnahkan gadis ini saja.

Mingyu meringis dengan pikirannya sendiri. Tidak. Ia tidak bisa melenyapkan putri semata wayang keluarga Jeon itu, bukannya bersama Sejeong yang ada dia bisa-bisa mendekam di balik jeruji besi.

Ya. Mingyu tidak bisa melenyapkan Wonwoo. Tapi dia bisa menyiksa gadis itu, dan membuatnya pergi dari hidupnya untuk selama-lamanya. Mingyu bersumpah untuk membuat Wonwoo tersiksa dan menyesal mengenal Mingyu.

.

.

.

.

.

.

Dan Mingyu benar-benar menjalankan sumpahnya. Terhitung sudah satu bulan mereka menikah dan selama itu pula Mingyu selalu bertindak kasar pada Wonwoo. Tak jarang Mingyu memarahi bahkan memukuli Wonwoo. Pria itu seolah memiliki seribu alasan untuk menyakiti gadis malang itu. Seperti pagi hari ini.

Wonwoo yang telah bangun sejak pukul 5 pagi karena ada jadwal kuliah pagi terlihat bersemangat untuk membuat sarapan untuknya dan Mingyu. Wonwoo sebenarnya bukanlah gadis yang pandai memasak, mengingat dulunya dia cukup manja dan semua pekerjaan di rumahnya dulu dikerjakan oleh maid tetapi dia selalu berusaha untuk belajar agar bisa membuatkan masakan yang enak untuk suaminya, Kim Mingyu. Pagi hari ini gadis cantik berkulit putih pucat itu sedang memasak nasi goreng kimchi yang baru saja dia pelajari dari ibu mertuanya sewaktu sang ibu mertua datang mengunjunginya 3 hari yang lalu.

Jam menunjukan pukul 06.15 saat Wonwoo menyelesaikan masakannya. Dia ada jadwal pukul setengah delapan yang artinya masih ada waktu untuk sarapan bersama Mingyu—meskipun dia tidak yakin Mingyu bersedia sarapan bersamanya.

Gadis itu melangangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar Mingyu yang ada di lantai atas. Sekedar informasi, mereka tidur di kamar yang terpisah. Awalnya Wonwoo ingin protes mengingat keduanya adalah sepasang suami istri jadi untuk apa mereka tidur di kamar yang terpisah, namun hal itu dia urungkan. Wonwoo tidak ingin Mingyu marah apabila dia protes. Lagipula ini adalah resiko yang harus diterima Wonwoo ketika menikahi Mingyu yang notabenenya masih sangat mencintai Sejeong.

Wonwoo tersenyum miris. Ya, Mingyu masih mencintai Sejeong meskipun mereka telah resmi menjadi suami istri sebulan lalu. Mingyu masih mencintai Sejeong meskipun gadis itu telah pergi ke Jepang karena lagi-lagi gadis itu mendapatkan beasiswa sebulan lalu. Mingyu masih sangat mencintai Sejeong.

Tapi Wonwoo tidak perduli. Dia sangat mencintai Mingyu bahkan sejak pertama kali dia melihat pria tersebut di kampusnya, sama seperti gadis-gadis lain. Wonwoo bisa saja mendekati Mingyu tapi sayang pria itu bahkan tidak tertarik untuk meliriknya. Karena Mingyu hanya tertarik pada Sejeong.

Wonwoo tidak perduli dengan fakta bahwa Mingyu masih mencintai Sejeong, yang terpenting bagi Wonwoo saat ini Mingyu adalah miliknya, suami sahnya. Katakan Wonwoo egois, katakan dia bodoh karena dia masih bertahan dengan Mingyu yang jelas-jelas tidak mencintainya. Katakan dia jahat karena sudah memisahkan Mingyu dan Sejeong yang saling mencintai. Tapi dia benar-benar tidak perduli. Cinta sudah membutakan Wonwoo.

Wonwoo terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga secara tidak sadar dia sudah berada di depan kamar Mingyu saat ini. Gadis itu menarik nafas sesaat sebelum mengetuk pintu di hadapannya beberapa kali.

Tok

Tok

Tok

Hening. Tidak ada jawaban dari dalam. Wonwoo menyimpulkan bahwa Mingyu masih tidur. Gadis itu mencoba untuk menarik knop pintu di hadapannya.

Cklek

Tidak terkunci.

Wonwoo memasuki kamar Mingyu dan melihat pria itu masih terlelap di atas ranjangnya. Ia mengamati wajah suaminya sesaat.

Benar-benar tampan

Batinnya.

Wonwoo kembali melangkahkan kakinya menuju kearah jendela besar yang terletak di ruangan itu. Dia menarik tirai yang menutupi jendela. Membuat sinar cahaya matahari pagi memasuki kamar yang terbilang luas itu.

Cahaya matahari yang memasuki kamar mengusik tidur damai Mingyu. Pria itu mengerutkan keningnya, dan sedikit mengeluh karena merasa terganggu oleh cahaya matahari yang menusuk-nusuk matanya.

Namun, bukannya bangun pria itu malah menarik selimut yang semula menutupi setengah badannya hingga kini menutupi seluruh wajahnya—berusaha kembali ke alam mimpinya.

Wonwoo terkekeh kecil melihat tingkah Mingyu yang menurutnya lucu. Gadis itu melangkahkan kaki jenjangnya kearah ranjang berukuran King size yang di tempati Mingyu. Ia berdiri disamping ranjang itu dan mulai menggoyang-goyangkan tubuh yang terbungkus selimut tersebut.

"Mingyu, ayo bangun"

Diam. Mingyu masih tak beranjak dari kasurnya.

"Kim Mingyu, ayo bangunnn" ucap Wonwoo lagi sambil menggoyangkan tubuh suaminya semakin keras, membuat pria itu risih dan akhirnya bangun dari posisi tidurnya.

Mingyu menatap tajam seseorang yang sudah membangunkannya, membuat Wonwoo menatap Mingyu dengan pandangan takut-takut.

"Umm, anu- itu- aku sudah membuatkan sarapan, j-jadi aku ingin mengajakmu untuk sarapan bersama"

Mingyu mendecih mendengar perkataan Wonwoo. Senyum sinis kini tercetak di wajahnya.

"Dengarkan ini baik-baik Jeon Wonwoo-ssi. Aku tidak perduli entah kau mau membuat sarapan, makan siang, ataupun makan malam. Karena aku—

tidak akan pernah sudi untuk memakan masakan mu apalagi makan bersama denganmu. Jadi sekarang, sebaiknya kau keluar dari kamarku sebelum aku yang menyeretmu keluar," ucap Mingyu yang membuat Wonwoo mematung.

Wonwoo masih terdiam disana dengan mata berair hingga teriakan Mingyu menyadarkannya dari semua lamunannya.

"CEPAT KELUAR"

Wonwoo buru-buru mengangguk sambil menghapus air matanya yang entah sejak kapan sudah membasahi pipi tirusnya. Setelah itu ia segera bergegas keluar dan tidak lupa kembali menutup pintu kamar Mingyu.

Mingyu menutup matanya, berusaha melenyapkan rasa bersalah yang tiba-tiba saja muncul saat melihat air mata Wonwoo. Well, Mingyu tidaklah sejahat itu. Diam-diam dia juga merasa bersalah dengan semua perlakuannya terhadap istrinya itu. Setiap kali Wonwoo menangis, perasaan bersalah itu akan muncul. Tapi Mingyu selalu berusaha menepisnya dengan menyalahkan Wonwoo atas semua yang terjadi.

'Kau tidak seharusnya merasa bersalalah. Karena dia, kau tidak bisa bersama dengan Sejeong. Ya, semua itu karena dia' batin Mingyu.

.

.

.

TBC/END based on the review