Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya
Alternate Universe.
Hujan. Lagi-lagi turun hujan. Beberapa hari ini sore terus dirundung hujan. Harusnya aku tidak heran. London dan hujan seperti sahabat karib.
Aku mengamati jalanan aspal yang didera guyuran hujan bertubi-tubi, air menggenang. Mendengarkan suara derasnya hujan yang teradam, dari balik dinding-dinding kaca gedung perpustakaan. Laptop di hadapanku sudah hampir setengah jam terabaikan. Lampu parameter powernya berkedip-kedip oranye dalam mode tidur.
Aku bosan menulis hujan. Bosan mendeskripsikan anggunnya rintik-rintik air menimpa dedaunan. Bosan membual tentang pertemuan kita berlatarbelakang orkestra alam; suara hujan yang teredam.
Semua tentang hujan dan dirimu membuatku bosan.
Kau tidak pernah nyata, kan? Karena kau hanya sekedar imaji. Kau imaji yang terlahir bersama dengan mendung gelap dan berkembang seiring dengan turunnya hujan. Rekaan otak kananku yang haus akan rangsangan. Kau tidak pernah nyata, karena kau memudar seiring dengan berhentinya hujan. Tapi bahkan kau tidak menggenang, tidak meninggalkan sisa-sisa kenangan. Sejak awal kau hanya bagian dari diriku yang merasa kesepian.
Aku tidak pernah tahu bagaimana sesungguhnya rupamu. Tapi dalam imajinasiku, kau bermata biru. Sebiru langit musim panas, sebiru lautan luas. Hanya itu yang aku tahu. Selebihnya, seperti warna rambutmu, bentuk alismu, paras wajahmu: aku tidak tahu. Apalagi berapa tinggi dan beratmu. Entahlah. Pikiranku terlalu temaram, seperti langit malam yang kelam. Sulit untuk membayangkanmu bersamaan dengan turunnya hujan. Jalanan licin dan aku tergelincir. Aku terjatuh dan sadar tak ada dirimu yang akan mengulurkan tangan kepadaku.
Kau tidak pernah nyata. Kau hanya imaji semata.
Kau―
"Ah, hujannya belum reda juga, ya?"
―tidak nyata.
Sepasang mata biru itu persis seperti yang aku bayangkan, bersinar-sinar dari balik lensa tipis kacamata. Rambut pirang gandum yang menenangkan, dengan cowlick yang hampir terlihat arogan. Seulas senyuman hangat yang terlihat begitu familiar.
Aku mengerjapkan mataku takjub.
Mungkin aku tidak menyadarinya, tapi pikiranku sudah membentuk sosok imaji yang luar biasa cantik. Seperti nyata, benar-benar tipuan yang menyesatkan.
"Hei, boleh aku duduk di sini?"
Sial. Aku mulai sulit membedakan antara realita dan mimpi.
Tapi kalau mungkin, kalau memang benar kau ada, aku ingin mencoba untuk percaya. Sebagaimana kau menatapku dengan sorot matamu yang hangat, aku yakin waktu akan mengatakan padaku yang sebenarnya. Apakah ini nyata, atau aku mulai gila.
Karena sosokmu tak pernah terlihat sesolid ini.
AN : Damn writer's block! Berkali-kali buka Ms. Word cuma berakhir cengo, orz orz orz. Nah, lagi-lagi sebuah adaptasi. Flashfic tentang hujan. Dalam bayangan saya London itu cuacanya mirip-mirip sama Bogor. Bah, meracau, orz.
