Memory of The Song
.
Rated : T
Genre : Romance/Friendship
Main Character : Vongola 1st + Shimon 1st + OCs + Elena + Lavina
Main Pairing : G x Lavina
Major Pairing : Vongola1st x OC (kecuali G & Spade) | Daemon Spade x Elena
Warning : Many OCs, Crack Pairing (GxLavina), AU!Story (When 1st Gen live at the future)
.
Katekyo Hitman Reborn create by Amano Akira and OC create by Me.
.
Prologue, First and The Only Love
.
Para anggota Vongola, kelompok Vigilante yang ada di Sicilly, Italia adalah seorang Bachelor yang terkenal masuk dalam top 10 Pria idaman wanita (baik yang sudah menikah, janda, ataupun single—jomblowati juga termasuk). Bahkan G dan Alaude yang selalu memasang wajah garang setiap kali seseorang mendekati mereka.
Jadi, cukup mengherankan bagaimana bisa mereka tidak memiliki seorang kekasih hingga usia mereka beranjak 26 tahun seperti saat ini—pengecualian bagi Spade yang memiliki kekasih. Elena.
"Makanya, apakah kau itu gay G?"
Yang dibicarakan menyemburkan teh yang ia minum yang nahas mengenai sang boss—Giotto Taru yang duduk di depannya. Menatap tajam kearah yang berbicara—Daemon Spade dengan tatapan tajam.
"Kenapa aku? Giotto juga tidak punya kekasih, hanya kau yang sudah memiliki tunangan," jawabnya sambil sedikit terbatuk dan mengusap bibirnya dengan punggung tangannya. Giotto yang mengelap wajahnya—dan berusaha untuk tidak membekukan sahabat sekaligus tangan kanannya itu—menatap tajam kearahnya.
"Nfufufu~ setidaknya ia memiliki seseorang yang ia sukai kau tahu~?"
G dan yang berbicara Spade—menatap kearah Giotto yang terdiam sambil melihat keduanya. Wajahnya perlahan menjadi merah, menatap pada Spade yang menyunggingkan senyuman anehnya semakin lebar karena wajahnya—dan G yang tampak menatapnya tidak percaya dengan mata membulat.
Karena Spade mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui—dan Giotto sama sekali tidak memberitahukannya tentang hal itu.
'Aku ingin penjelasan setelah ini.'
Itu adalah arti dari tatapan G yang menuju kepada Giotto—yang meneguk ludahnya dalam-dalam.
Saat ini, G, Giotto, dan Spade berada di salah satu cafe yang berada di tempat yang terpencil. Meskipun ternyata, walaupun cafe itu ditempat yang cukup terpencil, masih banyak suara 'kya' dan suara-suara gaib lainnya yang berasal dari beberapa wanita yang menatap mereka seolah para wanita itu adalah predator yang siap menerkam mangsanya.
"Kau lihat tadi? Wajah Signor Giotto memerah! Aku ingin tahu apa yang ia bicarakan!"
"Kau tidak lihat Signor G? Wajah kesalnya memiliki karisma yang lain! Ia sangat tampan~!"
"Signor Spade punya karisma yang berbeda dengan suara tawanya(?)—meskipun terdengar aneh—aku iri dengan Signora Elena!"
Dan beberapa komentar disertai tawa geli yang (menurut G) menjijikkan terdengar. Giotto dan G hanya sweatdrop dan Spade menikmati itu.
"Sebaiknya kita pergi—Fabio bisa lebih kewalahan jika mendapatkan kerumunan wanita-wanita menyebalkan seperti ini," G menghela napas dan berdiri dari tempatnya berada. Giotto mengerutkan dahinya dan tampak membuka mulut untuk protes.
"Lagi? Tetapi cheesecakeku belum diantarkan Fabio!" Fabio adalah rekan mereka dan orang yang sudah dianggap G dan Giotto sebagai pamannya sendiri. Sebenarnya yang disebut tidak masalah, tetapi sepertinya beberapa pelanggan memang merasa terganggu.
"Mau protes?" Menatap tajam kearah sang boss yang akhirnya meneguk ludah dan dengan berat hati akan meninggalkan tempat itu.
"Sudah mau pergi?"
Suara itu membuat mereka menoleh dan menemukan gadis berambut cokelat panjang yang tersenyum kearah mereka. Menggunakan celana panjang hitam yang membentuk jenjang kakinya, dan kemeja putih yang tidak terlalu terbuka. Di tangannya tampak sebuah kotak putih yang dibungkus rapi, "padahal aku berharap bisa mengajak kalian tinggal disini sebentar untuk mendengar sahabatku yang baru saja tiba di kota ini! Ah, selamat siang Giotto-san."
"Oh, selamat siang Tsukiko-chan," Giotto tertawa canggung dan berusaha untuk tidak bersikap aneh. G dan Spade sendiri tampak melihat mereka berdua berbincang. Spade dengan tatapan dan senyuman anehnya, dan G yang tampak mengerti apa yang terjadi didepannya.
"Jadi—Sawada Tsukiko?" G melirik kearah Spade yang ber'nfufufu' ria menandakan kalau jawaban G benar. Sahabatnya—sang boss—memiliki perhatian khusus pada gadis keturunan Jepang yang ada didepannya saat ini.
"Tidak pernah sadar kalau setiap kali melihat gadis itu Giotto selalu berusaha untuk mengajaknya berbicara dan menginginkan waktu lebih dengannya? Jangan lupa dengan pelajaran tambahan bahasa Jepang yang ia minta Ugetsu ajarkan. Mengingat Giotto sama sekali tidak suka belajar dan bekerja."
...
"Ia hanyalah anak angkat Fabio yang diasuh olehnya saat mengetahui kalau Tsukiko kehilangan kedua orang tuanya di Jepang. Kami bertemu dengannya saat Vongola baru dibentuk. Kue buatannya sangat enak, dan kukira Giotto hanya menyukai kuenya saja," jawab G sambil berdecak dan menatap kearah Giotto.
"Oya? Lalu, melanjutkan pembicaraan kita tadi—sepertinya disini hanya kau yang minimal tidak memiliki seseorang yang kau sukai," Spade tertawa dan G hanya menatapnya tajam—yang sama sekali tidak digubris.
"Bukan berarti aku tidak pernah menyukai seseorang kok..."
Suara G tampak sedikit berbisik agar hanya ia yang bisa mendengarnya. Sementara Spade yang tampaknya mendengar itu menoleh pada G dengan tatapan tertarik. G menyukai seseorang?
"G, Spade!" Giotto berjalan bersama dengan Tsukiko menuju kearah mereka berdua yang masih berbincang, "—bagaimana kalau kita tinggal disini lebih lama sedikit? Sahabat Tsukiko adalah pianist terkenal yang sering keliling dunia kau tahu?"
Pianist?
"Sepertinya ia akan menetap di kota ini, dan karena ia mencari tempat tinggal—Fabio-san menawarkannya untuk tinggal disini mulai besok. Tetapi karena hari ini ia datang, ia menawarkan diri untuk melakukan performa di cafe ini. Mungkin sebentar lagi," Tsukiko menjelaskan sambil menatap G dan juga Spade.
Sementara keduanya hanya menatap Giotto yang menatapnya dengan tatapan memohon.
"Baiklah," G menghela napas dan tampak menatap tajam Giotto, "lagipula ada seseorang yang tidak ingin pulang dulu karena 'seseorang' lagi."
Giotto yang menyadari sahabatnya mengetahui siapa yang disukai olehnya tampak memerah wajahnya. Dan pada akhirnya, mereka bertiga duduk kembali di meja—dengan Tsukiko yang membawakan cheesecake pesanan dari Giotto.
"Jangan terlalu banyak, gula darahmu bisa naik."
"Tidak apa-apa, lagipula Giotto-san tidak terlalu sering memakannya bukan?" Tsukiko tertawa mendengar G yang komplain dengan kue kedua yang dimakan Giotto.
"Kau terlalu lembek padanya."
"Tidak, kau yang terlalu keras padanya G-san," Tsukiko tersenyum lebar, menatap pada G yang hanya menatapnya balik, "—kau bisa tidak menikah hingga tua kau tahu?"
Dan Spade tampak menyemburkan kopinya, dan Giotto tampak tersedak kuenya sebelum Spade gemetar menahan tawa dan Giotto sudah memukul-mukul meja dengan tubuh gemetar menahan tawa. G hanya menatap tajam pada Tsukiko dan kedua rekannya.
'Aku bukannya tidak menyukai seseorang. Sebenarnya, sampai sekarang hanya 'dia' yang tidak pernah lepas dari pikiranku.'
.
.
"Che, kalian lemah!"
Anak laki-laki berusia 6 tahun tampak berdiri dibawah pohon sambil mengusap darah yang ia dapatkan dari perkelahiannya bersama 3 orang anak yang lebih besar darinya itu. G tidak pernah tahu siapa kedua orang tuanya yang sudah membuangnya di jalan sejak kecil.
Ia hanya tahu cara mempertahankan hidup dengan cara apapun, dan bertahan dari jalanan keras dari Sicilly yang sudah menjadi rumah baginya. Tidak perlu heran bagaimana anak berusia 6 tahun sudah berkelahi dan melawan anak yang lebih dewasa.
Itu sudah biasa di jalanan seperti ini. Yang kaya menindas yang miskin, yang lemah ditindas yang kuat—tidak pernah ada perubahan dari semua itu.
Lagipula ia tidak pernah merasakan yang namanya kasih sayang. Lalu, untuk apa memberikan hal yang tidak pernah diberikan padanya?
"Kau disini rupanya..."
Suara itu—tidak baik. Ia menoleh dan menemukan ayah dari salah satu anak yang ia hajar. Tampak marah dan siap untuk membunuhnya kapanpun juga. Dan sebenarnya ia tidak sepenuhnya salah, anak itu yang mencari gara-gara.
"Kenapa kau memukuli anakku?"
"Karena ia menghinaku dan memukuli anak-anak yang ada di jalanan ini bersama dengan teman-temannya," anak itu menatap tanpa rasa takut pada orang dewasa yang bahkan lebih tinggi 2x daripada dirinya.
"Apa salahnya? Bukankah kalian memang anak-anak jalanan yang dibuang orang tua kalian? Tidak diperhatikan dan tidak diharapkan sama sekali?" Orang itu menatapnya dengan senyuman mengejek yang membuat anak itu ingin muntah di wajahnya, "—kalian tidak lebih daripada sampah kau tahu."
G hanya diam—anak itu menatap dewasa didepannya, sebelum menggerakkan kakinya. Menginjak kuat-kuat kaki orang dewasa tersebut hingga yang bersangkutan berteriak kesakitan.
"Bagaimana sol besi yang kutanam di sepatuku?" G tertawa dan menatap orang yang meringkuk kesakitan disana, "—sakit bukan? Dan asal kau tahu, kami lebih berharga daripada orang-orang kaya munafik seperti kalian!"
Dan G tampak berlari.
"Sial... tangkap anak itu!"
.
.
"Sepertinya kali ini aku sedikit keterlaluan," anak itu berlari secepat yang bisa ia lakukan. Menoleh kebelakang sesekali untuk melihat orang-orang suruhan pria itu mengejarnya ke gang kecil yang ada di Sicilly saat itu. Tentu tidak ada perlindungan bagi anak-anak buangan sepertinya. Dan ia harus mempertahankan dan membela diri.
"Kau berbuat ulah lagi G?"
"Diamlah Lucio, mereka hanya cari gara-gara dengan kita!" G menoleh pada anak jalanan lainnya yang tertawa melihatnya yang dikejar-kejar seperti itu. Sementara orang-orang itu semakin dekat, G hanya bisa berdecak kesal, "—hei, tolong aku!"
"Baik-baik," anak-anak disana tampak masih tertawa, namun kaki mereka bergerak. Menendang beberapa drum kayu didepan mereka hingga menggelinding dan menghalangi jalanan yang dilewati orang-orang itu.
"Grazie—!"
Ia berlari kembali saat melihat orang-orang itu masih berkutat dengan drum-drum kayu yang menghalangi mereka. Ia berbelok, namun saat ia akan berlari lagi—beberapa orang yang merupakan kelompok orang itu sudah menunggu.
"Kau tidak akan kemana-mana lagi..."
'Che—sial...' ia mundur selangkah, melihat beberapa orang dewasa yang tampak menatapnya marah. Ia bisa mengatasi satu orang dewasa, namun untuk dua atau lebih—ia akan kalah. Ia hanya anak berusia 6 tahun.
"Kesini!" Suara yang tiba-tiba muncul membuatnya tersentak. Dan sebelum ia sadar suara siapa itu, seseorang menarik tangannya ke gang kecil yang ada didekat sana. Membawa lari, hingga orang-orang itu mengejar mereka.
"Hei kau—" ia menoleh dan melihat anak seusianya yang mengenakan tudung putih. Ia tidak tahu siapa anak itu—namun melihat pakaian bersih dan juga bagus, ia tahu kalau anak didepannya bukanlah anak jalanan seperti mereka.
Hingga di satu rumah yang terletak di gang kecil, anak itu membuka pintu dan menyuruhnya masuk bersama dengannya sebelum menutup dan menguncinya. Suara orang-orang yang berlari terdengar melewati tempat itu—dan menghilang begitu saja.
G melihat dari jendela rumah itu, dan menoleh pada anak yang menolongnya.
"...terima kasih sudah menolongku."
Anak itu tampak masih membelakanginya dan menyibakkan jaket bertudung yang menutupi kepalanya. Dan yang ia lihat saat itu, hanyalah rambut perak yang panjang dan sedikit ikal. Perempuan?
"Tidak apa-apa, kau dikejar juga karena menolong anak-anak yang lain kan?"
Anak itu menoleh, dan iris mata emeraldnya yang membuat G terdiam. Anak perempuan sebayanya itu tersenyum dan melihat beberapa luka di tubuhnya.
"Ah, kau tidak apa-apa? Ayo, aku akan mengobati lukamu!" Bahkan mereka tidak saling mengenal, dan G hanya bisa diam menuruti anak perempuan didepannya yang tampak membawanya masuk lebih dalam. Menoleh sekeliling seolah mengamati sesuatu, anak itu membawa G ke sebuah tempat disana.
Sebuah piano klasik putih tampak berada di rumah yang ukurannya cukup besar dan mewah itu. Melepaskan tangannya, menarik kursi dan ia menaikinya untuk mengambil kotak putih berisi obat di salah satu rak yang ada disana.
"Ini dia—ayo duduk..." G dipaksa duduk di salah satu kursi, dan anak perempuan itu mengobati lukanya. Bahkan ia tidak takut pada anak jalanan kotor yang baru saja menghajar orang-orang. G sedikit menyerengit saat obat merah mengenai lukanya, "—maaf, ini sedikit sakit."
"Aku tidak pernah mempermasalahkannya," ia memalingkan wajahnya dan anak itu hanya tertawa. Beberapa saat tanpa pembicaraan bahkan perkenalan, luka-luka di tubuh G tampak diobati dan terlihat lebih baik.
"Oke selesai," anak itu tersenyum dan berdiri dari tempatnya duduk. Melihat jam yang ada di dinding, ia teringat sesuatu, "—sebentar lagi mereka datang. Kalau aku tidak berlatih, mereka akan..."
G mendengar gumaman anak itu sebelum ia menoleh pada G yang sedikit tersentak. Kenapa jantungnya seolah bereaksi saat anak itu memandanginya?
"Maaf, aku ingin berbicara denganmu lebih banyak. Tetapi, kalau kau tetap disini mereka akan marah," G menatap anak itu yang tampak ketakutan akan sesuatu. Namun, ia tidak bisa mengatakan apapun dan mengangguk.
"Hei, bisakah kita bertemu lagi?" Anak itu menoleh pada G yang tampak menghentikan langkahnya, "aku baru saja pindah di daerah sini. Dan beberapa anak tidak mau bermain denganku, aku ingin tahu tentang daerah disini. Jadi, mau memberitahukan padaku?"
...
"Aku tidak akan janji."
Anak itu tersenyum dan membiarkan G pergi.
.
.
PLAK!
Satu suara yang ia dengar saat keesokan harinya ia malah berada di dekat rumah itu. Ia penasaran dengan anak perempuan yang ia temui kemarin, dan memutuskan untuk datang dan menemuinya lagi. Namun, suara itu—cukup untuk menendang rasa ingin tahunya dan G mengintip dari jendela yang ada didekat sana.
"Sudah kukatakan untuk berlatih lebih keras bukan?! Kenapa permainanmu menjadi lebih buruk daripada biasanya?!"
"Maaf madre—aku akan berusaha lebih keras..."
"Dasar anak tidak berguna," yang dewasa menghela napas dan berbalik untuk keluar dari ruangan itu. Namun saat tangannya menyentuh knop, ia menoleh pada anak perempuan itu, "—aku harus mendengar kau berlatih hingga aku pergi. Kalau ada kesalahan sedikit saja, aku tidak akan memaafkannya."
Dan suara pintu yang tertutup paksa membuat anak perempuan itu menutup matanya erat. Menghela napas, ia segera berjalan kearah piano klasik didepannya dan menekan tuts-tuts itu perlahan. Hingga menghasilkan sebuah melodi.
...
'Apanya yang buruk?! Itu bahkan suara yang paling bagus yang pernah kudengar?' Oke, meskipun G tidak pernah mengerti apapun tentang musik, ia bisa mengatakan kalau permainan anak itu sangat indah. Benar-benar membuatnya tertegun dan tanpa sadar memperhatikan permainannya itu hingga selesai.
"Permainanmu bagus. Kenapa ibumu tidak menyukainya," suara G membuat anak perempuan itu menoleh dengan mata membulat, "—kau benar-benar pandai memainkan err..."
"Ini piano, kau tidak pernah melihatnya?" Jangankan memainkannya, G tidak akan pernah bisa menyentuh benda seperti itu. Ia akan diusir sebelum menginjakkan kakinya disana. Dan ia menggeleng. G sendiri, dengan seenaknya tampak melompat dari jendela itu dan masuk begitu saja membuat anak itu tersentak.
"Walaupun aku tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu kau pintar memainkannya." Ia menggaruk dagunya yang tidak gatal, "—permainanmu sangat indah."
...
"Hehehe," G tersentak melihat anak itu tertawa, "—terima kasih. Jadi—siapa namamu?"
"Namaku Gaspare, aku lebih suka dipanggil G," jawabnya, "bagaimana denganmu? Siapa namamu?"
"Namaku—"
.
.
"G?"
Suara Giotto membuatnya tersentak dan membuyarkan lamunannya. Menoleh sekeliling saat menyadari kalau ia masih berada di cafe itu dan Giotto dan Spade menatapnya dengan tatapan heran.
"Kau melamun, dan tidak menjawabku."
"Oh, maaf—aku... mengingat sesuatu," G menggaruk kepala belakangnya dan menoleh kearah orang-orang yang tampak masih berada dalam kerumunan tersebut. Tsukiko tampak berada di depan pintu belakang dan sedang berbicara dengan seseorang.
"Jadi, sudah berapa lama aku melamun?"
"Kurang lebih 10 menit, apa yang kau pikirkan?" G terdiam. Ia tidak pernah memikirkan lagi masa lalunya sebelum bertemu dengan Giotto. Namun, dari semua hal buruk yang terjadi sebelum bertemu dengan keluarga Taru adalah—ada anak perempuan itu, yang ia kenal sebelum mengenal Giotto. Kalau diingat-ingat, mungkin... itu adalah cinta pertamanya. Tidak, mungkin satu-satunya yang membuatnya merasakan itu. Hingga sekarang.
'Yah, tetapi itu sudah 20 tahun yang lalu. Bisa saja ia sudah berubah menjadi perempuan genit dan gendut, yang suka bersolek dan—'
Suara alunan piano terdengar saat Tsukiko berdiri di salah satu piano yang ada di stage cafe itu. Lantunan yang sukses membuat semua orang memalingkan perhatiannya dari semua yang mereka kerjakan, dan menatap pada pemain yang memainkan melodi indah itu.
"Wow, kudengar sahabat Tsukiko adalah pianis yang sudah terkenal hingga ke Italia. Tetapi permainannya benar-benar berada di level yang berbeda, bahkan dibandingkan permainan Ugetsu. Kau setu—G?" Giotto yang menoleh pada sahabatnya itu yang berdiri dengan segera dengan mata membulat.
Dan sebelum Giotto menanyakan lagi, kakinya segera bergerak meninggalkan meja yang ditempati olehnya. Ia ingat melodi itu—heck ia benar-benar tidak bisa melupakannya. Lantunan itu selalu terngiang di kepalanya dan tidak pernah hilang bahkan selama 20 tahun ini.
Kakinya bergerak cepat, hingga melihat seseorang yang duduk didekat Tsukiko dan membelakanginya sambil memainkan piano yang ada didepannya. Rambut perak, ikal, ia tidak melupakannya. Bahkan punggung itu, ia tidak akan salah dengan jemarinya yang lentik menekan tuts-tuts itu.
...
Suara tepuk tangan berkumandang saat gadis itu menyelesaikan permainannya dan membungkuk pelan memberikan hormat. Semua orang menyukainya, dan G tahu mereka akan menyukainya. Itu adalah maha karya yang tidak akan pernah terganti oleh suara apapun yang ia dengar.
"Gaspare?" Iris mata emerald itu membulat saat bertemu dengan Ruby pemuda itu. Mereka berdua berhadapan, namun tidak ada yang berbicara. Bahkan Tsukiko yang ada didekat mereka hanya bisa diam dan memandangi mereka berdua. Siapa Gaspare?
"Hei—sudah kubilang... untuk tidak memanggilku seperti itu bukan?" Ia tertawa, tidak pernah Giotto dan Spade—yang juga diam saat menyusulnya—melihat G yang tidak marah saat dipanggil dengan nama aslinya itu.
"—kau tidak pernah berubah... Lavina."
"Namaku adalah Lavina. Gokudera Lavina—senang bertemu denganmu, Gaspare!"
—Prologue, Complete—
[ Next, Chapter 1—The Only Girl Who I Love (before) ]
Kalau Straight...
Saya ga suka 2795 (27K) beneran, entah kenapa saya benar-benar menghindar dari itu. Kalau untuk pairing 27 yang straight, saya lebih suka 2796. Tapi saya lebih suka lagi sama 27OC hehe. Tapi, dari semua pairing straight KHR yang kebanyakan canonxOC, nomor satu yang paling me suka itu G x Lavina walaupun memang crack.
Beneran deh, ini dua couple terlalu—asdfghjk! ;-; saya jatuh cinta setiap lihat ffic Vongola1st & 10th yang Family dan couplein G sama Lavina walaupun cuma flash back. Kecewanya Lavina selalu udah koid dan G cuma bisa sendirian barengan Hayato.
Jadilah saya bikin ffic ini dengan setting AR. Dimana G pernah kenal sama Lavina sebelum kenal sama Giotto ^^
Saya beneran addict sama pairing ini ;-; sayang jarang banget yang nunjukkin pairing ini—Cuma ada 2 di ffic indo dan satu di inggris kalau ga salah.
#...
Ada yang tertarik baca?
