Disclaimer : Masashi Kishimoto.
Pairing : NaruSaku-Ever.
Rated : M (for language, lime, lemon, etc).
Genre : Romance
Warning : OOC, Typos, Mainstream theme and Boring.
Story by
Chapter 1
Pertemuan
Nona Haruno
Terima kasih atas permohonan anda berkenaan dengan kehadiran Naruto Uzumaki beserta semua anggota team di rumah sakit anda. Club kami telah menerima ribuan surat permohonan sejenis setiap tahunnya, dan sayangnya Tuan Uzumaki tidak bisa memenuhi setiap permohonan tersebut. Mohon maaf, saat ini beliau sedang sibuk.
Salam hormat,
Hinata Hyuga
Humas, Club Football Konoha
Bagus.
Ini adalah penolakan kelima dari Naruto Uzumaki yang sukar didekati. Anak-anakku akan merasa kecewa lagi.
Kusingkirkan email itu dari layar ponselku dan melemparkan ponsel ke dalam tas tanganku, menaiki mobil dan berkendara menuju Ramen Ichiraku, tempat favoritku untuk memanjakan diri dengan ramen spesial.
Aku seorang perawat di Rumah Sakit Anak Konoha, dan para remajaku hanya ingin bertemu dengan para pahlawan olahraga mereka, tak lebih. Kupikir selebritis memiliki jadwal seperti ini. Yang kuminta hanya beberapa jam, tak perlu sampai berhari-hari.
Aku melirik ke arah kananku, dan duduk tepat di tengah restoran mungil seorang sahabat semasa kuliahku, Sara, dan kakaknya, Naruto Uzumaki.
Sialan!
Aku sangat menyukai Sara. Dia, Ino, dan aku adalah teman baik saat kuliah, jadi sudah pasti aku akan menyapanya. Aku hanya berharap tidak perlu berbicara dengan kakaknya yang arogan luar biasa.
Aku memesan makananku kemudian berjalan mendekati temanku.
"Sara?" tanyaku, tanganku berada di bahunya.
"Sakura!" Dia langsung terlonjak dan menarikku ke dalam pelukan yang hangat. "Ya ampun, aku tidak bertemu denganmu tahunan! Apa kabarmu?"
Aku melirik gugup pada Naruto. "Aku baik-baik saja, terima kasih. Senang bertemu denganmu." Dia terlihat mengagumkan, seperti biasa, dengan wajah yang tampan dan mata biru yang cerah.
"Naruto, ini adalah Sakura Haruno, teman kuliahku. Sakura, ini adalah kakakku, Naruto."
Naruto berdiri, sosok tingginya menjulang di atasku, dan dia mengulurkan tangannya. Sial, apakah aku harus menyentuhnya? Termenung sesaat, akhirnya aku menemukan tata kramaku dan menjabat tangannya dengan sopan.
"Aku tahu siapa Anda."
Dia hanya mengangguk dan duduk kembali.
"Apa yang kau kerjakan sekarang?" Sara bertanya padaku.
"Aku perawat yang bertugas di Rumah Sakit Anak Konoha unit kanker." Aku menyeringai ke Sara, amat peka terhadap tatapan mata Naruto padaku, menjalari tubuhku naik turun, pada blus putih longgarku yang dipadankan dengan ikat pinggang dan legging hitam serta sepatu boots koboi merahku. Dia membuatku gugup.
"Itu hebat! Bagus buatmu, girl. Apakah kau masih menyanyi?" Sara bertanya dengan sebuah senyuman.
"Uh, tidak." Aku menggelengkan kepala dan merundukkan tatapanku ke meja. "Tidak sejak kuliah."
"Kau menyanyi?" Naruto bertanya, alis matanya naik.
"Dia memiliki suara yang fantastis," Sara menjawab dengan bangga. Dia selalu sangat manis dan suportif.
"Terima kasih, tapi kau tahulah bagaimana," aku menjawab sambil mengendikkan bahu. "Kehidupan mengambil alih dan keadaan menjadi sibuk." Dan sahabat terbaik meninggalkanmu untuk memulai grup band sendiri.
Dua kepala yang berbeda warna itu bertukar pandangan, dan tiba-tiba Sara mengagetkanku dengan "Apakah kau sudah menikah?"
Aku tertawa cukup kencang. "Tentu saja tidak."
"Bolehkah aku meminta nomor teleponmu?" Naruto bertanya blak-blakan. Bajingan arogan. Aku berani bertaruh wanita jatuh cinta padanya kemanapun dia pergi.
Kupicingkan mataku, tidak mampu menyembunyikan ketidaksukaanku pada pria ini. "Jangan harap."
Rahang Naruto terbuka dan dia menyeringai, kemudian dia menggelengkan kepalanya.
"Maaf, apa?"
"Kupikir aku tidak gagap, jawabanku jelas" jawabku, lalu menaruh tanganku di bahu Sara dan memaksakan sebuah senyuman untuk temanku. "Senang berjumpa denganmu. Jaga dirimu, girl."
"Kau juga, Sakura."
Saat aku berbalik dan melangkah menjauh kudengar Naruto bergumam, "Apakah maksud semuanya tadi?"
Dasar brengsek!
Kuambil kantung cokelat yang berisi ramen spesialku dan mengarah keluar restoran untuk pulang ke rumah serta menikmati satu-satunya malam liburku di minggu ini. Aku berdoa semoga aku tidak mendapat panggilan pekerjaan mendadak.
~ Kencan Ketiga ~
"Untuk Sara dan Menma," Shikamaru mengangkat gelas berisi anggur miliknya ke atas dengan satu tangan, sedangkan tangannya yang lain tetap berada di tubuh istrinya yang cantik, Ino. Semua orang mengikutinya, bersulang untuk pasangan yang sedang berbahagia itu. "Semoga cinta kalian bisa terus tumbuh. Kami tidak mengharapkan apapun selain kebahagiaan kalian berdua di dunia."
"Untuk Sara dan Menma!" Para tamu sepakat untuk meneriakkan kata-kata tersebut dan kemudian menyesap minuman mereka untuk merayakan waktu yang indah ini.
Aku menyesap anggur manis milikku dan memperhatikan sekitarku. Aku berada di dalam ruangan Olympic, salah satu ruangan luar biasa yang dimiliki oleh hotel Yamanaka. Untuk ke seratus kalinya, aku menanyakan hal ini pada diriku sendiri, apa yang kulakukan disini. Aku sempat terkejut saat menerima undangan untuk datang ke acara pesta pertunangan Sara. Aku, Sara dan Ino sahabat semasa kuliah, kami sering pergi bersama dan menghabiskan waktu bersama-sama, dan sangat senang bertemu dengan mereka lagi beberapa bulan lalu, tapi aku sama sekali tidak mengharapkan sebuah undangan untuk berkumpul dengan keluarga dan teman dekat mereka.
"Sakura, aku sangat senang karena kau bisa datang." Ino menepuk pundakku dan menarikku ke dalam sebuah pelukan akrab. "Aku sangat merindukanmu, girl."
"Aku juga," Aku memberikan respon. Sambil menahan dia agar tetap berada di depanku, aku sedikit menarik tubuhku ke belakang untuk mengagumi wanita cantik yang ada di depanku ini. "Kau benar-benar fantastis. Menikah dan menjadi seorang ibu sangat cocok untuk dirimu, teman."
Dan itu memang benar. Mata hijau kebiruan Ino bersinar karena kebahagiaan dan rasa puas, rambut pirangnya ditarik ke belakang dan rambut itu sedikit bergelombang, dan dia mengenakan sebuah gaun tanpa lengan berwarna hitam yang fantastis.
"Terima kasih. Aku suka gaunmu. Gayamu sama sekali tidak pernah berubah." Dia memberikan respon dengan sebuah senyuman. Aku melihat ke bawah, ke arah gaun warna perak pucat dengan tanpa tali bahu yang kukenakan saat ini, kemudian beralih ke sandal bertali warna perak yang kukenakan pada kakiku.
"Tidak ada banyak perubahan," Aku merespon kata-katanya sambil mengangkat bahu.
"Apalagi rambutmu, seperti biasanya," Ino tertawa, menunjuk ke arah rambutku yang berwarna pink, dan kami berdua tertawa kecil bersama-sama.
"Oh tentu saja yang ini tak akan aku ubah selamanya, anak-anak menyukainya. Mereka bilang ini seperti gulali, kau tahu mereka benar-benar menyukainya."
Di sela pembicaraan kami, Sara menghampiri.
"Disana kau rupanya!" Sara berteriak dan merangkulku dengan salah satu lengannya dan lengannya satu lagi merangkul Ino dan membentuk sebuah pelukan kelompok.
"Sakura, aku senang kau datang kemari!"
"Aku tidak akan melewatkan ini. Meskipun aku terkejut saat mendapatkan undangan itu."
"Kau adalah temanku. Aku ingin kau berada disini." Sara tersenyum dan mencari-cari sesuatu di dalam ruangan, dan akhirnya dia berhenti mencari setelah matanya menemukan prianya.
"Dia sangat tampan, Sara. Dan benar-benar jatuh cinta padamu." Aku berbisik saat mengikuti pandangan matanya.
"Ya. Begitu pula diriku."
"Aku ikut berbahagia akan dirimu." Aku menyesap minumanku sedikit lebih banyak.
"Terima kasih." Senyumnya terlihat lebar dan begitu berbahagia, dan itu benar, aku berbahagia karena dia dapat menemukan prianya. Mereka berdua tampak sangat serasi.
"Kapan kita akan makan?" Naruto bertanya dari meja yang tidak terlalu jauh dari kami. Sejak tadi aku mencoba sekuat tenaga untuk mengabaikan kehadiran Naruto. Aku berusaha untuk menjauh dari dirinya dan menghindari percakapan dengannya, tapi aku merasa kalau matanya terus memandangiku malam ini, dan aku tidak mengerti. Aku yakin bahwa diriku bukanlah tipe wanita yang dia sukai, dan bukan rahasia lagi kalau aku juga tidak tertarik pada dirinya.
"Makanan sudah siap untuk disajikan" Seorang wanita berambut pirang keriting yang cantik berjalan menuju meja tempat Naruto berada, dia membawa kereta dorong yang berisi banyak makanan dan menatanya di atas meja.
"Sialan, dia pahlawanku." Naruto mengomentari dan segera meraih makanan yang tersaji di hadapannya. "Aku benar-benar kelaparan."
"Kau memang selalu kelaparan!" Sara berteriak dan tertawa. Dia menarikku dan Ino untuk bergabung bersama di meja.
~ Kencan Ketiga ~
Bagaimana mungkin akhirnya aku berada di satu meja dengan Naruto adalah merupakan sebuah misteri bagi diriku. Faktanya sekarang adalah, aku duduk dengan semua kakak laki-laki Sara yang luar biasa tampan, seorang wanita manis yang bernama Karin, dan saudara ipar Sara, Konan, yang juga sangat menarik dan sedang hamil tua. Benar-benar tua sehingga bisa melahirkan kapan saja.
Semua orang tertawa, bercanda satu sama lain, dan mereka semua tampak luar biasa.
Kenapa aku tidak membawa pasangan pada saat datang kemari? Kemungkinan besar adalah karena terakhir kalinya aku berkencan dengan seorang pria adalah tiga tahun lalu.
Menyedihkan.
"Jadi, Sakura, apa pekerjaanmu saat ini?" Kakak Sara yang bernama Nagato bertanya padaku.
"Aku adalah perawat yang bertugas di Rumah Sakit Anak Konoha."
"Di departemen apa?" Dia bertanya lagi sambil memotong steak yang ada dipiringnya.
"Aku bertanggung jawab untuk merawat para remaja yang menderita kanker." Aku menggigit kentang panggang dan kemudian menyesap anggurku. Aku mungkin memerlukan lebih banyak anggur saat ini.
"Berapa lama kau bekerja disana?" Nagato bertanya lagi dan aku sempat melihat bahwa raut wajah Naruto menjadi muram. Apa yang terjadi pada dirinya?
"Aku sudah menjadi perawat sekitar enam tahun, dan dua tahun dalam posisiku saat ini."
Nagato mengisi gelas anggurku dan memberikan senyuman manis padaku, yang membuatku membalas senyumannnya.
"Kau masih muda tapi sudah memiliki pekerjaan yang begitu penting." Naruto berkomentar, tapi aku memutar kedua bola mataku dan mengabaikannya, yang menghasilkan sebuah pandangan tajam dari dirinya sekali lagi.
"Jadi, kalau Konan tiba-tiba saja harus melahirkan, kau akan menyelamatkan kami semua." Deidara mengatakan itu dan kami semua tertawa bersama-sama.
"Tidak, aku bukan seorang perawat yang bisa menangani persalinan. Tapi aku bisa menelpon ambulans." Aku memberikan respon.
Konan menyentuh perutnya dan kemudian tersenyum. "Tidak masalah, guys, kita masih punya waktu satu bulan sebelum aku benar-benar akan melahirkan."
Nagato mencondongkan tubuhnya untuk mencium pipi istrinya dan membisikkan sesuatu di telinganya, membuat Konan tersenyum.
Para pria ini benar-benar mempesona. Sara dan keluarganya adalah kolam genetika yang hebat. Dengan Minato Namikaze yang tampan dan Kushina Uzumaki yang sangat cantik.
Nagato menuangkan segelas anggur untukku sekali lagi dan aku segera menyesapnya, mendorong piringku ke arah samping. Lagipula aku sekarang terlalu gugup untuk bisa makan.
Di tengah-tengah percakapanku dengan Konan, aku menyadari bahwa kepalaku mulai sedikit pusing, jadi aku minta ijin untuk meninggalkan mereka sebentar, untuk pergi ke kamar mandi dan meletakkan kain dingin di dahiku serta memperbaiki lip glossku.
"Sakura, tunggu sebentar."
Sial.
Aku mencoba untuk mendahului dia masuk ke dalam kamar mandi wanita, tapi Naruto mengikutiku masuk ke dalam dan mengunci pintunya.
"Apa yang kau lakukan disini?" Aku bertanya padanya dengan alis mata terangkat.
"Kelihatannya kau sama sekali tidak menyukai diriku. Iya kan?" Dia menyandarkan tubuhnya yang tinggi, sekitar dua meter ke arah pintu kamar mandi dan menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya. Dia sudah melepaskan jaketnya sejak tadi, dan sekarang dia hanya mengenakan kemeja warna pink- pink? -yang ternyata membuatnya tampak seksi, tidak mengenakan dasi, serta celana panjang dari kain yang berwarna hitam. Lengan kemejanya digulung ke atas, menunjukkan otot-otot lengannya yang indah. Rambutnya yang berwarna kuning sudah terlalu panjang dan sedikit berantakan, dan mata birunya itu menjelajahi tubuhku dari atas ke bawah, sebelum akhirnya berhenti untuk menatap mataku.
"Aku tidak mengenalmu dengan cukup baik untuk bisa mengatakan bahwa aku menyukaimu atau tidak."
"Aku rasa itu omong kosong." Dia mengatakannya dengan tenang.
"Bukan masalah untukku." Aku mengangkat bahu dan memutar tubuhku menghadap wastafel untuk mencuci tangan dan memperbaiki lip glossku, sedangkan mata Naruto tidak pernah beralih dari diriku.
"Apa?" Aku bertanya dan memutar tubuhku.
"Kenapa tidak kau katakan padaku apa yang membuatmu begitu marah padaku sehingga kau bisa menyukaiku?"
Aku tertawa terbahak-bahak, membuat dia memandangku dengan tatapan muram, dan itu semakin membuatku tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar-benar si brengsek yang luar biasa arogan, ya?"
"Tidak, aku tidak seperti itu." Dia benar-benar serius, tidak merasa bahwa situasi ini adalah situasi yang menggelikan.
"Ya, kau memang seperti itu. Dan aku tidak ingin membuat kau menyukaiku."
Dia mengangkat bahu seakan-akan apa yang kuinginkan ini tidak akan berakibat apapun padanya. "Aku bukan orang yang brengsek, Saku. Apa yang kulakukan sehingga membuatmu tidak menyukai aku sama sekali?"
Aku berhenti tertawa dan membersihkan tenggorokanku, mengambil sedikit waktu untuk diam dan hanya memandang pada dirinya. Dia kelihatan benar-benar tulus.
Tapi aku tidak akan pernah bisa melupakan wajah-wajah kecewa para pasienku saat itu.
"Itu tidak masalah." Dia berbisik.
"Kenapa?" Jantungku mulai berdegup lebih cepat dan oh, Tuhan, aromanya benar-benar nikmat. Aku menyalahkan kepalaku yang sedang pusing karena berlebihan minum anggur dan hanya sedikit mengkonsumsi makanan.
"Aku perlu kau mengatakan padaku apa yang telah kulakukan sehingga kau begitu marah pada diriku, sehingga aku bisa minta maaf padamu." Dia bergerak sedikit menjauh, dan matanya menjelajahi tubuhku. Aku bisa merasakan panas yang terpancar dari matanya dan aku merasa kulitku menjadi hangat karena tatapan matanya itu.
Pandangannya kembali ke wajahku dan dia membuatku membeku dengan mata birunya itu. "Kau kelihatan hebat dengan gaun kecil ini dan sepatu hak tinggi itu. Dan rambutmu yang berwarna merah muda itu tampak sedikit acak-acakan diwajahmu yang manis."
"Um..." Apa pertanyaannya tadi?
"Katakan padaku." Dia bersikeras.
"Katakan padamu soal apa?" Aku berbisik padanya.
Dia tersenyum dan membalasku dengan suara berbisik. "Apa yang telah membuatmu begitu marah padaku, Sakura-chan."
"Aku berulang kali mengirim pesan pada orang-orang dibagian Humas selama dua tahun terakhir ini untuk memintamu dan anggota tim yang lain datang dan menemui anak-anakku. Setiap permintaanku selalu ditolak, mengatakan bahwa dirimu tidak tertarik untuk melakukannya."
Dia mengerutkan dahinya dan perlahan menggoyangkan kepalanya. "Aku sama sekali tidak pernah menerima permintaan untuk mengunjungi anak-anakmu itu dari bagian Humas."
"Ya, benar." Aku memberikan respon sarkastik dan mencoba menarik diri sehingga aku tidak bisa mencium aroma tubuhnya. Aromanya itu benar-benar mengakibatkan sesuatu pada diriku.
Aku ingin menjilati lehernya.
"Aku tidak berbohong. Mereka yang menyaring semua permintaan yang masuk untukku. Dan permintaanmu itu tidak pernah sampai pada diriku."
Oh.
Well, sialan.
"Kenapa kau tidak meminta Sara mengatakan hal tersebut pada diriku? Atau kau bisa meminta nomor teleponku darinya?"
"Ya, benar." Aku mendengus. "Pertama. Dia adalah temanku dan aku tidak ingin menggunakan dia untuk hal-hal seperti ini, dan kedua, kenapa aku menelponmu? Aku bahkan tidak mengenalmu."
Naruto tersenyum lembut dan mengangkat tangannya untuk menyentuh wajahku, menyentuh dahiku dengan ujung jari telunjuknya, membuatku melihat ke dalam matanya. Dia begitu tinggi, menjulang tinggi di depanku, tapi tubuhnya sekarang sedikit membungkuk ke arahku. Matanya yang berwarna biru terang itu memperhatikan aku yang sedang menjilati bibirku, kemudian saat aku mulai menggigit bibir bawahku, dia menarik nafas dengan cepat dan memaku mata hijauku dengan pandangannya.
Tangannya dengan ringan bergerak untuk menyentuh rahangku, sedang tangan yang lain bergerak untuk mengembalikan rambutku ke belakang bahuku, dan aku tersesat dalam matanya. Aku tidak bisa bergerak. Seharusnya aku mendorongnya menjauh. Aku tidak pernah membiarkan orang asing menyentuhku di kamar mandi umum pada saat semua anggota keluarganya berada diluar, duduk dan berbincang-bincang, tertawa dan makan bersama-sama.
Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari matanya.
Dia menurunkan wajahnya sejajar dengan wajahku, menyentuh bibirku dengan sangat lembut, tersenyum pada diriku dengan cara khas miliknya yang sudah sangat terkenal itu, kemudian dia tenggelam di dalamku, mengubur tangannya di dalam rambutku, menahan wajahku, sehingga dia bisa menggerakkan mulutnya untuk menikmati mulutku.
Sialan, dia sangat hebat dalam hal berciuman. Bibirnya begitu lembut, namun kuat, kombinasi yang memberikan rasa sempurna untuk diriku. Bibir itu bergerak dengan presisi dan mengerti tujuannya, melintasi bibirku dan kemudian kembali lagi. Aku mengerang dan membungkuskan lenganku di sekitar pinggangnya, bersandar pada dirinya, dan Naruto menggeram padaku dan tiba-tiba saja ciuman itu berubah dari yang tadinya menginginkan, sekarang menjadi memerlukan. Lidahnya masuk ke dalam mulutku, berputar-putar dan berdansa dengan lidahku. Aku meraih ke atas, mengalungkan kedua lenganku di lehernya dan menggenggam rambutnya yang luar biasa itu dan secara naluri, aku bergelantung pada dirinya, berusaha memanjat agar wajahku semakin dekat dengannya.
Akhirnya, dia membantuku dengan menangkup kedua pantatku dan mengangkatku. Kedua kakiku melingkari pinggangnya, dan sebelum aku menyadarinya, punggungku sudah berada di dinding, tubuh Naruto condong ke arahku, membuat aku berada dalam posisi yang nyaman, namun mulutnya tetap berada di dalam mulutku.
Pria ini benar-benar bisa berciuman. Sialan.
"Ya Tuhan, kau begitu manis," dia berbisik. Sambil terus menggigit dan mencium, mulutnya bergerak ke daerah rahangku, perlahan bergerak ke daun telingaku dan turun ke arah leherku. "Kita berdua akan bersenang-senang, baby."
Baby? Dan ketika itu juga aku seperti disiram air dingin satu ember penuh, aku kembali ke akal sehatku. Aku benar-benar akan melakukannya di dalam kamar mandi umum –ew!- dengan Naruto Uzumaki.
Tidak!
"Hentikan," Suaraku terdengar kuat dan meminta.
To Be Continue...
