Terinspirasi dari Ibu Geografi di sekolah. Dan meskipun tak ada Mukkun, tetep saya mau bilang: Happy Birthday, Murasakibara! Hope this sweet enough.

Kuroko no Basuke and all identifiable characters and situations are created and owned by Fujimaki Tadatoshi. The author of the fan fiction does not, in any way, earn profit from the story and no copyright infringement is intended.


Pemuda itu terlihat kuning.

Aku tahu kalimat di atas terdengar jahat karena tentu saja dia tidak benar-benar berwarna kuning. Dia kan tidak menderita penyakit kuning, atau lever, atau hepatitis A/B/C/D/E—ceritanya nyontek buku Biologi. Hanya saja aku tidak bisa menggambarkan dia dengan lebih baik lagi karena aku memang bukan jenius di bidang bahasa.

Pertama kali aku melihatnya, aku langsung mengamatinya lekat-lekat. Rambutnya pirang, iris matanya sewarna dengan madu, hidungnya kecil namun mancung, bibir merahnya selalu tersenyum, dan kulitnya putih bersih tanpa ada bentol-bentol. Dia sudah bisa digolongkan perempuan kalau bukan karena bentuk tubuhnya yang jelas tidak feminin.

Semakin hari, ada saja tingkah pemuda kuning itu yang membuatku tidak mau memalingkan wajah barang sedetik, takut bila aku melihat ke arah lain aku akan melewatkan gerak-geriknya. Karena mataku tidak mau lepas dari sosoknya, aku jadi terus memperhatikan. Dan karena aku terus memperhatikan, aku jadi mengenal sosok itu lebih dalam. Gila memang, tapi sepertinya aku lebih mengenal dia daripada diriku sendiri.

Aku tahu jalannya sangat lambat karena aku pernah kebetulan berada di belakangnya saat jam istirahat. Kupikir ia tipe yang lemah lembut, jadi aku terkejut saat tahu dia mengikuti ekstrakurikuler yang sama denganku, ekstrakurikuler yang 'kasar'. Aku lebih terkejut lagi waktu melihat ternyata dia sangat berbakat.

Entah kapan aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Aku suka caranya bermain, bagaimana ia berlari dari ujung ke ujung dengan ekspresi serius di wajahnya. Aku suka ketika ia menyeka keringat dengan kaus dan tanpa sadar memperlihatkan perutnya yang rata, bidang, dan putih mulus. Aku juga suka melihatnya minum dari botol plastik yang bukan miliknya dengan terburu-buru sehingga ada beberapa tetes yang mengalir ke lehernya.

Seolah aku belum terdengar seperti maniak, otakku sepertinya mencatat jadwal sehari-hari pemuda itu. Ia akan datang pagi-pagi sekali untuk tidur di meja. Pada jam pelajaran, ia akan pura-pura memperhatikan dan menguap saat guru tidak melihat. Istirahat, ia sama sekali tidak perlu mengantri di kafetaria karena cewek-cewek di kelasku rela memberikan makan siang mereka untuknya. Sepulang sekolah jika hari Kamis tiba, ia akan tinggal untuk piket. Saat itulah terkadang—jika mata kami bertemu—ia akan tersenyum padaku.

Akhirnya setelah satu tahun memendam perasaan aneh ini, aku memutuskan akan mengajaknya bicara bila aku kembali sekelas dengannya di kelas dua. Kami sekelas dan aku mau tidak mau bertanya apakah takdir itu memang ada. Rupanya ia orang yang sangat ramah dan terbuka. Hanya beberapa minggu berlalu, ia sudah menganggapku teman dekat dan tidak jarang mengajakku pulang-pergi sekolah bersama. Sudah pasti aku menerima tawaran itu walaupun tidak tahan dengan betapa cerewetnya dia.

Kalau kalian tidak percaya, coba saja lihat dia sekarang. Dia sedang asyik bercerita tentang betapa membosankan hidupnya. Tanpa sadar, aku tertawa. Ekspresi wajahnya lucu sekali. Dia benar-benar menghayati perasaannya bila sedang curhat sampai aku hafal semua ekspresinya di luar kepala.

"Mou, apa yang kau tertawakan hah, Aomine-cchi?"

Tawaku semakin keras. Habis ini pasti bibirnya akan manyun lalu pipinya menggembung minta dicubit. Tuh kan, tuh kan. Sudah mulai bereaksi. Jadi kucubit saja pipinya, seperti biasa. "Mukamu lucu banget sih. Aku sampai tidak bisa nahan ketawa."

Aku tahu alisnya akan terangkat. Kemudian ia akan melotot dan mulai merajuk.

"Tidak tahu ah. Aku cerita panjang lebar malah diketawain-ssu," katanya, terdengar kesal. Ia berjalan cepat, meninggalkanku beberapa langkah di belakang.

Seringaianku muncul. "Pelan-pelan dong jalannya. Masa cuma digituin ngambek sih? Sori deh sori. Kan niatnya bercanda." Seperti yang sudah kuduga, dia tidak mau bicara. Aku tersenyum dan merogoh saku celanaku. Mendapatkan apa yang kucari, aku mencoba bicara padanya lagi. "Oi, Kise. Kukasih permen nih. Asal kau berhenti ngambek-ngambek."

Kulihat dia berhenti berjalan dan dengan ragu-ragu menoleh padaku. Cepat-cepat kupasang ekspresiku yang paling polos—kalau memang ada—sambil merentangkan telapak tangan. Permen susu rasa stroberi duduk manis di atasnya, menunggu untuk di ambil si pemuda kuning yang sejak setahun belakangan menjadi kesayanganku. Kise, yang tidak pernah menolak permen dari siapapun, mengambilnya dengan senang hati. Di wajahnya yang cantik sudah terukir senyum cerah yang biasa.

"Gitu dong, senyum. Kan jadi makin cantik," Aku mencubit pipinya lagi, menikmati sapuan warna merah yang mempercantik pipi tersebut.

Ia cepat-cepat menyingkirkan tanganku. "Sembarangan bilang cantik, cantik. Aku ini laki-laki tulen-ssu. Yang benar itu tampan."

Aku cuma membalas omongannya dengan cengiran. Tidak lama, dia sudah kembali mengoceh panjang lebar tentang gadis-gadis penggemarnya. Cerewet sekali sih pemuda satu ini. Tapi tidak apa. Biarlah kupingku pengang dikit asal dia tetap tersenyum.

Selain jatuh cinta pada permen susu stroberi, pemuda itu juga jatuh cinta pada bintang di langit.

Itu kenyataan. Aku tidak mengarang-ngarang cerita dari Arab untuk kutulis di sini. Kise memang suka sekali melihat bintang. Saking sukanya, dia sampai rela mengeluarkan uang untuk ke planetarium agar bisa melihat bintang dari sana. Tentu saja aku yang jadi korban menemaninya ke sana tengah malam.

Kalau kau tanya pendapatku, melihat bintang itu pekerjaan pengangguran. Berbagai macam alasan kuutarakan untuk menolak keras ajakan Kise. Mulai dari sibuk lah, mau mengerjakan tugas lah, sampai bilang mau siap-siap buat sekolah besok. Jelas tak ada satu pun yang dipercaya sebab sejak kapan seorang Aomine Daiki serajin itu?

Dengan terpaksa akhirnya aku menemani Kise ke planetarium. Namun karena memang tidak mempunyai sedikit ketertarikan pun terhadap benda langit, jadi lah aku bosan setengah mati. Orang yang pertama kali mengusulkan melihat bintang ini pasti orang paling tidak ada kerjaan sedunia, segalaksi kalau perlu. Apa faedahnya memelototi langit gelap lewat teleskop? Di mataku semua terlihat sama saja.

Hampir dua jam berlalu dan Kise belum menunjukkan tanda-tanda ingin pulang sementara aku sudah rindu pada ranjangku di rumah. Dengan sedikit heboh aku menguap, berusaha memberi kode pada pemuda itu agar cepat menyudahi kegiatan malam ini. Tak ada respon. Aku memutar mata.

"Kise, kapan kita pulang?"

"Yang di sana namanya Alpha Centauri!"

Sungguh, meskipun banyak yang bilang aku bodoh, aku juga tahu kalau jawaban Kise sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaanku. Baru kali ini aku dengar pertanyaan seperti itu dijawab dengan menunjukkan letak bintang Alpha Centauri. Lagipula bagaimana bisa dia membedakan Alpha Centauri dengan yang lain? Bintang di langit kan jumlahnya tak terhitung.

"Ada lagi, ada lagi." Kise menarik lengan kemejaku. Wajah pemuda itu berbinar selagi menunjuk langit yang gelap bertabur bintang. "Yang itu Sirius dan yang itu Orion."

Aku menggigit bibir. Imutnya. Aku jadi tidak tega mengabaikan usahanya mengenalkan bintang-bintang itu padaku. Tapi sepertinya aku memang terlahir dengan bakat membedakan bintang nol besar sebab ke mana pun aku memandang semua masih terlihat sama. "Apa bedanya Sirius, Orion, dan Alpha Centauri?"

"Bentuknya kan jelas berbeda, Aomine-cchi." Pemuda itu mencibir. "Masa masih harus tanya?"

Benarkah? Jelas berbeda di sebelah mana? Apa mungkin ada tulisan di badan bintang-bintang itu yang hanya bisa dibaca para pecinta bintang?

"Ah!" Tiba-tiba Kise tersenyum cerah. "Kalau yang ini pasti Aomine-cchi tahu."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Bagaimana caranya mengatakan pada Kise kalau aku tidak bisa membedakan sama sekali?

"Itu Virgo, rasi bintang Aomine-cchi," ucap pemuda itu pelan dan lembut, nyaris menyerupai sebuah bisikan.

Aku terdiam selama beberapa saat, mengamati wajahnya yang kini terlihat agak memerah karena udara dingin. Entah kenapa aku malah jadi merasa sedikit panas. Demi Dewa Matahari, Kise hanya menunjukkan rasa bintang Virgo—oke, itu rasi bintangku—tapi tetap saja tidak seharusnya kalimat itu terdengar begitu… intim. Seolah-olah pemuda itu sedang menyatakan perasaan.

Sial. Apa ada orang lain yang pernah menemani Kise melihat bintang? Apa pemuda itu juga menunjukkan rasi bintang mereka? Apa mereka melihat ekspresinya saat ini?

"Aomine-cchi, bintang mana yang paling kau sukai?"

Aku mengerjap, mengusir lamunanku yang melantur kemana-mana. Sekali lagi aku mendongak menatap bintang di langit. Masih terlihat sama saja. Bagaimana bisa suka kalau semuanya terlihat sama?

Aku menghela napas. "Semuanya terlihat sa—"

Mataku melebar.

"Hm?" Kise menoleh. "Tadi Aomine-cchi bilang bintang yang mana-ssu?"

Entah apa yang merasukiku malam itu. Atau mungkin aku hanya lelah karena sudah dua jam berkeliling melakukan hal yang tidak menarik bagiku. Tahu-tahu saja aku mengangkat jemari dan menunjuk satu bintang yang menurutku bintang terindah yang pernah kulihat.

Mata Kise melebar. Kemudian perlahan semburat kemerahan menghiasi pipi hingga leher pemuda itu.

"A-Ahaha, Aomine-cchi bercanda, ya?"

"Aku serius."

Wajah pemuda itu—kalau memang memungkinkan—terlihat semakin merah. Pemuda itu mengalihkan pandang, jelas salah tingkah. "A-Aku manusia, bukan bintang-ssu!"

Tawaku meledak. Aku menariknya mendekat dan mengacak-acak rambutnya yang halus. "Sumpah, kau itu lucu banget, Kise. Rasanya mau aku bawa pulang terus aku pajang di kamar."

Kise menggerutu sebal, berusaha melepaskan diri dari tanganku yang masih memegang kepalanya.

Kutangkup wajahnya agar ia menatapku langsung saat aku bicara. "Aku serius, Kise. Bintang yang paling aku suka itu kau. Meskipun kau ngotot kalau kau bukan bintang, bagiku kau itu bintang."

"Aomine -cchi, hentikan!"

"Kenapa? Malu?" Aku menarik dagunya pelan.

Pemuda itu menunduk cepat seolah hendak bersembunyi di dadaku.

Aku terkekeh geli, mendorongnya menjauh sedikit supaya aku bisa menatap wajahnya yang imut. Namun rupanya imanku malam itu sedang goyah. "Boleh aku cium?"

Matanya melebar kaget. "AHOMINECCHI!"

Alisku terangkat. "Apa sih? Tidak sopan mengejek orang lain."

Kise memutar mata. "Harusnya aku yang bilang 'apa sih'. Dasar."

"Ya sudah sana bilang."

Wajahnya terlihat frustasi. "Bukan begitu maksudku, Aomine-cchi!"

Aku menggigit bibir, menahan senyum. "Jadi boleh tidak aku cium?"

Pipi Kise kembali merah padam. "J-Jangan tanya pertanyaan seperti itu!"

Aku mengerjap lalu mengangguk, sok-sok paham. "Oh, jadi maksudnya langsung cium saja, ya?"

"Bukan begitu juga, Aho—!"

Terserah deh Kise mau bilang apa. Aku sudah tanya terlebih dahulu jadi bukan salahku kalau dia kucium. Selama ini aku sering memberikan permen susu stroberi pada Kise dan melihatnya mengemut permen itu. Sejujurnya aku penasaran bagaimana rasa pemuda itu. Sekarang aku tahu jawabannya. Pemuda itu rasanya manis, semanis stroberi yang suka ia makan.

"Aku mau jadi pacarmu."

Bibirnya agak memerah dan napasnya agak terengah. Namun sedetik kemudian pemuda itu tertawa. "Itu tadi pernyataan cinta-ssu?"

Kali ini sepertinya ganti wajahku yang memanas. "Yah, yang penting kau mengerti kan maksudku?"

Kise tersenyum manis sebelum kembali mengecup bibirku sekilas. "Aku menyukaimu, Aomine-cchi."

Tanpa bisa menahan diri, kulekatkan bibir kami sekali lagi. Melumat dan mencium dalam hingga pemuda itu kewalahan mengikuti gerakan bibirku. "Jadi," ucapku di bibirnya. "Sekarang kita pacaran?"

Pemuda itu mendelik—atau setidaknya berusaha mendelik dalam keadaan lemas dan terengah. "Masih tanya lagi?"

Aku memutar mata. "Jawab saja pertanyaanku."

"Pikir sendiri-ssu. Dasar otak pas-pasan. Ayo pulang."

"Memang otakmu tidak pas-pasan?"

"Setidaknya aku masih bisa membedakan bintang-ssu."

Ugh, dasar menjengkelkan. Aku kan jadi tidak bisa membantah. Jadi kudekap saja Kise dan kucium sekali lagi hingga pemuda itu minta ampun.


"Love is being stupid together." — Paul Valery

Terima kasih sudah membaca.