Disclaimer: Sampe KHR terbit tanggal 27 Februari dan diskon 25% kemaren juga tetep aja punyanya Amano Akira.

Author's note: Gaje, AU, abal, OOC, typo(s), drabble, alur maju mundur kanan kiri atas bawah, dll. Italic for flashback. Birthday fict for Bena (at BenaWerda15). HAPPY VERY VERY BELATED BIRTHDAY, SAY! SUMAN BARU SEMPET POST. Keep fujo, ya~! Hope you like, say~! Eh tapi jangan lupa di review ya:D /plak /maunya. 8059 abal. Douzo!


Gokudera menatap langit sore berawan yang tampak mendung. Matanya menerawang. Kosong.

Hujan rintik-rintik menuruni langit. Ia tetap menatapnya kosong melalui jendela. "Hujan ya..." katanya. "Ahhh, aku bosan dengan hujan," Gokudera menghela napas. "Dingin, menyebalkan."

"... Seperti orang itu..."

"Ada apa, Gokudera?"

"Tidak... tch, aku benci hujan, menyebalkan," Gokudera memeluk dirinya sendiri.

"Masa?" lelaki itu menengadah, menatap langit yang menurunkan hujannya. Tangannya mencoba meraih air yang turun itu. "Menurutku indah, kok,"

"Itu kan menurutmu. Menurutku itu menyebalkan," Gokudera mendelik.

"Menyebalkan kenapa, hm?" tanyanya sambil terus tersenyum.

"Menyebalkan sekali. Dingin," jawab Gokudera sambil membuang pandangan. 'Dan membuatku terus ingat padamu,' lanjutnya—dalam hati.

"Hanya itu alasanmu?" tanya Yamamoto. Gokudera diam saja. Ia tak mau berbohong, tapi tak mau jujur. Tak mungkin, kan, ia mengatakan alasan kedua padanya? Yamamoto tersenyum. "Kalau begitu," ia melepas jaketnya dan memakaikannya di tubuh Gokudera. "Pakai ini, agar hangat."

Dan wajah Gokudera bersemu semerah tomat. "Te—terima kasih..." gumamnya pelan. Sangat pelan, sehingga Yamamoto harus memasang telinganya untuk mendengar kata-kata itu.

"Eh? Apa?" tanyanya iseng, menggoda Gokudera yang langsung menggelengkan kepalanya.

Ia memeluk dirinya sendiri. Napasnya mengepul selagi ia membuangnya. Dingin sekali memang hari ini. Rasanya ia ingin kembali ke saat-saat itu. Saat-saat dimana ia masih ada di sisinya. Tersenyum padanya. Menggenggam tangannya. Memeluknya. Menciumnya.

Ia menyenderkan kepalanya ke jendela yang terasa dingin. Biar saja dingin, ia tak peduli. Ia sudah tak peduli dengan dingin—atau apapun. Ia hanya peduli tentangnya.

Kata-katanya masih terngiang di kepalanya.

"Kalau begitu kenapa kau tak menikmati hidup sedikit?"

"Hah?"

"Nikmati hidup, kubilang," Yamamoto menoleh dan menatap matanya lembut, membuat Gokudera bersemu merah.

"A—aku sudah menikmati hidup, kok!"

"Serius?"

"Serius!"

Yamamoto melempar pandangannya ke depan. "Tapi aku merasa Gokudera bisa lebih senang lagi."

"Hah?" Gokudera menatap lelaki di sampingnya tak percaya. "Maksudmu?"

"Ya, kau bisa lebih senang lagi," sekali lagi Yamamoto mengembangkan senyumnya pada Gokudera. "Tak harus selalu bersama Tsuna, kan? Kau bisa saja mencari seorang gadis, kan? Untuk menemanimu..."

"Tidak mungkin," sangkal Gokudera sambil menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin aku seenaknya saja pergi dari sisi Juudaime. Mafia tak semudah itu."

Yamamoto hanya menghela napas mendengar penjelasan pemilik surai perak itu. "Kenapa... kau terpaku padanya...?"

"Kenapa? Karena Juudaime itu adalah bos yang sangat hebat. Aku menghormatinya."

"Kenapa... kau terpaku padanya...?" ulang Yamamoto sekali lagi.

"Kau tidak dengar?! Aku bilang dia adalah—" Gokudera terdiam tak bisa menyelesaikan kata-katanya. Yamamoto menatapnya dengan tatapan sendu.

"Kenapa... kau tak sesekali menatapku... hanya aku...?" pertanyaan mendesak ini membuat Gokudera kaget dan bingung. Ia membuang pandangan ke arah lain.

Pluk!

Kepala Yamamoto bersandar di bahunya. "Ya—Yakyuu-baka?!" pekik Gokudera kaget.

"Padahal... aku ingin kau hanya menatapku..." ujar Yamamoto pelan tanpa menggubris protes dari lelaki bersurai perak itu.

"Ya—Yakyuu-baka!" wajah Gokudera sudah merah tak terkendali, ia tak tahu harus bagaimana.

"Padahal... aku menyukaimu..."

Dan satu kata itu sukses membuatnya ingin pingsan.

Tanpa sadar, ia tersenyum. Pengakuan cintanya yang tiba-tiba dan mengagetkannya itu sangat menarik. Ia tak akan pernah sadar bahwa kata-kata tentang menikmati hidup itu berujung pada pengakuan cinta yang langsung disambut hangat dan malu-malu oleh Gokudera. Iya ingat, saat itu, setelah menyatakan perasaannya, Gokudera tanpa sadar bergumam, "Aku juga..." dan Yamamoto langsung menoleh tidak percaya dan kemudian langsung melayangkan ciuman tak terduganya.

Ciuman pertama bagi Gokudera Hayato...

Ia menatap hujan yang turun lagi. Hanya melihat dari balik jendela, tak memperhatikannya. Tatapannya kosong, pikirannya kosong. Semuanya tak tertuju pada hujan, pekerjaan, atau apapun di dunia nyata.

Semuanya tertuju padanya.

Pada Yamamoto Takeshi.

Pada cinta pertamanya.

Cinta pertama sekaligus terakhirnya.

Gokudera menghela napas panjang. Buat apa ia tenggelam dalam khayalannya? Ia bangkit dan mengambil secangkir cokelat panas dari meja. Ralat, secangkir cokelat panas yang sudah dingin. Cokelat yang sudah dibuatnya sejak sejam lalu tapi belum disentuhnya sama sekali. Dengan cuaca sedingin ini, jelas saja cokelatnya menjadi dingin.

Ia meniup cokelat dalam cangkir itu walau itu tak perlu. Ia menyesapnya sedikit. Dingin. Ia menghela napas panjang. Ah, ia harus bersiap-siap. Besok ia akan pergi ke Itali karena pekerjaannya, jadi lebih baik bersiap-siap sekarang.

Itali...

"Sudah lama aku ingin kembali ke Itali," ujar Gokudera sambil menatap langit. Yamamoto melihatnya sambil tersenyum.

"Kau mau? Kalau begitu ayo kita pergi!" ujar Yamamoto riang.

"Kita? Apa maksudmu dengan kita?" pemilik surai perak itu menatap pria Jepang di sampingnya itu sinis. "Yang ingin kembali ke Itali itu aku, bukan kita, paham?"

"Tapi aku juga ingin ke Itali," sekali lagi, pecinta baseball itu tertawa. "Sesekali ajak aku, dong. Ke Itali. Perkenalkan aku pada keluargamu sebagai kekasihmu."

"Kau mau aku dibom saat itu juga?"

Yamamoto hanya tertawa dan langsung menggenggam tangan Gokudera erat. "Kalau begitu, biar aku saja yang dibom saat itu juga!"

Gokudera tersentak kaget. Kenapa ia tiba-tiba melamun lagi? Padahal ia berencana bersiap-siap begini agar bisa berhenti melamun dan membuang segala ingatannya tentang dia.

Tentang Yamamoto Takeshi.

Tapi tampaknya gagal. Gokudera tertawa geli. Ternyata memang mustahil membuang ingatannya tentang lelaki Jepang itu. Biar saja. Gokudera kembali bersiap-siap. Setelah semuanya rapi dalam tasnya, ia menatap sesuatu. Sebuah bingkai foto. Di depannya ada sebuah cincin. Ia meraih foto itu. Fotonya dengan Yamamoto, tersenyum sambil memamerkan tangan keduanya. Keduanya mengenakan cincin yang sama, cincin yang ia letakkan di depan foto itu. Cincin dari Yamamoto...

"Sini, sini!" panggil Yamamoto. Gokudera bergerak malas mendekati Yamamoto.

"Apa lagi, hah?!" ujarnya kesal. Yamamoto mengisyaratkan agar Gokudera memberikan tangan kanannya dan Gokudera menurut. Langsung sama sebuah cincin disematkan di jari manis Gokudera. "A—apa?" Gokudera tampak bingung ketika melihat cincin itu. "I—ini?!"

"Cincin, untukmu," ujar Yamamoto. "Aku juga punya satu, mirip dengan itu. Bagus, kan?"

"Memangnya kau pikir aku ini perempuan yang menyukai cincin, hah?"

"Ahaha~" Yamamoto tertawa lagi. Tawa yang agak menyebalkan tapi menenangkan. "Aku hanya memberikannya, kok!"

"Apa maksudmu memberikan ini?"

Gokudera memasukkan foto itu dalam tasnya.

"Untuk menyatakan..." Yamamoto mencium tangan Gokudera.

Gokudera mengambil cincin itu dan menyematkannya di jari manisnya. Masih pas.

"Aku mencintaimu, Gokudera."

"... Aku juga mencintaimu, Yamamoto..."

"Dan satu lagi, Gokudera," Yamamoto tersenyum. "Selamat ulang tahun."

-Fin-